Ia lahir di Rantau, Tapin pada 25 Februari1909. Ia menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School di Samarinda, kemudian melanjutkan ke Gemoontelijke MULO Avondshool di Batavia Genrum, sekarang Jakarta karena politik etis Belanda yang pada saat itu membolehkan mereka yang bukan ningrat untuk melanjutkan pendidikan mereka. Saat itu jarang putra Kalimantan yang bukan keturunan ningrat dapat memasuki dunia pendidikan Eropa. Dengan kesadaran itu Hamidhan sangat menekuni pendidikannya di sana.[3]
Karier
Pra-kemerdekaan
Sejak muda, ia mengabdikan dirinya untuk dunia pers. A.A.Hamidhan sebenarnya sudah berkecimpung di dunia jurnalistik sejak tahun 1927, ketika menjadi anggota redaksi surat kabarPerasaan Kita di Samarinda dan anggota redaksi Bintang Timur yang terbit di Jakarta.[3]
Soeara Kalimantan merupakan surat kabar pribumi pertama yang didirikan A.A. Hamidhan di Banjarmasin. Didirikan pada tanggal 23 Maret1930. Pengaruh dari surat kabar ini besar. Langkah Anang Abdul Hamidhan itu kemudian diikuti wartawan pribumi lainnya.[4] Dalam tempo singkat, 14 koran/majalah terbit di Borneo Selatan dalam kurun waktu 1930-1942.[4]
Ia pernah tiga kali kena persdelict (delik pers) dan kemudian dibui. Dua bulan penjara di Cipinang, pada tahun 1930; enam minggu penjara di Banjarmasin, 1932 dan yang terakhir enam bulan di Banjarmasin, 1936.[3] Memang, pada saat itu, umumnya wartawan atau pemimpin redaksi rata-rata adalah anggota organisasi partai politik.
Pada tanggal 13 April1938, ia mengikuti konferensi wartawan di Bandung, Jawa Barat.[3] Ia menulis dalam artikel Kalau Menghadapi Suatu Persdelict, "Dimasa itu, boleh dikata suatu surat kabar tanpa merasakan persdelict, bagaikan sayur tanpa garam, hambar."[3]
Pada zaman Jepang, tepatnya pada tanggal 5 Maret1942 ia menerbitkan surat kabar Kalimantan Raya.[5] Sebelumnya, yakni pada zaman Belanda surat kabar Soeara Kalimantan milik Anang Abdul Hamidhan tidak luput dari tindakan pengrusakan yang dilakukan oleh pasukan AVC Belanda oleh karena kerusuhan politik di Kota Banjarmasin (9-10 Februari 1942). Bahkan, pengrusakan dinomor-satukan dibandingkan dengan fasilitas khusus dan fasilitas umum lainnya yang ada di kota ini.[5]
Hamidhan, editor dan penerbit harian Suara Kalimantan dan mingguan Suara Hulu Sungai, disuruh pihak Jepang untuk menerbitkan Kalimantan Raya yang diterbitkan pada Maret 1942.[6]
Kemudian, dilanjutkan pada awal Mei 1942, seorang staf harian Jepang Asahi Simboen mengambil kontrol surat kabar Kalimantan Raya dan dinamai ulang sebagai Borneo Simboen.[6] Setelah surat kabarnya diambil kontrol, ia dipaksa menjadi pemimpin redaksi Borneo Simboen. Selanjutnya, ia merekrut wartawan-wartawan pribumi A.A. Rivai, adiknya (Pengganti Pengurus/Pimpinan Redaksi), Gusti Ahmad Soegian Noor, Fachrudin Mohani (keponakan Hamidhan), Marwan Ali, Zaglulsyah, Ahmad Basuni, Sjahransjah, Abdul Wahab, Rosita Gani, Golek Kentjana, dan Janti Tajana.[5][Note 1]
Selama pendudukan Jepang ini, ia bekerja di bawah tekanan kolonial. Seperti, ketika bekerja di Surat Kabar Borneo Shimboen, A.A. Hamidhan sempat mendapat peringatan keras dari penguasa militer Dai Nippon.[5] Ketika itu surat kabar yang dipimpinnya memuat berita seremonial pelepasan atau upacara perpisahan yang dilakukan oleh sejumlah penduduk di suatu kampung di daerah ini atas seregu bala tentara Dai Nippon yang akan pindah tugas ke kampung lain. Beruntung, pihak Jepang memaafkan dengan catatan kejadian tersebut tak terulang lagi.[5]
