Pemberontakan Ra Kuti
Pemberontakan Ra Kuti terjadi pada masa pemerintahan Jayanagara, raja ke-2 Majapahit, tepatnya tahun 1241 Saka atau 1319 Masehi. Aksi Ra Kuti yang dianggap berbahaya bagi Kerajaan Majapahit ini akhirnya bisa ditumpas oleh Gajah Mada. Latar BelakangPemberontakan Ra Kuti didasari rasa tidak puas atas keputusan raja. Ra Kuti dan beberapa Dharmaputra lainnya menilai Jayanagara berkarakter lemah dan mudah dipengaruhi. Pararaton menyebut Jayanegara dengan nama Kalagemet yang ditafsirkan sebagai olok-olok karena nama tersebut memiliki arti “lemah” atau “jahat”. Asal-usul Jayanagara diduga juga menjadi alasan ketidaksukaan para Dharmaputra, terhadap sang raja. Meskipun ditunjuk sebagai putra mahkota, Jayanagara bukanlah anak Raden Wijaya dari istri permaisuri, melainkan dari istri selir. Ibunda Jayanagara adalah Dara Petak, putri Kerajaan Dharmasraya dari Sumatera. Putri ini dibawa dari Ekspedisi Pamalayu, suatu upaya operasi penaklukan oleh Kerajaan Singasari pada 1275 hingga 1286 M. Terlebih, Jayanegara berdarah campuran, bukan turunan murni dari Kertanagara.[1] SejarahDalam menjalankan aksinya, Ra Kuti berhasil mengajak beberapa anggota Dharmaputra lainnya untuk berusaha mendongkel takhta Jayanagara, yakni Ra Tanca, Ra Banyak, Ra Yuyu, Ra Pangsa dan Ra Wedeng. Saat pemberontakan Ra Kuti terjadi, Gajah Mada belum menjabat sebagai mahapatih yang nantinya turut mengantarkan Majapahit ke masa kejayaan. Posisi Gajah Mada saat itu adalah anggota pasukan pengamanan raja alias Bhayangkara. Aksi pemberontakan Ra Kuti membuat ibu kota Kerajaan Majapahit porak-poranda dan Jayanagara berada dalam situasi berbahaya. Di sinilah peran Gajah Mada disebut-sebut sangat penting dalam upaya penyelamatan takhta Majapahit. Pemberontakan yang dilakukan oleh para Dharmaputra jelas mengancam nyawa Jayanagara. Maka, sang raja harus diselamatkan. Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara mengamankan Raja Jayanagara ke desa bernama Badander. Ada referensi yang menyebut bahwa Badander berada di wilayah Bojonegoro, namun ada pula yang meyakini desa itu terletak di Jombang.[1] Setelah memastikan Jayanagara aman di Badander, dengan pengawalan sebagian anggota Bhayangkara, Gajah Mada kembali ke pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit, di istana yang terletak di Trowulan (Mojokerto), Gajah Mada menjalankan taktik jitunya untuk memastikan bahwa rakyat tidak mendukung pemberontakan Ra Kuti. Gajah Mada mengumpulkan para pejabat di rumah tumenggung amancanegara (semacam wali kota) dan mengabarkan kalau Jayanagara telah "meninggal" di pengungsian. Para warga yang mendengar kabar itu menangis, sedih. Dari sinilah Gajah Mada yakin bahwa rakyat mencintai Jayanagara dan tidak senang dengan gerakan kudeta yang dilakukan oleh Ra Kuti. Setelah menjelaskan bahwa raja sebenarnya selamat, Gajah Mada segera menyusun strategi untuk menumpas pemberontakan. Hingga akhirnya, dalam tempo yang tidak terlalu lama, istana dapat direbut kembali oleh pasukan pimpinan Gajah Mada dari penguasaan kawanan pemberontak. Ra Kuti tewas dalam pergolakan itu.[1] Referensi |