Terdapat berbagai versi penamaan Tayan, antara lain:[6]
Asal kata TA artinya TANAH dan YAN artinya TAJAM (TANAH TAJAM).[6] Apakah ini dimaksudkan dengan kondisi tanah ujung Tanjung, disitu tempat mulai dibuka atau didirikan kota Tayan;[6]
Asal kata TAI artinya BESAR dan AN artinya KOTA (KOTA BESAR).[6] Sebuah tempayan yang ditenggelamkan di muara Sungai Tayan sebagai tanda mulai berdirinya Kota Tayan.[6]
Sejarah
Kerajaan Tayan di dirikan oleh Gusti Lekar, anak kedua dari Panembahan Dikiri (Raja Matan).[7] sedangkan anaknya yang pertama bernama Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuidin, menggantikan ayahnya menjadi Raja Matan.[7] Sultan Muhammad Syarifudin adalah Raja pertama yang memeluk agama islam oleh tuan Syech Syamsuddin dan mendapat hadiah dari raja mekah sebuah Qur’an kecil dan sebentuk cincin bermata jamrut merah.[7] Kedatangan Gusti Lekar di Tayan semulanya untuk mengamankan upeti dari rakyat daerah itu kepada kerajaan matan, sebelumnya pembawa upeti tersebut selalu mendapat gangguan oleh seseorang yang mengatakan dirinya raja di kuala lebai.[7] untuk semuanya itu Gusti Lekar bersama seorang suku dayak bernama Kia Jaga dari Tebang berhasil mengamankan upeti tersebut sampai ke kerajaan Matan.[7]
Gusti Lekar wafat di makamkan di sebuah bukit dekat Kota Meliau, karena tempat atau bukit tersebut masih termasuk wilayah Kerajaan Tayan.[7] Dengan wafatnya Gusti Lekar ini, maka sebagai penggantinya menjadi raja di Tayan diangkatlah Gusti Gagok dengan gelar Pangeran Manca Ningrat, beristrikan Utin Halijah dan memperoleh seorang anak yang diberi nama Gusti Ramal.[7] sedangkan saudaranya yang lain, yaitu Gusti Manggar menjadi Raja di Meliau, Gusti Togok menjadi Raja di Sanggau dan Utin Peruan kawin dengan abang sebatang hari seorang pangeran di Embau Hulu Kapuas.[7]
Sejak itu ibu kota Kerajaan Tayan dipindahkan ke suatu tempat bernama Rayang.[7] Ditempat ini masih terdapat peninggalan berupa Makam Raja-raja dan sebuah meriam, yang konon atau menurut cerita meriam ini tidak mau dipindahkan ketempat lain dan pada saat-saat tertentu posisinya dapat berubah sendiri.[7] Dengan berakhirnya masa Kerajaan Tayan ini, status keraton dijadikan monumen peninggalan sejarah yang dilindungi (Monumen Ordonansi No. 238 tahun 1931) dan mendapat bantuan biaya pemeliharaan dari Pemerintahan Daerah TK I Kalimantan Barat.[7] Peninggalan sejarah lainnya yaitu sebuah Masjid Jami' yang letaknya kurang lebih 100 meter kearah Barat Keraton dan Makam Raja-raja serta puluhan meriam peninggalan VOC.[7]
Kerajaan Tayan pertama kali ditempatkan di daerah Tayan, setelah Gusti Lekar wafat dimakamkan disebuah bukit yang tidak jauh keberadaannya dari Kota Meliau, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau.[7]Gusti Lekar wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Gusti Gagok yang bergelar Manca Diningrat.[7] Kemudian Gusti Gagok memindahkan Ibu kota Kerajaan Tayan ke suatu tempat bernama Rayang.[7] Hingga saat ini kawasan Rayang masih didapati peninggalan Kerajaan Tayan berupa makam Raja-Raja beserta kerabat kerajaan di mana dikawasan tersebut ditandai keberadaan sebuah meriam.[7] Setelah Pangeran Mancadiningrat (Gusti Gagok) wafat, Raja Tayan diganti oleh anak pertamanya bernama Gusti Ramal yang bergelar Pangeran Marta Jaya Kusuma.[7]
Sejak pemerintahan Gusti Kamaruddin yang bergelar Pangeran Suma Yuda yang menggantikan ayahnya Gusti Ramal menjadi Raja tayan.[7] Dalam masa pemerinthannya itu, terjadi peperangan antara Kerajaan Tayan dengan Kerajaan Pontianak.[7]Kerajaan Sanggau dan orang-orang China dari wilayah Mentrado Bengkayang.[7] Setelah wafatnya Pangeran Suma Yuda (Panembahan Tua), diangkatlah anaknya yang bernama Gusti Mekkah yang kemudian bergelar Panembahan Natakusuma (Panembahan Muda).[7] Pada masa pemerintahan Natakusuma inilah tercatat bahwa dia yang mula-mula mengikat perjanjian dengan Nederland Indie Gouverment pada bulan November tahun 1822.[7]
