Perang Regreg ( Paregreg) , Jawa: ꧋ꦦꦼꦫꦁꦦꦉꦓꦿꦼꦓ꧀꧈) adalah perang antara istana barat Majapahit yang dipimpin Wikramawardhana, melawan istana timur yang dipimpin Bhre Wirabhumi. Perang ini terjadi tahun 1404–1406 dan menjadi penyebab utama kemunduran Majapahit. Penyebab utama perang paregreg adalah setalah Maharani ke-5 wafat pada tahun 1400 dan tidak memiliki anak maka seharusnya tahta Maharaja ke 6 diserahkan ke Bre Wirabhumi anak kandung ke-2 Prabu Hayam Wuruk tetapi direbut oleh Wikramawarhana. Penyebab ke Kekalahan Bhre Wirabhumi disebabkan oleh Penghianatan Patihnya Yaitu Raden Gajah/Minak Jinggo yang membelot ke Wikramawardhana dan akhirnya Raden Gajah/Minak Jinggo dihukum Mati oleh Ratu Suhita cucu Bhre Wirabhumi (diabadikan dalam cerita Minak Jinggo vs Damarwulan). Regreg /Legreg merupakan sebuah kosakata dalam bahasa jawa yang berarti Rusak.
Penamaan
Konflik ini biasanya disebut sebagai "Perang Paregreg", tetapi istilah itu didasarkan pada kesalahpahaman linguistik. Dalam kronik Pararaton, di mana istilah untuk perang ini ditemukan, suatu peristiwa diberi label dengan menambahkan awalan pa- ke satu atau beberapa kata kunci. Misalnya, penyerangan Jawa terhadap Malayu di Sumatra pada tahun 1275 disebut pamalayu, pemberontakan Rangga Lawe pada tahun 1295 disebut paranggalawe, dan pembantaian orang Sunda di Bubat pada tahun 1357 disebut pasuṇḍabubat. Oleh karena itu terjemahan yang lebih baik dari parĕgrĕg adalah "peristiwa Regreg".[1]
Awal berdirinya Kerajaan Majapahit Timur
Kerajaan Majapahit berdiri tahun 1293 berkat kerja sama Raden Wijaya dan Arya Wiraraja. Pada tahun 1295, Raden Wijaya membagi 2 wilayah Majapahit untuk menepati janjinya semasa perjuangan. Sebelah timur diserahkan pada Arya Wiraraja dengan ibu kota di Lumajang.
Pada tahun 1316, Jayanagara putra Raden Wijaya menumpas pemberontakan Nambi di Lumajang. Setelah peristiwa tersebut, wilayah timur kembali bersatu (bereunifikasi) dengan wilayah barat.
Menurut Pararaton, pada tahun 1376, muncul sebuah gunung baru. Peristiwa ini dapat ditafsirkan sebagai munculnya kerajaan baru, karena menurut kronik Tiongkok dari Dinasti Ming, pada tahun 1377 di Jawa, ada 2 kerajaan merdeka yang sama-sama mengirim duta ke Tiongkok. Kerajaan Barat dipimpin Wu-lao-po-wu, dan Kerajaan Timur dipimpin Wu-lao-wang-chieh.
Wu-lao-po-wu adalah ejaan Tionghoa untuk Bhra Prabu, yaitu nama lain Hayam Wuruk (menurut Pararaton), sedangkan Wu-lao-wang-chieh adalah Bhre Wengker alias Wijayarajasa, suami Rajadewi (adik Tribhuwana Tunggadewi, ibu Hayam Wuruk).
Wijayarajasa rupanya berambisi menjadi raja. Sepeninggal Gajah Mada, Tribhuwana Tunggadewi, dan Rajadewi, ia membangun istana timur di Pamotan, sehingga dalam Pararaton, ia juga bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan.
Silsilah Bhre Wirabhumi
Perang Regreg adalah perang yang identik dengan tokoh Bhre Wirabhumi.
Nama asli Bhre Wirabhumi tidak diketahui. Menurut Pararaton, ia adalah putra Hayam Wuruk dari selir, dan menjadi anak angkat Bhre Daha istri Wijayarajasa, yaitu Rajadewi. Bhre Wirabhumi kemudian menikah dengan Bhre Lasem sang Alemu, putri Bhre Pajang (adik Hayam Wuruk).
Menurut Nagarakretagama, istri Bhre Wirabhumi adalah Nagarawardhani putri Bhre Lasem alias Indudewi. Indudewi adalah putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya daripada Pararaton, karena ditulis pada saat Bhre Wirabhumi masih hidup.
Jadi kesimpulannya, Bhre Wirabhumi lahir dari selir Hayam Wuruk, menjadi anak angkat Rajadewi (bibi Hayam Wuruk), dan kemudian dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi.
Perang Dingin Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Wijayarajasa, hubungan antara Majapahit istana barat dan timur masih diliputi perasaan segan, mengingat Wijayarajasa adalah mertua Hayam Wuruk.
