Dalam catatan sejarah, Kesultanan Bolango merupakan salah satu Kerajaan di Gorontalo yang keras menentang hadirnya penjajah Belanda di Pulau Sulawesi. Selain itu, para pembesar negeri dari Kesultanan Bolango juga berperan dalam dakwah dan penyebaran agama Islam di wilayah itu.
Salah satu Raja Bolango yang mahsyur dan terkenal adalah Sultan Ibrahim Duawulu atau dikenal masyarakat dengan nama "Raja Hubulo" atau "Raja Gobel" yang bergelar "Ti Aulia Salihin" yang berarti Sang Aulia yang taat menjalan syariat agama Islam.[2] Adapun tokoh nasional Rachmat Gobel merupakan keturunan dari Raja Hubulo yang dapat ditelusuri dari nasab Ayahnya, Thayeb Mohammad Gobel.
Sejarah
Bolango atau Bulango adalah nama sebuah suku kecil bernama Suku Bolango yang menjadi bagian dari etnis Gorontalo sekaligus nama kerajaan tradisional yang teritorial kekuasaannya pernah menempati daerah bernama Tapa, Gorontalo. Setelah datangnya Pemerintah Hindia Belanda ke Gorontalo, tentu membawa perubahan formasi sosial, teritorial, ekonomi, dan politik pada Kerajaan Bolango.
Kebijakan penjajah yang semakin menyulitkan raja dan para bangsawan Bolango membuat mereka melakukan migrasi ke beberapa wilayah dan akhirnya menyatu dan membentuk Kerajaan Bolaang Uki di Molibagu, sekarang wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara.[3]
Dalam catatan Haga dijelaskan penduduk Bolango berasal dari Suwawa. Sebagian menetap di Tapa dan membentuk kerajaan baru, sedangkan sebagian lainnya menetap di Atinggola (Haga, 1931:1-2).
Namun, sumber lain menjelaskan bahwa kelompok Bolango pada awalnya adalah suku pengembara laut. J.G.F. Riedel menyebut Bolango sebagai kelompok footloose atau suku yang seringkali melakukan migrasi (Henley, 2005:183).
Peristiwa-peristiwa Kerajaan Bolango di wilayah Tapa dapat direkonstruksi dengan baik kalau kita memahami ciri-ciri sosial-kulturalnya dalam lingkup kekuatan dan kekuasaan politik wilayah Gorontalo. Salah satu ciri mendasarnya, adalah kedudukan serta peranan Bolango dalam lingkup Limo Lo Pohalaa, atau persekutuan lima kerajaan yaitu Gorontalo (Hulontalo), Limboto (Limutu), Bone-Suwawa-Bintauna, Bolango, dan Atinggola atau Andagile (Haga, 1931:1-2; Tacco, 1935:81).
Dalam dinamika persekutuan Limo Lo Pohalaa, Bolango punya identitas dalam konteks sejarah di wilayah itu. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, terjadi perubahan besar pada eksistensi kerajaan Bolango, tepatnya terjadi setelah raja dan para pembesar Kerajaan Bolango memutuskan untuk melakukan perpindahan pusat kerajaan bersama dengan para pengikutnya, yang pada akhirnya membentuk kerajaan baru di Molibagu atau di Bolaang Uki.
Akhirnya kedudukan Bolango dalam persekutuan Limo Lo Pohalaa di Gorontalo digantikan kedudukannya oleh Boalemo.
Kerajaan Bolango mengalami kemajuan setelah masuk dalam persekutuan Limo Lo Pohalaa yang artinya adalah persekutuan lima kerajaan yang bersaudara dan secara bersama-sama berpedoman pada agama dan adat istiadat yang sama. Tentu kelimanya punya kepentingan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan militernya yang sama dan diupayakan bersama.
Pada struktur birokrasi Kerajaan Bolango terdapat penguasa tertinggi yang dijabat olongia lipu (raja negeri). Di awal pembentukan kerajaan, olongia dibantu oleh tiga wulea lo lipu dan tiga walaapulu.
Perkembangan kerajaan selanjutnya, struktur birokrasi kerajaan mengalami perluasan dengan menambahkan jabatan huhuhu, apitalau, dan kadli.
Pada pelaksanaan pemerintahan kerajaan terdapat olongia sebagai penguasa tertinggi (wisesa) yang dibantu huhuhu (saudara tua) yang bertugas membantu menjalankan urusan pemerintahan bersama wulea lo lipu dan walaapulu. Selain itu, mereka bertugas mengatur hukum, dan tata tertib kerajaan.
Adapun untuk urusan keamanan kerajaan dijabat apitalau, sebagai panglima yang menjaga keamanan kerajaan dan mengatur pasukan jika kerajaan dalam perang.
Pada tingkat struktur masyarakat terdapat 5 lapisan sosial, yaitu:
Pertama, olongia dan keluarganya.
Kedua, ponimpalo sebagai bangsawan atau golongan yang berhak menduduki jabatan huhuhu.
Ketiga adalah timbuli atau disebut juga bangsawan menengah, golongan tersebut hanya berhak menjabat sebagai wulea lo lipu.
Keempat adalah golongan penduduk kebanyakan sebagai abdi yang merdeka.
Kelompok kelima adalah wato atau budak (Lipoeto, 1949:3).
Dari gambaran birokrasi di atas tampak jelas bahwa peranan olongia, huhuhu, dan wulea lo lipu sangat besar dan penting dalam kelangsungan suatu kerajaan. Di samping merumuskan dan menetapkan peraturan dalam kerajaan, para pejabat tinggi kerajaan tersebut juga mengatur kehidupan keagamaan dan adat istiadat.