Panembahan Natakusuma mangkat pada tahun 1825 dengan tidak meninggalkan seorang putra.[7] Maka yang menggantikan menjadi Raja Tayan adalah saudaranya Panembahan Tua yaitu Utin Belondo yang bergelar Ratu Utin Belondo (Ratu Tua) sedangkan yang menjalankan pemerintahan kerajaan adalah suaminya Gusti Hasan Pangeran Ratu kusuma dengan gelar Panembahan Mangku Negara Surya Kusuma.[7] Pada tahun 1855 Panembahan Mangku Negara Surya Kusuma wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Gusti Inding yang bergelar sama dengan ayahnya.[7]
Dalam tahun 1858 oleh pemerintahan Belanda (Gouverment Hindia Belanda) gelar dia diganti menjadi Panembahan Anom Pakunegara Surya Kusuma.[7] Pada masa itu terjadi peperangan antara kerajaan Tayan dengan Kerajaan Landak (Ngabang).[7] Oleh karena dia sudah sangat tua, maka roda pemerintahannya diserahkan kepada adiknya yang bernama Gusti Karma.[7] Dia meninggal dunia pada tanggal 23 November 1873 (1290 H) di Batang Tarang.[7] Gusti Karma kemudian diangkat menjadi Raja Tayan dan diberi gelar Panembahan Adi Ningrat Kusuma Negara dan dia memerintah hingga tahun 1880 yang kemudian digantikan anaknya bernama Gusti Muhammad Ali disebut pula dengan nama Gusti Indung bergelar Panembahan Pakunegara Kusuma dinobatkan menjadi Raja tayan di Rayang.[7] Dia beristrikan Utin fatimah dan memperoleh 12 anak.[7]
Dalam masa pemerintahan dia, mengikat kontrak baru dengan pemerintahan belanda yaitu Akta Van Verband en Bekrachting di Rayang, 2 April 1880, Goedgekeurd 23 April 1883 Nomor 12.[7] Dalam masa pemerintahannya Ibu kota tempat kedudukan Raja dipindahkan dari Istana Rayang ke Tayan (berawal di kawasan Teluk Kemilun dan kemudian berpindah ke Desa Pedalaman hingga saat ini) dan sekaligus membangun istana/keraton baru yang dibangun oleh rakyat Tayan untuk Raja Tayan.[7] Keraton ini hingga pada saat ini masih berdiri dan ditempati oleh para ahli warisnya.[7] Pada tanggal 26 Februari 1890 oleh Gouverment Hindia Nederland, Kerajaan Meliau dimasukkan kedalam wilayah/daerah Kerajaan Tayan.[7] Panembahan Gusti Muhammad Ali memegang jabatan selama 15 tahun (1890 s/d 1905), dia wafat dan dimakamkan dikompleks Makam Raja-Raja Tayan di desa kawat.[7]
Sejak dipindahkan pusat kerajaan dari Rayang ke tempat yang baru, dan bertempat tinggal diistana/keraton tersebut telah sempat memerintah 4 orang Panembahan, yaitu:[7]
Zaman pemerintahan Gusti Ismail tetap menjadi Raja Tayan sampai pada masa pemerintahan Swapraja diserahkan pada tahun 1960.[7] Tetapi dia masih bekerja terus sebagai Wedana Tayan.[7] Dalam kedudukan sebagai Wedana Tayan, Gusti Ismail dipindahkan dan diperbantukan dikantor Bupati Kepala daerah Kabupaten Sanggau.[7] Sekarang bekas ibu kota Kerajaan Tayan menjadi Ibu kota Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau.[7] Raja-raja tersebut dimakamkan di kompleks makam Raja-Raja Tayan, serta makam Utin Belondo atau Ratu Utin Belondo di desa Kawat.[7]
Daftar Panembahan Tayan
* 1780-1809: Suma Juda
* 1809-1825; regen: 1809-1822: Natu Kusuma
* 1823-1945: Protektorat belanda
* 1825-1828: Ratu Kusuma Surjanegara
* 1828-1854: Marta Surjakusuma (panembahan)
* 1854-1873: Anom Pakunegara Surjakusuma
* 1873-1880: Ratu Kusumanegara
* 1880-1905: Pakunegara Surjakusuma
* 1905-1929: Anom Pakunegara
* 1929-1944: Anom Adinegara (Gusti Dżapar)
* 1945-1960: Pakunegara (Gusti Ismail)
* 2012: Pada 26 Mei 2012 penobatan Raja XIV setelah vakum sejak tahun 1967 saat Raja XIII mangkat. Kevakuman Kerajaan Tayan akibat dari kekejaman Jepang.