Pada tahun 1965, terjadi percobaan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Rumah Nasution diserang, dan putrinya terbunuh, tetapi dia berhasil melarikan diri dengan memanjat tembok dan bersembunyi di kediaman duta besar Irak. Dalam gejolak politik berikutnya, ia membantu kenaikan Presiden Soeharto, dan diangkat sebagai KetuaMajelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Ia berselisih dengan Soeharto, yang melihatnya sebagai saingan, dan dia digulingkan dari kekuasaan pada tahun 1971. Begitu ia dicopot dari posisi kekuasaan, Nasution berkembang menjadi lawan politik Rezim Orde Baru Soeharto. Meskipun ia dan Soeharto mulai berdamai pada 1990-an. Ia meninggal pada 6 September 2000 di Jakarta, setelah menderita strok dan koma. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Nasution merupakan konseptor Dwifungsi ABRI yang disampaikan pada tahun 1958 yang kemudian diadopsi selama pemerintahan Soeharto. Konsep dasar yang ditawarkan tersebut merupakan jalan agar ABRI tidak harus berada di bawah kendali sipil, tetapi pada saat yang sama tidak boleh mendominasi sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.[5]
Bersama Soeharto dan Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar yang dianugerahkan pada tanggal 5 Oktober1997, saat ulang tahun ABRI.
Kehidupan awal
Nasution dilahirkan di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara,[6] dari keluarga BatakMuslim.[7] Ia adalah anak kedua dan juga merupakan putra tertua dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi. Ayahnya, yang religius dan anggota organisasi Sarekat Islam, ingin sang anak belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin dia belajar kedokteran di Batavia. Namun, setelah lulus dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar di Sekolah RajaBukittinggi (kini SMA Negeri 2 Bukittinggi). Ia menempuh studi selama tiga tahun dan tinggal di asrama.[8]
Pada tahun 1935 Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi, di sana dia tinggal selama tiga tahun. Keinginannya untuk menjadi guru secara bertahap memudar saat minatnya dalam politik tumbuh. Dia diam-diam membeli buku yang ditulis oleh Soekarno dan membacanya dengan teman-temannya. Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatra dan mengajar di Bengkulu, dia tinggal di dekat rumah pengasingan Soekarno. Dia kadang-kadang berbicara dengan Soekarno, dan mendengarnya berpidato. Setahun kemudian Nasution pindah ke Tanjung Raja, dekat Palembang, di mana dia melanjutkan mengajar, tetapi dia menjadi lebih dan lebih tertarik pada politik dan militer.[9]
Pada tahun 1940, Jerman Nazimenduduki Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia. Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Seiring dengan beberapa orang Indonesia lainnya, dia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan. Pada bulan September 1940 dia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan. Dia kemudian menjadi seorang perwira di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).[10] Pada tahun 1942 Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia. Pada saat itu, Nasution di Surabaya, dia ditempatkan di sana untuk mempertahankan pelabuhan. Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi, karena dia takut ditangkap oleh Jepang. Namun, dia kemudian membantu milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan membawa pesan, tetapi tidak benar-benar menjadi anggota.[11]
Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada bulan Mei 1946, dia diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masa depan.[12][13]
Pada bulan Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menandatangani Perjanjian Renville, membagi Jawa antara daerah yang dikuasai Belanda dan Indonesia. Karena wilayah yang diduduki oleh Belanda termasuk Jawa Barat, Nasution dipaksa untuk memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah.[14][15]
Wakil Panglima
Pada 1948 Nasution naik ke posisi Wakil Panglima TKR. Meskipun hanya berpangkat Kolonel, penunjukan ini membuat Nasution menjadi orang paling kuat kedua di TKR, setelah Jenderal Soedirman. Nasution segera pergi untuk bekerja dalam peran barunya. Pada bulan April, dia membantu Soedirman mereorganisasi struktur pasukan. Pada bulan Juni, pada sebuah pertemuan, saran Nasution bahwa TKR harus melakukan perang gerilya melawan Belanda disetujui.
Meski bukanlah Panglima TKR, Nasution memperoleh pengalaman peran sebagai Panglima Angkatan Bersenjata pada bulan September 1948 saat Peristiwa Madiun. Kota Madiun di Jawa Timur diambil alih oleh mantan Perdana MenteriAmir Syarifuddin dan Musso dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah kabar itu sampai ke Markas TKR di Yogyakarta, diadakan pertemuan antara perwira militer senior. Soedirman sangat ingin menghindari kekerasan dan ingin negosiasi dilakukan. Soedirman kemudian menugaskan Letnan KolonelSoeharto, untuk menegosiasikan kesepakatan dengan komunis. Setelah melakukan perjalanannya, Soeharto kembali ke Nasution dan Soedirman untuk melaporkan bahwa segala sesuatu tampak damai. Nasution tidak percaya laporan ini sementara Soedirman sedang sakit. Nasution sebagai Wakil Panglima kemudian memutuskan tindakan keras, mengirim pasukan untuk mengakhiri pemberontakan komunis di sana.[16][17]
Pada 30 September, Madiun diambil alih oleh pasukan republik dari Divisi Siliwangi. Ribuan anggota partai komunis tewas dan 36.000 lainnya dipenjara. Di antara yang terbunuh adalah Musso pada 31 Oktober, diduga dia terbunuh ketika mencoba melarikan diri dari penjara. Pemimpin PKI lainnya seperti DN Aidit pergi ke pengasingan di Cina.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan sukses di Yogyakarta dan kemudian mendudukinya. Nasution, bersama-sama dengan TKR dan para komandan lainnya, mundur ke pedesaan untuk melawan dengan taktik perang gerilya. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan Belanda, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan di Sumatra. Dalam pemerintahan sementara ini, Nasution diberikan posisi Komandan Angkatan Darat dan Teritorial Jawa. Setelah pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, PDRI mngembalikan kekuasaan kepada Soekarno dan Hatta, dan Nasution kembali ke posisinya sebagai Wakil Panglima Soedirman.
