Brawijaya

Brawijaya atau Prabu Brawijaya adalah istilah yang, secara literatur, muncul pertamakali dalam Babad Tanah Jawi karya JJ. Meinsma dan Pujangga Mataram Islam pada abad 19 M. Banyak sejarawan menganggap gelar ini ahistoris dan diragukan sebagai gelar penguasa Majapahit. Mengingat, Babad Tanah Jawi bukan sumber primer sejarah. Namun hanya karya pujangga.

Serupa Kerajaan Medang, Medang Kahuripan, hingga Singhasari, Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan besar yang mengeluarkan banyak prasasti. Baik di masa awal pendiriannya, hingga akhir keruntuhannya. Namun, tak ditemukan istilah Brawijaya dalam sumber-sumber resmi kerajaan Majapahit tersebut.

Istilah Brawijaya lebih identik tokoh folklore dalam dongeng rakyat. Khususnya dongeng-dongeng yang menjadikan Babad Tanah Jawi sebagai sumber utamanya. Nama Brawijaya muncul di banyak cerita rakyat.

Sumber sastra

Gelar Brawijaya memang tidak ditemukan di prasasti manapun. Gelar Brawijaya hanya ada dalam cerita Babad. Mengingat, semua Babad menginduk pada Babad Tanah Jawi karya Pujangga Mataram Islam dan JJ. Meinsma tersebut. Dalam sumber-sumber itu, penyebutannya yang umum adalah Prabu Brawijaya, tanpa diikuti angka.

Dalam Babad Tanah Jawi terdapat cerita tentang keruntuhan Majapahit. Prabu Brawijaya disebutkan menyaksikan kedatangan tentara Demak yang dipimpin putranya untuk menyerang Majapahit. Karena itu, Brawijaya dan pengikutnya kemudian meninggalkan keraton.[1]

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, yang baru ditulis pada abad 18 M, diceritakan Raden Patah sebagai raja Demak dianggap sebagai putra dari Brawijaya. Dalam Serat Kandha, Brawijaya dan keluarganya mengungsi ke Senggaruh saat Demak menyerang. Mereka kemudian mengungsi ke Bali dan tetap menolak masuk Islam.[1]

Dalam Serat Darmogandul yang baru ditulis pada 1900 M, dan bersumber dari Babad Tanah Jawi, diceritakan Brawijaya dan pengikutnya pergi mengungsi, namun ditemukan oleh Sunan Kalijaga saat di Blambangan dan diislamkan di sana.[1]

Dalam Serat Centhini yang baru ditulis pada abad 19 M, diceritakan Majapahit sebagai kerajaan besar saat di bawah pemerintahan Brawijaya V. Dalam Jilid III-nya, disebutkan sekitar 101 nama yang dianggap keturunan Brawijaya, seperti Bathara Katong yang merupakan julukan Jaka Pitutur alias Raden Arakkali yang menjabat Adipati Ponorogo.[2]

Catatan Mangkudimeja

RM. Mangkudimeja dalam karya berjudul Wewahaning Serat Pararaton (ditulis pada 1912 M, dan berisi rangkuman Babad), mencatat nama-nama penguasa Majapahit.

Berikut ini daftar penguasa Majapahit dalam catatan Mangundireja tersebut.

