Dari riwayat-riwayat yang terdapat dikalangan Suku Tidung tentang kerajaan yang pernah ada dan dapat dikatakan yang paling tua di antara riwayat lainnya yaitu dari Menjelutung di Sungai Sesayap dengan rajanya yang terakhir bernama Benayuk.[2] Berakhirnya zaman kerajaan Menjelutung karena ditimpa malapetaka berupa hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat sehingga mengakibatkan perkampungan di situ runtuh dan tenggelam ke dalam air (sungai) berikut warganya.[2] Peristiwa tersebut di kalangan Suku Tidung disebut Gasab yang kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Benayuk dari Menjelutung]].[2]
Dari beberapa sumber didapatkan riwayat tentang masa pemerintahan Benayuk yang berlangsung sekitar 35 musim.[2] Perhitungan musim tersebut adalah berdasarkan hitungan hari bulan (purnama) yang dalam semusim terdapat 12 purnama.[2] Dari itu maka hitungan musim dapat disamakan +kurang lebih dengan tahun Hijriah.[2] Apabila dirangkaikan dengan riwayat tentang beberapa tokoh pemimpin (Raja) yang dapat diketahui lama masa pemerintahan dan keterkaitannya dengan Benayuk, maka diperkirakan tragedi di Menjelutung tersebut terjadi pada sekitaran awal abad XI.[2]
Kelompok-kelompok Suku Tidung pada zaman kerajaan Menjelutung belumlah seperti apa yang terdapat sekarang ini, sebagaimana diketahui bahwa dikalangan Suku Tidung yang ada di Kalimantan timur sekarang terdapat 4 (empat) kelompok dialek bahasa Tidung, yaitu:[2]
Dialek bahas Tidung Tarakan yang biasa pula disebut Tidung Tengara yang kebanyakan bermukim di daerah air asin.
Dari adanya beberapa dialek bahasa Tidung yang merupakan kelompok komunitas berikut lingkungan sosial budayanya masing-masing, maka tentulah dari kelompok-kelompok dimaksud memiliki pemimpin masing-masing.[2] Sebagaimana diriwayatkan kemudian bahwa setelah kerajaan Benayuk di Menjelutung runtuh maka anak keturunan beserta warga yang selamat berpindah dan menyebar kemudian membangun pemukiman baru.[2] Salah seorang dari keturunan Benayuk yang bernama Kayam selaku pemimpin dari pemukiman di Linuang Kayam (Kampung si Kayam) yang merupakan cikal bakal dari pemimpin (raja-raja) di Pulau Mandul, Sembakung dan Lumbis.[2]
Daftar Silsilah Raja-Raja Tidung
Raja-raja dari Kerajaan Tidung Kuno
Kerajaan Tidung Kuno adalah Suatu Pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Raja, di mana pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah dengan wilayah yang kecil/kampung.[3]
Benayuk dari Sungai Sesayap, Menjelutung (Masa Pemerintahan ± 35 Musim).[3] Berakhirnya zaman kerajaan Menjelutung karena ditimpa malapetaka berupa hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat sehingga mengakibatkan perkampungan di situ runtuh dan tenggelam ke dalam air (sungai) berikut warganya.[3] Peristiwa tersebut di kalangan Suku Tidung disebut Gasab yang kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Menjelutung.[3]
Yamus (Si Amus) (Masa Pemerintahan ± 44 Musim) Selang 15 (lima belas).[3] Musim setelah Menjelutung runtuh seorang keturunan Benayuk yang bernama Yamus (Si Amus) yang bermukim di Liyu Maye mengangkat diri sebagai raja yang kemudian memindahkan pusat pemukiman ke Binalatung (Tarakan).[3]Yamus memerintah selama 44 (empat puluh empat) musim, setelah wafat Yamus digantikan oleh salah seorang cucunya yang bernama Ibugang (Aki Bugang).[3]