Era Demokrasi Parlementer
Periode pertama sebagai KSAD
Pada tahun 1950, Nasution mengambil posisinya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, dengan T.B. Simatupang menggantikan Soedirman yang telah meninggal dunia sebagai Kepala Staf Angkatan Perang.
Pada tahun 1952, Nasution dan Simatupang memutuskan untuk mengadopsi kebijakan restrukturisasi dan reorganisasi untuk ABRI. Dalam pengaturan ini, Nasution dan Simatupang berharap untuk menciptakan tentara yang lebih kecil tetapi yang lebih modern dan profesional.[18] Nasution dan Simatupang, yang keduanya telah dilatih oleh pemerintah kolonial Belanda ingin melepaskan para prajurit yang dilatih oleh Jepang dan mengintegrasikan lebih banyak tentara yang dilatih oleh Belanda. Namun, hal ini ditentang oleh Bambang Supeno yang merupakan pimpinan prajurit yang dilatih oleh Jepang (PETA).
Dalam mengadopsi kebijakan mereka, Nasution dan Simatupang mendapat dukungan dari Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Hamengkubuwana IX sedangkan Bambang Supeno berhasil menemukan dukungan dari kalangan partai oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terutama Partai Masyumi. Para anggota DPR kemudian mulai membuat perbedaan pendapat mereka tentang restrukturisasi ABRI. Nasution dan Simatupang tidak senang melihat apa yang mereka anggap sebagai campur tangan urusan militer oleh warga sipil.
Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan mereka dalam unjuk kekuatan. Memprotes campur tangan sipil dalam urusan militer, pasukan Nasution dan Simatupang mengelilingi Istana Kepresidenan dan mengarahkan moncong meriam ke Istana. Permintaan mereka ke Soekarno adalah mengajukan tuntutan pembubaran DPR. Untuk alasan ini, Nasution dan Simatupang juga memobilisasi demonstran sipil. Soekarno keluar dari Istana Kepresidenan dan meyakinkan baik tentara dan warga sipil untuk pulang. Nasution dan Simatupang telah dikalahkan.
Nasution dan Simatupang kemudian diperiksa oleh Jaksa AgungSuprapto. Pada bulan Desember 1952, mereka berdua kehilangan posisi mereka di ABRI dan diberhentikan dari ikatan dinas.
Pokok-Pokok Gerilya
Ketika dia bukan lagi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution menulis sebuah buku berjudul Pokok-Pokok Gerilya. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman Nasution sendiri yang berjuang dan mengorganisir perang gerilya selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Awalnya buku ini dirilis pada tahun 1953, dan menjadi salah satu buku yang paling banyak dipelajari pada perang gerilya bersama dengan karya-karya Mao Zedong pada subjek yang sama.
Periode kedua sebagai KSAD
Pada 7 November 1955, setelah tiga tahun pengasingan, Nasution diangkat kembali ke posisi lamanya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Dia segera mulai bekerja pada angkatan darat dan strukturnya dengan mengadopsi pendekatan tiga kali lipat.[19] Pendekatan pertama adalah untuk merumuskan sistem tur tugas, sehingga perwira bisa ditempatkan di seluruh negeri dan mendapatkan pengalaman. Pendekatan ini juga akan menghasilkan perwira militer yang lebih profesional, bukannya merasa ikatan pribadi dan loyalitas ke provinsi dan daerah dari mana mereka berasal. Pendekatan kedua Nasution adalah untuk memusatkan pelatihan militer. Semua metode pelatihan pasukan sekarang akan seragam, bukan komandan daerah yang menyiapkan metode pelatihan pasukan mereka sendiri. Pendekatan ketiga dan yang paling penting adalah untuk meningkatkan pengaruh militer dan kekuatan sehingga mampu mengurus dirinya sendiri, bukan mengandalkan keputusan sipil. Nasution tidak memiliki masalah menerapkan dua pendekatan pertama, tetapi dia harus menunggu untuk menerapkan pendekatan ketiga.
Pada 1957, Presiden Soekarno mulai memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin untuk retorikanya dalam menanggapi kekecewaan dengan pendekatan Demokrasi Parlementer yang telah diadopsi Indonesia sejak November 1945. Dalam hal ini, dia menemukan ikatan yang sama dengan Nasution dan tentara, yang tidak lupa cara di mana warga sipil mengganggu urusan militer pada tahun 1952. Pada 14 Maret 1957, setelah menerima pengunduran diri Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan kabinetnya, Soekarno mengumumkan keadaan darurat.
Langkah ini tidak hanya mengakhiri peran seremonial Soekarno sebagai presiden, tetapi juga meningkatkan pengaruh dan kekuasaan militer. Dalam pengaturan ini, panglima daerah mampu mencampuri urusan sipil seperti ekonomi dan masalah administrasi.[20] Atas perintah dari Soekarno sendiri, tentara juga mulai berpartisipasi dalam politik, mengisi posisi yang berkisar dari menteri kabinet hingga gubernur provinsi dan bahkan anggota DPR. Pada bulan Desember 1957, Nasution semakin meningkatkan peran tentara dengan memerintahkan para tentara untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang baru dinasionalisasi. Selain meningkatkan peran tentara, langkah ini juga dirancang untuk menghentikan pengaruh PKI yang semakin kuat.
