Dalam Buddhisme, gugusan, gugus, atau agregat (Pali: khandha; Sanskerta: स्कन्ध, skandha), juga dikenal sebagai lima gugusan (pañcakkhandha) dan lima gugus pelekatan (pañcupādānakkhandhā), merujuk pada faktor-faktor batin dan jasmani (nāmarūpa) yang menjadi komponen penyusun suatu makhluk dan berperan dalam munculnya nafsu kehausan dan kemelekatan. Istilah ini juga mungkin diterjemahkan sebagai "kumpulan, kelompok, tumpukan".[1] Semua gugusan ini tunduk pada tiga sifat eksistensi (trilaksana), yaitu ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa atma.
Dalam aliran Theravāda, penderitaan muncul ketika seseorang mengidentifikasi atau melekat pada gugusan pembentuk kehidupan. Penderitaan ini dipadamkan dengan melepaskan kemelekatan pada gugusan-gugusan tersebut. Baik aliran Theravāda maupun Mahayana menegaskan bahwa semua gugusan pada hakikatnya kosong dari keberadaan yang independen dan bahwa gugusan kehidupan ini bukan merupakan “diri” atau “roh” dalam bentuk apa pun.
Dalam interpretasi belakangan yang muncul dari ajaran terkait esensialisme dalam aliran Sarvāstivāda, gugusan juga dijelaskan sebagai lima faktor yang membentuk dan menjelaskan pribadi dan kepribadian makhluk hidup.[6][7][8]Dalai Lama ke-14, pengikut aliran Gelug dalam Buddhisme Tibet, menganut interpretasi ini.[9]
"materi" (rūpa):[note 1] materi, jasmani, atau "wujud material" dari makhluk atau eksistensi apa pun.[10][11] Kitab Buddhis menyatakan bahwa rūpa setiap orang, makhluk hidup, dan objek tersusun dari empat unsur pokok: tanah (padat), air (kohesi), api (panas), dan angin (gerakan).[7]
"perasaan" (vedanā): pengalaman sensoris terhadap suatu objek.[7] Umumnya antara menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral.[note 2][note 3]
"persepsi" atau "pencerapan" (saññā):[note 4] proses sensoris dan mental yang mencatat, mengenali, dan memberi label (misal: bentukan pohon, warna hijau, emosi takut).[11]
"formasi-formasi batin" atau "pemikiran" (saṅkhāra): "aktivitas yang membangun",[11] "hal-hal yang terkondisi", "kehendak", "aktivitas karma atau perbuatan"; semua jenis jejak mental dan pengondisian yang dipicu oleh suatu objek,[12][13][note 5] termasuk proses apa pun yang membuat seseorang memulai tindakan atau bertindak.[11]
"kesadaran" (viññāṇa): "pemisahan" atau "ketajaman"[note 6]. Kesadaran akan suatu objek dan pemisahan antara komponen dan aspeknya, umumnya ada enam jenis, sebagaimana diutarakan Peter Harvey.[11]Kepustakaan Buddhis menjelaskan istilah khandha (gugusan) sebagai,
Materi diidentifikasi sebagai dua puluh delapan rūpa dalam bentuk dhātu (unsur-unsur) yang terdiri atas empat unsur pokok dan dua puluh delapan unsur turunan.[16] Empat unsur pokok tersebut:
Dalam ajaran Abhidhamma, persepsi diidentifikasi sebagai suatu faktor mental universal, yaitu faktor mental yang muncul di segala jenis kesadaran—baik maupun buruk. Ashin Kheminda menjelaskannya sebagai berikut:[17]
Nīlādibhedaṃ ārammaṇaṃ sañjānāti saññaṃ katvā jānātīti saññā. Persepsi (adalah faktor-mental yang) mengetahui objek sebagai biru dan lain-lain. Setelah memberinya tanda (label), (kemudian) persepsi mengetahui atau mengenalinya.
