Sri Maharaja Kertanagara (Hanacaraka:ꦯꦿꦶꦩꦲꦴꦫꦴꦗꦏꦽꦠꦤꦴꦒꦫ) atau disebut Kertanegara atau Kṛtanagara meninggal tahun (1292), adalah raja terakhir yang memerintah Kerajaan Singhasari dengan gelar Śrī Mahārājadhiraja Kṛtanāgara Wikrama Dharmmottunggadewa.
Masa pemerintahan Kertanagara dikenal sebagai masa kejayaan Singhasari. Ia sendiri dipandang sebagai penguasa Jawa pertama yang berambisi menyatukan wilayah Nusantara. Menantunya, Raden Wijaya, selanjutnya mendirikan kerajaan Majapahit sekitar tahun 1293 sebagai penerus Wangsa Rajasa dari Singhasari.
Asal-usul
Kertanagara memiliki nama asli kelahiran yaitu Nararyya Murddhaja adalah putera dari Wisnuwardhana atau Nararyya Seminingrat, raja Singhasari antara tahun 1248-1268. Ibunya bernama Jayawardhani. Pendapat yang menyebut Waning Hyun adalah ibu Kertanegara berasal dari tafsir Prof. Slamet Muljana, yang menyebutkan Waning Hyun permaisuri Seminingrat adalah putri dari Bhatara Parameswara (putra sulung Ken Arok, pendiri Singhasari, dari Ken Dedes).
Berdasarkan prasasti Mula Malurung, Prasasti Pakis Wetan, sebelum menjadi raja Singhasari, Kertanagara lebih dulu diangkat sebagai yuwaraja di Kadiri tahun 1254. Nama gelar abhiseka yang ia pakai ialah Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wira Asta Basudewadhipa Aniwariwiryanindita Parakrama Murddhaja Namottunggadewa.
Masa Pemerintahan
Kertanagara naik takhta Singhasari tahun 1268 menggantikan ayahnya, Wisnuwardhana.
Berdasarkan Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286, Kertanagara bergelar śrī mahārājādhirāja kŗtanagara wikrama dharmmottunggadewa.[1]
... 2. Samankana nikaɳ digantara padanabhaya mark i jöɳ nareçwara, ikaɳ sa- (110b) kahawat/ pahaɳ sakahawat malayu pada manunkul adara, muwah sakahawat gurun sakahawat/ bakulapura manaçrayomark, ndatan linen i sunda len/ madura pan satanah i yawa bhakti tan salah. ...
... 2. Begitulah dari empat penjuru orang lari berlindung dibawah Baginda. Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur dihadapan beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari mencari perlindungan. Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah terang setanah Jawa. ... — (Kakawin Nagarakretagama, Pupuh 42).
Penyatuan Hindu dan Buddha
Dalam bidang agama, Kertanagara memperkenalkan penyatuan agama Hindu aliran Siwa dengan agama Buddha aliran Tantrayana. Oleh karena itu dalam Pararaton. Kertanagara sering juga disebut Bhatara Siwa Buddha.
Menurut Nagarakretagama, Kertanagara telah menguasai semua ajaran agama Hindu dan Buddha, Itu sebabnya Kertanagara dikisahkan pula dalam naskah-naskah kidung sebagai seorang yang bebas dari segala dosa. Bahkan, salah satu ritual agamanya adalah berpesta minuman keras.
Gelar keagamaan Kertanagara dalam Nagarakretagama adalah Sri Jnanabajreswara, sedangkan dalam Prasasti Tumpang ia bergelar Sri Jnaneswarabajra. Kertanagara diwujudkan dalam sebuah patung Jina Mahakshobhya (Buddha) yang kini terdapat di Taman Apsari, Surabaya. Patung yang merupakan simbol penyatuan Siwa-Buddha itu sebelumnya berasal dari situs Kandang Gajak, Trowulan, yang pada tahun 1817 dipindahkan ke Surabaya oleh Residen Baron A.M. Th. de Salis. Oleh masyarakat patung tersebut dikenal dengan nama Joko Dolog.
Pemberontakan Cayaraja
Dalam Pararaton dikisahkan, Kertanagara memecat para pejabat yang berani menentang cita-citanya. Antara lain Mpu Raganata diturunkan dari jabatan rakryan patih menjadi ramadhyaksa. Penggantinya bernama Kebo Anengah dan Panji Angragani.
Sedangkan Arya Wiraraja dimutasi dari jabatan rakryan demung menjadi bupati Sumenep.
Menurut Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama perombakan susunan kabinet tersebut mengundang ketidakpuasan antara lain dari Kalana Bhayangkara yang memberontak pada tahun 1270 (dalam Nagarakretagama ia disebut dengan nama Cayaraja).