Pada tahun 1958, Nasution menyampaikan pidato terkenal yang akan menjadi dasar bagi doktrin Dwifungsi yang pada rezim Soeharto akan diadopsi. Berbicara di Magelang, Jawa Tengah, Nasution menyatakan bahwa ABRI harus mengadopsi "jalan tengah" dalam pendekatannya terhadap bangsa. Menurut Nasution, ABRI tidak harus di bawah kendali sipil. Pada saat yang sama, ABRI tidak boleh mendominasi bangsa dengan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.[5]
Pemberontakan PRRI
Pada akhir 1956, ada tuntutan dari panglima daerah di Sumatra untuk otonomi yang lebih di provinsi-provinsi mereka. Ketika tuntutan ini tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, pasukan mulai memberontak, dan pada awal 1957, telah tegas mengambil alih pemerintahan di Sumatra. Kemudian, pada tanggal 15 Februari 1958, Letkol Ahmad Husein menyatakan pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Hal ini mendorong pemerintah pusat untuk menggelar pasukan.
Sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution biasanya telah terlibat dalam memobilisasi pasukan ke Sumatra. Namun, kali ini Kolonel Ahmad Yani yang ditugaskan memimpin pasukan kesana dan berhasil menumpas pemberontakan.
Kembali ke UUD 1945
Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekret yang menyatakan bahwa Indonesia sekarang akan kembali ke UUD 1945 yang asli. Sistem demokrasi parlementer akan berakhir dan Soekarno sekarang adalah Kepala Pemerintahan dan sekaligus Kepala Negara. Nasution diangkat menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan di Kabinet Soekarno, sambil terus memegang posisi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Era Demokrasi Terpimpin
Korupsi di Angkatan Darat
Sejak 1956, Nasution telah berusaha untuk membasmi korupsi di Angkatan Darat, tetapi kembali berlakunya UUD 1945 tampaknya telah memperbaharui tekadnya dalam hal ini. Dia percaya bahwa tentara harus memberi contoh untuk seluruh masyarakat. Tidak lama setelah keputusan Soekarno, Nasution mengirim Brigadir Jenderal Sungkono untuk menyelidiki transaksi keuangan dari Kodam VII/Diponegoro dan panglimanya, Kolonel Soeharto.
Temuan Sungkono mengungkapkan bahwa selama menjadi pangdam, Soeharto telah mendirikan yayasan untuk membantu masyarakat setempat. Namun, yayasan tersebut didanai melalui pungutan wajib (bukan sumbangan sukarela) dari industri produksi dan layanan. Soeharto juga terlibat dalam barterilegal. Dia telah membarter gula dengan beras dari Thailand.
Nasution ingin mengambil tindakan terhadap Soeharto dan mengusirnya dari militer. Namun, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Gatot Soebroto mengintervensi.[21] Gatot telah menjadikan Soeharto berada di bawah sayapnya ketika dia menjadi Pangdam VII/Diponegoro dan telah melihat bakat dari Soeharto. Gatot meminta Nasution untuk tidak mengusir Soeharto karena bakat Soeharto bisa dikembangkan lebih lanjut. Nasution mendengarkan saran Gatot. Keputusannya adalah untuk mencopot Soeharto dari jabatannya dan menghukumnya dengan mengirimnya ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad).
Irian Barat
Selama perjuangan kemerdekaan, Soekarno selalu menganggap Irian Barat juga termasuk sebagai Indonesia. Ketika Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia, Irian Barat terus menjadi koloni Belanda. Soekarno tidak menyerah dan terus mendorong Irian Barat harus dimasukkan sebagai bagian dari Indonesia melalui PBB dan melalui Konferensi Asia–Afrika, di mana negara-negara yang hadir berjanji untuk mendukung klaim Indonesia. Belanda tetap terus bersikeras. Pada tahun 1960, Soekarno sudah kehabisan kesabaran. Pada bulan Juli, dia bertemu dengan penasihat utamanya, termasuk Nasution, dan disepakati bahwa Indonesia akan mengejar kebijakan konfrontasi melawan Belanda pada masalah Irian Barat.[22]
Sebagai bagian dari persiapan untuk operasi ini, Nasution berpaling ke Soeharto, yang telah menyelesaikan kursus Seskoad pada bulan November 1960. Soeharto, sekarang seorang brigadir jenderal, ditugaskan oleh Nasution untuk membuat unit kekuatan strategis yang akan siaga, siap ketika dipanggil untuk melakukan tindakan setiap saat. Soeharto ditempatkan bertugas di gugus tugas ini dan pada bulan Maret 1961, Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad) dibentuk, dengan Soeharto diangkat sebagai panglimanya.[23] Caduad pada tahun 1963 berubah nama menjadi Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Pada awal 1962, Nasution dan Yani adalah komandan keseluruhan yang disebut dengan operasi Pembebasan Irian Barat, dengan Soeharto yang ditempatkan di Indonesia timur sebagai komandan lapangan.
Rivalitas dengan PKI
Pada saat ini, Soekarno mulai melihat PKI sebagai sekutu politik utamanya, bukan tentara lagi. Meskipun dia telah menetapkan Indonesia nonblok selama Perang Dingin, pernyataan bahwa PRRI diberi bantuan oleh Amerika Serikat, menyebabkan Soekarno mengadopsi sikap anti-Amerika. Dalam hal ini, dia memiliki PKI sebagai sekutu alami. Bagi PKI, bersekutu dengan Soekarno hanya akan menambah momentum politik sebagai pengaruh mereka terus tumbuh dalam politik Indonesia.
