Teori bencana Toba

Teori bencana Toba
Ilustrasi letusan dilihat dari jarak 42 km (26 mil) di atas Pulau Simeulue.
Gunung apiGunung berapi super Toba
Tanggal69.000–77.000 tahun yang lalu
JenisUltra Plinian
LokasiSumatera Utara, Indonesia
2°41′04″N 98°52′32″E / 2.6845°N 98.8756°E / 2.6845; 98.8756
VEI8.3
DampakLetusan super terkini; mengakibatkan musim dingin vulkanik di Bumi selama 6 tahun, mungkin menyebabkan penyusutan evolusi manusia dan perubahan besar terhadap topografi daerah.[1][dated info]
Danau Toba adalah danau kawah yang terbentuk pasca-letusan.

Letusan super (supereruption) Toba adalah letusan Gunung Toba, sebuah gunung berapi super, yang terjadi antara 69.000 dan 74.000 tahun yang lalu di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, Indonesia. Letusan ini diakui sebagai salah satu letusan gunung terdahsyat di Bumi. Hipotesis bencana Toba berpendapat bahwa peristiwa alam ini mengakibatkan musim dingin vulkanik di seluruh dunia selama 6–10 tahun dan masa pendinginan selama 1.000 tahun.

Peristiwa Toba merupakan letusan super yang paling sering diteliti.[2][3][4] pada tahun 1993, jurnalis sains Ann Gibbons memaparkan adanya hubungan antara letusan Toba dan penyusutan populasi manusia. Michael R. Rampino dari New York University dan Stephen Self dari University of Hawaii at Manoa mendukung ide tersebut. Tahun 1998, teori penyusutan dikembangkan lebih jauh oleh Stanley H. Ambrose dari University of Illinois at Urbana-Champaign.

Letusan super

Letusan Toba atau peristiwa Toba terjadi di daerah yang saat ini merupakan Danau Toba sekitar 73.000±4000 yr Sebelum Masehi (Before Christ; BC).[5][6] Letusan ini merupakan yang terakhir dan terbesar dari empat letusan Toba selama kala Kuarter. Letusan ini dikenal juga dengan sebutan Youngest Toba Tuff atau YTT.[7][8] Letusan ini memiliki Indeks Letusan Vulkanik sebesar 8 ("apokaliptik") atau magnitudo ≥ M8; efek letusan terhadap kompleks kaldera seluas 100X30 km sangat besar.[9] Perkiraan ekuivalen batuan padat (DRE) terhadap volume eruptif letusan ini berkisar antara 2000 km3 dan 3000 km3 – perkiraan DRE yang paling lazim adalah 2800 km3 (sekitar 7×1015 kg) berwujud magma letusan dan 800 km3 di antaranya mengendap dalam bentuk debu vulkanik.[10] Massa letusannya 100 kali lebih besar daripada letusan gunung terbesar dalam sejarah modern, letusan Gunung Tambora di Indonesia tahun 1815 yang mengakibatkan "Tahun Tanpa Musim Panas" 1816 di belahan utara Bumi.[11]

Letusan Toba terjadi di Indonesia dan menghasilkan lapisan endapan debu setebal kira-kira 15 sentimeter di seluruh Asia Selatan. Debu vulkanik juga mengendap di Samudra Hindia, Laut Arab, dan Laut Cina Selatan.[12] Inti laut dalam yang diambil dari Laut Cina Selatan telah membuktikan besarnya jangkauan letusan, sehingga perhitungan massa letusan sebesar 2800 km3 dianggap sebagai jumlah minimum atau bahkan terlalu kecil.[13]

Musim dingin vulkanik dan pendinginan

Letusan Toba tampaknya terjadi bersamaan dengan munculnya periode glasial terakhir. Michael L. Rampino dan Stephen Self berpendapat bahwa letusan tersebut mengakibatkan "pendinginan singkat yang dramatis atau 'musim dingin vulkanik'" yang menurunkan suhu permukaan rata-rata dunia sebesar 3–5 °C dan mempercepat transisi dari suhu panas ke dingin dalam siklus glasial terakhir.[14] Bukti dari inti es Greenland menunjukkan adanya periode minim δ18O selama 1.000 tahun dan peningkatan endapan debu setelah letusan Toba. Letusan ini bisa jadi menghasilkan periode suhu dingin selama 1.000 tahun tersebut (stadial); dua abad di antaranya disebabkan oleh bertahannya muatan stratosfer Toba.[15] Rampino dan Self yakin bahwa pendinginan global sudah berlangsung saat letusan terjadi, namun prosesnya lambat; YTT "mungkin memberi 'tendangan' kuat sehingga sistem iklim beralih dari suhu panas ke dingin".[16] Walaupun Clive Oppenheimer menolak hipotesis bahwa letusan ini menyebabkan periode glasial terakhir,[17] ia setuju bahwa letusan Toba menyebabkan iklim dingin selama satu milenium sebelum peristiwa Dansgaard-Oeschger abad ke-19.[18]

