Prof. Dr. Raden Benedictus Slamet Muljana (21 Maret 1929 – 2 Juni 1986),[1] adalah seorang filolog dan sejarawan dari Indonesia.
Pendidikan dan Karier
Slamet Muljana memperoleh gelar B.A. dari Universitas Gadjah Mada tahun 1950, gelar M.A. dari Universitas Indonesia tahun 1952, gelar Doktor Sejarah dan Filologi dari Universitas Louvain, Belgia, tahun 1954, serta menjadi profesor pada Universitas Indonesia sejak tahun 1958.
Slamet Muljana pernah mengajar di Universitas Gadjah Mada, IKIP Bandung (Universitas Pendidikan Indonesia sekarang), Akademi Penerangan, dan Akademi Jurnalistik. Selain itu ia juga pernah mengajar di luar negeri, antara lain, Wolfgang Goethe Universitat (Frankfurt, Jerman), State University of New York (Albany, Amerika Serikat), dan Nanyang University of Singapore (Singapura). Serta ia pernah pula menjabat sebagai direktur Institut untuk Bahasa dan Kebudayaan di Singapura, serta menjadi anggota dewan kurator pada Institute of Southeast Asian Studies di Singapura.
Hasil Karya
Buku-buku hasil karya Slamet Muljana yang pernah diterbitkan, antara lain:
- Nagarakretagama (1953)
- Poezie in Indonesia (1954)
- Bahasa dan Sastra Indonesia (1955)
- Kaidah Bahasa Indonesia I (1956)
- Kaidah Bahasa Indonesia II (1957)
- Politik Bahasa Nasional (1959)
- Sriwijaya (1960, terbit ulang 2006)
- Asal Bahasa dan Bangsa Indonesia (1964)
- Semantik (1964)
- Menuju Puncak Kemegahan (1965, terbit ulang 2005)
- The Structure of The National Government of Majapahit (1966)
- Perundang-undangan Majapahit (1967)
- Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara islam di Nusantara (1968, terbit ulang 2006)
- Nasionalisme sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia I (1968)
- Nasionalisme sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia II (1969)
- A Story of Majapahit (1976)
- Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979, terbit ulang 2006)
- Dari Holotan ke Jayakarta (1980)
- Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi (1981)
- Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit (1983)
Kontroversi dalam Karya
"Sekali fakta sejarah itu ditemukan, fakta itu tidak akan dapat diubah. Meskipun fakta sejarah itu mungkin terlalu pedas untuk dirasakan, ilmu sejarah tetap mengejar-ngejarnya".
— Tulis Slamet Muljana dalam kata pengantar bukunya.[2]
Karya-karya Slamet Muljana dalam ilmu Sejarah tidak jarang mengundang kontroversi dari para pembacanya. Misalnya dalam buku Runtuhnja keradjaan Hindu-Djawa dan timbulnja negara-negara Islam di Nusantara (1968) dengan berani ia menyatakan bahwa Walisongo adalah para ulama keturunan Tionghoa. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras karena kepercayaan masyarakat yang sudah terlanjur kuat, bahwa anggota-anggota Walisongo adalah keturunan Arab. Tidak hanya itu, pemerintah Orde Baru bahkan melarang terbit buku tersebut, karena saat itu sedang maraknya sentimen anti Tiongkok. Slamet Muljana mendasarkan pendapatnya tersebut pada kronik Tionghoa dari klenteng Sam Po Kong. Namun demikian sejarawan lainnya Agus Sunyoto membantahnya dengan mengatakan bahwa kronik Tionghoa tersebut hanyalah fiktif belaka.[3] Penelitian baru tahun 2017 berkesimpulan bahwa kronik Tionghoa dari Semarang dan Cirebon, yang banyak dikutip dalam karyanya, merupakan hoax atau palsu, dibuat pada masa modern di abad ke-20.[4]
Karya Slamet Muljana yang lain juga berani menentang pendapat umum. Dalam buku Sriwijaya (1960), ia berpendapat bahwa Rakai Panangkaran adalah anggota keluarga Syailendra yang telah mengalahkan keturunan Sanjaya. Padahal pendapat umum mengatakan kalau Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang menjadi bawahan Syailendra.
Rujukan