Andi Abdullah Bau Massepe
Letnan Jenderal TRI Andi Abdullah Bau Massepe (lahir di Massepe, Kabupaten Sidenreng Rappang, Celebes, pada tahun 1918 - wafat di Parepare, Sulawesi, pada tanggal 2 Februari 1947 pada umur 29 tahun) adalah pejuang heroik dari daerah Sulawesi Selatan. Ia merupakan Panglima pertama TRI Divisi Hasanuddin dengan pangkat Letnan Jendral.[1] Ia dianugerahi gelar Pahlawan nasional Indonesia oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2005 dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005.[2] BiografiKelahiranAndi Abdullah Bau Massepe adalah putra dari Andi Mappanyukki (salah satu pahlawan Nasional dari Sulawesi Selatan) dan ibunya Besse Arung Bulo (putri Raja Sidenreng, anak dari La Sadapotto Addatuang Sidenreng dengan Baeda Addatuang Sawitto) di daerah Massepe, Kabupaten Sidenreng Rappang. (Massepe dahulunya merupakan salah satu pusat kerajan Addatuang (kerajaan) Sidenreng. Dia adalah pewaris tahta dari dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Bone dan Gowa. Ia juga merupakan pewaris tahta dari lima kerajaan di sebelah barat Danau Sidenreng yaitu Suppa, Allita, Sidenreng Rappang dan Sawito. Keturunan raja/bangsawanBau Massepe merupakan anak Raja dari Kerajaan Bone yakni Andi Mappanyukki yang juga seorang pejuang dari Sulawesi Selatan pada tanggal 10 November 2004 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. PerkawinanSemasa hidupnya Abdullah Bau Massepe pernah tiga kali beristri.
PendidikanSemasa hidupnya pernah mengecap pendidikan formal pada Sekolah Rakyat selama 1 tahun (1924), HIS (Hollands Inslander School (selesai 1932). Selain itu Dia juga memperoleh pendidikan dilingkungan kerajaan yang dikenal dengan pangngadereng dikalangan budaya Bugis Makassar. Raja-raja di Sulawesi SelatanAndi Abdullah Bau Massepe merupakan Datu Suppa ke 25 berdasarkan silsilah Dia adalah ana' mattola di Suppa. Dia adalah pewaris tahta dari dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Bone dan Gowa. Ia juga merupakan pewaris tahta dari lima kerajaan di sebelah barat Danau Sidenreng yaitu Suppa, Allita, Sidenreng Rappang dan Sawito. KepemimpinanJabatan pada organisasi yang pernah dipimpin oleh dia antara lain:
Tanda Jasa
KematianAndi Abdullah Bau Massepe tewas ditembak oleh pasukan Mayor Raymond Westerling -Korps Speciale Troepen Belanda- pada tanggal 2 Februari 1947 setelah ditahan selama 160 hari. Wafat 10 hari sesudah konferensi Pacekke (tanggal 20 Januari 1947). Makam dia dapat ditemukan di Taman Makam Pahlawan kota Pare-Pare (110 kilometer utara Kota Makassar). Perihal kematiannya dalam wawancara pihak keluarga (Hajjah Andi Habibah, putri tertua dia) menyatakan tidak ditembak mati oleh Westerling, tetapi diduga dibunuh dengan menyumbat pernapasannya. Kematiannya pun disembunyikan oleh pihak Belanda dan tidak adapun saksi mata yang melihat dia terbunuh. Pejuang yang teguhDia diakui sebagai pejuang yang teguh pendirian dan berani berkorban demi tegaknya NKRI. Hal ini diakui oleh Raymond Westerling yang disampaikan kepada istrinya, A. Sodji Petta Kandjenne, dia berkata; “Soeamimoe adalah djantan dan laki-laki pemberani. Ia bertanggoeng djawab atas semoea tindakannja, tidak maoe mengorbankan orang lain demi kepentingan sendiri, sikap djantan ini sangat saja hormati.” Pesan-pesan pahlawanBeberapa pesan dia yang sangat heroik yang dapat dijadikan inspirasi bagi generai muda sekarang dalam melanjutkan pembangunan negara ini antara lain: "Lebih baik ditembak mati daripada menyerah kepada Belanda" Pesan kepada Andi Pangerang Petta Rani, merupakan saudara tiri, yang menjadi Gubernur Sulawesi pertama "Tetaplah memelihara anak kita, sekolahkan semuanya, karena kalau bukan saya yang menikmati hasil perjuangan ini, maka anak-anak serta pemuda-pemuda yang sedang tumbuh yang akan menikmatinya". (pesan kepada istrinya Andi Soji Datu Kanjenne sewaktu dia di penjara KIS di Makassar)[3] "Jangan nikahi dengan keluarga atau golongan orang-orang Belanda dan antek-anteknya. Lebih baik memelihara dan bersahabat dengan anjing daripada bersahabat dengan orang Belanda dan orang-orang anti republik" (dimuat di Harian Fajar, 17 April 2003) Referensi
|