Demokrasi Terpimpin, juga dikenal sebagai Orde Lama, adalah sistem politik yang berlaku di Indonesia dari tahun 1959 sampai Orde Baru dimulai pada tahun 1966. Periode ini mengikuti pembubaran periode demokrasi liberal di Indonesia oleh Presiden Soekarno, yang memusatkan kendali atas nama stabilitas politik. Ia mengklaim telah mendasarkan sistem tersebut pada sistem desa tradisional yang berlandaskan pada musyawarah dan mufakat, yang berlangsung di bawah bimbingan para tetua desa. Namun, pada tingkat nasional, ini berarti pemerintahan terpusat di bawah Sukarno: darurat militer, pengurangan besar-besaran terhadap kebebasan sipil dan norma-norma demokrasi, dan TNI dan Partai Komunis Indonesia bertindak sebagai blok-blok kekuatan utama.
Soekarno mengusulkan tiga campuran nasionalisme, agama, dan Komunisme menjadi konsep pemerintahan Nas-A-Kom atau Nasakom yang kooperatif. Hal ini dimaksudkan untuk memuaskan empat faksi utama dalam politik Indonesia—TNI, kaum nasionalis sekuler, kelompok Islam, dan kaum komunis. Dengan dukungan militer, ia memproklamasikan Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959 dan mengusulkan kabinet yang mewakili semua partai politik utama termasuk Partai Komunis Indonesia, meskipun partai-partai tersebut tidak pernah benar-benar diberi posisi kabinet fungsional.
Latar belakang
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno:[butuh rujukan]
Dari segi perekonomian: Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
Dari segi politik: Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota Konstituante. Pemungutan suara ini dilakukan pada 30 Mei, 1 Juni, dan 2 Juni 1959 dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.[butuh rujukan]
Hasil pemungutan suara hari pertama menunjukan bahwa: 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945 dan 119 orang menolak untuk kembali ke UUD 1945. Meskipun suara terbanyak menyetujui opsi kembali ke UUD 1945, suara tersebut belum mencapai 2/3 dari jumlah suara, yaitu 312 suara sehingga pemungutuan suara harus diulangi.[1] Pemilihan hari kedua menunjukan bahwa: 264 setuju dan 204 menolak. Adapun pemilihan hari ketiga menunjukan bahwa: 263 setuju dan 203 menolak.[2]
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekret yang disebut Dekret Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959:[3]
Setelah diberlakukannya Dekrit Presiden diberlakukan, keterlibatan militer dalam politik dan lembaga politik kian meluas. Pada 10 Juli 1959, Sukarno mengumumkan Kabinet Kerja, sepertiganya menteri berasal dari militer.[4]
Partai Komunis Indonesia (PKI) menyambut "Demokrasi Terpimpin" Soekarno dengan hangat dan anggapan bahwa Soekarno mempunyai mandat untuk mengakomodasi persekutuan konsepsi yang sedang marak di Indonesia kala itu, yaitu antara ideologi nasionalisme (sekuler), agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.[5]
Pada 19 Desember 1961, Soekarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat. Soekarno kemudian membentuk Komando Mandala Pembebasan irian Barat yang dipimpin Soeharto.[6] Menurut Aco Manafe, PKI menjadi pendukung utama Trikora untuk meraih simpati Soekarno.[7] PKI juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk adat yang tidak menghendaki integrasi dengan Indonesia.[8]
Presiden Sukarno kemudian menunjuk DN Aidit dan Nyoto dari PKI sebagai anggota Front Nasional untuk memperjuangkan Irian Barat.[9]
Keterlibatan Amerika Serikat
Di era Demokrasi Terpimpin, antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk bantuan militer untuk jenderal-jenderal militer Indonesia. Menurut laporan di media cetak "Suara Pemuda Indonesia": Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalyon angkatan bersenjata Indonesia. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja bukan untuk mendukung Soekarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara bebas".[10]
Dampak ke situasi politik
Era "Demokrasi Terpimpin" diwarnai kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani Indonesia. Kolaborasi ini tetap gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak Indonesia kala itu. Pendapatan ekspor Indonesia menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi kaum birokrat dan militer menjadi wabah sehingga situasi politik Indonesia menjadi sangat labil dan memicu banyaknya demonstrasi di seluruh Indonesia, terutama dari kalangan buruh, petani, dan mahasiswa.
Simanjuntak, PHH (2003) Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi (Cabinets of the Republic of Indonesia: From the Start of Independence to the Reform era), Penerbit Djambatan, Jakarta, ISBN 979-428-499-8