Nasution mewaspadai pengaruh PKI atas Soekarno dan pada gilirannya, Soekarno menyadari bahwa Nasution tidak senang tentang pengaruh PKI dan mengambil langkah untuk melemahkan kekuasaannya. Pada bulan Juli 1962, Soekarno mereorganisasi struktur ABRI. Status kepala cabang Angkatan Bersenjata sekarang akan ditingkatkan dari kepala staf menjadi panglima. Sebagai panglima, kepala cabang angkatan bersenjata akan memiliki kekuatan lebih dan hanya akan menjawab untuk Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Yang membantu Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI adalah kepala staf ABRI. Soekarno menunjuk Nasution untuk posisi kepala staf ABRI[24] dan menunjuk Ahmad Yani sebagai panglima angkatan darat. Dengan melakukan ini, Soekarno menurunkan kekuatan Nasution, sebagai kepala staf ABRI dia hanya bertanggung jawab untuk hal-hal administratif saja dan dia tanpa pasukan.
Sekarang dalam posisi tak berdaya, Nasution mulai memikirkan cara lain untuk menghentikan momentum PKI. Saat yang tepat datang pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada Mei 1963. Nasution, Partai Nasional Indonesia (PNI) serta anggota TNI yang hadir mengajukan mosi bahwa Soekarno ditunjuk sebagai presiden seumur hidup.[25] Alasan di balik ini adalah bahwa dengan ditunjuknya Soekarno sebagai presiden seumur hidup, menjadikan tidak akan adanya pemilu, dan tanpa pemilu, PKI tidak akan bisa mendapatkan berkuasa tidak peduli berapa banyak partai tumbuh. Akhirnya, Soekarno menjadi presiden seumur hidup.
Perbedaan dengan Yani
Nasution segera mulai mengembangkan sikap permusuhan terhadap Yani. Keduanya, baik Nasution dan Yani sama-sama anti-komunis, tetapi sikap mereka terhadap Soekarno berbeda. Nasution mengkritik Soekarno yang dianggap mendukung PKI, sementara Yani, seorang loyalis Soekarno, mengambil sikap yang lebih lembut. Nasution mengkritik sikap lembut Yani dan hubungan antara keduanya memburuk. Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, Yani mulai menggantikan komandan daerah yang dekat dengan Nasution dengan mereka yang dekat dengan dirinya.
Pada 13 Januari 1965, sebuah delegasi dari pejabat yang mewakili Nasution dan Yani bertemu dalam upaya untuk mendamaikan perbedaan antara dua jenderal itu. Pertemuan itu gagal mengusahakan Yani untuk menjauhkan diri dari Soekarno, tetapi delegasi sepakat untuk mengadakan seminar di mana mereka bisa berbicara tentang iklim politik saat ini dan peran tentara dalam politik.
Sebuah dokumen beredar di Jakarta. Dijuluki Dokumen Gilchrist, dokumen itu adalah surat yang mengaku datang dari Duta Besar Britania RayaAndrew Gilchrist, dan menyebutkan "teman-teman tentara lokal kami". Kecurigaan pun langsung dilemparkan pada tentara yang ingin memulai kudeta. Meskipun Yani dengan cepat menyangkal tuduhan itu, PKI mulai menjalankan kampanye, mengklaim bahwa Dewan Jenderal yang berencana menggulingkan presiden. Sebagai perwira paling senior di Angkatan Darat, Nasution, dan Yani terlibat untuk menjadi bagian dari Dewan ini.
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, pasukan yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September (G30S) mencoba untuk menculik tujuh perwira Angkatan Darat anti-komunis termasuk Nasution.[26]Letnan Doel Arief yang memimpin pasukan untuk menangkap Nasution, dan timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil militer berjalan menyusuri Jalan Teuku Umar yang sepi pada pukul 4:00 pagi. Rumah Nasution di No 40, rumah sederhana dengan satu lantai. Penjaga rumah di pos jaga di luar rumah melihat kendaraan yang datang, tetapi setelah melihat orang-orang itu tentara dia tidak curiga dan tidak menelepon atasannya. Sersan Iskaq, yang bertanggung jawab menjaga rumah saat itu. Sersan itu berada di ruang jaga di ruang depan bersama dengan setengah lusin tentara, beberapa di antaranya sedang tidur. Seorang penjaga sedang tidur di taman depan dan satu lagi sedang bertugas di bagian belakang rumah. Dalam sebuah pondok yang terpisah, dua ajudan Nasution sedang tidur, seorang letnan muda bernama Pierre Tendean, dan ajun komisaris polisi Hamdan Mansjur.[27]
Sebelum alarm menyala, pasukan Letnan Arief telah melompat pagar dan menguasai para penjaga yang mengantuk di pos jaga dan ruang jaga. Lainnya masuk dari seluruh sisi rumah dan menutupinya dari belakang. Sekitar lima belas tentara masuk ke rumah. Nasution dan istrinya terganggu oleh nyamuk dan terjaga. Mereka tidak mendengar para penjaga yang telah dikuasai tetapi Nyonya Nasution mendengar pintu dibuka paksa. Dia bangkit dari tempat tidur untuk memeriksa dan membuka pintu kamar tidur, dia melihat tentara Cakrabirawa (pengawal presiden) dengan senjata siap menembak. Dia menutup pintu dan berteriak memberitahu suaminya. Nasution ingin melihatnya dan ketika dia membuka pintu, tentara menembak ke arahnya. Dia melemparkan dirinya ke lantai dan istrinya membanting dan mengunci pintu. Orang-orang di sisi lain mulai menghancurkan pintu bawah dan melepaskan tembakan-tembakan ke kamar tidur. Nyonya Nasution mendorong suaminya keluar melalui pintu lain dan menyusuri koridor ke pintu samping rumah. Nasution berlari ke halaman rumahnya menuju dinding yang memisahkan halamannya dengan Kedutaan Besar Irak. Dia ditemukan oleh tentara yang kemudian menembaknya tetapi meleset. Memanjat dinding, Nasution mengalami patah pergelangan kaki saat dia jatuh ke halaman Kedutaan Irak untuk bersembunyi, sehingga dia tidak dikejar.[28]
