Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin atau Kerajaan Banjar adalah sebuah kesultanan yang wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Wilayah Banjar yang lebih luas terbentang dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Kesultanan ini semula beribu kota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terkahir di Martapura. Ketika beribu kota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.[8][9][10][11][12][13][14][15][16]
Kerajaan Banjar berdiri pada Tahun 1520 dan menjadi Kesultanan Banjar sejak 1526 Lalu dihapuskan sepihak oleh Belanda pada 11 Juni 1860. Namun rakyat Banjar tetap mengakui ada pemerintahan darurat/pelarian yang baru berakhir pada 24 Januari 1905. Namun sejak 24 Juli 2010, Kesultanan Banjar hidup kembali dengan dilantiknya Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah,[1] berlandaskan Permendagri No. 39 tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah. Tugas melestarikan lembaga keraton, adat-istiadat, budaya, dan sejenisnya ini dibebankan kepada kepala daerah dan masyarakat.[17] Lewat wewenang tersebut, Sultan Khairul Saleh (Sultan Banjar sekarang) menjalin silaturahmi dengan tokoh-tokoh raja dan sultan se-Nusantara melalui berbagai forum komunikasi kekerabatan guna melestarikan kebudayaan masing-masing daerah di Indonesia. Kegiatan ini tak hanya lingkup nasional bahkan bersifat Internasional.[18]
Wilayah terluas kerajaan ini pada masa kejayaannya disebut empire/kekaisaran Banjar membawahi beberapa negeri yang berbentuk kesultanan, kerajaan, kerajamudaan, kepengeranan, keadipatian dan daerah-daerah kecil yang dipimpin kepala-kepala suku Dayak.
Ketika ibu kotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribu kota di kota Negara, sekarang merupakan ibu kota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Bendera Negara Banjar berwarna kuning di atas dan hitam dibawah dengan Posisi horizontal.[19]
Tradisi lebih lanjut menyatakan bahwa setelah kematian Ampoe Djatmaka (pendiri Negara Dipa), putranya, Limbong Mengkoerat, berhasil membawa keajaiban yang muncul dari aliran Poetri Djoendjoeng Boeih. Seorang putri keluarganya menikahi seorang Pangeran Jawa dari Majapahit, yang memerintah dengan nama Maharaja Soeria Nata dan dianggap sebagai pendiri kekaisaran dan leluhur para pangeran Banjarmasin. Peristiwa itu dan seringnya sentuhan yang ada di antara kedua wilayah itu mungkin merupakan alasan bahwa fondasi Banjarmasin dikaitkan dengan sebuah koloni Jawa. Agaknya Maharaja Soeria Nata tidak lain adalah Tjakra Nagara, putra pangeran Majapahit yang menurut Kronik Jawa Raffles dikirim ke Banjarmasin dengan banyak kapal dan pasukan sebagai penguasa sekitar tahun 1437 setelah kerajaan sebelumnya telah ditundukkan oleh jenderal Ratu Pengging (Andayaningrat).[20]
Kekaisaran sekarang menikmati kedamaian dan kemakmuran di antara serangkaian penguasa dari rumah suku asli. Perbatasannya meluas dari Solok (Karasikan) ke Sambas di sepanjang pantai selatan dan timur Kalimantan. Situasi ini berlangsung hingga akhir abad ke-16, ketika Pangeran Sakar Soengsang, yang melewati anak-anaknya sendiri, menunjuk Radhen Samudra, putra dari putrinya, sebagai penerus takhta. Hal ini menciptakan perang sipil yang sengit. Radhen, yang kemudian menjadi Pangeran Samudra, yang tidak mampu menang, meminta dan mendapatkan bantuan Sultan dari Damak, dengan syarat bahwa ia dan rakyatnya akan memeluk doktrin Muslim dan membayar upeti kepada pangeran itu. Diperkuat oleh bantuan Jawa, Pangeran segera mengalahkan lawan-lawannya dan naik tahta dengan gelar Sultan.[20]
Setelah mencapai tujuannya, Sultan baru (Hidayatullah 1) segera lupa untuk memenuhi perkiraan yang telah ditentukan, tetapi ancaman-ancaman berikutnya dari atasannya memiliki efek yang cukup untuk memaksa dia kembali ke Jawa untuk memuaskan sang pangeran. Di sana ia dipenjara karena ketidaksetiaannya dan hanya dibebaskan melalui mediasi putranya (Raden Senapati Sultan Mustain Billah), tentu saja tidak dengan pengorbanan besar. Dengan semakin melemahnya para pangeran Jawa, tampaknya tidak lama setelah itu supremasi mereka atas Banjarmasin yang telah dipecah beberapa kali, tampaknya telah berakhir untuk selamanya. Sebagai tindakan terakhir subordinasi kerajaan Jawa ini, saya menemukan catatan mengirimkan kedutaan pada tahun 1642 kepada Sultan Agung, Raja Mataram.[20]
