Prasasti Wurare adalah sebuah prasasti yang isinya memperingati pendirian arcaMahaksobhya di sebuah tempat (pertapaan-pekuburan) bernama Wurare. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sansekerta menggunakan aksara Jawa Kuno dan bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289.[1]:189 Arca Buddhis yang oleh masyarakat juga disebut Joko Dolog tersebut didirikan sebagai penghormatan dan perlambang bagi Raja Kertanegara dari kerajaan Singhasari, yang dianggap oleh keturunannya telah mencapai derajat Jina (Buddha Agung). Dalam pada itu, ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa arca Joko Dolog sebetulnya menggambarkan penghuni, penguasa tempat Wurare yang sesungguhnya, yaitu Mpu Bharada. Tulisan prasasti ini terletak di lapik arca tersebut, yang ditulis melingkari bagian sampingnya.
Prasasti Wurare berbentuk sajak 19 bait, yang di antaranya menceritakan tentang seorang pendeta sakti bernama Arrya Bharad, yang membelah tanah Jawa menjadi dua kerajaan dengan air ajaib dari kendinya, sehingga masing-masing belahan menjadi Janggala dan Pangjalu. Pembelahan negara ini dilakukan untuk menghindari perang saudara antara dua pangeran yang ingin bertempur untuk memperebutkan wilayah dan kekuasaan.[2][3]
Arca Joko Dolog pada mulanya ditemukan di daerah Kandang Gajah yang termasuk dalam wilayah desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Pada tahun 1817, arca ini dipindahkan ke Surabaya oleh Residen Baron A.M. Th. de Salis, dan saat ini terdapat di Taman Apsari, dekat pusat Kota Surabaya, Jawa Timur.[4]:262,[5]
Teks prasasti
Transliterasi dan terjemahan bebas teks prasasti ini menurut Kern, sbb.:[1]:190-196,[6]
1. Pertama-tama aku memberikan penghormatan (puja puji) kepada Sang Tathagata (Pencipta), Sang Maha Tahu yang merupakan perwujudan dari pengetahuan yang lebih tinggi, yang bersemayam paling tersembunyi di dalam skandha, yang tidak bisa dikatakan ada atau tidak ada.
2. Kemudian aku memuji dia yang memiliki segala kesempurnaan dengan penuh kehormatan atas kegemilangan yang mendunia. Dan (selanjutnya) akan menuliskan (menceritakan sejarah pada) era tahun Saka yang menggambarkan kejayaan Sang Raja.
3. Adalah yang terhormat Aryya Bharad, yang terbaik dari antara golongan orang-orang bijak dan orang-orang terpelajar pada masa dahulu, yang telah mencapai kesempurnaan dalam pengetahuan sejati, dan karenanya memperoleh abhijna (pengetahuan dan kebijaksanaan transendental, kemampuan supranatural); guru di antara para muni (pertapa).
4. terkemuka di antara para yogi besar, berakal budi, welas asih terhadap (semua) makhluk; seorang guru Siddha dan pahlawan agung, yang terbebas dari keterikatan hawa nafsu dan noda kemelekatan lainnya.
5. Yang telah membagi dua tanah Jawa yang kaya raya, dan menyelesaikan perselisihan di negeri ini, dengan sarana kumbha (kendi), air suci dan vajra (kilat).
6. (perselisihan) karena dua pangeran ingin berperang sebab permusuhan satu sama lain; yang setelah itu (dibagi) disebut (negeri) Janggala, sebagaimana pula Pamjalu.
7. Tetapi kemudian, Paduka Jaya-Çrī-Wisnuwarddhana, dengan permaisurinya Çrī Jayawarddhani, yang merupakan terbaik di antara penguasa di bumi;
8. yang memiliki kesucian jiwa sejak lahirnya, penuh kasih, sangat bertakwa, yang menimbulkan kegembiraan bagi penduduk bumi karena kemasyhuran dan keberaniannya yang tak bercacat;
9. Dia telah menyatukan kembali negaranya (yakni, kedua negeri yang terpisah itu) untuk menyenangkan rakyat, menjaga keadilan dan memelihara hukum, serta meneguhkan (warisan) nenek moyangnya.
10. Tersebutlah Baginda, seperti Indra di antara para penguasa, putra dari Çrī Hariwarddhana (= Çrī Jaya Wisnuwarddhana) dan Çrī Jayawarddhani, penguasa empat pulau (benua) dan juga seorang muni (orang suci);
11. penuh dengan semua kualitas baik, unggul di antara mereka yang mengetahui hukum, rajin memulihkan apa yang telah jatuh, pemberita Dharma (yaitu doktrin Buddha);
12. digelari Çrī Jnanaciwabajra, dihiasi dengan permata pikiran, dikaruniai tubuh yang dimurnikan oleh sinar pengetahuan sejati, dan sepenuhnya memahami sambodhi (ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan Sang Buddha);
13. dengan penghormatan paling dalam mendirikan arca, sebagai peringatan (bagi dia) yang sebelumnya telah mengukuhkan diri (menetap ?), di pemakaman bernama Wurare, (yakni) dalam rupa (arca) Mahaksobhya;
14. (yakni) pada tahun Caka 1211 (= 1289 M), pada bulan yang disebut Asuji (yaitu Acwina), pada tanggal 5 çuklapakṣa (paro terang bulan), pada hari yang disebut Pa-ka-bu (Paniron, Kaliwon, hari Rabu);
15. dalam parvan (wuku) Sinta, ditandai di Karana sebagai Wisti, ketika nakshatra (konstelasi) Anuradha berada di lingkaran Indra;
16. semasa Saubhagya yoga, dan Saumya muhurta, sedangkan Kuwera adalah penguasa simpul (astronomi), dan (matahari) berada di rasi Tula.
