Ahmad Bahauddin Nursalim
Ahmad Bahauddin Nursalim,[1] lebih dikenal sebagai Gus Baha[2] (lahir 29 September 1970), merupakan penceramah yang berasal dari Rembang. Gus Baha menikah dengan Ning Winda asal Pesantren Sidogiri Pasuruan.[3] Ia dikenal sebagai salah satu ulama ahli tafsir yang memiliki pengetahuan mendalam seputar al-Qur'an. Ia merupakan salah satu murid dari ulama kharismatik, Kiai Maimun Zubair. Gus Baha merupakan putra dari seorang ulama pakar Al-Qur’an dan juga pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA, Kiai Nursalim al-Hafizh, dari Narukan, Kragan, Rembang.[4] Kiai Nursalim merupakan murid dari Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam, Kajen, Mergoyoso, Pati. Nasabnya bersambung kepada para ulama besar. Bersama Kiai Nursalim, KH Hamim Jazuli (Gus Miek) memulai gerakan Jantiko (Jamaah Anti Koler) yang menyelenggarakan kajian Al-Qur’an secara keliling.[5] Jantiko kemudian berganti Mantab (Majelis Nawaitu Topo Broto), lalu berubah jadi Dzikrul Ghafilin. Kadang ketiganya disebut bersamaan: Jantiko-Mantab dan Dzikrul Ghafilin.[6] Dari silsilah keluarga ayah, Gus Baha’ merupakan generasi ke-4 ulama-ulama ahli Al-Qur'an. Sedangkan dari silsilah keluarga ibu, Gus Baha menjadi bagian dari keluarga besar ulama Lasem, dari Bani Mbah Abdurrahman Basyeiban atau Mbah Sambu.[7] KeluargaSetelah menyelesaikan pendidikannya di Sarang, Gus Baha’ menikah dengan seorang anak Kiai yang bernama Ning Winda pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Ada cerita menarik dengan pernikahan Gus Baha. Sebelum lamaran, dia menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu. Beliau mengutarakan kehidupan beliau bukan model kehidupan yang glamor, melainkan kehidupan yang sangat sederhana. Beliau berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk berpikir ulang atas rencana pernikahan tersebut. Tentu maksud beliau agar mertuanya tidak kecewa di kemudian hari. Namun mertuanya hanya tersenyum dan mertuanya hanya mengatakan "klop" alias sami mawon kalih kulo (sama saja dengan saya). Kesederhanaan Gus Baha’ dibuktikan saat beliau berangkat ke Pondok Pesantren Sidogiri untuk melangsungkan upacara akad nikah yang telah ditentukan waktunya. Gus Baha’ berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus kelas ekonomi. Kesederhanaan beliau bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil. Setelah menikah, Gus Baha’ mencoba hidup mandiri dengan keluarga barunya. Gus Baha’ menetap di Yogyakarta. Selama di Jogja, beliau menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecilnya.[8] Semenjak Gus Baha’ menetap di Yogyakarta, banyak santri-santri beliau di Karangmangu yang merasa kehilangan. Hingga pada akhirnya mereka menyusul Gus Baha’ ke Yogya dan urunan atau patungan untuk menyewa rumah di dekat rumah beliau. Tiada tujuan lain selain untuk tetap bisa mengaji kepada beliau. Ada sekitar 5 atau 7 santri mutakhorijin al-Anwar maupun MGS yang ikut ke Yogya. Saat di Yogya inilah kemudian banyak masyarakat sekitar rumah Gus Baha’ yang akhirnya minta ikut ngaji kepada beliau. KeilmuanGus Baha' kecil dididik belajar dan menghafalkan al-Qur'an secara langsung oleh ayahnya dengan menggunakan metode tajwid dan makhorijul huruf secara disiplin. Hal ini sesuai dengan karakteristik yang diajarkan oleh guru ayahnya, yaitu KH. Arwani Kudus. Kedisiplinan tersebut membuat Gus Baha’ di usianya yang masih muda, mampu menghafalkan Al-Qur'an 30 Juz beserta Qira'ahnya. Menginjak usia remaja, ayahnya menitipkan Gus Baha' untuk mondok dan berkhidmah kepada Syaikhina KH. Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang.[9] Pondok al-Anwar tepat berada sekitar 10 km arah timur dari rumahnya. Di Pondok Pesantren al-Anwar inilah keilmuan Gus Baha’ mulai menonjol seperti ilmu hadis, fikih, dan tafsir. Dalam ilmu hadis, Gus Baha’ mampu mengkhatamkan hafalan Sahih Muslim lengkap dengan matan, rawi dan sanadnya. Selain Sahih Muslim beliau juga mengkhatamkan dan hafal isi kitab Fathul Mu'in dan kitab-kitab gramatika bahasa arab seperti 'Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik. Bahkan menurut sebuah cerita, dengan banyaknya hafalan yang dimiliki oleh Gus Baha’, menjadikan beliau sebagai santri pertama al-Anwar yang memegang rekor hafalan terbanyak. Selain itu, menurut cerita lain juga menyebutkan bahwa, ketika akan mengadakan forum musyawarah atau bahtsul masa’il di pondok, banyak teman-teman Gus Baha’ yang menolak kalau Gus Baha’ untuk ikut dalam forum tersebut, sebab beliau dianggap tidak berada pada level santri pada umumnya karena kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan banyaknya hafalan yang dimiliki oleh beliau. Maka, atas dasar kedalaman keilmuan yang dimiliki Gus Baha’, hal ini yang kemudian membuat Gus Baha’ diberi kepercayaan untuk menjadi Rois Fathul Mu'in dan Ketua Ma'arif di jajaran kepengurusan Pesantren al-Anwar.