Ulama
Ulama (bahasa Arab: العلماء, har. 'orang-orang berilmu, para sarjana') merupakan orang-orang yang memiliki dan ahli dalam ilmu agama dan ilmu-ilmu umum lainnya yang berkaitan dengan kemaslahatan umat adalah cendikiawan doktrin dan hukum islam. Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitabnya Jami’ul Bayan mengartikan ulama sebagai orang yang Allah SWT jadikan sebagai pemimpin umat manusia berkaitan dengan perkara hukum Islam, dan penafsiran ilmu agama dalam Islam di dunia. Sedangkan menurut Ibnul Qayyim dalam I’lamu Muwaqqi’in, ulama itu ialah seorang pakar dalam hukum Islam, yang berhak berfatwa di tengah-tengah umat, yang menyibukkan diri dengan mempelajari hukum-hukum Islam dan menyimpulkannya, serta yang merumuskan kaidah-kaidah halal dan haram.[1] Di Indonesia, orang-orang yang disebut ulama ialah orang-orang yang memiliki keahlian dalam bidang agama terutama fiqih, serta orang yang memiliki integritas moral, akhlak yang baik, dan dekat/melebur dengan umat, utamanya masyarakat lapisan bawah. Dengan syarat di ataslah, seseorang baru “diakui” sebagai ‘alim oleh umatnya. Adapun orang yang hanya ahli dalam suatu bidang keilmuan lebih cenderung disebut sebagai intelektual atau cendekiawan muslim.[2] Dalam Al-Qur’an, ayat yang membahas terkait Ulama ialah QS Fathir: 28, yaitu:
Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Tafsir Al-Misbah menyebut ulama sebagai seorang yang memiliki pengetahuan yang jelas terhadap agama, Al-Qur’an, dan ilmu fenomena alam. Pengetahuan tersebut mengantarkan seseorang memiliki rasa khasyyah (takut) kepada Allah. Ulama juga mempunyai kedudukan sebagai pewaris Nabi yang mampu mengemban tugas-tugasnya serta memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah. Namun seseorang dikatakan ulama tidak terbatas pada simbol, atribut, ataupun gelar yang melekat pada dirinya seperti Kyai, Ustadz, dan pendakwah, karena hal tersebut dapat menimbulkan kekeliruan dalam menilai seseorang. Dengan demikian, konsep ulama menurut Quraish Shihab ialah mengacu pada sifat-sifat, bukan hanya sekadar pada gelar atau atribut llahiriah semata. Artinya, kemuliaan tidak bergantung pada gelar atau jabatan tertentu, melainkan pada ketakwaan dan kecintaan manusia kepada Allah ditambah dengan ilmu agama yang mumpuni yang dengan ilmu itu memberikan dampak positif terhadap kehidupan manusia secara umum. Ini menunjukkan bahwa ulama juga termasuk kaum intelektual yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya.[3] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|