Seluruh penghuni rumah terbangun dan ketakutan oleh penembakan itu. Ibu dan adik Nasution, Mardiah, juga tinggal di rumah dan berlari ke kamar tidur Nasution. Mardiah membawa putri Nasution yang berusia lima tahun, Irma, dari tempat tidurnya, memeluk erat anak itu dalam pelukannya, dan mencoba lari ke tempat aman. Saat dia berlari, seorang kopral dari penjaga istana melepaskan tembakan ke arahnya melalui pintu. Irma tertembak dan menerima tiga peluru di punggungnya. Dia meninggal lima hari kemudian di rumah sakit.[28] Putri sulung Nasution, Janti yang berusia 13 tahun, dan perawatnya Alfiah sudah lari ke rumah pondok ajudan Nasution dan bersembunyi di bawah tempat tidur.[28]
Tendean mengambil senjatanya dan lari dari rumah, tetapi dia tertangkap dalam beberapa langkah. Dalam kegelapan, ia membuat kesalahan dan sudah berada di bawah todongan senjata.[29] Setelah mendorong suaminya keluar rumah, Nyonya Nasution lari ke dalam dan membawa putrinya yang terluka. Saat dia menelepon dokter, pasukan Cakrabirawa menuntutnya agar memberitahu mereka di mana keberadaan suaminya. Kabarnya dia melakukan percakapan singkat sambil marah-marah dengan Arief dan mengatakan kepadanya bahwa Nasution sedang keluar kota selama beberapa hari ini.[30] Pasukan itu pun pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendean pergi dengan mereka. Nyonya Nasution membawa putrinya yang terluka ke rumah sakit pusat angkatan darat. Komandan garnisun Jakarta, Mayor JenderalUmar Wirahadikusumah, bergegas ke rumah Nasution.[30]
Karel Satsuit Tubun, seorang penjaga di rumah Wakil Perdana Menteri Indonesia, Johannes Leimena yang juga merupakan tetangga Nasution, mendengar keributan dan berjalan ke rumah Nasution. Dalam kebingungan penjaga itu ditembak dan dibunuh. Pembunuhan penjaga itu tidak direncanakan.[30]
Nasution terus bersembunyi di halaman tetangganya sampai pukul 06:00 ketika dia kembali ke rumahnya dalam keadaan patah pergelangan kaki. Nasution kemudian meminta ajudan untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan karena dia pikir itu akan lebih aman di sana. Nasution kemudian mengirim pesan kepada Soeharto di markas Kostrad, mengatakan kepadanya bahwa ia masih hidup dan aman. Setelah mengetahui bahwa Soeharto mengambil alih komando tentara, Nasution kemudian memerintahkan dia untuk mengambil langkah-langkah seperti mencari tahu keberadaan presiden, menghubungi panglima angkatan laut R.E. Martadinata, komandan korps marinir R. Hartono serta kepala kepolisian Soetjipto Joedodihardjo, dan mengamankan Jakarta dengan menutup semua jalan yang mengarah ke sana.[31] Angkatan udara tidak termasuk karena Panglima Omar Dhani dicurigai sebagai simpatisan G30S. Soeharto segera mengintegrasikan perintah tersebut ke dalam rencananya untuk mengamankan kota.
Sekitar pukul 14:00, setelah Gerakan 30 September mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi, Nasution mengirim perintah lain untuk Soeharto, Martadinata dan Joedodihardjo. Dalam rangka itu, Nasution mengatakan bahwa dia yakin Soekarno telah diculik dan dibawa ke markas G30S di Halim. Karena itu dia memerintahkan ABRI untuk membebaskan presiden, memulihkan keamanan Jakarta, dan yang paling penting, menunjuk Soeharto sebagai kepala operasi.[32] Sama seperti Soeharto yang mulai bekerja, tetapi pesan datang dari Soekarno di Halim. Soekarno telah memutuskan untuk menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamodra – loyalis Soekarno – untuk mengisi posisi Panglima Angkatan Darat dan sekarang ingin Pranoto untuk datang menemuinya. Soeharto tidak mengizinkan Pranoto pergi tetapi dia tahu bahwa Soekarno tidak akan menyerah untuk mencoba memanggil Pranoto. Untuk memperkuat posisi tawar, Soeharto meminta Nasution untuk datang ke Markas Kostrad.
Nasution tiba di markas Kostrad sekitar pukul 6 sore, Soeharto mulai mengerahkan pasukan Sarwo Edhie Wibowo untuk mengamankan Jakarta dari Gerakan 30 September. Di sana, Nasution akhirnya menerima pertolongan pertama untuk pergelangan kakinya yang patah. Setelah Jakarta aman, Martadinata datang ke markas Kostrad dengan salinan Keputusan Presiden yang menunjuk Pranoto. Setelah melihat keputusan tersebut, Soeharto mengundang Martadinata dan Nasution ke ruangan untuk membahas situasi.