Dalam SN 22.79, Sang Buddha menjelaskan gugusan persepsi (saññā) sebagai berikut:
"Dan mengapa Anda menyebutnya 'persepsi'? Oleh karena ia memersepsikan, maka ia disebut 'persepsi'. Apa yang dipersepsikannya? Ia memersepsikan warna biru, ia memersepsikan warna kuning, ia memersepsikan warna merah, ia memersepsikan warna putih. Oleh karena ia memersepsikan, maka ia disebut persepsi."[19]
Dalam pengertian aktif, saṅkhāra (atau saṅkhāra-khandha) mengacu pada kemampuan batin yang menciptakan bentukan-bentukan batin. Gugusan ini adalah bagian dari ajaran tentang hukum Kemunculan Bersebab (paṭiccasamuppāda).[20][21] Dalam pengertian ini, istilah saṅkhāra adalah kehendak atau niat yang aktif secara karma, yang menghasilkan kelahiran kembali dan memengaruhi alam kelahiran kembali.[20]Saṅkhāra di sini sinonim dengan karma, dan mencakup tindakan melalui tubuh, ucapan, dan batin.[20][22]
Saṅkhāra-khandha menyatakan bahwa makhluk hidup terlahir kembali (bhava, keberadaann) melalui perbuatan melalui tubuh dan ucapan (kamma).[23] Sang Buddha menyatakan bahwa semua bentukan kehendak dikondisikan oleh ketidaktahuan (avijjā) tentang ketidakkekalan dan tanpa-diri.[24][25] Ketidaktahuan inilah yang mengarah pada asal mula saṅkhāra dan akhirnya menyebabkan penderitaan manusia (dukkha).[26] Penghentian semua saṅkhāra tersebut (sabba-saṅkhāra-nirodha) mengarah pada pencapaian Nirwana. Akhir dari Kemunculan Bersebab dalam pengertian karma (saṅkhāra) menghasilkan fenomena (dhamma) Nirwana yang tidak terkondisi.[27]
Dari sudut pandang tradisi Abhidhamma, saṅkhāra-khandha mencakup faktor-faktor mental (Pali: cetasika) sebagai formasi-formasi (Pali: saṅkhāra), termasuk faktor-mental kehendak (cetanā), yang hadir bersamaan dengan kesadaran (Pali: citta).[28][29][30] Faktor-faktor mental dapat digambarkan sebagai aspek batin yang memahami kualitas suatu objek, dan memiliki kemampuan untuk mewarnai batin.[31] Dalam pengertian ini, saṅkhāra-khandha merujuk pada semua faktor mental kecuali faktor-mental perasaan dan faktor-mental persepsi. Faktor-mental perasaan sudah diwakilkan oleh gugusan perasaan (vedanākkhandha), dan faktor-mental persepsi sudah diwakilkan oleh gugusan persepsi (saññākkhandha).[32]
Dalam SN 22.79, Sang Buddha membedakan kesadaran (viññāṇa) dari gugusan lainnya dengan cara berikut:
"Dan mengapakah, para bhikkhu, engkau menyebutnya kesadaran? ‘Ia mengenali,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut kesadaran. Dan apakah yang ia kenali? Ia mengenali rasa asam, ia mengenali rasa pahit, ia mengenali rasa pedas, ia mengenali rasa manis, ia mengenali rasa sangat pedas, ia mengenali rasa lembut, ia mengenali rasa asin, ia mengenali lunak. ‘Ia mengenali,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut kesadaran."[33]
Demikian pula, dalam sebuah kitab komentar abad ke-5 Masehi, Visuddhimagga, terdapat analogi yang diperluas tentang seorang anak, seorang penduduk desa dewasa, dan seorang "penukar uang" ahli yang melihat setumpuk koin; pengalaman anak tersebut diibaratkan sebagai persepsi (saññā), pengalaman penduduk desa (dewasa) diibaratkan sebagai kesadaran (viññāṇa), dan pengalaman penukar uang diibaratkan sebagai pemahaman sejati (paññā).[34]
Dari sudut pandang tradisi Abhidhamma, gugusan kesadaran (viññāṇakkhandha) merujuk pada citta ("kesadaran"). Menurut Abhidhamma, suatu citta tidak dapat muncul tanpa cetasika ("faktor mental") penyertanya, yang juga merupakan saṅkhārakkhandha.[32]Citta adalah peristiwa kesadaran, yaitu peristiwa yang "mengetahui" atau "menyadari" suatu objek. Citta ini tidak pernah muncul dengan sendirinya, tetapi selalu memiliki kehendak atau niat (yakni memiliki objek atau arah kognitif).[35] Dalam tafsir Abhidhamma, citta (sinonim dengan viññāṇa) didefinisikan dalam tiga cara utama:[35]
Melalui agen (kattu-sādhana): “Kesadaran adalah sesuatu yang mengenali suatu objek.”
