Pada usia 35 tahun K.H. Saifuddin Zuhri menjabat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merangkap Pemimpin RedaksiHarian Duta Masyarakat dan anggota Parlemen Sementara. PresidenSoekarno mengangkatnya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI pada usia 39 tahun, lalu mengangkatnya menjadi Menteri Agama ketika berusia 43 tahun.
Kisah pengangkatannya sebagai Menteri Agama, pada tanggal 17 Februari 1962, tepat pada hari Jum’at, ia diminta menghadap ke Istana Merdeka. Banyak teka-teki memenuhi benaknya ketika dia memenuhi panggilan Bung Karno. Apakah karena urusan DPR atau DPA? Apa urusan NU? Atau surat kabar Duta Masyarakat? Ternyata dalam pertemuan itu Bung Karno minta K.H. Saifuddin Zuhri agar menjadi Menteri Agama, menggantikan K.H. Wahib Wahab yang mengundurkan diri.
“Penunjukan Saudara sudah saya pikir masak-masak. Telah cukup lama saya pertimbangkan. Sudah lama saya ikuti sepak terjang Saudara sebagai wartawan, politisi, dan pejuang. Saya dekatkan Saudara menjadi anggota DPA. Saya bertambah simpati. Baru-baru ini Saudara saya ajak keliling dunia, dari Jakarta ke Beograd, Washington, lalu Tokyo. Saya semakin mantap memilih Saudara sebagai Menteri Agama,” ujar Bung Karno ketika itu.
Permintaan ini tidak serta merta diambil oleh KH. Saifuddin Zuhri, tetapi justru meminta pendapat terlebih dahulu kepada tokoh NU, khususnya K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Idham Chalid. Selain itu, ia juga bertemu dengan K.H. Wahib Wahab dan mencari tahu kenapa Bung Karno memilih dia untuk menggantikan K.H. Wahib Wahab yang mundur sebagai Menteri Agama. Setelah bertemu dengan tokoh-tokoh tersebut dan semua mendukung, K.H. Saifuddin Zuhri menerima penunjukannya sebagai Menteri Agama.
Pada periode kepemimpinannya sebagai Menteri Agama inilah, dunia pendidikan tinggi Islam berkembang pesat. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) berkembang di sembilan provinsi, masing-masing memiliki cabang di kota kabupaten.
Awal Kehidupan
Ayahnya bernama Haji Muhammad Zuhri dari keluarga petani yang taat beragama. Ibunya bernama Siti Saudatun, salah seorang cucu Kiai Asraruddin, seorang ulama yang berpengaruh dan memimpin sebuah pesantren kecil di daerahnya. Ketika tak dapat menghindari penunjukan Bupati (Regent) Banyumas untuk memangku jabatan penghulu, pengaruh Kiai Asraruddin bertambah besar. Jadilah ia seorang ulama, politisi, pejuang sekaligus seorang penghulu.
K.H. Saifuddin Zuhri dibesarkan dalam pendidikan pesantren di daerah kelahirannya, sebuah pesantren kecil yang tidak tenar namanya. Masa mudanya ditempuh dalam keprihatinan untuk mendidik diri sendiri. Ia memasuki pergerakan pemuda dalam tempaan zaman pergolakan bersenjata dan pergerakan politik. Pada usia 19 tahun ia dipilih menjadi pemimpin Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama Daerah Jawa Tengah Selatan, dan Konsul Nahdlatul 'Ulama Daerah Kedu merangkap Guru Madrasah. Berbarengan dengan itu ia aktif dalam dunia kewartawanan, menjadi koresponden kantor berita Antara (kini Lembaga Kantor Berita Nasional Antara) dan beberapa harian dan majalah.
Perjuangan
K.H. Saifuddin Zuhri diangkat sebagai Komandan Divisi Hizbullah Jawa Tengah dan Anggota Dewan Pertahanan Daerah Kedu ia memimpin laskar Hizbullah untuk bersama-sama pasukan TKR di bawah pimpinan Kol. Soedirman, dan berbagai pasukan kelasykaran rakyat lainnya ikut pertempuran Ambarawa (yang terkenal dengan peristiwa Palagan Ambarawa) itu dan berhasil mengusir penjajah. Karena keterlibatan aktif, sungguh-sungguh, dan penuh kepahlawanan dari KH. Saifuddin Zuhri dalam Perang Ambarawa dan perang gerilya lainnya, maka Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menganugerahkan “Tanda Kehormatan Bintang Gerilya”, sesuai dengan SK Presiden Republik Indonesia No. 2/Btk/1965 tanggal 4 Januari 1965.
