Teuku Muhammad Hasan dilahirkan tanggal 4 April1906 sebagai Teuku Sarong, di Sigli, Aceh. Ayahnya, Teuku Bintara Pineung Ibrahim adalah Ulèë Balang di Pidie (Ulèë Balang adalah bangsawan yang memimpin suatu daerah di Aceh). Ibunya bernama Tjut Manyak.[3]
Pada usia 25 tahun, T.M Hasan memutuskan untuk bersekolah di Leiden University, Belanda. Selama di Belanda, ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia yang dipelopori oleh Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid Djojodiningrat dan Nasir Datuk Pamuntjak. Selain kesibukannya sebagai mahasiswa, Hasan juga menjadi aktivis yang mengadakan kegiatan-kegiatan organisasi baik di dalam kota maupun di kota-kota lain di Belanda
Di bidang agama, ia bergabung dengan organisasi Islam Muhammadiyah sebagai konsul di bawah pimpinan R.O. Armadinata. Pada era ini, Muhammadiyah berhasil mendirikan perkumpulan perempuan yakni Aisyiyah, Hizbul Wathan, dan sebuah lembaga pendidikan setingkat Hollandsch-Inlandsche School atau HIS. Perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah juga mendirikan cabang-cabang di beberapa kota lain di Aceh. Tercatat pada masa akhir Pemerintahan Belanda di Aceh (1942), jumlah cabang Muhammadiyah di Aceh sebanyak 8 (delapan) buah.
Selain aktif di Muhammadiyah, Hasan juga aktif dalam dunia pendidikan. Ia ikut mempelopori berdirinya organisasiAtjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh) yang bertujuan untuk membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu untuk sekolah.
Selain itu, Hasan juga menjadi komisaris organisasi pendidikan yang bernama Perkumpulan Usaha Sama Akan Kemajuan Anak (PUSAKA). Tujuan organisasi ini adalah untuk mendirikan sebuah sekolah rendah berbahasa Belanda seperti Hollandsch-Inlandsche School.
Aktivitas kependidikan Hasan yang lain ialah mendirikan Perguruan Taman Siswa di Kutaraja pada tanggal 11 Juli1937. Dalam kepengurusan lembaga yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara ini, Hasan menjadi ketua dengan sekretarisTeuku Nyak Arief. Sesaat setelah pembentukannya, Hasan mengirim utusannya yaitu, Teuku M. Usman el Muhammady untuk menemui Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Tujuannya adalah memohon agar Taman Siswa memperluas jaringannya, yakni dengan mendirikan cabang di Aceh. Berdasarkan permohonan tersebut, Majelis Luhur Taman Siswa mengirim tiga orang guru ke Aceh, yaitu Ki Soewondo Kartoprojo beserta istrinya yang juga sebagai guru dan Soetikno Padmosoemarto. Dalam waktu yang relatif singkat, Hasan dan pengurus Taman Siswa di Kutaraja berhasil membuka 4
(empat) sekolah Taman Siswa di Kutaraja, yaitu sebuah Taman Anak, Taman Muda, Taman Antara dan Taman Dewasa.
Berkat pengalaman di bidang pendidikan tersebut, Hasan memutuskan pergi ke Batavia dan bekerja sebagai pengawai di Afdeling B, Departemen Van Van Onderwijsen Eiredeienst (Departemen Pendidikan). Selain itu, ia juga pernah menjadi pegawai di kantor Voor Bestuurshervarming Buintengewesten. Kemudian pada tahun 1938, Hassan kembali lagi ke Medan untuk bekerja pada kantor Gubernur Sumatra sampai tahun 1942. Pada era penjajahan Jepang ini, yakni antara tahun 1942 sampai 1945, Hasan tetap berada di Medan dan bekerja sebagai Ketua Koperasi Ladang Pegawai Negeri di Medan, kemudian menjadi Penasihat dan Pengawas Koperasi Pegawai Negeri di Medan dan Pemimpin Kantor Tinzukyoku (Kantor permohonan kepada Gunsaibu) di Medan. Ketika Jepang hendak angkat kaki dari Aceh tahun 1945, Hasan adalah sedikit dari tokoh-tokoh Aceh yang memiliki kesadaran kebangsaan dan bersedia bergabung dengan para nasionalis di Jakarta.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Mr. Teuku Muhammad Hasan diangkat menjadi Gubernur Sumatra I pada tanggal 22Agustus1945 dengan ibu kota provinsi di Medan.[5]
Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibu kota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, mengunjungi Mr. Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatra/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh 15 Km di selatan kota Payakumbuh.
Membantu pemerintah dengan usul-usul pendapat mengenai sikap yang patut diambil pemerintah berkenaan dengan status tambang minyak di Sumatera Utara pada khususnya dan pertambangan lain pada umumnya.
