Alimin bin Prawirodirdjo (1889 – 26 Juni 1964)[1] adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga seorang komunis Indonesia. Pada 1964, Alimin ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Riwayat hidup
Masa anak-anak
Alimin Prawirodirjo dilahirkan dari keluarga miskin di Surakarta pada tahun 1889. Saat Alimin masih anak-anak, seorang Belanda bernama G.A.J. Hazeu yang saat itu menjabat Penasihat Urusan Pribumi, memberikan beberapa keping uang, Alimin membagi-bagikan uang ini kepada teman-teman sepermainannya. Hal ini menarik hati dari G.A.J. Hazeu yang kemudian mengangkat Alimin sebagai anak angkatnya, dan kemudian disekolahkan di sekolah Eropa di Batavia dan mahir berbahasa Perancis, Inggris, dan Belanda. G.A.J. Hazeu berharap nantinya Alimin akan bekerja sebagai pegawai pemerintah, alih-alih Alimin malah masuk ke dunia politik dan menjadi jurnalis.[2]
Remaja
Sejak remaja Alimin telah aktif dalam pergerakan nasional. Semula ia menjadi wartawan koran Djawa Moeda dan bergabung dengan Budi Utomo. Saat kemunculan Sarekat Islam yang lebih jelas garis perlawanannya dengan politik pemerintahan kolonial, Alimin bergabung dengan organisasi tersebut dan pernah tinggal di rumah kost milik H.O.S. Tjokroaminoto.[3] Setelah itu bersama seorang dokter muda Tjipto Mangoenkoesoemo, ia bergabung dengan Insulinde dan juga sebagai editor di jurnal bernama Modjopahit di Batavia. Ia juga aktif mengorganisir para buruh pelabuhan dan pelaut, dan turut mendirikan Sarekat Buruh Pelabuhan (dulu namanya Sarekat Pegawai Pelabuhan dan Lautan).
Menurut Robert Cribb dalam "Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949" (2010), Alimin yang bergerak di Pelabuhan Tanjung Priok juga berhubungan dengan jawara Banten. Belakangan, PKI wilayah Jakarta dengan sadar merekrut para jawara itu dalam pergerakan. Sikap militansi dan solidaritas kaum jagoan dari dunia hitam itu memberi perlindungan bagi PKI dari gangguan penjahat lain yang disewa oleh penguasa kolonial maupun kaum kapitalis industri sekitar Jakarta.[2]
Pada awal 1926, sebagai pimpinan PKI Alimin pergi ke Singapura untuk berunding dengan Tan Malaka dalam rangka menyiapkan pemberontakan. Tapi sebelum Alimin pulang, pemberontakan sudah meletus 12 November 1926. Alimin dan Musso ditangkap oleh polisi Inggris.
Setelah ia keluar dari penjara, Alimin pergi ke Moskwa dan bergabung dengan Komintern. Alimin tidak lama di sana karena bertemu dengan Ho Chi Minh dan diajak ke Guangzhou. Pada saat itu ia terlibat secara ilegal untuk mendidik kader-kader komunis di Vietnam, Laos, dan Kamboja untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan dari jajahan Prancis.
Ketika Jepang melakukan agresi terhadap Tiongkok, Alimin pergi ke daerah basis perlawanan di Yenan dan bergabung bersama tentara merah di sana. Ia pulang ke Indonesia pada tahun 1946, yaitu setelah Republik Indonesia diproklamasikan. Dia kembali bergabung dengan PKI, sebagai tokoh senior. Sempat menjadi anggota konstituante pada era Orde Lama.[4]
Ia pernah bertemu dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tahun 1946 bahkan memberikan hormat takzim kepadanya dan memberikan buku Das Kapital seperti yang dimintakan Sri Sultan kepadanya.[5]
Ketika D.N. Aidit mendirikan kembali PKI secara legal pada awal tahun 1950-an dan kemudian menjadi Ketua Komite Sentral, Alimin termasuk tokoh komunis yang tidak diindahkannya. Namun Alimin masih banyak didatangi oleh para pengikutnya sampai dengan saat meninggalnya pada tahun 1964.
Setelah tidak lagi aktif di PKI, Alimin menikah dengan Hajjah Mariah dan dikaruniai dua orang putra, yaitu Tjipto dan Lilo, dan ia tinggal di Jakarta hingga wafatnya pada tahun 1964.[6] Pada saat wafatnya Alimin, Soekarno, Presiden RI pertama menganugerahkan gelar pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 163 tanggal 26 Juni 1964 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.[2]