Wijayarajasa meninggal tahun 1398. Ia digantikan anak angkat sekaligus suami cucunya, yaitu Bhre Wirabhumi sebagai raja istana timur. Sementara itu Hayam Wuruk meninggal tahun 1389. Ia digantikan keponakan sekaligus menantunya, yaitu Wikramawardhana.
Ketika Indudewi meninggal dunia, jabatan Bhre Lasem diserahkan pada putrinya, yaitu Nagarawardhani. Tapi Wikramawardhana juga mengangkat Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem. Itulah sebabnya, dalam Pararaton terdapat dua orang Bhre Lasem, yaitu Bhre Lasem Sang Halemu (Bhre Lasem yang gemuk) istri Bhre Wirabhumi, dan Bhre Lasem Sang Ahayu (Bhre Lasem yang cantik) istri Wikramawardhana.
Sengketa jabatan Bhre Lasem ini menciptakan perang dingin antara istana barat dan timur, sampai akhirnya Nagarawardhani dan Kusumawardhani sama-sama meninggal tahun 1400. Wikramawardhana segera mengangkat menantunya sebagai Bhre Lasem yang baru, yaitu istri Bhre Tumapel.
Terjadinya Perang Regreg
Setelah pengangkatan Bhre Lasem baru, perang dingin antara istana barat dan timur berubah menjadi perselisihan. Menurut Pararaton, Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana bertengkar tahun 1401 dan kemudian tidak saling bertegur sapa.
Perselisihan antara kedua raja meletus menjadi Perang Regreg tahun 1404. Regreg artinya perang setahap demi setahap dalam tempo lambat. Pihak yang menang pun silih berganti. Kadang pertempuran dimenangkan pihak timur, kadang dimenangkan pihak barat.
Akhirnya, pada tahun 1406, pasukan barat dipimpin Bhre Tumapel putra Wikramawardhana menyerbu pusat kerajaan timur. Bhre Wirabhumi menderita kekalahan dan melarikan diri menggunakan perahu pada malam hari. Ia dikejar dan dibunuh oleh Raden Gajah alias Bhra Narapati yang menjabat sebagai Ratu Angabhaya istana barat.
Raden Gajah membawa kepala Bhre Wirabhumi ke istana barat. Bhre Wirabhumi kemudian dicandikan di Lung bernama Girisa Pura.
Akibat Perang Regreg
Setelah kekalahan Bhre Wirabhumi, kerajaan timur kembali bersatu (bereunifikasi) dengan kerajaan barat. Akan tetapi, daerah-daerah bawahan di luar Jawa banyak yang lepas tanpa bisa dicegah. Misalnya, tahun 1405 daerah Kalimantan Barat direbut kerajaan Tiongkok. Lalu disusul lepasnya Palembang, Melayu, dan Malaka yang tumbuh sebagai bandar-bandar perdagangan ramai, yang merdeka dari Majapahit. Kemudian lepas pula daerah Brunei yang terletak di Pulau Kalimantan sebelah utara.
Selain itu Wikramawardhana juga berhutang ganti rugi pada Dinasti Ming penguasa Tiongkok. Sebagaimana disebutkan di atas, pihak Tiongkok mengetahui kalau di Jawa ada dua buah kerajaan, barat dan timur. Laksamana Ceng Ho dikirim sebagai duta besar mengunjungi kedua istana. Pada saat kematian Bhre Wirabhumi, rombongan Ceng Ho sedang berada di istana timur. Sebanyak 170 orang Tionghoa ikut menjadi korban.
Atas kecelakaan itu, Wikramawardhana didenda ganti rugi 60.000 tahil. Sampai tahun 1408 ia baru bisa mengangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, Kaisar Yung Lo membebaskan denda tersebut karena kasihan. Peristiwa ini dicatat Ma Huan (sekretaris Ceng Ho) dalam bukunya, Ying-ya-sheng-lan.
Setelah Perang Regreg, Wikramawardhana memboyong Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi sebagai selir. Dari perkawinan itu lahir Suhita yang naik takhta tahun 1427 menggantikan Wikramawardhana. Pada pemerintahan Suhita inilah, dilakukan balas dendam dengan cara menghukum mati Raden Gajah/Minak Jinggo tahun 1433.
Perang Regreg dalam Karya Sastra Jawa
Peristiwa Regreg tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa dan dikisahkan turun temurun. Pada zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, kisah Regreg dimunculkan kembali dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan.
Dikisahkan dalam Serat Kanda, terjadi perang antara Ratu Kencanawungu penguasa Majapahit di barat melawan Raden Gajah/ Menak Jingga penguasa Blambangan di timur. Raden Gajah/ Menak Jingga akhirnya mati di tangan Damarwulan utusan yang dikirim Ratu Kencanawungu. Setelah itu, Damarwulan menikah dengan Kencanawungu dan menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Mertawijaya. Dari perkawinan tersebut kemudian lahir Brawijaya yang menjadi raja terakhir Majapahit.
Kepustakaan
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- ^ Sastrawan, Wayan Jarrah (2020). "How to read a chronicle". Indonesia and the Malay World. 48 (140): 2–23. doi:10.1080/13639811.2020.1701325.