  1. Radèn Bratana
  2. Radèn Brakumara
  3. Radèn Adaningkung atau Arya Adiwijaya (Brawijaya I)
  4. Radèn Hayamwuruk atau Aryalaimwijaya (Brawijaya II)
  5. Radèn Arya Martawijaya atakonon u Lembu Amisani (Brawijaya III)
  6. Radèn Siwaya atau Radèn Bratanjung (Brawijaya IV)
  7. Radèn Alit atau Angkawijaya (Brawijaya V)
Penguasa Majapahit menurut Serat Momana
  1. Prabu Sesuruh (Brawijaya I, 1301-1310)
  2. Radèn Brakusuma (Brawijaya II, 1310-1325)
  3. Radèn Udaningkung atau Angkawijaya (Brawijaya III, 1325-1329)
  4. Ratu Ayu Kencanawungu (1329-?)
  5. Radèn Damarwulan (Brawijaya IV, 1337)
  6. Lembu Amisani (Brawijaya V, 1337-1341)
Penguasa Majapahit menurut serat dari Sumenep
  1. Jaka Sesuruh (Brawijaya, 1158)
  2. Prabu Anom
  3. Udaningkung
  4. Prabu Kencana
  5. Lembu Amisani
  6. Bramatunggung
  7. Radèn Alit (Brawijaya)
Penguasa Majapahit menurut Serat Pararaton
  1. Radèn Wijaya atau Prabu Kertarajasa Jayawardhana (1216-1217)
  2. Kalagemet atau Prabu Jayanagara (1217-1250)
  3. Bhre Kahuripan II atau Prabu Putri I atau Jaya Wisnuwardhani (1250-?)
  4. Hayamwuruk atau Prabu Rajasanagara atau Sang Hyang Wekasing Suka atau Janèswara (?-1311)
  5. Hyang Wisésa atau Prabu Ajiwikrama (1311-1322)
  6. Dèwi Suhita atau Prabu Putri II (1322-1351)
  7. Tanpa penguasa (1351-1359)
  8. Bhre Daha IV atau Prabu Putri III (1359-1369)
  9. Bhre Tumapèl IV atau Prabu Kertawijaya (?) (1369-1373)
  10. Bhre Pamotan II atau Prabu Rajasawardhana (1373 - 1375)
  11. Tanpa penguasa (1375-1378)
  12. Bhre Wengker III atau Prabu Hyang Purwawisésa (1378-1388)
  13. Bhre Pandansalas III (1388-1390 (?)
Penguasa Majapahit yang memakai nama "Vijaya" atau "Wijaya"
  1. Dyah Wijaya
  2. Dyah Kertawijaya (Wijaya Parakrama Wardhana)
  3. Dyah Wijayakumara (Rajasawardhana)
  4. Dyah Samarawijaya (putra Rajasawardhana)
  5. Dyah Wijayakusuma (putra Rajasawardhana)
  6. Dyah Wijayakarana (putra Suraprabhawa)
  7. Dyah Wijayakusuma (putra Suraprabhawa)
  8. Dyah Ranawijaya (putra Suraprabhawa)

Sumber cerita rakyat

Selain karya sastra bersumber dari Babad Tanah Jawi (dibuat pada abad 19 M) , sumber lain yang menyebutkan keberadaan Brawijaya dari Majapahit mayoritas adalah cerita rakyat. Sama seperti dalam karya-karya sastra, penyebutannya yang umum dalam cerita-cerita rakyat adalah Prabu Brawijaya, tanpa diikuti angka.

Di Kabupaten Gunungkidul, cerita rakyat tentang orang-orang Majapahit yang melarikan diri ke wilayah Gunungkidul terdapat di beberapa daerah. Di Dusun Betoro Kidul, Desa Karangasem, Kecamatan Ponjong, masyarakat setempat meyakini adanya tokoh bernama Bathara Katong yang pernah tinggal di sana. Menurut sesepuh setempat, nama asli dari Bathara Katong adalah Jaka Umbaran yang berasal dari Majapahit dan merupakan keturunan Brawijaya.[3] Di Kecamatan Panggang malah terdapat cerita tentang Brawijaya sendiri. Dalam cerita tersebut, Brawijaya bersembunyi di Pantai Ngobaran untuk menghindari kejaran tentara Demak dan kemudian melakukan pati obong untuk meninggalkan jejak. Setelah itu, Brawijaya berpindah ke Gua Langse dan moksa di sana.[4] Cerita lain menyebutkan Brawijaya alias Bondansurati melakukan pati obong di sebuah hutan di wilayah Gunungkidul.[5]

Kisah orang-orang Majapahit yang melarikan diri juga terdapat di Dusun Dukuhan, Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman. Dalam cerita rakyat setempat, seorang abdi dalem Majapahit bernama Ki Ageng Tunggul Wulung ditugasi oleh Brawijaya menyelamatkan pusaka kerajaan karena Majapahit akan hancur diserang Demak dan menyerahkannya kepada seorang kesatria. Ki Agung Tunggul Wulung dan rombongan sampai dan menetap wilayah yang sekarang bernama Dukuhan. Pusaka kerajaan berupa tombak Tunggul Wasesa, keris Pulung Geni, dan bendera Kiai Tunggul Wulung akhirnya diberikan kepada Danang Sutawijaya, kesatria yang mendirikan Kerajaan Mataram Islam. Orang-orang Majapahit yang tersisa di Dukuhan kemudian moksa. Lokasi yang diyakini tempat moksa mereka masih dirawat warga setempat.[6]