Menurut Alan Robock,[19] yang pernah menerbitkan sejumlah makalah tentang musim dingin nuklir, letusan Toba tidak mendahului periode glasial terakhir. Namun dengan asumsi adanya emisi sulfur dioksida sebesar enam miliar ton, simulasi komputernya menunjukkan bahwa pendinginan global maksimum sebesar 15 °C terjadi selama tiga tahun setelah letusan, dan pendinginan tersebut bertahan selama beberapa dasawarsa dan bersifat mematikan. Karena tingkat selang adiabatik jenuh untuk suhu di atas titik beku adalah 4,9 °C/1.000 m,[20] garis pohon dan garis salju pada waktu itu lebih rendah 3.000 m (9.900 ft). Iklim kembali pulih setelah beberapa dasawarsa, dan Robock tidak menemukan bukti bahwa periode dingin 1.000 tahun yang tercatat di inti es Greenland diakibatkan oleh letusan Toba. Berbeda dengan Robock, Oppenheimer percaya bahwa perkiraan penurunan suhu permukaan sebesar 3–5 °C mungkin terlalu tinggi. Ia berpendapat bahwa suhu turun sebesar 1 °C saja.[21] Robock mengkritik Oppenheimer karena analisisnya didasarkan pada hubungan T-forcing yang sederhana.[22]

Meski ada berbagai macam perkiraan, para ilmuwan sepakat bahwa letusan super sebesar letusan Toba pasti menghasilkan lapisan debu yang sangat luas dan pelepasan gas beracun dalam jumlah besar ke atmosfer, sehingga memengaruhi iklim dan cuaca di seluruh dunia.[23] Selain itu, data inti es Greenland memperlihatkan perubahan iklim yang mendadak pada masa letusan Toba,[24] tetapi tidak ada konsensus bahwa letusan ini secara langsung menciptakan periode dingin 1.000 tahun yang tercatat di Greenland atau periode glasial terakhir.[25]

Para arkeolog yang menemukan lapisan debu vulkanik kaca mikroskopik di sedimen Danau Malawi pada tahun 2013, dan menghubungkan debu tersebut dengan letusan super Toba 75.000 tahun yang lalu, melihat tidak adanya perubahan jenis fosil yang dekat dengan lapisan debu yang terbentuk pasca musim dingin vulkanik. Bukti ini membuat arkeolog menyimpulkan bahwa letusan gunung berapi terbesar sepanjang sejarah umat manusia tidak mengubah iklim Afrika Timur.[26][27]

Teori penyusutan genetik

Letusan Toba telah dikaitkan dengan penyusutan genetik evolusi manusia sekitar 50.000 tahun yang lalu[28][29] yang terjadi akibat berkurangnya jumlah manusia karena efek letusan terhadap iklim global.[30]

Menurut teori penyusutan genetik, antara 50.000 dan 100.000 tahun yang lalu, populasi manusia berkurang tajam menjadi 3.000–10.000 orang.[31][32] Teori ini didukung oleh bukti genetik yang menunjukkan bahwa umat manusia masa kini adalah keturunan dari sedikit sekali manusia, antara 1.000 sampai 10.000 pasangan, sekitar 70.000 tahun yang lalu.[33]

Pendukung teori penyusutan genetik berpendapat bahwa letusan Toba mengakibatkan bencana ekologi global, termasuk kehancuran tanaman diiringi kekeringan parah di sabuk hutan hujan tropis dan kawasan monsun. Contohnya, musim dingin vulkanik selama 10 tahun yang diakibatkan letusan telah melenyapkan sebagian besar sumber makanan manusia dan menyebabkan berkurangnya populasi manusia.[22] Perubahan lingkungan seperti ini bisa jadi menghasilkan penyusutan populasi beberapa spesies, termasuk hominid;[34] penyusutan ini mempercepat diferensiasi dari populasi manusia yang sedikit. Karena itu, perbedaan genetik di kalangan manusia modern merupakan cerminan perubahan yang terjadi pada 70.000 tahun terakhir, bukan diferensiasi bertahap selama jutaan tahun.[35]