Selain dari Pemerintah Republik Indonesia, KH. Saifuddin Zuhri sering mendapatkan penghargaan berupa tanah dari masyarakat. Dalam surat hibah tanah itu ditulis ucapan terima kasih kepada Komandan Hizbullah KH. Saifuddin Zuhri karena telah membantu menyelamatkan keluarganya pada zaman revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, tanah itu tidak dijadikan sebagai tanah pribadi. KH. Saifuddin memberikan tanah itu kepada kiai lokal untuk dijadikan sebagai pesantren atau lembaga pendidikan Islam.
Kenapa KH. Saifuddin Zuhri meminta agar tanah yang diterima dari orang kaya yang pernah ditolongnya menjadi pesantren? Baginya, pesantren merupakan lembaga di mana para pelajar dididik secara holistik, baik secara intelektual maupun secara mental. Lebih dari itu, pesantren merupakan basis dan pondasi untuk memupuk nasionalisme, terutama di kalangan umat Islam. Pesantren yang biasanya didatangi pelajar dari penjuru tanah air merupakan “kawah candradimuka” yang paling ampuh untuk mengenalkan persaudaraan antar sesama bangsa yang dalam tradisi Nahdlatul Ulama sering disebut dengan ukhuwah wathaniyah.
(1979) Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
(1981) Kaleidoskop Politik Indonesia (tiga jilid)
(1982) Unsur Politik dalam Dakwah
(1983) Secercah Dakwah
Berangkat dari Pesantren – karyanya yang rampung menjelang akhir hayat.
Akhir Hayat
K.H Saifuddin Zuhri termasuk tokoh penting dalam Jamiyah NU, baik ketika sebagai ormas pada masa perjuangan kemerdekaan, sebagai partai politik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun sewaktu bergabung bersama partai Islam lainnya dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada masa Orde Baru. Bersama ormas Islam terbesar yang didirikan tahun 1926 itu, KH. Saifuddin Zuhri memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata dan perjuangan politik untuk mencapai, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Dalam pembangunan karakter bangsa, ia menyebarkan pandangan-pandangan Islam Ahlus-Sunnah wal Jama'ah yang identik dengan Islam Rahmatan lil 'Alamin, mengembangkan paham nasionalisme Islam Indonesia dalam kerangka mempertahankan NKRI dan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Riwayat hidup dan sejarah perjuangannya yang panjang dalam berbagai medan khidmah sebagai sebagai ulama-pejuang, politisi dan pejabat negara, disadari oleh KH Saifuddin Zuhri, terlalu sayang kalau sampai terlupakan dalam sejarah. Karena itu ia mengabadikannya dalam sebuah buku berjudul Berangkat dari Pesantren yang ia selesaikan penulisannya pada 10 September 1985, kurang lebih enam bulan sebelum wafatnya, 25 Februari 1986. Buku ini akan menjadi saksi sejarah yang berharga tentang makna perjuangan, pengabdian dan pengorbanan anak bangsa untuk lahirnya sebuah Negara yang merdeka, berdaulat, maju dan sejahtera. Buku yang terbit pada tahun 1987 yang ternyata menjadi karya terakhirnya itu, pada 3 Oktober 1989, mendapat penghargaan Buku Utama kategori Bacaan Dewasa bidang Humaniora dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Bintang Jasa dan Kehormatan
Pada usia 45 tahun KH. Saifuddin Zuhri diwisuda menjadi Guru Besar Luar Biasa dalam bidang dakwah dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu, Saifuddin Zuhri juga mendapat bintang jasa dan kehormatan berikut.
Bintang Gerilya, No. 0006/V/65, SK Presiden RI No. 2/BTK/Th 1965, 4 Januari 1965, oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia, Sukarno.
Satyalancana Peristiwa Perang Kemerdekaan Kedua No. M/B/217/64/ B-4-11-1964 oleh Menteri Koordinator Pertahahan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata RI, Djenderal TNI Dr. A.H. Nasution
Satyalancana G.O.M I, No. M/B/217/64, oleh Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata RI, Djenderal TNI Dr. A.H. Nasution
Satyalancana G.O.M V, No. M/B/217/64, oleh Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata RI, Djenderal TNI Dr. A.H. Nasution
Satyalancana G.O.M VI, No. M/B/217/64, oleh Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata RI, Djenderal TNI Dr. A.H. Nasution
Bintang Equitem Commendatorem Ordinis Sancti Silvestri Papae dari Sri Paus di Vatican, Roma, Tahun 1965
Penghargaan Buku Utama kategori Buku Bacaan Dewasa bidang Humaniora atas buku berjudul Berangkat dari Pesantren (Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 1987), pada 3 Oktober 1989, oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Fuad Hasan.