Itara (Lebih kurang 29 Musim), Itara memerintah selama 29 (dua puluh sembilan) musim.[3] Setelah wafat Anak keturunan Itara yang bernama Ikurung kemudian meneruskan pemerintahan dan memerintah selama 25 (dua puluh lima) musim.[3]
Bengawan (Lebih kurang 44 Musim), Diriwayatkan sebagai seorang raja yang tegas dan bijaksana dan wilayah kekuasaannya di pesisir melebihi batas wilayah pesisir Kabupaten Bulungan sekarang yaitu dari Tanjung Mangkaliat di selatan kemudian ke utara sampai di Kudat (Sabah, Malaysia).[3] Diriwayatkan pula bahwa Raja Bengawan sudah menganut Agama Islam dan memerintah selama 44 (empat puluh empat) musim.[3] Setelah Bengawan wafat ia digantikan oleh puteranya yang bernama Itambu.[3]
Datoe Mancang (Lebih kurang 49 Musim), diriwayatkan bahwa masa pemerintahan Datoe Mancang adalah yang paling lama yaitu 49 (empat puluh sembilan) musim.[3]
Dahulu kala kaum Suku Tidung yang bermukim di pulau Tarakan, populer juga dengan sebutan kaum Tengara, oleh karena mereka mempunyai pemimpin yang telah melahirkan Dynasty Tengara.[3] Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa di pesisir timur pulau Tarakan yakni, di kawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156.[3] Kemudian berpindah ke pesisir barat pulau Tarakan yakni, di kawasan Tanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216.[3] Lalu bergeser lagi, tetapi tetap di pesisir barat yakni, ke kawasan sungai bidang kira-kira pada tahun 1216-1394.[3] Setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, ke kawasan Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.[3]
Kerajaan Dari Dynasty Tengara ini pertama kali bertakhta kira-kira mulai pada tahun 1557-1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan Timur.[4]
Dikatakan Sultan Sulu yang bernama Sultan Salahuddin-Karamat atau Pangiran Bakhtiar telah menikah dengan seorang gadis Tionghoa yang berasal dari daerah Tirun (Tidung).[5] Dan juga karena ingin mengamankan wilayah North-Borneo (Kini Sabah) selepas mendapat wilayah tersebut dari Sultan Brunei, seorang putera Sultan Salahuddin-Karamat iaitu Sultan Badaruddin-I juga telah memperisterikan seorang Puteri Tirun atau Tidung (isteri kedua) yang merupakan anak kepada pemerintah awal di wilayah Tidung.[5] (Isteri pertama Sultan Badaruddin-I, dikatakan adalah gadis dari Soppeng, Sulawesi Selatan.[5] Maka lahirlah Datu Lagasan yang kemudian menjadi Sultan Sulu bergelar, Sultan Alimuddin-I ibni Sultan Badaruddin-I).[5] Dari zuriat Sultan Alimuddin-I inilah dikatakan datangnya Keluarga Kiram dan Shakiraullah di Sulu.[5]
Maka dari darah keturunan dari Puteri Tidung ini lahirlah seorang putera bernama Datu Bantilan dan seorang puteri bernama Dayang Meria.[5] Datu Bantilan kemudiannya menaiki takhta Kesultanan Sulu (menggantikan abangnya Sultan Alimuddin-I) pada tahun sekitar 1748, bergelar Sultan Bantilan Muizzuddin.[5] Adindanya Dayang Meria dikatakan menikah dengan seorang pedagang Tionghoa, dan kemudiannya melahirkan Datu Teteng atau Datu Tating.[5] Dan dari zuriat Sultan Bantilan Muizzuddin inilah datangnya Keluarga Maharajah Adinda, yang kini merupakan "Pewaris Sebenar" kepada Kesultanan Sulu mengikut Sistem Protokol Kesultanan yang dipanggil "Tartib Sulu".[5]
