Soemantri Brodjonegoro yang lahir di Semarang pada tanggal 3 Juni 1926 adalah anak dari Prof. Drs. R. Soetedjo Brodjonegoro, seorang guru HIS di Semarang yang kemudian diangkat menjadi Kepala Sekolah HIS di Solo[1] dan guru besar Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.[2]
Pada 1933, di usia 7 tahun, memasuki SD, Neutrale Hollands Inlandsche School (HIS) di Semarang. Tahun 1945 berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat SMA Bagian B di Yogyakarta.[1]
Sesuai dengan kemampuan dan bakat yang dimilikinya, melanjutkan pendidikannya ke Technische Hoogeschool (THS) Bandung.[note 1] Tidak lama dapat mengikuti kuliah, karena Revolusi Fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang memanggil dirinya guna ikut serta berjuang. Dalam masa Perang Kemerdekaan itu, ia pernah menjadi Ajudan Kolonel A.H. Nasution yang ketika itu menjadi Panglima Komando Jawa. Setelah perang kemerdekaan berakhir ia mendapat kesempatan melanjutkan pelajaran di Technische Hoogeschool Delft (sekarang Universitas Teknik Delft), Negeri Belanda, sebagai mahasiswa tugas belajar dari Angkatan Perang RI.[1] Dari sekolah ini ia memperoleh dua gelar kesarjanaan, yaitu Insinyur pada tahun 1956 dan Doktor pada 1958. Gelar Scheikunde Ingenieur (insinyur teknik kimia) dari TH Delft diperolehnya pada tanggal 28 April 1956.[3] Gelar Doctor in de Technische Wetenschap (Doktor Ilmu Teknik) dari TH Delft diperolehnya pada tanggal 23 April 1958 setelah mempertahankan disertasi yang berjudul "Aspects on gas chromatography and selective hydrotreating".[note 2]
Mula-mula Dr. Ir. Soemantri Brodjonegoro bertugas sebagai dosen di Departemen Kimia dan Departemen Teknik Kimia di mana ia termasuk generasi pertama staf pengajar putera Indonesia di jurusan-jurusan tersebut.
Soemantri Brodjonegoro termasuk dalam panitia persiapan pendirian "Institut Teknologi" di Kota Bandung dan diangkat sebagai panitera Presidium ITB untuk menjalankan tugas-tugas administrasi penyelenggaraan ITB sejak ITB diresmikan tanggal 2 Maret 1959 hingga tanggal 1 November 1959 ketika Prof. Ir. R. O. Kosasih diangkat sebagai Rektor ITB yang definitif.
Presidium tersebut dipimpin Prof. Ir. R. Soemono yang beranggotakan Prof. Ir. Goenarso; Prof. dr. R. M. Djoehana Wiradikarta; Prof. Ir. Soetedjo; Panitera: Prof. Dr. Ir. R. M. Soemantri Brodjonegoro.[4]
Tahun 1959–1960, ia menjabat sebagai Sekretaris Departemen Kimia ITB dengan Ketua Departemennya waktu itu adalah Prof. dr. R. M. Djoehana Wiradikarta.[5]:145
Tahun 1959–1964, ia menjabat sebagai Ketua Departemen Teknik Kimia ITB.[5]:156
Selain itu pada tahun 1958-1964 dia menjabat pembantu dekan, kemudian Pembantu Rektor[note 3] bidang Akademis ITB.
Selanjutnya pada tahun 1964 di usianya yang ke-38 diangkat sebagai Rektor ke-6 Universitas Indonesia,[6]:11 yang merupakan rektor termuda UI sepanjang sejarahnya hingga saat ini.
Soemantri menjabat Rektor UI dalam dua kali masa jabatan, yaitu tahun 1964-1968 dan tahun 1968-1973.[6]:3[7] Dengan masa jabatan hampir sembilan tahun, tidaklah salah jika ia disebut sebagai Rektor UI dengan masa jabatan terlama hingga saat ini.[8]
Ayah tiga putra ini yang beristerikan dokter Nani Soeminarsari, pernah bertugas di Lembaga Atom, Riset Nasional dan sebagainya - sampai tahun 1964 ketika dia diangkat jadi penasihat dari Lembaga Minyak dan Gas Bumi.[7] Ketiga putranya adalah Prof. Dr. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro - dosen Teknik Mesin ITB, pernah menjabat Dirjen Dikti; Ir. Irsan Soemantri Brodjonegoro, Ph.D - dosen Teknik Kelautan ITB; dan yang paling bungsu Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, SE, MUP, Ph.D. - dosen dan Dekan Fakultas Ekonomi UI, terakhir Menteri Riset dan Teknologi Indonesia pada Kabinet Indonesia Maju.
Pengabdiannya dalam lembaga eksekutif diawali sebagai Menteri Pertambangan dalam Kabinet Ampera tahun 1967, kemudian Menteri Pertambangan dalam Kabinet Pembangunan I dan Kabinet Pembangunan II dan akhirnya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.[7]
Karangan-karangannya dimuat di pelbagai majalah luar negeri, dan kertas kerjanya selalu ada pada setiap seminar lembaga pengetahuan di Indonesia.
Wafat
Pada tanggal 18 Desember 1973 jam 00.15 dinihari di Ruang Perawatan Intensif (ICU) RS Ciptomangunkusumo Jakarta, beliau meninggal dunia dan dikuburkan di Kalibata dengan inspektur upacara Wakil PresidenHamengkubuwono.[7] Setelah wafatnya, namanya diabadikan sebagai nama gunung di Pegunungan Sudirman, Provinsi Papua yakni Puncak Sumantri Brojonegoro. Selain itu, namanya diabadikan sebagai nama stadion olahraga remaja di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, yakni Stadion Soemantri Brodjonegoro serta nama jalan di Kampus UI Depok dan Universitas Lampung.
Tanda Kehormatan
Atas jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara, ia dianugerahi tanda kehormatan dari dalam maupun luar negeri, diantaranya;[9]
^Bagian ini perlu didiskusikan mengingat THS ditutup pada tahun 1942, kemungkinan ia kuliah di STT Bandung atau STT Bandung di Yogya.
^Sistem pendidikan Belanda pada masa itu menetapkan bahwa pemegang ijazah insinyur TH (Delft atau Bandung) dapat langsung menempuh promosi untuk meraih gelar "Doctor in de Technische Wetenschap".
^ abSakri, A. (1979a). Dari TH ke ITB: Kenang-kenangan lustrum keempat 2 Maret 1979, Jilid 1: Selintas perkembangan ITB. Bandung: Penerbit ITB.
^ abWarsa, U. C. (2007). Langkah otonomi Universitas Indonesia menuju universitas riset kelas dunia. Memorandum akhir jabatan Rektor UI masa bakti 2002-2007. Jakarta: Universitas Indonesia.
^Prof. Mahar Mardjono (1973-1983) dan Prof. Sujudi (1986-1994) masing-masing menjabat selama delapan tahun.
^Departemen Pendidikan dan Kebudyaan , Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Indonesia (1984). Menteri-Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 1966. Indonesia: S. Sumardi. hlm. 54.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)