Kemudian, dia menulis artikel sejarah menurut kesaksian dia sendiri Sekitar Mukaddimah UUD 1945: Untuk Memperlengkap Kebenaran Sejarah, ia mengatakan bahwasanya menurut kesaksian Hamidhan, penghilangan 7 kata dalam Pembukaan UUD 1945 tidaklah terjadi perdebatan besar seperti yang dikatakan orang awam, semua berjalan lancar. Kalaupun ada perdebatan, itu mengikuti sesudahnya.[3]
Pada tanggal 18 Agustus, PPKI mengadakan rapat pertamanya. Di akhir rapat, Presiden Soekarno menunjuk 9 orang[Note 2] sebagai anggota Panitia Kecil yang ditugasi untuk menyusun rancangan yang berisi hal-hal yang sifatnya mendesak yaitu pembagian negara, kepolisian, tentara kebangsaan, dan perekonomian.[8]
Keesokan harinya, pada dinihari 19 Agustus Otto Iskandardinata mengadakan rapat. Ia ditawari jabatan sebagai gubernur Kalimantan yang pertama, tetapi ia menolaknya. Malah, ia menyerahkan jabatannya ke Pangeran Muhammad Noor. Saat itu, Pangeran berada di Pulau Jawa, yaitu Bandung.[7] Adapun, hasil yang diperoleh dari Panitia Kecil itu adalah Pangeran Moh. Noor menjadi calon gubernur.[8]
Bersama A.A.Rivai (adik Hamidhan), pada tanggal 24 Agustus mereka datang dari Jawa untuk membawa berita kemerdekaan.[9] Selanjutnya, Borneo Shimbun yang ada di Banjarmasin dan Kandangan juga ikut menyiarkan berita proklamasi tersebut, termasuk menyiarkan UUD 1945, pengangkatan Pangeran Muhammad Noor sebagai gubernur Kalimantan. Ia juga dipercaya sebagai pemimpin dari Kalimantan di Jawa agar mendirikan PNI, BKR, dan KNIP daerah Kalimantan.[9][10]
Pada tanggal 30 Oktober1945, ia bertemu dengan Hasan Basry. Hasan Basry memintanya agar menyebarkan pamflet tentang kemerdekaan Indonesia di Amuntai. Sementara itu, Hasan Basry juga membuat perjuangan untuk mengumpulkan kekuatan di Kalimantan Selatan.[11]
Seusai Konferensi Meja Bundar, ia mengubah nama surat kabarnya Soeara Kalimantan jadi Indonesia Merdeka. Pada tahun 1961, surat kabarnya dijual. Hamidhan mengaku kecewa dengan kebebasan pers yang ditekan pemerintah dan kurang dari semangat proklamasi.[7]
Setelah surat kabarnya dijual, Hamidhan ditawari oleh keponakannya, Fachrudin Mohani untuk mengawasi dua hotel miliknya, Hotel Banyuwangi (Banyuwangi) dan Hotel Wisma Andhika (Surabaya). Satu atau dua bulan sekali Hamidhan balik ke Banjarmasin untuk menengok keluarganya. Pekerjaan ini berjalan sampai tahun 1975.[7]
Kehidupan pribadi
A.A. Hamidhan mempunyai seorang istri bernama Siti Aisyah. Mereka meninggalkan 7 orang anak dan 11 orang cucu. Dan sebuah buku biografi dirinya dikarang oleh Soimun Hp, dari pihak Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (Indonesia) pada tahun 1987. Buku itu bertajuk H.A.A. Hamidhan:pejuang dan perintis pers di Kalimantan.[7]
^Menurut buku The Japanese Occupation of Borneo, 1941-45 [Pendudukan Jepang di Borneo, 1941-45], ia tidaklah menjadi kepala redaksi, tetapi ia menjadi manager dan editor di Borneo Simboen. Barulah, pada tahun 1945 ia diangkat menjadi kepala redaksi
Ahok, Pasifikus; Ismail, Slamet; Tjitrodarmono, Wijoso (1992). Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Kalimantan Barat. Pontianak: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Barat. OCLC17778029.