Nasution meminta Martadinata bagaimana caranya presiden datang untuk menunjuk Pranoto. Martadinata menjawab bahwa pada sore hari dia, Joedodihardjo, dan Dhani telah menghadiri pertemuan dengan Soekarno di Halim untuk memutuskan siapa yang harus menjadi Panglima Angkatan Darat setelah Yani tewas. Pertemuan telah memutuskan bahwa Pranoto harus menjadi Panglima Angkatan Darat. Nasution mengatakan bahwa penunjukan Soekarno tidak dapat diterima karena penunjukan datang ketika Soeharto telah memulai operasi.[33] Nasution dan Soeharto kemudian mengundang Pranoto dan meyakinkannya untuk menunda menerima pengangkatannya sebagai Panglima Angkatan Darat sampai setelah Soeharto selesai menumpas percobaan kudeta.
Dengan pasukan Sarwo Edhie, Jakarta dengan cepat berhasil diamankan. Soeharto kemudian mengalihkan perhatiannya ke Halim dan mulai membuat persiapan untuk menyerang pangkalan udara. Untuk membantunya, Nasution memerintahkan angkatan laut dan polisi untuk membantu Soeharto dalam menumpas Gerakan 30 September. Untuk angkatan udara, Nasution mengeluarkan perintah mengatakan bahwa mereka tidak akan dihukum atas pembangkangan jika mereka menolak untuk mematuhi perintah Dhani. Pada pukul 06:00 tanggal 2 Oktober, Halim berhasil diambil alih dan Gerakan 30 September secara resmi dikalahkan.
Kehilangan kesempatan
Meskipun Soeharto telah menjadi tokoh kunci pada 1 Oktober, banyak perwira Angkatan Darat lainnya masih berpaling ke Nasution untuk kepemimpinan dan mengharapkannya untuk mengambil kontrol yang lebih menentukan situasi. Namun, Nasution tampak ragu-ragu dan perlahan tetapi pasti dukungan mulai menjauh darinya. Mungkin alasan ini adalah karena dia masih berduka atas putrinya, Ade Irma, yang meninggal pada tanggal 6 Oktober.
Dalam beberapa minggu pertama setelah G30S, Nasution-lah yang terus-menerus melobi Soekarno untuk menunjuk Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat. Soekarno, yang setelah 1 Oktober tetap menginginkan Pranoto sebagai pimpinan angkatan darat, awalnya menjadikan Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib, tetapi dengan lobi terus-menerus yang dilakukan Nasution, Soekarno akhirnya dibujuk dan pada tanggal 14 Oktober 1965, ditunjuklah Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat.
Sebuah peluang emas datang ke Nasution pada bulan Desember 1965 ketika ada pembicaraan tentang penunjukkan dirinya sebagai wakil presiden untuk membantu Soekarno dalam masa ketidakpastian.[34] Nasution tidak memanfaatkan ini dan memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Soeharto mengambil inisiatif pada awal 1966 dengan mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa tidak ada kebutuhan untuk mengisi kursi wakil presiden yang kosong. Pada 24 Februari 1966, Nasution tidak lagi menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam perombakan kabinet. Posisi Kepala Staf ABRI juga dihapuskan.
Pada tahap ini, harapan bahwa Nasution akan melakukan sesuatu sekarang telah hilang, para perwira militer dan gerakan mahasiswa berada di belakang Soeharto. Namun demikian, dia terus menjadi tokoh yang dihormati, banyak perwira militer megunjunginya pada hari-hari menjelang penandatanganan Supersemar, dokumen penyerahan kewenangan dari Soekarno ke Soeharto. Bahkan, ketika Soeharto hendak pergi Markas Kostrad untuk menunggu pengiriman Supersemar, dia menelepon Nasution dan meminta restunya. Istri Nasution memberi restu atas nama Nasution, yang tidak hadir.
Indra politik Nasution tampaknya telah kembali setelah Soeharto menerima Supersemar. Itu mungkin karena dia yang pertama kali menyadari bahwa Supersemar tidak hanya memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto tetapi juga memberinya kontrol eksekutif. Pada 12 Maret 1966, setelah Soeharto melarang keberadaan PKI, Nasution menyarankan kepada Soeharto bahwa dia membentuk kabinet darurat.[35] Soeharto, masih hati-hati tentang apa yang dia bisa atau tidak bisa lakukan dengan kekuatan barunya, karena pembentukan kabinet adalah tanggung jawab presiden. Nasution mendorong Soeharto dan berjanji untuk memberikan dukungan penuh, tetapi Soeharto tidak menanggapi dan percakapan berakhir tiba-tiba.
Ketua MPRS
Dengan kekuatan barunya, Soeharto mulai membersihkan pemerintahan dari pengaruh komunis. Setelah penangkapan 15 menteri kabinet pada 18 Maret 1966, Soeharto mengincar MPRS, mencopot anggota yang dianggap simpatisan komunis dan menggantinya dengan anggota yang lebih bersimpati pada tujuan militer. Selama pembersihan, MPRS juga kehilangan ketuanya, Chaerul Saleh, dan ada kebutuhan untuk mengisi posisi yang kosong. Nasution adalah pilihan yang sangat populer karena semua fraksi di MPRS menominasikan dia untuk posisi Ketua MPRS. Namun, Nasution menunggu sampai Soeharto menyatakan dukungan untuk pencalonannya sebelum menerima nominasi.