Penelitian lain memunculkan keraguan terhadap teori penyusutan genetik. Misalnya, peralatan batu kuno di India selatan ditemukan di atas dan di bawah lapisan debu tebal dari letusan Toba dan bentuknya serupa, artinya awan debu dari letusan tersebut tidak memusnahkan populasi di daerah ini.[36][37][38] Bukti arkeologi lain dari India selatan dan utara juga menunjukkan sedikitnya bukti dampak letusan terhadap penduduk setempat, sehingga para peneliti berkesimpulan bahwa "banyak makhluk hidup yang selamat dari letusan super ini, bertentangan dengan penelitian lain yang menunjukkan kepunahan hewan dan penyusutan genetik dalam jumlah besar".[39] Akan tetapi, bukti dari analisis serbuk sari memperlihatkan adanya deforestasi panjang di Asia Selatan. Sejumlah peneliti berpendapat bahwa letusan Toba mungkin memaksa manusia menggunakan strategi adaptasi yang baru, sehingga mereka dapat menggantikan manusia Neanderthal dan "spesies manusia kuno lainnya".[40] Pendapat tersebut tidak sejalan dengan bukti keberadaan Neanderthal di Eropa dan Homo floresiensis di Asia Tenggara yang masing-masing selamat dari letusan ini selama 50.000 dan 60.000 tahun.[41]

Kekurangan lain dalam teori penyusutan pasca-Toba adalah sulitnya memperkirakan dampak iklim global dan regional letusan ini dan sedikitnya bukti pasti letusan ini sebelum penyusutan.[42] Selain itu, analisis genetik urutan Alu di seluruh genom manusia memperlihatkan bahwa ukuran populasi manusia yang efektif kurang dari 26.000 orang pada 1,2 juta tahun yang lalu. Penjelasan yang memungkinkan untuk rendahnya jumlah leluhur manusia meliputi penyusutan populasi yang terjadi berulang-ulang atau peristiwa penggantian periodik dari subspesies Homo lain.[43]

Penyusutan genetik manusia

Teori bencana Toba berpendapat bahwa penyusutan populasi manusia terjadi sekitar 70.000 tahun yang lalu. Jumlah manusia berkurang menjadi kurang lebih 15.000 orang ketika Toba meletus dan mengakibatkan perubahan lingkungan besar, termasuk musim dingin vulkanik.[44] Teori ini didasarkan pada bukti geologi perubahan iklim mendadak pada waktu itu dan penggabungan beberapa gen (termasuk DNA mitokondria, kromosom Y, dan sejumlah gen inti)[45] serta variasi genetik yang relatif rendah pada manusia modern.[44] Misalnya, menurut sebuah hipotesis, DNA mitokondria manusia (diwariskan dari garis ibu/maternal) dan DNA kromosom-Y (diwariskan dari garis bapak/paternal) masing-masing bergabung sekitar 140.000 dan 60.000 tahun yang lalu. Ini menunjukkan bahwa leluhur perempuan semua manusia modern berasal dari satu perempuan (Eva mitokondria) sekitar 140.000 tahun yang lalu, dan leluhur laki-lakinya berasal dari satu laki-laki (Adam kromosom-Y) sekitar 60.000 sampai 90.000 tahun yang lalu.[46]

Namun, gabungan seperti itu dapat diperkirakan secara genetik dan tidak benar-benar menentukan penyusutan populasi karena DNA mitokondria dan DNA kromosom Y hanya merupakan sebagian kecil dari genom manusia. Keduanya bersifat tidak biasa (atipikal) sehingga diwariskan secara eksklusif melalui ibu atau bapak. Kebanyakan gen diwariskan secara acak dari bapak atau ibu, jadi tidak bisa dilacak sampai ke leluhur matrilineal atau patrilineal.[47] Gen-gen lain memiliki jumlah gabungan sejak 2 juta sampai 60.000 tahun yang lalu, sehingga memunculkan keraguan terhadap peristiwa penyusutan manusia dalam jumlah besar.[44][48]

Penjelasan lain yang memungkinkan mengenai sedikitnya variasi genetik manusia modern adalah model transplantasi atau "penyusutan panjang", bukan perubahan lingkungan akibat bencana.[49] Ini konsisten dengan pendapat bahwa populasi manusia di Afrika sub-Sahara berkurang hingga 2.000 orang selama 100.000 tahun, kemudian bertambah pada Zaman Batu Terakhir.[50]