Sejarah
Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan pertama di Kalimantan bagian selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong ke Pamukan hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri dengan sampan ke hilir sungai Barito. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra yang menyamar menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih Masih di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung diangkat menjadi raja yang berkedudukan di Bandarmasih.
Pangeran Tumenggung melakukan penyerangan ke Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak dengan kekuatan 40.000 prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu yang masing-masing memuat 400 prajurit mampu menahan serangan tersebut.[23]) Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara Daha kepada Pangeran Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi Kesultanan Banjar yang beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung diberi wilayah di Batang Alai.
Pangeran Samudra menjadi raja pertama Kerajaan banjar dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia pun menjadi raja pertama yang masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan.
Masa kejayaan
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.[24]
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit.[25]
Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.[26]
Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.[27][28][29][30]
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram mengadakan perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun.[25] Perang Makassar (1660-1669) menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan Gowa ke Banjarmasin.[31] Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut doit.[32]
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang) dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Kesultanan Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat di pulau Kalimantan.[33] Sultan Banjar menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya Hindu.[34][35]
Wilayah Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar merupakan penerus dari kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan dengan wilayah inti meliputi 5 distrik besar di Kalimantan Selatan yaitu Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara-Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum (Tanjung).[36] Sejak awal abad ke-16 berdirilah Kesultanan Banjar yang bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak di Kalimantan. Menurut Hikayat Banjar sejak zaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas (Kerajaan Sambas kuno) sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan (Banjar Kulan/Buranun). Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya terdapat 3 suku besar Dayak yaitu Dayak Biaju, Dayak Dusun dan Dayak Pari (Ot Danum) yang merupakan bagian dari rakyat kerajaan Banjar. Kesultanan Brunei merupakan kesultanan yang pertama di pulau Kalimantan, dan kemudian disusul berdirinya Kesultanan Banjar tahun 1526. Kedua kesultanan merupakan saingan. Kesultanan Brunei menjadi penguasa tunggal di wilayah utara Kalimantan. Pada masa kejayaannya Kesultanan Banjar mampu menyaingi kekayaan Kesultanan Brunei dan menarik upeti kepada raja-raja lokal.[37]
Teritorial kerajaan Banjar pada abad ke 15-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu:
Negara Agung (wilayah sentral budaya Banjar yaitu wilayah Banjar Kuala, Batang Banyu dan Pahuluan)
Mancanegara (daerah rantau: Kepangeranan Kotawaringin, Tanah Dusun, Tanah Laut, Pulau Laut, Tanah Bumbu, dan Paser)
Daerah Pesisir (daerah tepi/terluar: Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur/Utara)