Membantu pemerintah dengan usul-usul pertambangan di Indonesia.
Membantu pemerintah dengan usul-usul pendapat mengenai pajak produksi bahan minyak dan ketentuan harga.
Mengajukan usul-usul lain berkenaan dengan masalah pertambangan guna meningkatkan penghasilan negara, menyelesaikan tugasnya dalam waktu tiga bulan dan menyerahkannya kepada pemerintah dan parlemen.
Mendesak kepada pemerintah supaya menunda pemberian konsesi dan izin eksplorasi baru sampai tugas yang diberikan kepada Komisi Negara tentang masalah pertambangan selesai.
Dalam mosi tersebut juga diusulkan agar pemerintah dalam waktu singkat meninjau kembali Indische Mijn Wet 1899, undang-undang kolonial yang masih tetap dipakai sebagai dasar pengelolaan minyak di Indonesia. IMW dianggap tidak sesuai lagi dengan asas-asas pokok pemikiran bangsa Indonesia.[7]
Untuk memenuhi mosi tersebut pada tanggal 13 September1951 pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP) yang bertugas menyelidiki masalah-masalah pertambangan termasuk pertambangan minyak dan gas bumi dan menyusun rancangan undang-undang untuk menggantikan IMW 1899.[8]
Hasan, dalam pidatonya mengenai mosi tersebut mengatakan bahwa kelompok Tiga Besar (Shell, Stanvac dan Caltex)[9] pada hakikatnya menerima lima kali lebih banyak daripada yang dilaporkannya. Ia berpendapat bahwa hal itu disengaja agar harga minyak mentah lebih murah dari yang semestinya, dan sebagai bukti dia mengutip sebuah penawaran dari suatu kelompok perusahaan minyak Jepang yang bersedia membayar minyak mentah Rp.950 per ton, dibandingkan dengan Rp.100 per ton yang dilaporkan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dalam kaitannya dengan pembayaran pajak. Kedua, menurut Mr. T. M Hasan, perusahaan-perusahaan minyak itu dengan sengaja mempertinggi ongkos operasinya secara tidak wajar.
Yang menarik di sini adalah pembicaraan yang dilakukan oleh Hasan dengan para pejabat perusahaan minyak asing tidak lama setelah isi mosi itu diumumkan. Mereka mengusulkan pembagian keuntungan berdasarkan pola 50:50. Hal ini dijawab Hasan bahwa dengan pola demikian dikhawatirkan biaya operasi akan bisa di mark-up menjadi lebih tinggi.
Ia kemudian mengajukan usul balasan agar hasil produksi minyak di Indonesia dibagi saja antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan minyak asing atas dasar sama banyak. Usulan Hasan tersebut membuat para bos perusahaan minyak asing tercengang dan tidak berani bersuara.[10][11]
Efek dari mosi ini adalah dibentuknya Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP), dan pada Maret1956 Mr. T.M. Hasan ditunjuk sebagai ketua,[12] dan berhasil menasionalisasi beberapa perusahan minyak asing menjadi Permina (1957) dan Pertamin (1961). Kedua perusahaan ini pada tahun 1968 digabung menjadi Pertamina.[13].
[14]
Kehidupan selanjutnya
Memasuki masa Orde Baru, Teuku Mohammad Hasan terkesan menjauh dari keterlibatan di dalam dunia politik.[3] Ia memutuskan kembali ke dunia pendidikan yang telah cukup lama ditinggalkannya dengan merintis pendirian Universitas Serambi Mekkah di Banda Aceh pada 21 Maret 1984.[15] Ia juga menulis beberapa buku. Salah satu bukunya adalah Sejarah Perminyakan di Indonesia (diterbitkan oleh Yayasan Sari Pinang Sakti, 1985).[16]
Mr. Teuku Muhammad Hasan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 085/TK/Tahun 2006 tertanggal 3 November2006.[17]
(Indonesia) Muhammad Ibrahim (Drs.) (1983) Mr. Teoekoe Moehammad Hasan, Karya dan Pengabdiannya Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek-Proyek dan Dokumentasi Sejarah Nasional
(Indonesia) Teuku Muhammad Hasan (1985) Sejarah Perjuangan Perminyakan Nasional Jakarta: Sari Pinang Sakti.
(Indonesia) Dwi Purwoko (1995) Dr. Mr. T. H. Moehammad Hasan Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa, Jakarta: Sinar Harapan
(Indonesia) Mr. Teuku Moehammad Hasan (1999) Memoir: Gubernur Sumatra dari Aceh ke Pemersatu Bangsa, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, Editor: Dr. T. Mohamad Isa, MPH, MA
(Indonesia) Irma Widyani Roring (2000) Teuku Moehammad Hasan: Perjalanan yang Memberi Mahkota Jakarta: Puri Ratnawangsa Media