TMRCA lokus, kromosom Y, dan mitogenom dibandingkan dengan persebaran probabilitasnya dengan asumsi populasi manusia bertambah dari 11.000 orang pada 75.000 tahun yang lalu

Salah satu hambatan studi lokus tunggal adalah besarnya keacakan proses penentuan (fixation process), dan studi yang mempertimbangkan keacakan ini memperkirakan populasi manusia yang efektif sekitar 11.000–12.000 orang.[51][52]

Penyusutan genetik mamalia lain

Sejumlah bukti menunjukkan adanya penyusutan genetik pada hewan lain pasca letusan Toba. Simpanse Afrika Timur,[53] orangutan Kalimantan,[54] monyet India tengah,[55] cheetah, harimau,[56] dan pemisahan kelompok gen inti gorila daratan rendah timur dan barat[57] berhasil mengembalikan populasinya dari jumlah yang sangat sedikit sekitar 70.000–55.000 tahun yang lalu.

Migrasi pasca Toba

Persebaran geografis populasi manusia saat letusan terjadi tidak diketahui secara pasti. Manusia yang selamat mungkin tinggal di Afrika dan bermigrasi ke wilayah lain di dunia. Analisis DNA mitokondria memperkirakan bahwa migrasi besar dari Afrika terjadi 60.000–70.000 tahun yang lalu.[58] Jumlah tersebut konsisten dengan perkiraan waktu letusan Toba sekitar 66.000–76.000 tahun yang lalu.

Akan tetapi, temuan arkeologi terbaru menunjukkan bahwa populasi manusia di Jwalapuram, India Selatan, mungkin selamat dari efek letusan.[59] Selain itu, dipaparkan pula bahwa populasi hominid terdekat, seperti Homo floresiensis di Flores, selamat karena mereka tinggal di daerah yang membelakangi angin dari Toba.[60]