Di Kabupaten Bantul, Brawijaya diceritakan menyamar menjadi wong cilik bernama Ki Dipanala untuk mencari burung perkututnya bernama Jaka Mangu yang lepas. Ki Wangsayuda menemukan perkutut tersebut dan merawatnya bersama perkutut-perkututnya yang lain. Ki Dipanala akhirnya berjumpa dengan Ki Wangsayuda dan memberitahunya bahwa ia sedang mencari perkututnya. Ki Dipanala mengenali salah satu perkutut yang dirawat Ki Wangsayuda adalah Jaka Mangu. Akhirnya, Ki Wangsayuda menyerahkan Jaka Mangu kepada pemiliknya. Oleh Brawijaya, Ki Wangsayuda diberi hadiah atas jasanya merawat Jaka Mangu. Hadiah tersebut membuatnya menjadi orang terpandang sehingga dijuluki Ki Ageng Paker. Wilayah tempatnya tinggal kemudian dikenal sebagai Dusun Paker yang terletak di Desa Mulyodadi, Kecamatan Bambanglipuro.[7]

Di Ngawi, tepatnya di Desa Babadan, Kecamatan Paron, terdapat cerita rakyat tentang Brawijaya V yang menyinggahi hutan di daerah tersebut dalam pelariannya menuju Gunung Lawu karena dikejar oleh pasukan Demak yang telah menghancurkan Majapahit. Di hutan tersebut, ia dianggap meninggalkan jejak berupa gundukan tanah, yang saat ini dianggap petilasannya. Gundukan tersebut ditemukan pada 1963 oleh kepala desa Babadan dan saat ini dikenal sebagai Punden Syeh Dumbo. Masyarakat setempat percaya, di petilasan tersebut Brawijaya V meletakkan baju kebesaran dan mahkotanya, dan beristirahat. Brawijaya V juga dipercaya sempat menyucikan diri di Sungai Tempuk yang terletak tidak jauh dari petilasan tersebut.[8] Kini daerah sekitar punden tersebut dikenal sebagai kompleks Palereman Alas Ketonggo Srigati.

Di Gunung Lawu, Brawijaya V dipercaya moksa. Dalam cerita rakyat setempat, Gunung Lawu dipercaya sebagai tempat persembunyian Brawijaya V dari kejaran pasukan Demak sebelum akhirnya moksa. Di sana, ia didampingi oleh pengikutnya: Sabdo Palon, Dipa Menggala, dan Wangsa Menggala. Brawijaya V dipercaya menitahkan kepada Dipa Manggala menjadi Sunan Lawu yang bertugas menjaga Gunung Lawu dan Wangsa Menggala menjadi Kyai Jalak yang bertugas sebagai patih Sunan Lawu, sementara Sabdo Palon pergi meninggalkan Brawijaya V dan moksa. Kini, tempat moksa Sabdo Palon terkenal sebagai Puncak Hargo Dumilah, dan tempat moksa Brawijaya V terkenal sebagai Puncak Hargo Dalem.[9]

Situs

Banyak situs di Jawa, khususnya Jawa Tengah, Ngawi dan Jawa Timur yang secara folklore, dikaitkan dengan Brawijaya, Beberapa di antaranya bahkan terdapat petilasan, dan dikeramatkan karena itu. Berikut ini daftar situs yang dimaksud.

