Mukti Ali
Prof. Dr. K.H. Abdul Mukti Ali (23 Agustus 1923 – 5 Mei 2004) adalah mantan Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan II.[1] Ia juga terkenal sebagai Ulama ahli perbandingan agama yang meletakkan kerangka kerukunan antarumat beragama di Indonesia sesuai dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika atau istilah yang sering dipakainya "Setuju dalam Perbedaan."[1] Ia juga terkenal sebagai cendekiawan muslim yang menonjol sebagai pembaharu pemikiran Islam melalui Kajian Keislaman (Islamic Studies).[1] Riwayat HidupKehidupan awalMukti Ali memiliki nama kecil Soedjono (Sujono), tetapi sumber lain ada yang menyebutkan Boedjono (Bujono).[1][2] Sedangkan nama Abdul Mukti Ali sendiri ia dapat dari pemberian K.H. Hamid Pasuruan ketika menjadi gurunya.[2] Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara.[3] Mukti Ali hidup di kalangan keluarga yang berkecukupan.[4] Ayahnya bernama Idris, atau Haji Abu Ali (nama yang digunakan setelah menunaikan haji) adalah seorang pedagang tembakau yang cukup sukses.[3] Sedangkan ibunya bernama Mutiah, atau Hj. Khodijah (nama yang digunakan setelah menunaikan haji) adalah seorang saudagar kain.[5] Latar belakang pendidikanPendidikan pesantrenMeskipun Haji Abu Ali memiliki pendidikan yang sangat rendah, yakni hanya diperolehnya dari mengaji kitab di pesantren di Cepu, tetapi ia termasuk orang tua yang sangat memikirkan pendidikan anaknya.[3] Pada usia delapan tahun, Mukti Ali menempuh pendidikan formalnya dengan masuk HIS (Hollandsch Inlandsche School), sekolah milik Pemerintah Hindia Belanda setingkat Sekolah Dasar.[4] Di samping itu, ia juga mengaji (belajar agama Islam) di Madrasah Diniyah (Sekolah Islam) di Cepu, yang kegiatan belajarnya berlangsung sore harinya.[3][5] Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS dan mendapat sertifikat pegawai pemerintah Belanda (Klein Ambtenar Examen), Mukti Ali melanjutkan dikirim ke Pondok Pesantren Assalam di Cepu untuk belajar al-Qur'an kepada Kiai Usman.[5] Di bawah asuhan Kiai Usman yang terkenal tegas, Mukti Ali belajar membaca al-Qur'an dengan fasih dan tartil menurut kaidah ilmu tajwid.[5] Pada pertengahan tahun 1940, Mukti Ali lalu dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Termas, Pacitan, di bawah asuhan K.H. Dimyati dan puteranya K.H. Abdul Hamid Dimyati.[1][3] Ia intensif mempelajari berbagai kitab klasik seperti Nahwul Wadlih, Balaghatul Wadhihah, Jurumiyah, Alfiyah, Taqrib, Iqna', 'Mustalah Hadis', 'Jam'ul Jawami', dan lain-lain.[4][5] Di pesantren tradisional ini Mukti Ali mengaji di bawah asuhan kiainya dan banyak belajar dan berdiskusi dengan para seniornya.[1] Di antara para senior Mukti Ali tersebut adalah K.H. Abdul Hamid (asal Lasem yang kemudian menetap di Pasuruan) dan K.H. Ali Ma'sum (Rais Aam Syuriyah PBNU 1981-1984).[1] Di Pesantren ini juga Mukti Ali bersama K.H. Ali Ma'sum sempat merintis berdirinya madrasah, yang kemudian K.H. Ali Ma'sum menjadi kepala sekolah dan Mukti Ali menjadi wakilnya.[1] Setelah selesai belajar agama di Pesantren Termas, Mukti Ali malanjutkan pendidikan agamanya di Pesantren Hidayah, Saditan, Lasem, Rembang di bawah asuhan K.H. Maksum, ayah dari K.H. Ali Ma'sum, sahabat dan gurunya di pesantren Termas.[1] Meskipun kedua pesantren yang pernah ia singgahi untuk belajar tersebut berbasis Nahdlatul Ulama, tetapi Mukti Ali tumbuh dan berkembang menjadi ulama intelektual dan ulama pembaharu yang berpengaruh.[1] Pendidikan akademikSetelah menuntaskan pendidikan agamanya di berbagai pesantren, Mukti Ali pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat itu baru saja berdiri.[2] Ia memutuskan Fakultas Agama sebagai pilhannya.[2] STI inilah yang kelak dikenal sebagai Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.[2] Dan ketika di Yogyakarta inilah Mukti Ali aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) hingga menjadi perwakilan PII di Pakistan.[butuh rujukan] Pada tahun 1950, Mukti Ali meneruskan perjalanannya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.[3] Selanjutnya, ia memutuskan untuk pergi ke Karachi, Pakistan.[3] Dengan kemampuan bahasa Arab, Belanda, dan Inggris yang baik, Mukti Ali diterima di program sarjana muda di Fakultas Sastra Arab, Universitas Karachi.[3] Ia mengambil program Sejarah Islam sebagai bidang spesialisasinya.[3] Lima tahun kemudian, Mukti Ali mampu menamatkan program tingkat sarjana mudanya sekaligus melanjutkan program Ph.D di universitas yang sama.[5] Pada bulan Agustrus 1955, ia tiba di Montreal, Kanada, untuk melanjutkan belajarnya di Universitas McGill dengan mengambil spesialisasi Ilmu Perbandingan Agama.[5] Referensi
|