Kesultanan Sulu
Kesultanan Sulu adalah sebuah pemerintahan Muslim yang pernah menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan. Kesultanan ini didirikan pada tahun 1450. Pada zaman kegemilangannya, negeri ini telah memperluas perbatasannya dari Mindanao hingga bagian timur negeri Sabah (sekarang bagian dari Sabah dan Kalimantan Utara). Kesultanan Sulu didirikan pada 17 November 1405[1] oleh seorang penjelajah kelahiran Johor dan ulama Sharif ul-Hashim. Paduka Mahasari Maulana al Sultan Sharif ul-Hashim menjadi nama lengkap pemerintahannya, Sharif-ul Hashim adalah singkatannya. Dia menetap di Buansa, Sulu. Setelah perkawinan Abu Bakar dan dayang-dayang (putri) setempat Paramisuli, ia mendirikan kesultanan. Kesultanan memperoleh kemerdekaannya dari Kekaisaran Brunei pada tahun 1578. Dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Sulu disebut Solot, salah satu negeri di kepulauan Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina) yaitu salah satu kawasan yang menjadi daerah pengaruh mandala kerajaan Majapahit di Nusantara. Negeri Sulu terletak di lepas pantai Kepulauan Nusa Utara, Sulawesi Utara. SejarahWilayah Kesultanan Sulu saat ini pernah berada di bawah pengaruh Kekaisaran Brunei sebelum memperoleh kemerdekaannya sendiri pada tahun 1578.[2] Setelah itu, permukiman paling awal yang diketahui di daerah ini segera ditempati oleh kesultanan yang berada di Maimbung, Jolo. Pada waktu itu, Sulu dipanggil dengan nama Lupah Sug . Pada tahun 1380, seorang ulama keturunan Arab, Makhdum Karim memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian tahun 1390, Raja Bagindo yang berasal dari Minangkabau[3] melanjutkan penyebaran Islam di wilayah ini. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo telah mengislamkan masyarakat Sulu sampai ke Pulau Sibutu.[4] Sekitar tahun 1450, seorang keturunan Arab dari Johor yaitu Syariful Hasyim Sayyid Abu Bakar tiba di Sulu. Ia kemudian menikah dengan Paramisuli, putri Raja Bagindo. Setelah kematian Raja Bagindo, Abu Bakar melanjutkan pengislaman di wilayah ini. Pada tahun 1457, ia memproklamirkan berdirinya Kesultanan Sulu dan memakai gelar "Paduka Maulana Mahasari Syarif Sultan Hasyim Abu Bakar". Gelar "Paduka" adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan "Mahasari" bermaksud Yang Dipertuan. Pada tahun 1703, Kesultanan Brunei memberikan bagian timur Sabah kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpas pemberontakan di Brunei. Pada tahun yang sama, Kesultanan Sulu memberikan Pulau Palawan kepada Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkawinan Sultan Qudarat dengan putri sultan Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan Maguindanao dengan Sulu. Sultan Qudarat akhirnya menyerahkan Palawan kepada Spanyol. WarisanStatus di FilipinaPresiden Diosdado Macapagal pada 1962 mengakui keberadaan berlanjutan bagi Kesultanan Sulu.[5] Ini karena Macapagal merupakan sepupu Sultan karena darah ningratnya yang bisa digariskan kembali ke Lakandula dari Kerajaan Tondo,[6][7][8] Lakandula merupakan paman dari Raja Sulayman, raja Islam di Manila,[6] dan mereka memiliki nenek dari Sulu yang merupakan putri dari Tausug, Laila Mechanai, istri Sultan Bolkiah dari Brunei dan nenek moyang bagi Rajah Matanda dan Rajah Sulayman dari Manila.[6] Pada 24 Mei 1974, Sultan Mohammed Mahakuttah Abdullah Kiram mulai menjabat sebagai Sultan Sulu hingga 1986. Ia merupakan Sultan terakhir yang diakui oleh Pemerintahan Filipina, diakui pada jaman Presiden Ferdinand Marcos. Ahli warisSetelah wafatnya Mohammed Abdullah Kiram, pemerintahan Filipina belum secara resmi mengakui Sultan Sulu berikutnya. Pewaris Mohammed Kiram, Muedzul Lail Kiram menurut peraturan warisan kesultanan Sulu yang sebagaimanapun diakui oleh pemerintah Filipina dari 1915 sampai 1986 masih berumur 20 tahun ketika ayahnya meninggal.[9] Karena usia belianya, ia tidak dapat langsung mengeklaim taktha Sultan Sulu karena ketidakstabilan politik di Filipina yang berujung pengunduran diri Ferdinand Marcos. Kekosongan taktha Sultan diisi oleh klaim lain oleh pihak yang bersaingan, maka penerus Mohammed Kiram dijadikan Sultan tanpa persetujuan pemerintah Filipina atau tidak diakui oleh pemerintah Filipina tak seperti pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Pemerintah Filipina memutuskan untuk menjalin hubungan dengan seluruh pengeklaim untuk menghadapi urusan yang berkaitan dengan Kesultanan Sulu. Muedzul Lail Tan Kiram diakui secara resmi oleh Presiden Ferdinand Marcos sebagai penerus Kesultanan Sulu yang sah sebagai Sultan Sulu ke-35 berdasarkan Dekret Memorandum 427 tahun 1974.