Situs Petilasan Keterangan Lokasi
Gua Langse - Dipercaya sebagai pamoksan (tempat moksa) Brawijaya V. Dusun Gabuk, Giricahyo, Purwosari, Gunungkidul
Gunung Genthong Tumpukan batu & gentong Gadhéan (berbentuk tumpukan batu) dipercaya sebagai tempat Brawijaya V bersemedi atau singgah saat pelarian meninggalkan keraton Majapahit. Gentong di kompleks Gunung Gentong dipercaya dilemparkan oleh Raden Patah. Dusun Manggung, Ngalang, Gedangsari, Gunungkidul
Makam Brawijaya Pamungkas Makam Dipercaya sebagai makam Brawijaya terakhir yang telah mendalami Islam didampingi Sunan Kalijaga di Gunung Lawu. Gedongombo, Semanding, Tuban
Makam Keramat Mronjo Makam Dipercaya sebagai makam Brawijaya. Dusun Kebonrejo, Mronjo, Selopuro, Blitar
Makam Panjang Trowulan Makam Dipercaya sebagai makam Brawijaya V yang telah memeluk Islam setelah diislamkan Sunan Kalijaga. Dusun Unggahan, Trowulan, Trowulan, Mojokerto
Palereman Alas Ketonggo Jati Punden Dipercaya sebagai tempat Brawijaya V meletakkan baju kebesaran dan mahkotanya, dan beristirahat. Saat ini lokasi tersebut dikenal sebagai Punden Syeh Dumbo. Dusun Brendil, Babadan, Paron
Pamoksan Brawijaya Batu berukir Dipercaya sebagai persinggahan terakhir Brawijaya V sebelum moksa di puncak Gunung Lawu. Oleh kalangan awam, batu berukir di lokasi sering disebut sebagai prasasti, meski tidak terdapat tulisan pada permukaannya. Saat ini lokasi tersebut telah dikembangkan menjadi destinasi wisata. Dusun Babar, Anggrasmanis, Jenawi, Karanganyar
Pantai Ngobaran - Dipercaya sebagai pamoksan (tempat moksa) Brawijaya V. Sebuah bangunan (kadang disebut sebagai pura) dibangun di sekitar pantai sebagai penanda lokasi moksa. Dusun Gebang, Kanigoro, Saptosari, Gunungkidul
Pesanggrahan Brawijaya V Punden Dipercaya sebagai lokasi pesanggrahan Brawijaya V saat pelarian meninggalkan keraton Majapahit. Lokasinya kini dikenal sebagai Punden Sambi Galuh. Dusun Majapahit, Sambungmacan, Sambungmacan, Sragen
Petilasan Brawijaya Batur Tumpukan batu & pohon beringin Dipercaya sebagai lokasi Brawijaya V memotong ari-ari bayinya dengan bambu dan menanamnya. Bambu yang digunakan dipercaya tumbuh menjadi pohon beringin di sekitar timpukan batu. Dusun Batur, Putat, Patuk, Gunungkidul
Pertabatan Brawijaya V Tumpukan batu Dipercaya sebagai lokasi tapa brata (pertapabrataan atau pertabatan) Brawijaya V dalam pelariannya meninggalkan Majapahit menuju Pajajaran Suratrunan, Alian, Kebumen
Pertapaan Bancolono Sendang Dipercaya sebagai lokasi Brawijaya V dan pengikutnya mandi atau bersuci saat pelarian meninggalkan keraton Majapahit. Dusun Tlogodringo, Gondosuli, Tawangmangu, Karanganyar
Puncak Hargo Dalem - Dipercaya sebagai pamoksan (tempat moksa) Brawijaya V. Sebuah bangunan (kadang disebut sebagai makam) dibangun di sekitar puncak sebagai penanda lokasi moksa. Dusun Cemorosewu, Ngancar, Plaosan, Magetan
Petilasan Brawijaya V Gundukan tanah Dipercaya sebagai tempat bersemedi Brawijaya V yang kemudian memperoleh wahyu mendirikan Candi Sukuh dan Candi Cetho. Lokasi sekitarnya saat ini menjadi kompleks pemakaman umum Onggojoyo. Dusun Sintru, Doplang, Karangpandan, Karanganyar

Keterangan

Referensi

  1. ^ a b c Djafar (1978), hlm. 95.
  2. ^ Putranto (2003), hlm. 231.
  3. ^ Putranto (2003), hlm. 228.
  4. ^ Anonim (1997/1998).
  5. ^ Soehardji (2002), hlm. 6-7.
  6. ^ Prabowo (2004), hlm. 121-129.
  7. ^ Prabowo (2004), hlm. 179-183.
  8. ^ Andriani (2008).
  9. ^ Pratiwi (2017).

Daftar pustaka