Pada 20 Juni 1966, Sidang Umum MPRS dimulai. Nasution menetapkan Supersemar sebagai agenda pertama yang akan dibahas dalam daftar dengan berjalan ke aula pertemuan dengan dokumen yang sebenarnya. Keesokan harinya, pada 21 Juni MPRS meratifikasi Supersemar, sehingga ilegal bagi Soekarno untuk menariknya kembali. Pada 22 Juni, Soekarno menyampaikan pidato berjudul Nawaksara (Sembilan butir) di depan sidang. Nasution dan anggota MPRS lainnya merasa kecewa. Soekarno tidak menyebutkan apa-apa tentang G30S. Sebaliknya, Soekarno tampaknya memberikan penjelasan tentang pengangkatannya sebagai presiden seumur hidup, rencana kerjanya sebagai presiden, dan bagaimana Konstitusi bekerja dalam praktik. MPRS menolak untuk meratifikasi pidato ini.
Selama dua minggu ke depan, Nasution sibuk memimpin Sidang Umum MPRS. Di bawah kepemimpinannya, MPRS mengambil langkah-langkah seperti melarang paham Marxisme-Leninisme, mencabut keputusan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memerintahkan pemilihan legislatif yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1968. Sidang Umum MPRS juga meningkatkan kekuasaan Soeharto dengan secara resmi memerintahkannya untuk merumuskan kabinet baru. Sebuah keputusan juga disahkan yang menyatakan bahwa jika presiden tidak mampu melaksanakan tugasnya, dia kini akan digantikan oleh pemegang Supersemar, bukan wakil presiden.
Tahun 1966 pun berlalu, Soekarno semakin defensif dan popularitasnya di kalangan rakyat Indonesia semakin menurun. Soeharto, yang tahu bahwa kemenangan politiknya sudah dekat, turun untuk memainkan peran orang Jawa yang sopan dengan terus-menerus memberikan kata-kata meyakinkan kepada Soekarno dan membelanya dari tuntutan para demonstran. Jenderal lainnya seperti Nasution tidak penuh belas kasihan, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus bertanggung jawab atas situasi buruk yang melanda pemerintahan dan masyarakat Indonesia pada saat itu. Nasution juga menyerukan agar Soekarno dibawa ke pengadilan.
Pada 10 Januari 1967, Nasution dan MPRS bersidang lagi dan Soekarno menyerahkan laporannya (dia tidak menyampaikan hal itu secara pribadi sebagai pidato) yang diharapkan bisa mengatasi masalah G30S. Diberi judul "Pelengkap Nawaksara", laporan itu berbicara tentang desakan Soekarno menyebut G30S dengan Gerakan 1 Oktober (Gestok). Pada G30S, Soekarno mengatakan bahwa PKI membuat kesalahan besar pada pagi hari 1 Oktober, tetapi juga menambahkan bahwa hal ini disebabkan oleh kecerdikan pihak neokolonialis. Soekarno juga menambahkan bahwa jika dia akan disalahkan atas G30S, Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat itu (Nasution) juga harus disalahkan karena tidak melihat G30S datang dan menghentikannya sebelum terjadi.[36] Laporan sekali lagi ditolak oleh MPRS.
Pada bulan Februari 1967, DPR-GR menyerukan Sidang Istimewa MPRS pada bulan Maret untuk mengganti Soekarno dengan Soeharto. Soekarno tampaknya pasrah akan nasibnya, akhirnya pada 12 Maret 1967 Soekarno secara resmi dicabut mandatnya sebagai Presiden oleh MPRS. Nasution kemudian menyumpah Soeharto ke tampuk kekuasaan sebagai pejabat presiden. Setahun kemudian pada 27 Maret 1968, Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan Soeharto sebagai Presiden penuh.
Orde Baru
Jatuh dari kekuasaan
Meskipun bantuan dari Nasution memberinya kesempatan naik ke kekuasaan, Soeharto melihat Nasution sebagai saingan dan segera mulai bekerja untuk menyingkirkannya dari kekuasaan. Pada tahun 1969, Nasution dilarang berbicara di Seskoad dan Akademi Militer.[37] Pada tahun 1971, Nasution tiba-tiba diberhentikan dari dinas militer, ketika berusia 53, dua tahun lebih cepat dari usia pensiun yakni 55 tahun. Nasution akhirnya pada tahun 1972 digantikan oleh Idham Chalid sebagai Ketua MPRS. Kejatuhan Nasution secara drastis tersebut membuatnya mendapatkan julukan sebagai Gelandangan Politik.
Oposisi terhadap Orde Baru
Setelah dia disingkirkan dari posisi kekuasaan, Nasution berkembang menjadi lawan politik Orde Baru. Pada akhir tahun 70-an, rezim Soeharto telah berubah dari populer menjadi otoriter dan korup. Pada saat ini banyak suara mulai secara terbuka berbicara dan mengkritik rezim. Setelah pemilu legislatif tahun 1977, di mana terdapat dugaan kecurangan pemilu yang dilakukan oleh Golkar, Nasution mengatakan bahwa ada krisis kepemimpinan pada masa Orde Baru.
Pada bulan Juli tahun 1978, bersama-sama dengan mantan wakil presiden Hatta, Nasution mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB). Pemerintah Soeharto bergerak cepat dan tidak mengizinkan YLKB untuk mengadakan pertemuan pertama pada Januari 1979. Nasution dan YLKB tidak menyerah. Pada bulan Agustus 1979, dia berhasil mengadakan pertemuan yang dihadiri anggota DPR. Mungkin secara signifikan, anggota ABRI menghadiri pertemuan tersebut. Dalam pertemuan tersebut, Nasution mengkritik Orde Baru karena tidak sepenuhnya melaksanakan Pancasila dan UUD 1945.[38]
Soeharto menanggapi kritikan tersebut. Pada 27 Maret 1980, pada Rapat ABRI, Soeharto dalam pidatonya mengatakan bahwa anggota ABRI harus siap untuk mempertahankan kursi mereka di DPR dan mereka harus melindungi Pancasila dan UUD 1945 dari kemungkinan-kemungkinan amendemen. Untuk itu, Soeharto memerintahkan ABRI sebagai sebuah kekuatan sosial-politik, harus memilih mitra-mitra politik yang benar yang telah terbukti bersedia mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini karena pada saat itu diyakini ada kekuatan-kekuatan sosial-politik yang meragukannya. Soeharto mengulangi hal ini dalam pidato lain tanggal 16 April 1980, pada kesempatan ulang tahun Kopassus. Di mana dia membantah tuduhan korupsi dan mengklaim jika memungkinkan, dia akan menculik satu orang dari 2/3 anggota MPR yang menginginkan amendemen. Hal itu akan mencegah MPR untuk mengubah konstitusi.