Pusat Pemerintahan
Tapa
Kedudukan pusat pemerintahan Kerajaan Bolango terletak di Tapa yang kini masuk sebagai bagian dari Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
Pada 1862, para kerabat kerajaan akhirnya melakukan migrasi dari Tapa menuju Bolang Uki untuk bergabung dengan para kerabatnya. Walaupun beberapa penduduk Bolango masih memilih menetap di Tapa, sedang sebagiannya lagi tersebar di Bintauna, Suwawa, Tibawa, Batudaa, Paguyaman, Kwandang, Atinggola, Boalemo, dan Pohuwato.
Sehubungan raja dan pembesar Bolango mengungsi ke Bolaang Uki yang kini masuk dalam wilayah Bolaang Mongondow Selatan, maka untuk mempertahankan status persekutuan Limo lo Pohalaa, maka kedudukan Bolango digantikan Boalemo yang sebelumnya masuk dalam vasal atau kekuasaan Limboto.
Eksistensi Kerajaan Bolango kemudian berakhir dan digantikan oleh Kerajaan Bolaang Uki dengan para raja dan bangsawannya merupakan keluarga Kerajaan Bolango dari Tapa, Gorontalo.
Lambang Kerajaan
Dalam ornamen ukiran pada makam Raja Bolango, Ibrahim Duawulu ditemukan lambang Kerajaan Bolango yang terdiri dari dua kuda jantan yang mengapit di kiri dan kanan lambang dengan keris yang menghunus keatas dibagian tengah.
Masuknya Agama Islam
Masuknya Islam di Kerajaan Bolango pada tahun 1530 atau lima tahun sebelum kepemimpinan Raja Datau berakhir.
Proses penyebaran Islam terus dilakukan dengan cara penyampaian dakwah dan pendidikan oleh para ulama atau Aulia yang ada di Gorontalo.
Selain itu, aktifitas dakwah dan penyebaran Islam di Gorontalo memasuki masa emasnya di masa pemerintahan Raja Ibrahim Duawulu. Karena kegigihannya, Raja Ibrahim Duawulu dikenal sebagai salah satu penyiar agama Islam di Teluk Tomini hingga menyebar luas diluar Gorontalo, meluas sampai ke Sulawesi Utara.
Daftar Pustaka Rujukan
Alwi, Des. 2005. Sejarah Maluku: Banda Nairas, Ternate, Tidore da√√ Ambon. Jakarta: Dian Penduduk.
Bastiaans, J. 1996. “Persekutuan Limbotto dan Gorontalo”, dalam Taufik Abdullah (ed.) Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Botutihe, Medi dan Farah Daulima. 2007. Sejarah Perkembangan Limo Pohalaa di Daerah Gorontalo. Limboto: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’I Bungale.
Casparis, J.G de. 1975. Indonesian Palaeography: A History of Writing In Indonesian From The Beginning To C. A.D 1500. Leiden/ Koln: E. J. Brill.
Frederick, William H. & Soeri Soeroto (peny.). 1984. Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.
Gobel, Deddy A. 2012. Daftar Raja-Raja Bolango dan Napak Tilas yang Dilakukan Suku Bangsa Bolango. Molibagu: tp.
Gottshalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Dalam Nugroho Notosusanto (terj.). Jakarta: UI Press.
Haga, B.J. 1931. De Lima-pahalaä (Gorontalo): Volksordening, adatrecht en bestuurspolitiek. LXXI. Bandoeng: A.C Nix & Co, 1931.
Henley, David. 2005. Fertility, Food and Fever: Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930. Leiden: KITLV.
Joesoef, S dan Bakir Gobol. 1986. Sejarah Suku Bolango Dari Masa Ke Masa dan Perjuangannya Menyambut Proklamasi 17 Agustus 1945. tp.
Juwono, Harto dan Yosephine Hutagalung. 2005. Limo Lo Pohalaa Sejarah Kerajaan Gorontalo. Yogyakarta: Ombak.
Kartodirdjo, Sartono. 2014. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Benteng.
Lipoeto, M.H. 1949. Sedjarah Gorontalo: Dua Lima Pohalaa. X. Gorontalo: Pertjetakan Ra’jat Gorontalo.
Munir, Rozy. 1981. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Nur, S.R. 1949. Sejarah Perkembangan Limo Pohalaa Di Daerah Gorontalo. tp.
Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Abad XIX: Studi Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Polontalo, Ibrahim. 1986. Proses Masuk dan berkembangnya Kekuasaan Pemerintahan Hindia-Belanda di Gorontalo Abad XVII sampai Abad XIX. Gorontalo: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sam Ratulangi Manado di Gorontalo.
Riedel, J.G.F. 1862. Pada menjatakan babarapa perkara deri pada hhikajatnja tuwah tanah Minahasa sampej palla adatangan orang kulit putih Nederlanda itu. Batavia: Landsdrukkerij. [“Inilah Pintu Gerbang pengatahuwan ltu Apatah Dibukakan Guna Orang-Orang Padudokh Tanah Minahasa Ini”].
-----------. 1870. “Het landschappen Holontalo, Limoeto, Bone, Boalemo en Katinggola of Andagile: geographische, statistische, h i s t o r i s c h e e n e t h n o g r a p h i s c h e aanteekeningen”, Tijdschrijt voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG), XIX.
Sneddon, J dan H.T. Usup. 1986. Shared Sound Changes In The Gorontalic Language Group: Implications for Subgrouping. Leiden: KITLV.
Soedjamoko, (ed.). 2007. An Introduction to Indonesian Historiography. Jakarta: Equinox Publishing Indonesia.
Tacco, Richard. 1935. Het Volk Van Gorontalo: (Historich Traditioneel Maatschappelijk Cultural Sociaal Karakteristiek en Economisch). Gorontalo: Yo Un Ann.