Pada mulanya ibu kota Kesultanan Banjar adalah Banjarmasin kemudian pindah ke Martapura.[38] Pada masa kejayaannya, wilayah yang pernah diklaim sebagai wilayah pengaruh mandala kesultanan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Sambas di barat laut sampai ke negeri Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) di timur laut yang letaknya jauh dari pusat kesultanan Banjar. Negeri Sambas dan Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) pernah mengirim upeti kepada raja Banjar. Selain itu dalam Hikayat Banjar juga disebutkan negeri-negeri di Batang Lawai, Sukadana, Bunyut (Kutai Hulu) dan Sewa Agung/Sawakung).[27] Negeri-negeri bekas milik Tanjungpura yaitu Sambas, Batang Lawai, dan Sukadana terletak di sebelah barat Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Brunei (Borneo), Tanjungpura (Sukadana) dan Banjarmasin. Tanjung Sambar merupakan perbatasan kuno antara wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin). Menurut sumber Inggris, Tanjung Kanukungan (sekarang Tanjung Mangkalihat) adalah perbatasan wilayah mandala Banjarmasin dengan wilayah mandala Brunei, tetapi Hikayat Banjar mengklaim daerah-daerah di sebelah utara dari Tanjung Kanukungan/Mangkalihat yaitu Kerajaan Berau kuno juga pernah mengirim upeti kepada Kerajaan Banjar Hindu, dan sejarah membuktikan daerah-daerah tersebut dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda.[39][40] Perbatasan di pedalaman, daerah aliran sungai Pinoh (sebagian Kabupaten Melawi) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin) yang dinamakan daerah Lawai[41] Sanggau dan Sintang juga dimasukan dalam wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar.
Dari bagian timur Kalimantan sampai ke Tanjung Sambar terdapat beberapa distrik/kerajaan kecil yang berada di bawah pengaruh mandala kekuasaan Sultan Banjar yaitu Berau, Kutai, Paser, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tatas, Dusun Hulu, Dusun Ilir, Bakumpai, Dayak Besar (Kahayan), Dayak Kecil (Kapuas Murung), Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin. Inilah yang disebut "negara Kerajaan Banjar". Daerah-daerah kekuasaan Sultan Banjar yang paling terasa di Paser, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Bakumpai dan Dusun.[42] Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada dalam wilayah Kesultanan Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar kepulauan Kalimantan, walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau Kalimantan.[43]
Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas hingga seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).
Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.
Sejak ibu kota dipindahkan ke Daerah Martapura[44] maka kota Martapura sebagai Kota Raja merupakan wilayah/ring pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.
Wilayah teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari:
Daerah Banjar Lama/Kuin (Banjarmasin bagian Utara) dan Pulau Tatas (Banjarmasin bagian Barat). Tahun 1709[45][46] atau Tahun 1747 Belanda mendirikan benteng di Pulau Tatas (Banjarmasin bagian barat) merupakan daerah yang mula-mula dimiliki VOC_Belanda.[47] Pulau Tatas termasuk daerah yang diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826, sedangkan Banjar Lama (Kuin) sampai perbatasan daerah Margasari masih tetap sebagai wilayah kesultanan sampai 1860.
Tanah Dusun yaitu dari kuala Marabahan sampai hulu sungai Barito. Pada 13 Agustus1787, Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah Mengkatip (Dusun Hilir) dan Tamiang Layang (Dusun Timur) dan sekitarnya tetap termasuk daalam wilayah inti Kesultanan Banjar hingga dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.
Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua daerah ini merupakan wilayah asal Kesultanan Banjar sebelum pemekaran yang terdiri dari:
Wilayah Barat yaitu wilayah Negara bagian Kotawaringin dan Tanah Dayak (Biaju) yaitu meliputi daerah Kerajaan Kotawaringin (dengan distrik-distriknya: Jelai dan Kumai), Pembuang, Sampit, Mendawai serta daerah milik Kotawaringin di Kalbar yang dihuni Dayak Ot Danum yaitu Lawai atau Pinoh (sebagian Kabupaten Melawi) yang letaknya bersebelahan dengan kawasan udik sungai Katingan/Mendawai dan berbatasan dengan Kerajaan Sintang. Perbatasan Kerajaan Kotawaringin dengan Kerajaan Sukadana/Matan terletak di Tanjung Sambar. Juga turut diklaim wilayah Tanah Dayak (Rumpun Ot Danum), yang berpusat mandala di udik sungai Kahayan (Tumbang Anoi) yaitu daerah-daerah suku Dayak Biaju dan Dayak Pari (Ot Danum) beserta semua daratan yang takluk kepadanya. Semua distrik-distrik di wilayah Tanah Kotawaringin dan Tanah Dayak diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Secara resmi daerah-daerah Dayak pedalaman tersebut diduduki Belanda sejak Perjanjian Tumbang Anoi pada Tahun 1894.
