Wikramawardhana
Wikramawardhana adalah Maharaja ke-5 Majapahit putra Dyah Nertaja atau Putri Iswari yang merupakan adik kandung Prabu Hayam Wuruk, Setalah Maharani ke-5 Kusumawardhani putri Hayam Wuruk wafat pada tahun 1400 dan tidak memiliki anak maka secara otomatis tahta seharusnya diserahkan pada Bre Wirabhumi, maka terjadi lah perang paregreg setelah berhasil membunuh Bre Wirabhumi maka mengangkat dirinya menjadi Maharaja ke-6 (1406-1429) Asal-usul Wikramawardhana dan KusumawardhaniWikramawardhana dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikramawardhana. Nama aslinya adalah Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana. Permaisurinya, yaitu Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari Sri Sudewi disebut juga Paduka sori. Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan sudah menikah. Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka, dapat dipastikan kalau kedua sepupu tersebut telah dijodohkan sejak kecil. Dari perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama Rajasakusuma bergelar Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja. Pararaton juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya. Bhre Tumapel lahir dari Bhre Mataram putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum sempat menjadi raja. Kedudukan sebagai pewaris takhta Majapahit kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi. Masa Pemerintahan Wikramawardhana dan KusumawardhaniSaat Nagarakretagama ditulis tahun 1365, Kusumawardhani masih menjadi putri mahkota yang menjabat sebagai Bhre Kabalan. Sedangkan Wikramawardhana menjabat sebagai Bhre Mataram dan mengurusi masalah perdata. Menurut Pararaton, sepeninggal Hayam Wuruk tahun 1389, Kusumawardhani dan Wikramawardhana naik takhta dan memerintah berdampingan. Jabatan Bhre Mataram lalu diserahkan pada selir Wikramawardhana, yaitu putri dari Ranamanggala Bhre Pandansalas, yang menikah dengan adik Wikramawardhana yang bernama Surawardhani Bhre Kahuripan. Jadi, Wikramawardhana menikahi keponakannya sendiri sebagai selir. Rajasakusuma sang putra mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre Kabalan menggantikan Kusumawardhani, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton. Pada tahun 1389, terjadi ketegangan antara Bhre Wirabumi dan Wikramawardhana, karena Wikramawardhana memberikan gelar Bhre Lasem kepada permaisurinya, Kusumawardhani, padahal gelar Bhre Lasem sedang disandang adiknya, Nagarawardhani, istri Bhre Wirabumi. Sengketa jabatan Bhre Lasem ini menciptakan perang dingin antara istana barat dan timur. Pada tahun 1398, Majapahit mengirimkan armadanya untuk menyerang Iskandar Shah (raja Kerajaan Singapura). Hal ini disebabkan atas tuduhan Iskandar Shah kepada salah satu selirnya yang melakukan perzinaan. Sebagai hukuman, raja menelanjangi selir itu di depan umum. Untuk membalaskan dendamnya, ayah selir itu, Sang Rajuna Tapa yang juga seorang pejabat di pengadilan Iskandar Shah, diam-diam mengirim pesan kepada Wikramawardhana dari Majapahit, untuk menyerang Singapura. Pada tahun 1398 Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai patih menggantikan Gajah Enggon yang meninggal dunia. Berita dalam Pararaton ini harus ditafsirkan sebagai “mengusulkan”, bukan “melantik”. Pada tahun 1399, Rajasakusuma meninggal sebelum menjadi raja. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung. Kedudukan putra mahkota lalu dijabat Bhre Tumapel putra Wikramawardhana dari Bhre Mataram. Pada tahun 1400, setelah Nagarawardhani dan Kusumawardhani sama-sama meninggal. Wikramawardhana segera mengangkat menantunya sebagai Bhre Lasem yang baru, yaitu istri Bhre Tumapel. Ketegangan Majapahit Barat dan Timur tersebut semakin besar hingga pada tahun 1404 terjadilah peperangan besar antara kerajaan Majapahit Barat dengan Majapahit Timur (Blambangan) yang dikenal dengan sebutan perang dua tahun atau Perang Paregreg yang berakhir tahun 1406, yang dimenangkan oleh Wikramawardhana. Menurut Pararaton, Wikramawardhana kembali menjadi raja, karena Kusumawardhani meninggal dunia. Kusumawardhani dicandikan di Pabangan, bernama Laksmipura. Menyerang Kerajaan SinghapuraPada tahun 1398, Majapahit mengirimkan armadanya untuk menyerang Iskandar Shah (raja Kerajaan Singapura), yang terdiri dari tiga ratus kapal perang utama dan ratusan kapal kecil, membawa tidak kurang dari 200.000 orang. Awalnya, tentara Jawa bertempur di luar benteng dengan penduduk Singapura. Sebelum akhirnya memaksa mereka untuk mundur ke belakang tembok. Kekuatan invasi Jawa terus melakukan pengepungan kota dan berulang kali mencoba untuk menyerang benteng.