Kerajaan Tagulandang adalah sebuah kerajaan yang terletak di Sulawesi Utara yang berdiri selama 512 tahun dimana kerajaan tersebut setidaknya dipimpin 19 orang Raja dan 3 orang pejabat Raja. Kerajaan tersebut bermula pada tahun 1570 saat didirikan oleh Ratu Lohoraung, dan berakhir pada 1942 di masa Raja Willem Philips Jacobz Simbat.[1]
Menurut berbagai sumber, Tagulandang sempat menjadi kerajaan maritim besar di belahan utara pulau Sulawesi. Terletak di pulau Tagulandang, Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, dengan kotaraja pertama berpusat di Tulusan. Sejarawan Adrianus Kojongian mengutip sumber-sumber tertulis Eropa mengungkapkan, cakupan luas kerajaan Tagulandang meliputi pulau-pulau Tagulandang, Pasige (Pasigi), Ruang, Biaro, Selangka, Seha, Sehakadio, Batutombonang, Kauhagi dan Tandukuang.[1]
Menurut E.de Waal pada tahun 1825, kerajaaan tersebut terdiri atas tiga negeri besar. Tagulandang di sebelah barat, tempat kedudukan raja, lalu Haas di timur dan Minanga di bagian utara. Ibukota negeri Tagulandang terbagi atas tiga kampung, yakni: Tagulandang, Malio-mara (Balahumara) dan Bakula (Bakulaihi).[2]
Kerajaan ini di utara berbatas kerajaan Siau, timur dengan Laut Maluku, selatan dengan Selat Bangka dan Talise; serta sebelah barat dengan Laut Sulawesi. Dalam tradisi sastra purba Sangihe, kerajaan Tagulandang disebut dengan nama Mandolokang. Namun penulis Barat menamakannya Pangasar, Pangasare atau Panggasane atau juga Panguisara.[1]
Daftar Raja
- Ratu Leheraung (1570-1609)
Putri Raja Mokodompit cucu Raja Binangkang dari Kerajaan Bolaang Mongondow
- Raja Balange (1609-1649)
Ia adalah putra dari Raja Tabukan ke II Pahawuatan dengan permaisuri Taskea dari Tagulandang.
- Raja Anthonie Bawise (1649-1675)
Putra Raja Tabukan ke IV Don Fransisca Makaampow Judha II dengan permaisuri Dolontenge I.
- Raja Philips Anthonie Aralung Nusa (1675-1720)
Putra Raja Anthonie Bawise dengan Permaisuri Bernama Putri Rampelang. Beliau Menandatangani Perjanjian dengan VOC di Ternate pada tanggal 9 November 1677.
- Raja Johanis Batahi Jacobus Manihis (1720-1758)
Putra Raja Siau Hendrik Jacobus Rarame Nusa dengan Permaisuri Putri Beli Philips Anthonie Sehiwu, Merupakan Saudara Kandung Raja Tagulandang ke IV Raja Philips Anthonie Aralung Nusa.
- Raja Josef Tamarel (1758-1798)
Raja yang masa pemerintahannya sangat lama.
- Raja Cornelis Tamarel (1798-1820)
Ia adalah putra dari Raja Josef Tamarel
- Raja Musa Philips Jacobus (1820-1835)
Putra dari Raja Kiria dengan permaisuri Tinagari putra Raja Karula dari Tabukan dengan permaisuri Kelawulaeng. Pusat pemerintahan di Tulusan dipindahkan ke Buhias.
- Raja Johanis Philips Jacobz Amberi (1835-1845)
Putra Raja Musa Philips Jacobz dengan permaisuri Ndiari.
- Raja Frans Philips Jacobz Kumbea (1845-1862)
Saudara dari Raja Johanis Philips Jacobz Amberi.
- Raja Lucas Philips Jacobz Tuwonbange (1862-1870)
Putra Raja Johanis Philips Jacobz Amberi. Ia wafat pada tahun 1870 sebagai korban bencana alam meletusnya Gunung Ruang pada tahun 1870 yang menelan korban sejumlah kurang lebih 450 orang.
- Raja Christian Matheos Makahiking (1870-1879)
- Raja Laurens Philips Jacobz Karangtang (1879-1885)
Mulai darinya pemerintah Belanda memberikan gaji sebesar 1.150 gulden setiap bulan.
- Raja Nicodemus Jacobz Kalandang (1885)
Ia hanya memerintah selama 7 bulan.
- Raja Salmon Bawole Takaliuang (1885-1900)
Ia berasal dari Manganitu
- Raja Laurens Manuel Tamara (1900-1913)
- Raja Cornelis Tamalere (1913-1917)
Setelah Raja Cornelis Tamalere berhenti pada tahun 1917 maka pemerintahan Kerajaan Tagulandang dijalankan oleh Jegugu Johannis Manesseh dibawah pengawasan Raja – Raja / Presiden Raja Siau masing – masing adalah :
- Raja Anthonie. J. K. B.
- Presiden Raja A. D. Laihad
- Raja L. N. Kansil . sampai tahun 1922
- Raja Hendrik Philips Jacobz (1922-1936)
- Raja Willem Philips Jacobz Simbat (1936-1942)
- Paul Adriaan Tiendas (1944) . Syutjo
- Hermanus Obed Hamel (1946) . Jogugu
Pada tahun 1942, Jepang mulai menguasai di bumi Sangihe Talaud dimana Simbat dituduh pro-Belanda dan ia dipancung di Tahuna pada 19 Januari 1945 (ada versi lain yang menyatakan peristiwa itu terjadi pada 7 Juli 1942, atau 9 November 1944) dan berakhir pula riwayat Kerajaan Tagulandang atau Mandolokang. Selanjutnya beralih pemerintahan ke tangan fasisme Jepang dan Jepang mengangkat Paul Tiendas dengan gelar Shucekan.[1][2]
Referensi