Wilayah Timur (Kalimantan Tenggara): yaitu Negara bagian Paser dan Negara bagian Tanah Bumbu. Kerajaan Paser didirikan oleh seorang panglima Kerajaan Banjar atau Kuripan-Daha, sehingga sejak semula takluk kepada Kesultanan Banjar, namun belakangan berada di bawah pengaruh La Madukelleng. Tahun 1703 Tanah Paser berubah dari pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, daerah ini diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan dimulai pada masa Sultan Paser Sultan Mahmud Han menjalin kontrak politik dengan Hindia Belanda. Kerajaan Tanah Bumbu didirikan Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah, yang pada mulanya mencakup kawasan mulai Tanjung Aru sampai Tanjung Silat, belakangan wilayah intinya terutama terdiri atas 7 divisi: Cengal (Pamukan), Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan (Kelumpang), Cantung, Buntar-Laut dan Batulicin. Pada bulan Juli 1825, Raja Aji Jawi, penguasa Tanah Bumbu yang memiliki 6 daerah (Cengal, Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan, Cantung, Buntar-Laut) membuat kontrak politik dengan Hindia Belanda yang menjadikan Tanah Bumbu sebagai swapraja. Tahun 1841, negeri Sampanahan di bawah Pangeran Mangku Bumi (Gusti Ali) menjadi swapraja terpisah dari wilayah Tanah Bumbu lainnya. Tahun 1846 Buntar-Laut dianeksasi/diintegrasikan oleh penguasa Cantung yang kelak menjadi swapraja tersendiri terpisah dari wilayah Tanah Bumbu di bawah Raja Aji Mandura sebagai Raja Cantung dan Buntar-Laut. Negeri Batulicin di bawah Pangeran Aji Musa, kemudian digantikan puteranya Pangeran Abdul Kadir yang kelak mendapatkan negeri Kusan dan Pulau Laut. Kerajaan Kusan pada mulanya didirikan Sultan Amir bin Sultan Muhammadillah rival Sunan Nata Alam dalam memperebutkan tahta Kesultanan Banjar. Sultan Banjar melantik Hasan La Pangewa sebagai kapten suku Bugis bergelar Kapitan Laut Pulo sebagai penguasa Pagatan setelah ia berhasil mengusir Sultan Amir dari Kerajaan Kusan. Di masa Arung Botto, Raja Pagatan menjalin kontrak sebagai swapraja di bawah Hindia Belanda. Belakangan wilayah Kusan digabung dengan Tanah Pagatan dan kemudian Hindia Belanda membentuk pula swapraja Sabamban. Wilayah Kalimantan Tenggara ini diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, ditegaskan lagi pada tahun 1826. Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dengan 11 swapraja yang meliputi Kesultanan Paser dan wilayah Tanah Bumbu (Sabamban, Kusan, Pagatan, Batu Licin, Pulau Laut dengan Pulau Sebuku, Bangkalaan, Cantung dengan Buntar-Laut, Sampanahan, Manunggul, Cengal). Semua kerajaan ini termasuk ke dalam Borneo Timur di bawah Asisten Residen yang berkedudukan di Samarinda sejak tahun 1846.