[1][2][3] Setelah sekitar satu bulan, makanan di dalam benteng mulai kehabisan dan pihak yang bertahan berada di ambang kelaparan. Sang Rajuna Tapa kemudian diminta untuk mendistribusikan biji-bijian milik kerajaan kepada masyarakat yang bertahan. Sebagai bentuk balas dendam, menteri berbohong kepada raja, dan mengatakan bahwa gudang kerajaan sedang kosong. Akhirnya orang-orang yang bertahan mengalami kelaparan. Serangan terakhir Majapahit terjadi setelah gerbang akhir dibuka atas perintah seorang menteri. Para prajurit Majapahit bergegas masuk ke benteng dan pembantaian yang mengerikan terjadi.[3] Menurut Malay Annals, "darah mengalir seperti sungai" dan noda merah di tanah Singapura disebut-sebut berasal dari darah pembantaian itu.[4] Mengetahui kekalahan sudah dekat, Iskandar Shah dan para pengikutnya melarikan diri dari Singapura. Perang ParegregPada tahun 1389, Wikramawardhana berselisih dengan Bhre Wirabhumi, karena Wikramawardhana, memberikan gelar Bhre Lasem kepada permaisurinya, Kusumawardhani, padahal gelar Bhre Lasem sedang disandang adiknya, Nagarawardhani, istri Bhre Wirabumi. Pada tahun 1400, Perselisihan antara penguasa Majapahit Barat dan Majapahit Timur ini memuncak, setelah Nagarawardhani dan Kusumawardhani sama-sama meninggal. Wikramawardhana berselisih kembali dengan Bhre Wirabhumi karena mengangkat menantunya sebagai Bhre Lasem yang baru, yaitu istri Bhre Tumapel. Perselisihan ini menjadi perang saudara pada tahun 1404, yang disebut Paregreg atau Perang Regreg. Pada tahun 1406 pasukan Majapahit barat yang dipimpin oleh Bhre Tumapel (anak Wikramawardhana) mengalahkan pasukan Majapahit timur. Dalam pertempuran, Bhre Wirabhumi tewas di tangan Bhra Narapati (Raden Gajah). Wikramawardhana kemudian menikahi Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi sebagai selir. Jadi Wikramawardhana menikahi keponakan tiri Kusumawardhani, dan mempunyai putri bernama Suhita. Perang Regreg membawa kerugian besar bagi Majapahit. Banyak daerah-daerah bawahan di luar Jawa melepaskan diri ketika Majapahit barat dan timur sibuk berperang, sehingga menyebabkan awal dari kemunduran Majapahit. Wikramawardhana juga berhutang ganti rugi pada kaisar Dinasti Ming penguasa Tiongkok. Ketika terjadi penyerbuan ke timur, sebanyak 170 orang anak buah Laksamana Ceng Ho ikut terbunuh. Padahal waktu itu Ceng Ho sedang menjadi duta besar mengunjungi Jawa. Menurut kronik Tiongkok tulisan Ma Huan (sekretaris Ceng Ho), Wikramawardhana diwajibkan membayar denda pada kaisar sebesar 60.000 tahil. Sampai tahun 1408 baru bisa diangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, kaisar membebaskan hutang tersebut karena kasihan. Menjalin Hubungan Dengan Kerajaan BudhaPada tahun 1412 Wikramawardhana menjalin dengan berbagai kerajaan penganut agama Budha di Kalimantan, Indochina, Korea hingga Jepang dengan cara memberikan cinderamata berupa hewan Gajah dari Wengker. Wikramawardhana mengutus Bre Wengker menjadi duta Majapahit untuk berbagai kerajaan yang dituju, program ini membuat hewan gajah di Wengker menjadi sedikit hingga punah tak tersisa. maka dari itu dibuatlah arca peringatan berupa Gajah di kawasan Wengker. Akhir Hayat WikramawardhanaWikramawardhana akhirnya meninggal pada akhir tahun 1429. Ia dicandikan di Wisesapura yang terletak di Bayalangu. Wikramawardhana digantikan oleh putrinya dari Bhre Daha yaitu Suhita yang naik takhta tahun 1429. Usia Suhita saat itu diperkirakan sekitar 20-tahun. Peninggalan sejarah Wikramawardhana berupa Prasasti Katiden I (1392) dan Prasasti Katiden II (1395), yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan suci. Silsilah
Bibliografi
|