Melalui sarana (karaṇa-sādhana): “Kesadaran adalah sesuatu yang melaluinya faktor-faktor mental yang menyertainya mengenali objek.”
Dari segi aktivitas atau cara kerjanya (bhāva-sādhana): “Kesadaran hanyalah tindakan mengenali objek.” Definisi ini adalah satu-satunya yang “dikatakan valid dari sudut pandang terdalam” (nippariyayato), karena, secara tegas, kesadaran bukanlah suatu benda, tetapi suatu aktivitas atau proses.
Aliran-aliran Buddhis awal mengembangkan analisis dan tinjauan terperinci tentang ajaran-ajaran yang ditemukan dalam sutta, yang kemudian disebut sebagai Abhidharma. Setiap aliran mengembangkan versi Abhidharma-nya sendiri. Salah satu versi Abhidhamma yang paling terkenal adalah Abhidhamma Theravāda, tetapi Abhidharma aliran Sarvāstivāda secara historis sangat berpengaruh, dan sebagian telah dilestarikan dalam kitab Āgama berbahasa Tionghoa.
Tradisi Abhidhamma Theravāda dan kepustakaan Pali pascakanonis mengenalkan skema untuk konsep Sutta Piṭaka tentang gugusan (khandha), landasan indra (saḷāyatana), dan unsur (dhātu).[36] Skema tersebut dikenal sebagai paramattha sacca (realitas hakiki) yang mencakup tiga fenomena terkondisi (rūpa, citta, dan cetasika) dan satu fenomena tidak terkondisi (Nirwana) (lihat tabel di atas):
Landasan indra internal dan eksternal bersama-sama membentuk "enam landasan indra". Dalam uraian ini, yang ditemukan dalam teks-teks seperti Saḷāyatana Saṁyutta (SN 35), pertemuan antara sebuah objek dan organ indra menghasilkan munculnya kesadaran (viññāṇa) yang sesuai.
Menurut Bhikkhu Bodhi, aliran Theravāda mengajarkan bahwa enam landasan indra menampung “semua faktor kehidupan”; enam landasan indra adalah “segalanya”, dan “tanpanya tidak ada sesuatu pun yang ada”,[37] dan “kosong (suñña) dari suatu diri dan dari apa yang menjadi milik diri”.[38][note 10]
Sutta-sutta tidak menjelaskan enam landasan indra sebagai alternatif sudut pandang untuk lima gugusan. Tradisi Abhidhamma, berusaha menjabarkan "sistem tunggal yang menyeluruh",[40] secara eksplisit menghubungkan lima gugusan dan enam landasan indra (lihat tabel di atas):[40]
Lima landasan indra eksternal pertama (wujud materi yang tampak, suara, bau, rasa, dan sentuhan), dan lima landasan indra internal pertama (mata, telinga, hidung, lidah, dan tubuh) merupakan bagian dari gugusan materi;
Objek indra batin (yaitu, objek-objek batin) dapat disamakan dengan empat gugusan pertama (materi, perasaan, persepsi, dan formasi);
Organ indra mental (batin) dapat disamakan dengan gugusan kesadaran.