Teritorial/ring keempat, adalah Pesisir yaitu daerah terluar, maka dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah I dengan VOC pada 20 Oktober1756 yang berencana untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang melepaskan diri yaitu Sanggau, Sintang, Lawai, Paser, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri dari:[48]
Pesisir Timur disebut tanah yang di atas angin meliputi kawasan timur Kalimantan dan jika digabung dengan kawasan selatan Kalimantan menjadi Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda.[49] Kerajaan-kerajaan di Kaltim tergolang sebagai negara dependen di dalam Kesultanan Banjar.[50]
Wilayah Negara bagian Kutai. Tahun 1735 Kerajaan Kutai Kartanegara berubah dari pemerintahan Pangeran Adipati menjadi kesultanan. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826. Tahun 1844 Sultan Kutai mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
Wilayah Negara bagian Berau/Kuran (sejak 1810-an terbagi menjadi Gunung Tabur dan Tanjung) beserta daerah-daerah Berau yang melepaskan diri pada abad ke-18 dan bawah pengaruh Kesultanan Sulu (& Brunei) yaitu Tanah Bulungan dan Tanah Tidung. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826.[51]
Wilayah terluar di timur yang telah lama melepaskan diri dan kemudian di bawah pengaruh Brunei yaitu Negara bagian Karasikan atau Buranun/Banjar Kulan (Banjar Kecil).[40][52][53][54][2][55][56]
Pesisir Barat disebut tanah yang di bawah angin meliputi kawasan barat Kalimantan yang kemudian menjadi Karesidenan Borneo Barat pada masa kolonial Hindia Belanda.
Wilayah Batang Lawai atau sungai Kapuas (Negara bagian Sanggau, Negara bagian Sintang dan Negara bagian Lawai).[57] Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak sungai Melawi dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara ke laut Jawa dilanjutkan perjalanan laut dekat sungai Barito di Banjarmasin. Kerajaan Sintang mulai diperintah Dinasti Majapahit semenjak pernikahan Patih Logender dari Majapahit dengan Dara Juanti (Raja Sintang ke-9). Tahun 1600 Raja Sintang mengirim utusan ke Banjarmasin untuk menyalin kitab suci Al-Quran. Kerajaan Sintang dan Mlawai (Kabupaten Melawi) dan Jelai termasuk daerah yang diserahkan oleh Sultan Adam kepada Hindia Belanda pada 4 Mei1826. Mlawai sebelumnya termasuk daerah-daerah yang diserahkan oleh Sunan Nata Alam kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus1787. Belakangan Tanah Sanggau ditaklukan dan berada di bawah supremasi pemerintahan Sultan Pontianak (protektorat VOC Belanda).
Wilayah Negara bagian Sukadana/Tanjungpura (sebagian besar Kalbar)[58] Kerajaan Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kerajaan Sukadana menjadi vazal sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden Saradewa/Giri Mustaka dengan Putri Gilang (Dayang Gilang) cucu Sultan Mustainbillah maka sebagai hadiah perkawinan Sukadana/Matan dibebaskan dari membayar upeti.[27] Saat itu Raja Sukadana memiliki bisnis dan tinggal di Banjarmasin dan termasuk anggota Dewan Mahkota. Pada tahun 1622, kerajaan Sukadana berubah dari pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, selanjutnya Panembahan Giri Mustaka bergelar Sultan Muhammad Safi ad-Din. Pada tahun 1661 Sukadana/Matan terakhir kalinya Sukadana mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar. Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai daerah perlindungan Kesultanan Banjar. Kemudian Sukadana dianggap sebagai vazal Kesultanan Banten setelah mengalami kekalahan dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana Landak dibantu Banten & VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal Banten) dan Tanah Sukadana/Tanjungpura (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada 26 Maret1778, kemudian diserahkan oleh VOC di bawah supremasi pemerintahan Sultan Pontianak, karena itu gelar Sultan untuk penguasa Sukadana/Matan diubah menjadi Panembahan[59]
Wilayah terluar di barat adalah Negara bagian Sambas. Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan terakhir kalinya Pangeran Adipati Sambas (Panembahan Sambas) mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan (1595-1642).[27][60][61] Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda dan lepas dari pengaruh kesultanan Banjar. Intan Si Misim kemudian dipersembahkan oleh Sultan Banjar kepada Sultan Agung, raja Mataram pada bulan Oktober tahun 1641 yang merupakan persembahan (bukan upeti) terakhir yang dikirim kepada pemerintahan di Jawa (Kesultanan Mataram).[62][63][64] Semula Kerajaan Sambas diperintah oleh Dinasti Majapahit yang bergelar Pangeran Adipati/Panembahan Sambas, selanjutnya mulai tahun 1675 Tanah Sambas diperintah oleh Dinasti Brunei dan berubah menjadi kesultanan bernama Kesultanan Sambas. Tahun 1855 Sambas digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibu kota dari Karesidenan Sambas, yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.[65]
Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kesultanan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinzaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah:[66]
Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah milik Hindia Belanda seperti tersebut dalam Pasal 4:
Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu menjangan. Padang perburuan itu, meliputi:
Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
Padang Bajingah
Padang Penggantihan
Padang Munggu Basung
Padang Taluk Batangang
Padang Atirak
Padang Pacakan
Padang Simupuran
Padang Ujung Karangan
Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan. Pada tahun 1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan pemerintahan regent yang berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya Pemenang) dan di Amuntai (Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku hingga meninggalnya Pangeran Suria Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan regent di daerah ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1884.
Perdana Menteri: disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, di bawah Mangkubumi: Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja: Kepala Urusan keraton
Mandung dan Raksayuda: Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
Mamagarsari: Pengapit raja duduk di Situluhur
Parimala: Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
Sarageni dan Saradipa: Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
Puspawana: Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu
Pamarakan dan Rasajiwa: Pengurus umum tentang keperluan pedalaman/istana
Kadang Aji: Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
Wargasari: Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
Anggarmarta: Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
Astaprana: Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
Kaum Mangkumbara: Kepala urusan upacara
Wiramartas: Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.
Bujangga: Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
Singabana: Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan pada masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain Billah), terdiri:
Mangkubumi
Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
Mantri Jaksa
Tuan Panghulu
Tuan Khalifah
Khatib
Para Dipati
Para Pryai
Masalah-masalah agama Islam dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang memimpin pembicaraan, dengan anggota terdiri dari: Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Penghulu.
Masalah-masalah hukum sekuler dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
Masalah tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan Dipati.
Dalam hierarki struktur negara, di bawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan dalam suatu sidang negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan kalau Raja berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu dan selanjutnya Jaksa. Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah keagamaan, sedangkan Jaksa mengurusi masalah keduniaan.
Para Dipati, terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah Mangkubumi.
Sistem pemerintahan mengalami perubahan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Perubahan itu meliputi jabatan:
Mufti: hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
Qadi: kepala urusan hukum agama Islam
Penghulu: hakim rendah
Lurah: langsung sebagai pembantu Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
Pambakal: Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
Mantri: pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, di antaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
Tatuha Kampung: orang yang terkemuka di kampung.
Panakawan: orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.
Permaisuri disebut Ratu jika keturunan bangsawan atau Nyai Ratu jika berasal dari kalangan biasa, sedangkan para selir disebut Nyai.
Anak laki-laki raja bergelar Gusti (= Raden/Raden Aria pada zaman Hindu & awal Islam), dan jika anak permaisuri akan mendapat gelar Pangeran dan jika menjabat Dipati mendapat gelar berganda menjadi Pangeran Dipati. Para Pangeran keturunan Sultan yang memerintah menurunkan gelar "Gusti" ini kepada keturunannya baik anak lelaki maupun wanita. Para Gusti (lelaki) yang sudah jauh garis keturunannya dengan Sultan yang memerintah hanya menurunkan gelar Gusti hanya kepada anak lelaki.