Dikatakan juga pewaris sebenar itu bergelar, Duli Yang Maha Mulia (DYMM) Sultan Aliuddin Haddis Pabila (Wafat pada 30 Juni 2007 di Kudat, Sabah).[5] Dan juga dinyatakan bahawa Putera Mahkota kesultanan Sulu kini adalah putera bungsu kepada DYMM Sultan Aliuddin yang bernama Duli Yang Teramat Mulia (DYTM) Datu Ali Aman atau digelar juga sebagai "Raja Bongsu-II" (*Gelaran ini mungkin mengambil sempena nama moyang mereka yang bernama Raja Bungsu atau Pengiran Shahbandar Maharajalela, yang merupakan putera-bongsu kepada Sultan Muhammad Hassan dari Brunei.[5] Dikatakan Raja Bungsu ini telah dihantar ke Sulu menjadi Sultan Sulu menggantikan pamannya Sultan Batarasah Tengah ibnu Sultan Buddiman Ul-Halim yang tiada putera.[5] Ibu Raja Bungsu ini adalah puteri kepada Sultan Pangiran Buddiman Ul-Halim yang menikah dengan Sultan Muhammad Hassan).[5]
Dan kerana mahu rakyat Sulu memahami akan HAK "Pewaris Kedua" dalam Kesultanan Sulu, maka DYTM Datu Raja Bongsu-II ini telah mengutuskan sepupunya Datu Lajamura Bin Datu Wasik ke Sulu untuk memberi penerangan kepada seluruh rakyat Sulu akan HAK Keluarga Maharaja Adinda.[5] Maka kehadiran Datu Lajamura Bin Datu Wasik di Sulu adalah selaku Pegawai WAKIL penerangan dari Keluarga Maharaja Adinda atau (The Maharaja Adinda Royal House Representative Officer).[5]
Di antara kedua kerajaan tersebut terdapat hubungan yang erat, sebagaimana layaknya seperti orang bersaudara karena saling diikat oleh tali Perkawinan.[5] Meskipun demikian proses saling memengaruhi tetap berjalan secara halus dan tersamar, karena salah satu di antaranya ingin lebih dominan dari yang lainnya.[5] Dengan Demikian tidak dapat dielakkan bahwa persaingan terselubung antara keduanya merupakan masalah laten yang adakalanya mencuat kepermukaan.[5] Dalam hal ini pihak penjajah Hindia Belanda cukup jeli memanfaatkan masalah itu, maka semakin besar masalah hubungan kedua kerajaan, bahkan menjadi konflik politik yang tajam, sehingga akhirnya Kerajaan dari Suku kaum Tidung dengan Kesultanan Bulungan mengakhiri hubungan kerja sama.[5]
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Tirem (=Tirun/Tidung) sebagai salah satu negeri yang telah ditaklukkan Kerajaan Majapahit oleh Gajah Mada.[5] Menurut Hikayat Banjar, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata (Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa), pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (Banjar) yang ke-2 pada masa Hindu, penguasa Karasikan sudah menjadi taklukannya.[5] Karasikan adalah sebutan dari Kesultanan Banjar untuk Kerajaan Tidung.[5] Karasikan dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah di atas angin (= negeri di sebelah timur atau utara) yang telah ditaklukkan.[5] Karasikan (= Tarakan) dianggap sebagai salah satu vazal Banjarmasin, sehingga ketika Banjarmasin jatuh ke tangan VOC sebagai daerah protektorat (= tanah pinzaman) pada 13 Agustus1787 maka vazal-vazal Banjarmasin oleh Sultan Tamjidullah I diserahkan kepada VOC, maka Karasikan atau wilayah Suku Tidung ini menjadi wilayah VOC.[5] Karasikan yaitu wilayah Suku Tidung meliputi utara Kalimantan Timur hingga daerah-daerah pada Divisi Tawau dan sekitarnya termasuk pulau Sipadan dan Ligitan, sehingga tidak mengherankan ketika VOC membuat peta tahun 1787, wilayah VOC lebih ke utara daripada perbatasan Kalimantan Timur-Sabah yang ada pada masa kini.[5]