[10] Selain menonjol dengan keilmuannya, beliau juga merupakan sosok santri yang dekat dengan kiainya. Dalam berbagai kesempatan, beliau sering mendampingi guru beliau Syaikhana KH. Maimoen Zubair untuk berbagai keperluan. Mulai dari sekedar berbincang santai, hingga urusan mencari ta'bir dan menerima tamu-tamu ulama-ulama besar yang berkunjung ke al-Anwar. Hingga beliau dijuluki sebagai santri kesayangan Syaikhana KH. Maimoen Zubair. Dalam sebuah cerita, beliau pernah dipanggil untuk mencarikan ta'bir tentang suatu persoalan oleh Syaikhina. Karena saking cepatnya ta'bir itu ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, hingga Syaikhana pun terharu dan berkata "Iyo Ha'... Koe pancen cerdas tenan" (Betul Ha'... Kamu memang cerdas sekali).[11] Gus Baha' juga kerap dijadikan contoh teladan oleh Syaikhana saat memberikan mawa'izh di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal. "Santri tenan iku yo koyo Baha' iku...." (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha' itu....) begitu kurang lebih perkataan Syaikhana. Selain mengeyam pendidikan di Pondok Pesantren al-Anwar Rembang, pernah suatu ketika ayahnya menawarkan kepada Gus Baha’ untuk mondok di Rushaifah atau Yaman. Namun, Gus Baha’ menolaknya dan lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya Madrasah Ghozaliyah Syafi'iyyah PP. al-Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA. Setelah ayahnya wafat pada tahun 2005, Gus Baha' melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di pondoknya, pondok pesantren LP3IA Narukan. Saat menjadi pengasuh di pondoknya, banyak santri yang ada di Yogyakarta merasa kehilangan atas kepulangan beliau ke Narukan. Akhirnya para santri pergi sowan dan memintanya mau kembali ke Yogyakarta, hingga pada akhirnya Gus Baha bersedia, tetapi hanya satu bulan sekali. Selain menjadi pengasuh di pondoknya dan mengisi pengajian di Yogyakarta, Gus Baha juga diminta untuk mengisi pengajian tafsir al-Qur'an di Bojonegoro, Jawa Timur. Adapun untuk waktunya dibagi-bagi, di Yogya minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro minggu kedua setiap bulannya. Hal tersebut, Gus Baha’ lakukan secara rutin sejak 2006 hingga sekarang. KeistimewaanSebagai seorang santri tulen, yang berlatar belakang pendidikan non-formal dan non-gelar, Gus Baha' diberi keistimewaan untuk menjadi sebagai Ketua Tim Lajnah Mushaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.[12] Gus Baha' duduk bersama para Profesor, Doktor dan ahli-ahli Al-Qur'an dari seluruh Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yang lain.[13] Pada suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof. Quraisy bahwa kedudukan Gus Baha' di Dewan Tafsir Nasional selain sebagai mufassir, juga sebagai mufassir faqih karena penguasaan beliau pada ayat-ayat ahkam yang terkandung dalam al-Qur'an. Setiap kali lajnah menggarap tafsir dan mushaf al-Qur'an menurut Prof. Quraisy, posisi Gus Baha’ selalu di dua keahlian, yakni sebagai mufassir seperti anggota lajnah yang lain, juga sebagai Faqihul Qur'an yang mempunyai tugas khusus mengurai kandungan fikih dalam ayat-ayat ahkam Al-Qur'an[14] TeladanTeladan yang bisa ditiru dari Gus Baha' adalah tentang kesederhanaanya. Kesederhanaan yang dipraktikan Gus Baha’ bukan berarti keluarga Gus Baha’ adalah keluarga yang miskin, karena kalau dilihat dari silsilah lingkungan keluarganya, tiada satupun keluarganya yang miskin. Bahkan kakek Gus Baha’ dari jalur ibu merupakan juragan tanah di desanya. Saat dikonfirmasi oleh penulis perihal kesederhanaan beliau, beliau menyatakan bahwa hal tersebut merupakan karakter keluarga Qur'an yang dipegang erat oleh leluhurnya. Ada salah satu wasiat dari ayahnya yang mengatakan agar Gus Baha' menghindari keinginan untuk menjadi manusia mulia. Hal inilah yang hingga kini mewarnai kepribadian dan kehidupan beliau sehari-hari.[15] Karya1. حفظنا لهذا المصحف لبهاء الدين بن نور سالم Kitab ini adalah kitab yang ditulis oleh Gus Baha’ yang menjelaskan tentang rasm Usmani yang dilengkapi dengan contoh dan penjelasan yang disandarkan pada kitab al-Muqni' karya Abu 'Amr Usman bin Sa'id ad-Dani (w. 444 H.). Kitab ini berguna bagi siapapun untuk mengetahui bagaimana memahami karakteristik penulisan al-Qur’an di dalam mushaf rasm Usmani.[16] 2. Tafsir al-Qur an versi UII dan al-Qur’an terjemahan versi UII Gus Baha' (2020). Salah satu ciri khas tafsir dan terjemahan UII yang ditulis oleh Gus Baha' dan timnya adalah tafsir ini dikontekstualisasikan untuk membaca Indonesia dan dengan rasa Indonesia. Tafsir dan terjemahan UII ini sama sekali tidak mengubah dari keaslian al-Qur’an itu sendiri.[17] ReferensiCatatan Kaki
|