Anak perempuan raja bergelar Gusti (= Raden Galuh pada zaman Hindu), jika anak permaisuri akan mendapat gelar Putri dan setelah menikah mendapat gelar Ratu.
Andin, menurut Tutur Candi gelar tersebut untuk keturunan kerajaan Negara Daha yang telah dikalahkan oleh Sultan Suriansyah dan tidak diperkenankan lagi memakai gelar Pangeran.
Antung, gelar untuk putera/puteri dari wanita "Gusti" yang menikah dengan orang kalangan biasa. Antung setara dengan gelar Utin (wanita) di Kotawaringin.
Seorang lelaki dari kalangan biasa yang menikah dengan puteri Sultan, akan mendapat gelar Raden. Raden juga merupakan gelar bagi pejabat birokrasi dari golongan Nanang/Anang misalnya gelar Raden Tumenggung, yang selanjutnya meningkat menjadi Raden Dipati. Menurut Hikayat Banjar, gelar Nanang diberikan untuk kalangan keluarga Ampu Jatmika yang disebut Kadang Haji (haji= raja), sedangkan keluarga isteri Ampu Jatmika tidak mendapat gelar tersebut atau juga diberikan kepada lelaki dari kalangan biasa yang menikah dengan puteri Sultan misalnya Nanang Sarang (digunakan pada abad ke-17).
Seorang lelaki keturunan Arab yang menikah dengan puteri Sultan akan mendapat gelar Pangeran Serip (Syarif), sedangkan puteri Sultan tersebut menjadi isteri permaisuri disebut Ratu Serip (Ratu Syarif).[70]
Sultan Banjar
Berikut ini adalah daftar figur-figur pemimpin yang memerintah di Kesultanan Banjar yang disebut Paduka Seri Sultan Banjar atau Susuhunan, Panembahan Banjarmasin.
(Inggris) Han Knapen, Forests of fortune?: the environmental history of Southeast Borneo, 1600-1880, Jilid 189 dari Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, KITLV Press, 2001, ISBN 90-6718-158-7, 9789067181587
Pangeran Shuria Rum. Martapura, 1986. Riwayat Perjuangan Pangeran Hidayatullah.
Pangeran Shuria Rum, Ranji/Silsilah Raja/Sultan Kerajaan Banjar Versi Pedatuan, Makalah pada Acara Sarasehan Sejarah Kerajaan Banjarmasin, Banjarmasin, 12 Mei 2003.
^Perkara 1 Undang-undang Sultan Adam 1835: “Adapoen perkara jang pertama akoe soeroehkan sekalian ra’jatkoe laki-laki dan bini-bini beratikat dalal al soenat waldjoemaah dan djangan ada seorang baratikat dengan atikat ahal a’bidaah maka siapa-siapa jang tadangar orang jang beratikat lain daripada atikat soenat waldjoemaah koesoeroeh bapadah kapada hakimnja, lamoen benar salah atikatnja itoe koesoeroehkan hakim itoe menobatkan dan mengadjari atikat jang betoel lamoen anggan inja daripada toebat bapadah hakim itu kajah diakoe”.
^Goh Yoon Pong, Trade and Politics in Bandjermasin 1700-1747, Disertation University of London, 1969
^ abHermanus Johannes de Graaf, Puncak kekuasaan Mataram: politik ekspansi Sultan Agung, Grafitipers, 1986
^(Inggris) (2007)"Mataram's overseas empire". Digital Atlas of Indonesian History. Robert Cribb. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-13. Diakses tanggal 11 August 2011.
^Cabang-cabang Kerajaan Tanjungpura/Sukadana merupakan sebagian besar Kalbar seperti Kerajaan Tayan, Kerajaan Meliau, Kerajaan Sekadau, Kerajaan Mempawah, tidak termasuk Sambas, Landak, Sanggau, Sintang dan Mlawai/Melawi. Belakangan Sanggau ditaklukan Sultan Pontianak atas perintah VOC
^(Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965