Komodor Muda Udara (Anumerta) dr. Agustinus Adisoetjipto (Hanacaraka: ꦄꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶꦤꦸꦱ꧀ꦄꦢꦶꦱꦸꦕꦶꦥ꧀ꦠ) (3 Juli 1916 – 29 Juli 1947) adalah seorang pahlawan nasional beragama Katolik Roma dan seorang komodor udara Indonesia. Ia merupakan Bapak Penerbang Indonesia.[1]
Pendidikan
Adisoetjipto mengenyam pendidikan GHS (Geneeskundige Hoge School) (Sekolah Tinggi Kedokteran) dan lulusan Sekolah Penerbang Militaire Luchtvaart di Kalijati.
Aktivitas
Adisoetjipto menerbangkan pesawat jenis Nishikoren yang dicat merah putih dari Tasikmalaya ke Maguwo, Yogyakarta. Pada 27 Oktober 1945 pula, ia berhasil menerbangkan pesawat Cureng berbendera merah putih di sekitar Yogyakarta. Bukan tanpa sebab ia menerbangkan pesawat ini. Desing pesawat yang ia terbangkan bercat merah putih dimaksudkan untuk membakar semangat rakyat Indonesia melawan penjajahan yang masih terjadi di beberapa wilayah. Inilah penerbangan berbendera merah putih pertama di tanah air dan bukti semangat cinta tanah air yang begitu besar dengan keberanian dan segenap kemampuan yang dimilikinya.
Pada 15 November 1945, Adisoetjipto mendirikan Sekolah Penerbang di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta tepatnya di Lapangan Udara Maguwo, yang kemudian diganti namanya menjadi Bandara Adisutjipto, untuk mengenang jasanya sebagai pahlawan nasional.[2]
Kematian
Pada saat Agresi Militer Belanda I, Adisujipto dan Abdulrahman Saleh diperintahkan terbang ke India menggunakan pesawat Dakota VT-CLA. Penerobosan blokade udara Belanda menuju India dan Pakistan berhasil dilakukan. Sebelum pulang ke Indonesia, mereka singgah di Singapura untuk mengangkut bantuan obat-obatan Palang Merah Malaya.[3] Sehingga pesawat baru berangkat kembali pada pukul 13.00, pesawat ini mengangkut total 9 orang, yakni:
- Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto
- Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrahman Saleh
- Pilot, A.N Constantine, berkebangsaan Australia
- Co-pilot, R.L. Hazelhurst, berkebangsaan Inggris
- Juru Radio, Opsir Udara Adi Soemarmo Wirjokusumo
- Juru Teknik, Bhida RAM, berkebangsaan India
- A.N. Constantine
- Zainal Arifin, Atase Perdagangan RI di Singapura
- A. Gani Handonocokro.[4]
Sementara itu, di Lanud Maguwo, KSAU Soerjadi Surjadarma telah menunggu kedatangan pesawat ini dan memerintahkan agar pesawat tidak perlu berputar-putar sebelum mendarat, untuk menghindari kemungkinan serangan udara terhadap pesawat tersebut. Ini mengingat bahwa di dalam pesawat, ada dua tokoh penting AURI, yakni Adisutjipto dan Abdul Rahman Saleh.[5]
Saat telah mendekati Lanud Maguwo pada pukul 16.30, pesawat ini pun tetap berputar-putar untuk bersiap mendarat. Tiba-tiba dari arah Utara, muncul dua pesawat Kittyhawk[6] milik Belanda yang diawaki oleh Lettu B.J. Ruesink dan Serma W.E. Erkelens, yang langsung menembaki pesawat tersebut. Akibatnya pesawat hilang kendali dan akhirnya pesawat jatuh di perbatasan Desa Ngoto dan Wojo dan langsung terbakar. Semua orang di pesawat meninggal dunia, hanya pesawatnya yang berhasil selamat.
Ia dimakamkan di pemakaman umum Kuncen I dan II, dan kemudian pada 14 Juli 2000 dipindahkan ke Monumen Perjuangan TNI AU di Ngoto, Bangunharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta.[7]
Dalam budaya populer
Lihat pula
Rujukan
Daftar pustaka
Buku
- Harnoko, Darto, dkk (2012). Riwayat Perjuangan Pahlawan-Pahlawan Salatiga dalam Mengisi Kemerdekaan Republik Indonesia. Salatiga: Pemerintah Kota Salatiga Dinas Perhubungan, Komunikasi, Kebudayaan, dan Pariwisata. ISBN 978-602-1797-30-3.
- Supangkat, Eddy (2012). Salatiga: Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media. ISBN 978-979-7290-68-9.
Pranala luar
|
---|
Politik | |
---|
Militer | |
---|
Kemerdekaan | |
---|
Revolusi | |
---|
Pergerakan | |
---|
Sastra | |
---|
Seni | |
---|
Pendidikan | |
---|
Integrasi | |
---|
Pers | |
---|
Pembangunan | |
---|
Agama | |
---|
Perjuangan | |
---|
|