[10][11] Penjabat Menteri Luar Negeri Republik Filipina saat itu secara resmi mengakui lebih lanjut kedaulatan Kesultanan Sulu atas Borneo Utara (sekarang Sabah), dengan menjelaskan bahwa "BAHWA, selama dua ratus tahun terakhir atau lebih gelar kedaulatan dan kekuasaan atas Wilayah Borneo Utara telah berada di tangan Kesultanan Sulu.”[12] Sengketa wilayah Borneo UtaraSengketa wilayah antara Filipina dan Malaysia sejak era Presiden Diosdado Macapagal ini disebabkan karena klaim Macapagal bahwa wilayah timur Sabah merupakan bagian dari Filipina. Sebelumnya, Sabah disebut dengan nama Borneo Utara sebelum bergabung dengan Malaysia pada 1963. Wilayah timur ini diduga merupakan lahan hadiah dari Brunei Darussalam karena Sulu mengintervensi di Perang Sipil Brunei. Namun, sejarahwan Brunei Leigh R. Wright membantah klaim bahwa Sulu membantu Brunei pada saat perang sipil terjadi.[13][14] Filipina melalui warisan dari Kesultanan Sulu mengeklaim bahwa Sabah merupakan wilayah Filipina dengan basis bahwa Sabah disewakan kepada Serikat Borneo Utara Inggris dengan kedaulatan Sultan tidak dihapus.Perselisihan ini bermula dari perbedaan penafsiran atas perjanjian yang ditandatangani antara Kesultanan Sulu dan sindikat komersial Inggris (Alfred Dent dan Baron von Overbeck) pada tahun 1878, yang menetapkan bahwa Kalimantan Utara diserahkan atau disewakan (tergantung terjemahan yang digunakan). kepada perusahaan carteran Inggris dengan imbalan pembayaran 5.000 dolar per tahun. Malaysia memandang perselisihan tersebut sebagai "bukan masalah", karena tidak hanya menganggap perjanjian pada tahun 1878 sebagai salah satu penyerahan, namun juga menganggap bahwa penduduknya telah melakukan tindakan penentuan nasib sendiri ketika mereka bergabung untuk membentuk federasi Malaysia pada tahun 1963.[15][16] Seperti yang dilaporkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, kemerdekaan Borneo Utara adalah hasil aspirasi mayoritas rakyat Borneo Utara sesuai dengan penemuan di Komisi Cobbold.[17] Terlebih lagi, perjanjian Konfirmasi Penyerahan tahun 1903 antara sultan Sulu dengan pemerintah Inggris, telah memberikan penegasan kembali mengenai pemahaman sultan Sulu terhadap perjanjian tahun 1878, yakni berbentuk penyerahan.[18][19] Selama masa penjajahan Inggris, pemerintahan Inggris terus melakukan pembayaran "uang warisan" tahunan kepada sultan dan ahli warisnya dan pembayaran ini secara jelas ditunjukkan dalam kuitansi sebagai "uang warisan".[20] Pada sebuah konferensi yang dihadiri oleh pejabat Inggris dan Filipina di London pada 1961, mereka membentuk dewan untuk mendiskusikan klaim Filipina atas Sabah. Pejabat Inggris menginformasikan anggota DPR Filipina Jovito Salonga bahwa butir-butir perjanjian tersebut tidak diprotes oleh pihak sultan ataupun ahli warisnya.[21] Pada pertemuan Mafilindo antara pejabat Filipina, Malaya, dan Indonesia, pemerintah Filipina meminta Malaya untuk membayar 5,000 kepada Sultan Sulu.[22] Perdana Menteri Malaya Tunku Abdul Rahman menyatakan bahwa ia akan kembali ke Kuala Lumpur untuk mendiskusikan permintaan itu.[23] Sejak itu, Kedutaan Malaysia di Manila mengeluarkan cek sebesar RM5,300 kepada kuasa hukum ahli waris sultan Sulu. Malaysia menganggap penyelesaian tersebut sebagai “pembayaran konsesi” tahunan untuk negara yang disengketakan, sementara keturunan sultan menganggapnya sebagai “sewa”.[24] Pembayaran ini dihentikan oleh Najib Razak saat pasukan yang diduga berasal dari Kesultanan Sulu menyerang Sabah pada 2013 karena serangan tersebut merupakan pelanggaran perjanjian Konfirmasi Penyerahan 1903 dan perjanjian 1878 yang mendahuluinya.[25] Undang-Undang Republik 5446 yang disahkan di Filipina pada 18 September 1968 menyatakan bahwa Sabah merupakan "wilayah dibawah kekuasaan dan kedaulatan Filipina".