Petisi itu ditandatangani pada 5 Mei 1980 dan disampaikan ke DPR pada 13 Mei 1980. Petisi ini menyerukan Soeharto untuk berhenti menafsirkan Pancasila sesuai tujuannya sendiri dan bagi ABRI untuk bersikap netral dalam politik bukan malah menguntungkan Golkar. DPR, khususnya anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia menanggapi serius petisi ini dan meminta Soeharto untuk merespon masalah ini. Soeharto menjawab bahwa pidato-pidatonya pada tanggal 27 Maret 1980 dan 16 April 1980 adalah respon yang cukup memadai. Dia menambahkan jika ada masalah, DPR bisa melakukan penyelidikan khusus. Di sini anggota PPP dan PDI berhenti, mengetahui bahwa gerakan mereka akan dikalahkan karena dominasi Golkar. Bagi penandatangan petisi seperti Nasution, Soeharto memberlakukan larangan perjalanan dan membuat transaksi bisnis yang sulit sehingga penandatangan petisi akan memiliki masa sulit dalam mencari nafkah.
Rekonsiliasi
Pada awal tahun 1990-an, Soeharto mulai mengadopsi kebijakan keterbukaan politik, dan penegakan hukum terhadap penandatangan Petisi 50 dilonggarkan. Pada Juni 1993, ketika dia berada di rumah sakit karena sakit, Nasution dikunjungi oleh para petinggi militer. Dia kemudian menerima kunjungan B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi. Habibie kemudian mengundang Nasution dan penandatangan Petisi 50 lainnya untuk mengunjungi galangan kapal dan pabrik pesawat yang berada di bawah yurisdiksinya. Pemerintah juga mulai mengklaim bahwa meskipun ada larangan perjalanan bagi para penandatangan Petisi 50, tetapi larangan tersebut tidak berlaku untuk Nasution. Sementara itu, Nasution membantah telah mengkritik pemerintah, dia lebih memilih untuk menyebutnya sebagai "perbedaan pendapat".
Akhirnya, pada bulan Juli 1993, Soeharto mengundang Nasution ke Istana Presiden untuk bertemu. Hal ini diikuti oleh pertemuan lain pada 18 Agustus1993, setelah perayaan Hari Kemerdekaan.[39] Tidak ada pembicaraan tentang politik, tetapi jelas bahwa mereka berdua berusaha untuk melakukan rekonsiliasi terhadap perbedaan di antara mereka. Dalam sebuah wawancara pada tahun 1995, Nasution mendorong upaya Indonesia untuk melakukan proses rekonsiliasi sehingga bangsa bisa bersatu di bawah kepemimpinan Soeharto.
Nasution menikah dengan Johanna Sunarti pada 30 Mei 1947 di Ciwidey, Bandung,[41][42] bersamanya dia memiliki dua anak perempuan, yakni Hendrianti Saharah Nasution dan Ade Irma Suryani Nasution. Ade Irma tewas dalam peristiwa G30S. Istrinya meninggal pada tahun 2010 dalam usia 87.[43] Nasution sendiri meninggal pada 6 September 2000 di Jakarta setelah menderita stroke dan kemudian koma.[44][45] Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.[46] Hendrianti Saharah meninggal pada tahun 2021 dalam usia 69.[47]
^ abSumbogo, Priyono B. (8 Maret 1997). "Jalan Tengah". Gatra. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-10-30. Diakses tanggal 2014-08-20.
^
Bachtiar, Harsja W. (1998). Siapa Dia?: Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Penerbit Djambatan. hlm. 220. ISBN978-979-428-100-0.Parameter |trans_title= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^"Abdul Haris Nasution". pdat.co.id. Archived from the original on 2011-10-02. Diakses tanggal 4 November 2006.Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)
^
Cribb, Robert (October 2001). "Military strategy in the Indonesian revolution: Nasution's concept of "Total People's War" in theory and practice". War & Society. 19 (2): 143–154. doi:10.1179/072924701799733190. ISSN0729-2473.
^Wibisono, Christianto (20 Januari 2004). "Hentikan "Bharata Yuda" 2004". Suara Pembaruan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-06-19. Diakses tanggal 4 November 2006.
Fic, Victor M. (2005). Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi (dalam bahasa Indonesia) (edisi ke-Indonesia). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN978-979-461-555-3.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Hughes, John (2002) [1967]. The End of Sukarno: A Coup That Misfired: A Purge That Ran Wild (edisi ke-ke-3). Singapura: Archipelago Press. ISBN978-981-4068-65-9.
Prsetyo, Adi; Hadad, Toriq, ed. (1998). Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT). ISBN978-979-9065-02-5.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Ricklefs, Merle Calvin (1982). A History of Modern Indonesia (edisi ke-reprint). Macmillan Southeast Asian. ISBN978-0-333-24380-0.