Untuk mewujudkan ambisi memperluas wilayah kekuasaannya, dilaksanakanlah ekspedisi Pamalayu (Pamalayu bermakna perang Malayu) yang bertujuan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatra sehingga dapat memperkuat pengaruhnya di selat Malaka yang merupakan jalur ekonomi dan politik penting. Ekspedisi ini juga bertujuan untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol yang telah menguasai hampir seluruh daratan Asia.
Selain itu Nagarakretagama juga menyebutkan adanya pemberontakan Mahisa Rangkah tahun 1280. Disebutkan kalau Mahisa Rangkah adalah tokoh yang tidak disukai penduduk Singhasari.
Ekspedisi Pabali
Pada tahun 1282, Kertanagara mengirim ekspedisi ke Bali atau disebut ekspedisi Pabali. Pada tahun 1284, ekspedisi ini berhasil menaklukkan Kerajaan Bali, dan membawa rajanya sebagai tawanan menghadap ke Singhasari.
Selain Sumatra dan Bali, Kertanegara juga berhasil menaklukkan daerah-daerah lainnya, yaitu Gurun, Pahang, dan Bakulapura.
Ekspedisi Pamalayu Kedua
Pada tahun 1286, setelah Bhumi Malayu dapat ditundukkan, Kertanagara mengirim kembali utusan ke Bhumi Malayu yang dipimpin oleh Rakryan MahamantriAdwayabrahma, didampingi Mahisa Anabrang, membawa arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan dan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Dharmasraya yang saat itu rajanya bernama śrī mahārāja śrīmat tribhuwanarāja mauliwarmmadewa.[1]
Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa Ekspedisi Pamalayu ini bertujuan untuk menjalin kekuatan untuk menghadapi orang Mongol dari Dinasti Yuan yang berkedudukan di Khanbalik (Beijing sekarang). saat itu Dinasti Yuan atau dikenal sebagai Dinasti Mongol sedang melakukan ekspansi wilayah bahkan memiliki bentangan yang cukup luas, dari Korea hingga Rusia (Kievan Rus), Timur-Tengah (menghancurkan dinasti Abbasiyah di Baghdad) dan Eropa Timur. Dan pada tahun tahun itu, Dinasti Mongol berusaha mengadakan perluasan diantaranya ke Jepang dan Jawa. Jadi maksud ekspedisi ini adalah untuk menghadang langsung armada Mongol agar tidak masuk ke perairan Jawa.
Pada tahun 1289 datang utusan Kubilai Khan yang bernama Meng Khi, meminta agar Kertanagara tunduk kepada kekuasaan Mongol dan menyerahkan upeti setiap tahunnya. Kertanagara menolak permintaan itu, bahkan melukai wajah Meng Khi. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Kertanegara bahkan sampai memotong salah-satu telinga Meng Khi.
Pasukan Jayakatwang dipimpin "Jaran Guyang" bergerak menyerang Singhasari dari utara (Kahuripan). Kertanagara mengirim kedua menantunya, yaitu Raden Wijaya putra Lembu Tal dan Ardharaja putra Jayakatwang untuk melawan. Tetapi Ardharaja berkhianat dan kemudian bergabung ke dalam pasukan ayahnya.
Pasukan Jaran Guyang hanyalah pancingan supaya pertahanan ibu kota kosong. Pasukan kedua Jayakatwang menyerang dari selatan dipimpin Patih Kebo Mundaran. Saat pasukan Kebo Mundarang menyerang, Kertanagara sedang mengadakan upacara ritual keagamaannya. Mendengar pasukan Gelanggelang menyerang, Kertanagara lalu keluar menghadapi serangan pasukan musuh, tetapi akhirnya ia tewas terbunuh bersama Mpu Raganata, Patih Kebo Anengah, Panji Angragani, dan Wirakreti.
Kematian Kertanagara pada tahun 1292, diakibatkan oleh pemberontakan Jayakatwang bupati Gelanggelang, yang menurut Prasasti Mula Malurung merupakan ipar, sekaligus besannya sendiri, dan menjadi sebab runtuhnya kerajaan Singhasari. Hal ini mengakibatkan lepasnya daerah kekuasaan Singhasari diantaranya Bali, Gurun, Pahang dan Tanjungpura.
Pemerintahan Wangsa Rajasa kemudian diteruskan oleh menantunya yaitu Raden Wijaya, dengan mendirikan kerajaan Majapahit pada tahun 1293.
Menurut Nagarakretagama, Kertanagara dicandikan bersama istrinya di Candi Jawi, Pasuruan sebagai Wairocana dan Locana, dengan lambang arca tunggal Ardhanareswari. Kertanegara juga disanjung sebagai titisan Budha Agung Mahakshobya oleh para keturunannya, yaitu dalam prasasti Wurare yang ditemukan di Trowulan, Mojokerto.[3]