Bodhi menyatakan bahwa enam landasan indra menggambarkan sudut pandang “vertikal” dari pengalaman manusia, sedangkan lima gugusan menggambarkan sudut pandang “horizontal” (temporal).[41] Praktik meditasi Buddhis Theravāda yang berfokus pada landasan indra ditujukan untuk menghilangkan kognisi yang terdistorsi, seperti yang dipengaruhi oleh nafsu kehausan, kesombongan, dan pandangan salah, serta "mencabut [akar] semua pengotor batin dalam segala bentuk turunannya".[42]
Delapan belas dhātu ("unsur")[note 11]–enam landasan eksternal, enam landasan internal, dan enam kesadaran–berfungsi melalui lima gugusan. Dhātu-dhātu ini dapat diatur menjadi enam kelompok tiga-serangkai, masing-masing tiga-serangkai terdiri dari objek indra, organ indra, dan kesadaran indra.[note 12]
Dua belas nidāna adalah daftar linier dari dua belas unsur dari ajaran Buddha yang muncul bergantung pada mata rantai sebelumnya. Meskipun daftar ini dapat diartikan sebagai penjelasan proses yang menimbulkan kelahiran kembali, pada hakikatnya daftar tersebut menjelaskan munculnya dukkha ("penderitaan, ketidaknyamanan") sebagai proses psikologis, tanpa melibatkan suatu atma.[44]
Beberapa cendekiawan menganggapnya sebagai sintesis lanjutan dari beberapa daftar yang sudah ada sebelumnya.[45] Empat mata rantai pertama mungkin merupakan ejekan terhadap kosmogoni kitab-kitab Weda dari agama Brahmanisme, seperti yang dijelaskan dalam Himne Penciptaan Weda X, 129, dan kitab Upanisad Brihadaranyaka.[46] Daftar ini diintegrasikan dengan daftar bercabang yang menggambarkan pengondisian proses batin,[47] mirip dengan daftar lima gugusan.[48] Kemudian, daftar bercabang ini berkembang menjadi rantai dua-belas-serangkai standar sebagai daftar linier.[47]
Menurut Boisvert, "fungsi masing-masing gugusan, dalam urutannya masing-masing, dapat dihubungkan langsung dengan hukum Kemunculan Bersebab—terutama dengan delapan mata rantai tengah."[49] Empat dari lima gugusan disebutkan secara eksplisit dalam urutan tersebut, namun dalam urutan yang berbeda dari daftar lima gugusan, yang diakhiri dengan viññāṇa ("kesadaran"):[50]
yang pada akhirnya menyebabkan “seluruh kumpulan penderitaan” (kevalassa dukkhakkhandha).[note 13]
Hubungan antara model lima gugusan dari sudut pandang sebab-langsung dan model dua belas nidāna dari sudut pandang pengondisian-pengondisiannya terlihat jelas, misalnya penjelasan terkait peran penting yang dimiliki oleh formasi mental dalam kemunculan dan penghentian penderitaan.[note 14]
Perhatian penuh diterapkan pada empat upassanā (ranah atau landasan), "terus-menerus mengamati pengalaman indrawi untuk mencegah munculnya nafsu kehausan yang akan mengarah pada kelahiran kembali,"[51] yang juga serupa dengan model lima gugusan. Keempat landasan perhatian-penuh tersebut adalah:[52]
Menurut Grzegorz Polak, empat upassanā telah disalahpahami oleh beberapa aliran Buddhis, termasuk Theravāda, sebagai empat landasan yang berbeda. Menurut Polak, empat upassanā tidak merujuk pada empat landasan yang berbeda yang harus diketahui, tetapi merupakan deskripsi alternatif dari jhāna ("penyerapan meditatif"), yang menggambarkan cara saṅkhāra ("formasi batin") ditenangkan:[57]
enam landasan indra yang perlu disadari (kāyānupassanā);
perenungan terhadap vedanā, yang muncul karena adanya kontak antara indra dan objeknya (vedanānupassanā);
keadaan kesadaran yang berubah yang disebabkan oleh praktik ini (cittānupassanā);
Mahāyāna berkembang secara individual dari aliran-aliran tradisional dengan memperkenalkan kitab-kitab baru dan memberi penekanan lain dalam ajarannya, khususnya śūnyatā dan tekad Bodhisatwa.