17. Demi kebaikan seluruh makhluk, yang pertama dan terutama selalu bagi Baginda, beserta putra-putranya, cucu-cucunya dan isterinya, karena ialah yang telah mewujudkan persatuan negara.
18. Saya (yaitu abdi raja, si pembuat prasasti), hamba yang rendah hati, yang dikenal dengan nama Nadajna (Nada), meskipun bebal, tidak terpelajar dan tidak banyak melakukan perbuatan saleh;
19. yang atas karunia Baginda telah menjadi/dijadikan dhārmmadhyakṣa (pemimpin/pengawas upacara agama), telah menyusun uraian ini yang dipersembahkan bagi Sang Wajrajnanaciwa.
Tafsiran yang lain
Berlainan dengan pendapat kebanyakan ahli sejarah, kajian yang baru terhadap teks-teks sastra kuno dan lokasi ditemukannya arca telah menyimpulkan bahwa yang digambarkan dalam rupa arca Mahaksobhya atau Joko Dolog itu bukanlah Raja Kertanegara, melainkan Mpu Bharada.[7]:4,[8]:13-14
Argumen yang diajukan para sejarawan tersebut adalah bahwa penafsiran atas ‘dia’, seseorang yang dibuatkan arcanya itu, tidak bisa dilepaskan dari konteks lokasi di mana arca itu semula diletakkan (yakni sebelum dipindahkan ke Surabaya):
Arca Mahaksobhya didirikan di suatu tempat pemakaman bernama Wurare, untuk memperingati ‘dia’ yang sebelumnya telah menetapkan diri di tempat itu (lihat seloka ke-13 di atas). Sebagaimana disebutkan dalam karya sastra Jawa Kuno, yakni “Serat Calon Arang”, ‘dia’ yang "… berdiam di pertapaan di pekuburan di Lëmah-tulis" adalah Çrī Bharadah (= Mpu Bharada).[9]:122 Frasa yang kurang-lebih serupa, sebelumnya juga diutarakan dalam “Kakawin Nagarakretagama” pada pupuh 68, seorang “… pendeta Budhamayana (yang telah) putus dalam tantra dan yoga,” (2a); “… berdiam di tengah kuburan Lemah-citra, jadi pelindung rakyat,” (2b); “Hyang Mpu Barada nama beliau, …” (2d).[10]:386
Wurare atau Awurare (Jw. Kuno: awu rare, harfiah: abu [pembakaran jenazah] anak-anak) adalah nama lain dari Lemah Tulis atau Lemah Citra, tempat pemakaman yang sekaligus menjadi tempat pertapaan Mpu Bharada (Aryya Bharad).[8]:14 Di kemudian hari tempat ini juga disebut Kandang Gajah (sebetulnya, tempat menambatkan gajah), yang sekarang termasuk dalam wilayah Dusun Kedungwulan, Desa Bejijong, Trowulan, Mojokerto.[7]:4 Lokasi ini tidak jauh, atau malah berada di dalam lingkungan ibu kota Majapahit.[8]:3
Dalam “Calon Arang” dikisahkan bahwa atas keinginan putrinya, Wedawati, Mpu Bharada kemudian membangun pertapaannya di area pemakaman dan pembakaran mayat, [9]:117-8 yang belakangan tempat ini dikenal sebagai Murare.[8]:14,[9]:145
Referensi
^ abKern, J.H.C. (1917). "De Sanskrit-inscriptie van het Mahaksobhya-beeld te Simpang (stad Surabaya, 1211 Saka)". Verspreide Geschriften, Deel VII: 187-197.
^Brandes, J.L.A.. (1913). "Oud-Javaansche Oorkonden. Nagelaten Transscripties". Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen (VBG), Deel LX: 262, CXXXIV. Batavia: Albrecht & Co.
^Kern, dalam V.G., VII (1917), pp. 190ff.; teks Sanskerta dari Chatterji, pp. 185-86. - Chatterji, pp. 187-88; cf. Brandes di: Notulen Bat. Gen. (1898), dalam Ridwan, Ejang Hadian (4 Juni 2012). Keputusan Politik Sang Joko Dolog: Bahan Materi Prasasti Wurare, Mahaksobya, www.menguaktabirsejarah.blogspot.com. Diakses 2 Agustus 2018.
^ abcdGomperts, A., A. Haag, & P. Carey. (2012). "The sage who divided Java in 1052: Maclaine Pont’s excavation of Mpu Bharada’s hermitage-cemetery at Lĕmah Tulis in 1925". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Vol. 168(1): 1-25.
^Muljana, S. (2006). ‘’Tafsir Sejarah Nagara Kretagama’’. Jakarta : LKiS. ISBN: 979-25-5254-5
Bacaan lain
R.Ng. Poerbatjaraka (1922). “De inscriptie van het Mahaksobhya-beeld te Simpang (Soerabaya)”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Vol. 78(1): 426-462.