Bulungan dan Tidung Memisahkan Diri Membentuk Kesultanan Sendiri
Karena terjadinya kericuan dan insiden pada waktu menetapkan giliran siapa yang harus menjadi raja dari kedua keturunan pangeran itu, kekuasaan pusat pemerintahan yang berkedudukan di Muara bangun hampir tiada berfungsi lagi.[6] Dalam situasi yang tidak menentu itu, daerah Bulungan dan Tidung berkesempatan melepaskan diri dari kesatuan wilayah kekuasaan Berau dan membentuk kesultanan sendiri pada tahun 1800.[6]
Demografi kawasan
Kawasan Kalimantan Timur bagian utara secara umum penduduk aslinya terdiri dari tiga jenis suku bangsa yakni: Tidung, Bulungan, dan Dayak yang mewakili tiga kebudayaan yaitu Kebudayaan Pesisir, Kebudayaan Kesultanan, dan Kebudayaan Pedalaman.[5]
Kaum Suku Tidung umumnya terlihat banyak mendiami kawasan pantai dan pulau-pulau, ada juga sedikit di tepian sungi-sungai di pedalaman umumnya dalam radius muaranya.[5] Kaum suku Bulungan kebanyakan berada di kawasan antara pedalaman dan pantai, terutama di kawasan Tanjung Palas dan Tanjung Selor.[5] Sedangkan kaum suku Dayak kebanyakan mendiami kawasan Pedalaman.[5] Kalangan suku Dayak yang terdengar dan Populer adalah bernama suku Dayak Kenyah.[5] Suku Dayak memiliki banyak sub-suku bangsa mereka tersebar di kawasan pedalaman dan dan memiliki berbagai macam nama.[5] Adapun mengenai suku kaum Tidung, mata pencaharian andalannya adalah sebagai Nelayan, di samping itu juga bertani dan memanfaatkan hasil hutan.[5] Berdasarkan dokumen dan informasi tertulis maupun lisan yang ada bahwa, tempo dulu di kawasan Kalimantan Timur belahan utara terdapat dua bentuk pemerintahan, yakni: Kerajaan dari kaum Suku Tidung dan Kesultanan dari kaum suku Bulungan.[5] Kerajaan dari kaum Suku Tidung berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu, Sedangkan Kesultanan Bulungan berkedudukan di Tanjung Palas.[5]
Wilayah Kekuasaan
Kerika diperintah oleh Raja Bengawan pada masa Kerajaan Tidung Kuno, wilayah kekuasaan kerajaan ini telah lebih besar dari wilayah Kabupaten Bulungan sekarang, Jika digambarkan wilayah tersebut meliputi Tanjung Mangkaliat di selatan kemudian ke utara sampai di kudat, Malaysia.[4] Pada perkembangan kemudian, wilayah kekuasaan kerajaan tidung semakin meluas sehingga meliputi beberapa daerah, yaitu: beluran, betayau, bunyu, Kalabakan, Labuk, Lumbis, Malinau, Mandul, Mentarang, Nunukan, Pulau Sebatik, Salim Batu, Sebuku, Sekatak, Sembakung, Serudung, Sesayap, Semendalen, Soembol, dan Tarakan.[4] Di daerah Beluran, kekuasaan kerajaan tidung juga menguasai beberapa Suku Dayak yang telah mendiami daerah tersebut, yaitu Ulun Aboy Tidung, Ulun Adang, Ulun Belusu, Ulun Daye, Ulun Kelabat, Ulun Krayan, Ulun Libun, Ulun Mentarang, Ulun Punan, Ulun Putuk, Ulun Saban, Ulu Tenggalan, dan Ulun Tubu.[4] Bahkan sebelum dipersatukan ke dalam satu kerajaan atau masih dikenal sebagai Kerajaan Tidung Kuno, wilayah kekuasaan kerajaan ini masing-masing mempunyai kerajaan yang berdiri sendiri seperti, Raja Berusu (Belusu), Raja Tenggalan/Ngabok, Raja Punan, dan Raja Ulun Daya/Aboi Tidoeng.[4]
Referensi
^(Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia (1855). Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde. Lange & Co. hlm. 423.Teks "Bagian 4" akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)