Ajaran Prajnaparamita berkembang sejak abad pertama SM dan seterusnya. Ajaran ini menekankan "kekosongan" dari segala sesuatu yang ada. Hal ini berarti bahwa tidak ada "esensi" yang ada secara kekal karena segala sesuatu berasal dari ketergantungan. Skandha ("gugusan") juga berasal dari ketergantungan sebab-sebab tersebut, dan tidak memiliki keberadaan yang substansial. Menurut Red Pine, teks Prajnaparamita merupakan reaksi historis terhadap beberapa Abhidharma aliran Buddhis awal. Secara khusus, ini merupakan respons terhadap ajaran aliran Sarvāstivāda bahwa "fenomena" atau unsur-unsurnya merupakan suatu realitas.[58] Gagasan Prajnaparamita tentang "kekosongan" juga konsisten dengan tradisi Abhidhamma Theravāda.[perlu dijelaskan][butuh rujukan]
Ajaran tentang gugusan diformulasikan dalam Sutra Hati. Versi bahasa Sanskerta dari "Prajnaparamita Hridaya Sutra" ("Sutra Hati"), yang mungkin telah disusun di Tiongkok dari teks-teks berbahasa Sanskerta, dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Sanskerta,[note 15] menyatakan bahwa kelima skandha itu kosong dari keberadaan diri,[59][note 16][note 17][note 18] dan menyatakan kalimat "bentuk adalah kosong, kosong adalah bentuk.[59] Hal yang sama berlaku dengan perasaan, persepsi, formasi mental, dan kesadaran." yang terkenal.[60]
Aliran Madhyamaka menguraikan gagasan Jalan Tengah. Teks yang menjadi dasar dari gagasan tersebut adalah Mūlamadhyamakakārikā, yang ditulis oleh Nagarjuna, yang membantah konsepsi aliran Sarvāstivāda tentang realitas, yang menganggap dharma ("fenomena") sebagai kenyataan.[61] Tidak bertemunya titik tengah antara penolakan atas keberadaan objektif atas suatu ātman ("Diri") dan penerimaan objektif atas keberadaan skandha ("gugusan") secara bersamaan telah dipandang oleh beberapa pemikir Buddhis Mahāyāna sebagai sesuatu yang sangat bermasalah.[62]
Aliran Yogacara menganalisis lebih lanjut cara kerja batin, menguraikan konsep nāma-rūpa (keterkaitan "batin-dan-jasmani") dan lima skandha, dan mengembangkan ajaran yang dinamakan sebagai Delapan Kesadaran.
Śūnyatā, dalam kitab-kitab berbahasa Tionghoa, adalah "Wu" (Hanzi: 無; Pinyin: Wú), kekosongan.[63][64] Dalam teks-teks tersebut, hubungan antara sesuatu yang absolut dan relatif merupakan[butuh klarifikasi] ajaran Buddha. Gugusan-gugusan berperan sebagai media untuk mengalami pengalaman-pengalaman relatif (atau konvensional, bukan Absolut) dunia dari sudut pandang seorang individu, meskipun kebenaran Absolut juga disadari melalui gugusan-gugusan tersebut. Mengomentari Sutra Hati, D.T. Suzuki mencatat:
Ketika sutra mengatakan bahwa kelima Skandha memiliki karakter kekosongan..., maknanya adalah: tidak ada kualitas pembatas yang dapat dikaitkan dengan Yang Absolut; sementara Ia ada di dalam semua objek konkret dan khusus, Ia tidak dapat didefinisikan dengan sendirinya.[65]
Sutra Tathāgatagarbha, yang membahas tentang Benih Kebuddhaan, berkembang di India, tetapi juga memainkan peranan penting di Tiongkok. Sutra ini terkadang berbicara tentang skandha Buddha yang tak terlukiskan (di luar hakikat skandha duniawi dan di luar pemahaman duniawi). Dalam Sutra Mahayana Mahaparinirvana (versi Mahāyana dari teks Pali Mahāparinibbāna Sutta yang isinya berbeda satu sama lain), Buddha menceritakan tentang bagaimana skandha Buddha sebenarnya abadi dan tidak berubah. Skandha Buddha dikatakan tidak dapat dipahami oleh penglihatan yang belum tercerahkan.