[26] Pada 16 Juli 2011, Mahkamah Agung Filipina menguji bahwa klaim Filipina terhadap Sabah masih berlaku dan dapat dikejar di masa depan.[27] Sampai dengan 10 Maret 2018, Malaysia menyatakan bahwa klaim Sabah tidak menjadi masalah dan tidak dapat dinegosiasikan, dengan demikian menolak seluruh ajakan dari Filipina untuk menyelesaikan sengketa wilayah ini di Mahkamah Internasional. Pemerintah Sabah memandang klaim yang dibuat oleh pemimpin Front Pembebasan Nasional Moro Nur Misuari untuk membawa Sabah menuju pengadilan internasional sebagai tidak menjadi masalah, maka menolak klaim tersebut.[28] Pada 2019, Jaksa Agung Malaysia Tommy Thomas mengakui bahwa Malaysia tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menolak melanjutkan pembayaran kepada ahli waris kesultanan dan menawarkan dimulainya kembali pembayaran sebagai imbalan atas penghentian proses arbitrase komersial. Thomas juga sepakat bahwa arbitrase tersebut tidak mempertaruhkan kedaulatan nasional Malaysia. Penghargaan pendahuluan diberikan kepada ahli waris Kesultanan Sulu pada Mei 2020. Malaysia kemudian mengajukan gugatan ke Kamar Perdata dan Pidana Pengadilan Tinggi Madrid; dimana pengadilan kemudian memutuskan pada tanggal 29 Juni 2021 untuk membatalkan penunjukanGonzalo Stampa, arbiter kasus tersebut, dan menghentikan semua proses kasus tersebut, karena konon niat para ahli waris Kesultanan Sulu adalah untuk menuntut kembali negara Sabah dari Malaysia, sehingga mengancam keutuhan kedaulatan Malaysia. Tempat arbitrase kemudian dipindahkan ke Paris karena Tribunal de grande instance de Paris mengeluarkan exequatur putusan pendahuluan pada bulan September 2021.[29] Stampa mengabaikan perintah pengadilan pidana Spanyol untuk menghentikan semua proses.[30] Pada Februari 2022, sebuah pengadilan internasional memutuskan bahwa Malaysia telah melanggar perjanjian 1878 mengenai pembayaran tahunan uang warisan dan mendakwa bahwa Malaysia harus membayar sekitar US$14.92 miliar (atau RM62.59 miliar) kepada ahli waris Sultan Sulu yang dihentikan Malaysia akibat insiden Konflik Sabah 2013. Keputusan itu diduga dibuat di sebuah pengadilan arbitrase di Paris, Prancis oleh pengacara arbitrase Spanyol Gonzalo Stampa.[31] Pada Maret 2022, Malaysia mengeluarkan permintaan uji banding untuk membatalkan keputusan pengadilan kepada ahli waris kesultanan karena penunjukkan Stampa sebagai kuasa hukum Kesultanan Sulu sudah dianulir oleh Pengadilan Tinggi Madrid pada 2021, membuat keputusan apapun yang dihasilkan oleh Stampa tidak sah termasuk keputusan yang dihasilkan pada Februari 2022.[32] Pengacara ahli waris mengindikasikan bahwa mereka akan mengupayakan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, dengan mengutip Konvensi PBB tentang Pengakuan dan Penegakan Putusan Arbitrase Asing tahun 1958.[33][34] Pada Juli 2022, juru sita pengadilan Luksemburg mendakwa Petronas Azerbaijan (Shah Denis) dan Kaukus Selatan Petronas dengan "saiseie-arret", atau perintah ukuran atau atas nama keturunan sultan Sulu. Petronas menyatakan bahwa mereka akan melakukan uji banding.[35] Pada bulan Juni 2023, Pengadilan Banding Paris memenangkan banding Pemerintah Malaysia terhadap keputusan pengadilan arbitrase Prancis pada tahun 2022 yang memberikan US$15 miliar kepada penggugat Kesultanan Sulu. Pengadilan Banding juga memutuskan bahwa Stampa dan pengadilan arbitrase tidak mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut. Selain itu, Pengadilan Banding membatalkan penghargaan sebesar US$15,9 miliar. Keputusan ini disambut baik oleh Menteri Hukum Malaysia Datuk Seri Azalina Othman Said.[36][37][38] Stampa juga menghadapi proses hukum di Spanyol karena mengabaikan keputusan pengadilan Spanyol sebelumnya. Namun, putusan Stampa tetap dapat dilaksanakan di luar Perancis karena perjanjian PBB mengenai arbitrase internasional. Penggugat Sulu juga telah mengajukan tuntutan untuk menyita aset Malaysia di Belanda dan Luksemburg.[39] Kesultanan Sulu masa kiniSelain aktif di sengketa wilayah Sabah, ahli waris dan pendukung Kesultanan Sulu juga aktif di politik nasional Filipina. Mereka menyerukan agar Filipina menjadi negara federal dan meminta berdirinya negara bagian yang mencakupi bekas wilayah Kesultanan Sulu dengan nama Zambasulta.[40] Lihat pulaCatatan kaki
Pranala luar
|