Lihat pula

Kutipan dan catatan

  1. ^ John Savino; Marie D. Jones (2007). Supervolcano: The Catastrophic Event That Changed the Course of Human History: Could Yellowstone Be Next. Career Press. hlm. 140. ISBN 978-1-56414-953-4. [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ Chesner & others 1991, p. 200; Jones 2007, p. 174; Oppenheimer 2002, pp. 1593–1594; Ninkovich & others 1978
  3. ^ "The Toba Supervolcano And Human Evolution". Toba.arch.ox.ac.uk. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-12. Diakses tanggal 2013-08-05. 
  4. ^ http://www.geo.mtu.edu/~raman/VBigIdeas/Supereruptions_files/Super-eruptionsGeolSocLon.pdf
  5. ^ Ninkovich & others 1978.
  6. ^ Chesner & others 1991.
  7. ^ Chesner & others 1991, p. 200; Jones 2007, p. 174; Oppenheimer 2002, pp. 1593–1594; Ninkovich & others 1978
  8. ^ Rose & Chesner 1987, p. 913; Zielinski & Mayewski 1996.
  9. ^ Oppenheimer 2002, p. 1593.
  10. ^ Jones 2007, p. 174; Rose & Chesner 1987, p. 913.
  11. ^ Petraglia & others 2007, p. 114; Zielinski & others 1996, p. 837.
  12. ^ Jones 2007, p. 173
  13. ^ Jones 2007, p. 174; Oppenheimer 2002. pp. 1593–1596.
  14. ^ Rampino & Self 1993a, passim.
  15. ^ Zielinski & others 1996, pp. 837–840.
  16. ^ Rampino & Self 1992, p. 52; Rampino & Self 1993a, p. 277.
  17. ^ (Robock & others 2009) tampaknya setuju dengan pendapat ini.
  18. ^ Oppenheimer 2002, p. 1606.
  19. ^ Robock & others 2009.
  20. ^ Adiabatic Lapse Rate, IUPAC Goldbook
  21. ^ Oppenheimer 2002, pp. 1593, 1601.
  22. ^ a b Robock & others 2009.
  23. ^ Self & Blake 2008, p. 41.
  24. ^ Zielinski & others 1996, p. 837.
  25. ^ Robock & others 2009 (page?).
  26. ^ "Doubt over 'volcanic winter' after Toba super-eruption. 2013". Phys.org. 2013-05-02. Diakses tanggal 2013-08-05. 
  27. ^ http://www.pnas.org/content/early/2013/04/24/1301474110.full.pdf+html
  28. ^ Gibbons 1993, hlm. 27
  29. ^ (Rampino & Self 1993)
  30. ^ Ambrose 1998, passim; Gibbons 1993, p. 27; McGuire 2007, pp. 127–128; Rampino & Ambrose 2000,Templat:Cnf pp. 78–80; Rampino & Self 1993b, pp. 1955.
  31. ^ Ambrose 1998; Rampino & Ambrose 2000,Templat:Cnf pp. 71, 80.
  32. ^ Supervolcanoes, BBC2, 3 February 2000
  33. ^ "When humans faced extinction". BBC. 2003-06-09. Diakses tanggal 2007-01-05. 
  34. ^ Rampino & Ambrose 2000,Templat:Cnf p. 80.
  35. ^ Ambrose 1998,Templat:Cnf pp. 623–651.
  36. ^ "Mount Toba Eruption – Ancient Humans Unscathed, Study Claims". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-08. Diakses tanggal 2008-04-20. 
  37. ^ Sanderson, Katherine (July 2007). "Super-eruption: no problem?". Nature. doi:10.1038/news070702-15. Diarsipkan dari versi asli (– Scholar search) tanggal 2008-12-07. Diakses tanggal 2008-12-12. 
  38. ^ John Hawks. "At last, the death of the Toba bottleneck". 
  39. ^ Lihat pula "Newly Discovered Archaeological Sites in India Reveals Ancient Life before Toba". Anthropology.net. 25 February 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-22. Diakses tanggal 28 February 2010. 
  40. ^ "Supervolcano Eruption In Sumatra Deforested India 73,000 Years ago". Science Daily. 24 November 2009. ; Williams & others 2009.
  41. ^ "Environmental Impact of the 73 ka Toba Super-eruption in South Asia – ScienceDirect". Anthropology.net. 24 November 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-22. Diakses tanggal 3 March 2010. ; "New Evidence Shows Populations Survived the Toba Super-eruption 74,000 Years ago". University of Oxford. 22 February 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-30. Diakses tanggal 2014-03-19. 
  42. ^ Oppenheimer 2002, pp. 1605, 1606.
  43. ^ Jika hasil ini akurat, maka sebelum kemunculan Homo sapiens di Afrika, jumlah Homo erectus sangat kecil ketika spesies ini menyebar ke seluruh dunia. Lihat Huff & others 2010, p.6; Gibbons 2010.
  44. ^ a b c Dawkins, Richard (2004), "The Grasshopper's Tale", The Ancestor's Tale, A Pilgrimage to the Dawn of Life, Boston: Houghton Mifflin Company, hlm. 416, ISBN 0-297-82503-8, ISBN 
  45. ^ Ambrose, Stanley H. (February 1, 1998), "Late Pleistocene human population bottlenecks, volcanic winter, and differentiation of modern humans" (PDF), Journal of Human Evolution, Academic Press, 34: 623–651, hu980219, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-09-28, diakses tanggal April 2, 2013 
  46. ^ Dawkins, Richard (2004), The Ancestor's Tale, A Pilgrimage to the Dawn of Life, Boston: Houghton Mifflin Company, ISBN 0-297-82503-8, ISBN 
  47. ^ See the chapter All Africa and her progenies in Dawkins, Richard (1995), River Out of Eden, New York: Basic Books, ISBN 0-465-01606-5, ISBN 
  48. ^ "'Templeton tree' showing coalescence points of different genes". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-12-18. Diakses tanggal 2012-03-10. 
  49. ^ ""Population Bottlenecks and Pleistocene Human Evolution", ''Molecular Biology and Evolution''". Mbe.oupjournals.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-07-05. Diakses tanggal 2012-03-10. 
  50. ^ Rincon, Paul (2008-04-24). "Human line 'nearly split in two'". BBC News. Diakses tanggal 2012-03-10. 
  51. ^ Takahata N (1993), "Allelic genealogy and human evolution", Mol Biol Evol, 10 (1): 2–22, PMID 8450756. 
  52. ^ (Schaffner 2004)
  53. ^ Goldberg 1996.
  54. ^ Steiper 2006.
  55. ^ Hernandez & others 2007.
  56. ^ Luo & others 2004.
  57. ^ Thalman & others 2007.
  58. ^ "New 'Molecular Clock' Aids Dating Of Human Migration History". ScienceDaily. Diakses tanggal 2009-06-30. 
  59. ^ Petraglia & others 2007, passim.
  60. ^ "Human species before and after the genetic bottleneck associated with Toba". Andaman.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-03. Diakses tanggal 2012-03-10. 

Referensi

Pranala luar