Mengacu pada ajaran mahamudra, Chogyam Trungpa[66] mengidentifikasi gugusan materi sebagai "pemadatan" ketidaktahuan (Skt.: avidyā), yang memungkinkan seseorang untuk memiliki ilusi bahwa ia "memiliki" kebijaksanaan yang selalu dinamis dan luas (Skt.: vidyā), dan dengan demikian menjadi dasar terciptanya pandangan terkait hubungan dualistik antara "Diri" dan "selain Diri".[note 19]
Menurut Trungpa Rinpoche,[67] lima gugusan adalah "seperangkat konsep Buddhis yang menggambarkan pengalaman [realitas] sebagai proses yang terdiri dari lima langkah" dan bahwa "seluruh pengembangan lima gugusan... adalah upaya kita untuk melindungi diri kita dari kebenaran terkait sesuatu yang tidak memiliki realitas [secara objektif] dari diri kita," sementara "praktik meditasi adalah untuk melihat transparansi tameng-tameng [merujuk pada 'sesuatu yang tidak memiliki realitas'] ini."[68]
Trungpa Rinpoche menulis (2001, hlm.38):
Sebagian dari rincian ikonografi tantra dikembangkan dari Abhidharma [yaitu, dalam konteks ini, analisis terperinci tentang gugusan]. Berbagai warna dan perasaan dari kesadaran tertentu ini, emosi tertentu itu, terwujud dalam dewa tertentu yang mengenakan kostum ini dan itu, dengan warna tertentu, memegang tongkat kerajaan tertentu di tangannya. Rincian itu sangat erat kaitannya dengan individualitas dari proses psikologis tertentu.
Dalam interpretasi yang muncul dari ajaran terkait esensialisme dalam aliran Sarvāstivāda, gugusan juga dijelaskan sebagai lima faktor yang membentuk dan menjelaskan pribadi dan kepribadian makhluk hidup.[6][7][8]Dalai Lama ke-14, pengikut aliran Gelug dalam Buddhisme Tibet, menganut interpretasi ini.[9]
^In Rawson (1991: p.11), the first skandha is defined as: "name and form (Sanskrit nāma-rūpa, Tibetan gzugs)...". In the Pali literature, nāma-rūpa traditionally refers to the first four aggregates, as opposed to the fifth aggregate, consciousness.
^The Pali canon universally identifies that vedana involves the sensing or feeling of something as pleasant, unpleasant or neutral (see, for instance, SN 22). When contemporary authors elaborate on vedana, they define it similarly (see, for instance, Nhat Hanh, 1999, hlm. 178; Trungpa, 2001, hlm. 21; dan, Trungpa, 2002, hlm. 126). The one exception is in Trungpa (1976), hlm. 20-23, where he states that the "strategies or impluses" of "indifference, passion and aggression" are "part of the third stage [aggregate]," "guided by perception." (This section of Trungpa, 1976, is anthologized in Trungpa, 1999, hlm. 55-58.)
^Generally, vedanā is considered to not include "emotions." For example, Bodhi (2000a), hlm. 80, writes: "The Pali word vedanā does not signify emotion (which appears to be a complex phenomenon involving a variety of concomitant mental factors), but the bare affective quality of an experience, which may be either pleasant, painful or neutral." Perhaps somewhat similarly, Trungpa (1999), p.58, writes: "Consciousness [the fifth aggregate] consists of emotions and irregular thought patterns...."
^Some translate this term as perception although this is typically the translation of pratyakṣa meaning the apprehension of sensibilia and not any subsequent judgement concerning them. The English word conception is more accurate, although this implies less a process and more the static end result (the mental state of holding a concept)), hence discrimination is preferred.
^The Theravada Abhidhamma divides saṅkhāra into fifty mental factors (Bodhi, 2000a, hlm. 26). Trungpa (2001), hlm. 47ff, following the Sarvastivada Abhidharma studied in Mahayana Buddhism, states that there are fifty-one "general types" of samskara.
^Peter Harvey, The Selfless Mind. Curzon Press 1995, page 143-146.
^In commenting on the use of "consciousness" in SN 22.3 [1], Bodhi (2000b), hlm. 1046-7, n. 18, states: "The passage confirms the privileged status of consciousness among the five aggregates. While all the aggregates are conditioned phenomena marked by the three characteristics, consciousness serves as the connecting thread of personal continuity through the sequence of rebirths.... The other four aggregates serve as the 'stations for consciousness' (vinnanatthitiyo: see [SN] 22:53-54). Even consciousness, however, is not a self-identical entity but a sequence of dependently arisen occasions of cognizing; see MN I 256-60."
^Harvey writes, "This is in contrast to saññā, which knows by grouping things together, labeling them. This contrast can be seen in terms of the typical objects of these states: colours for saññā (S.III.87), but tastes (S.III.87) or feelings (M.I.292) for viññāṇa. While colours usually be immediately identified, tastes and feelings often need careful consideration to properly identify them: discernment and analysis are needed."
^This conception of consciousness is found in the Theravada Abhidhamma (Bodhi, 2000a, hlm. 29).
^According to Bikkhu Bodhi, the Maha-punnama Sutta, also called The Great Full-moon Night Discourse, describes the impermanence of the aggregates to assert that there is no self, and the right discernment is, "this is not mine, this is not my self, this is not what I am". From Maha-punnama Sutta
[Buddha:] "It's possible that a senseless person — immersed in ignorance, overcome with craving — might think that he could outsmart the Teacher's message in this way: 'So — form is not-self, feeling is not-self, perception is not-self, fabrications are not-self, consciousness is not-self. Then what self will be touched by the actions done by what is not-self?' Now, monks, haven't I trained you in counter-questioning with regard to this & that topic here & there? What do you think — Is form constant or inconstant?" "Inconstant, lord." "And is that which is inconstant easeful or stressful?" "Stressful, lord." "And is it fitting to regard what is inconstant, stressful, subject to change as: 'This is mine. This is my self. This is what I am'?"
[Monks:] "No, lord."
"... Is feeling constant or inconstant?" "Inconstant, lord."...
"... Is perception constant or inconstant?" "Inconstant, lord."...
"... Are fabrications constant or inconstant?" "Inconstant, lord."...
"What do you think, monks — Is consciousness constant or inconstant?" "Inconstant, lord." "And is that which is inconstant easeful or stressful?" "Stressful, lord." "And is it fitting to regard what is inconstant, stressful, subject to change as: 'This is mine. This is my self. This is what I am'?"
"No, lord."
"Thus, monks, any form whatsoever that is past, future, or present; internal or external; blatant or subtle; common or sublime; far or near: every form is to be seen as it actually is with right discernment as: 'This is not mine. This is not my self. This is not what I am.'
– Majjhima Nikaya iii 15, Translated by Thanissaro Bhikkhu[39]
^The Pāli word dhātu is used in multiple contexts in the Pāli canon: For instance, Bodhi (2000b), hlm. 527–28, identifies four different ways that dhātu is used including in terms of the "eighteen elements" and in terms of "the four primary elements" (catudhātu).
^* The first five sense organs (eye, ear, nose, tongue, body) are derivates of form.
The sixth sense organ (mind) is part of consciousness.
The first five sense objects (visible forms, sound, smell, taste, touch) are also derivatives of form.
The sixth sense object (mental object) includes form, feeling, perception and mental formations.
The six sense consciousnesses are the basis for consciousness.[43]
^Put another way, it is through the five skandhas that clinging occurs. See, for instance, the Samadhi Sutta (SN 22:5) (Thanissaro, 2006b).
^The apparent distinctions between the nidana model and the khandha model are reduced when, instead of using the twelve-nidana model of the Samyutta Nikaya, chapter 12 (e.g., Thanissaro, 1997d), one compares the nine-nidana model of the Maha-nidana Sutta (DN 15) (Thanissaro, 1997a) where consciousness conditions name-and-form and name-and-form conditions consciousness.
^According to Nattier (1992), the Heart Sutra was originally composed in Chinese and later back-translated into Sanskrit. Thereafter, it became popular in India and later Tibet. Elements in this translation are not present in Chinese versions of this sutra.
^See also Nhat Hanh (1988), hlm. 1, and Suzuki (1960), hlm. 26. Nhat Hanh (1988) adds to this first verse the sentence: "After this penetration, he overcame all pain." Suzuki (1960), hlm. 29, notes that this additional sentence is unique to Hsuan-chuang's translation and is omitted in other versions of the Heart Sutra.
^In the Theravada canon, the English word "self-existence" is a translation of the Sanskrit word svabhava. "Svabhava" has also been translated as "self-nature" (Suzuki, 1960, hlm. 26), "separate self" (Nhat Hanh, 1988, hlm. 16) and "self-existence" (Red Pine 2004, hlm. 67). Note that Chinese versions of the Heart Sutra do not contain the notion of svabhava. When "emptiness of self" is mentioned, the English word "self" is a translation of the Pali word "atta" (Sanskrit, "atman").
^Regarding the term sabhāva (Pali; Skt: svabhāva) in the Pali Canon, Gal (2003), hlm. 7, writes: "To judge from the suttas, the term sabhāva was never employed by the Buddha and it is rare in the Pali Canon in general. Only in the post-canonical period does it become a standard concept, when it is extensively used in the commentarial descriptions of the dhammas [conditioned mental and physical processes] and in the sub-commentarial exegesis. The term sabhāva, though, does occur on various occasions in five canonical or para-canonical texts: the Paṭisambhidāmagga, the Peṭakopadesa, the Nettippakaraṇa, the Milindapañha and the Buddhavaṃsa." Gal (p. 10) speculates that the use of the term sabhāva in the Paṭisambhidāmagga might be the earliest occurrence in Pali literature and quotes (p. 7, esply. n. 28) from this text (Paṭis. II 178) the application of the phrase sabhāvena suññaṃ (Pali for "empty of sabhāva") to each of the aggregates—at least superficially similar to an application of svabhāva in the Prajnaparamita Hridaya Sutra ("Heart Sutra") cited in this article.
^This type of analysis of the aggregates (where ignorance conditions the five aggregates) might be akin to that described by the Twelve Nidanas.
^ abThe Tibetan Book of the Dead. Diterjemahkan oleh Dorje, Gyurnme; Coleman, Graham; Jinpa, Thupten. Introductory commentary by the 14th Dalai Lama (edisi ke-1 Amerika). New York: Viking Press. 2005. hlm. xiii. ISBN0-670-85886-2.
^Khajjaniya Sutta ("Chewed Up," SN 22.29) (Thanissaro, 2001a). Mengenai persepsi tipikal (saññā) melalui warna-warna visual dan kesadaran (viññāṇa) melalui berbagai rasa dalam SN 22.79, Bodhi (2000b, hlm. 1072, n. 114) menyebutkan bahwa kitab subkomentar untuk Saṁyutta Nikāya menyatakan bahwa persepsi menangkap penampakan dan bentuk, sementara kesadaran "dapat menangkap perbedaan-perbedaan tertentu dalam sebuah objek bahkan ketika tidak ada penampakan dan bentuk."
^Lihat, misalnya, SN 12.2 (Thanissaro, 1997b), ketika Sang Buddha menyatakan: "Dan apakah yang dimaksud dengan saṅkhāra? Ketiganya adalah saṅkhāra: saṅkhāra tubuh/jasmani, saṅkhāra ucapan, saṅkhāra pikiran/batin. Ketiganya disebut saṅkhāra."
^Buddhaghosa, Bhadantācariya (diterjemahkan dari Pāli oleh Bhikkhu Ñāṇamoli) (1999). The Path of Purification: Visuddhimagga (hlm. 435-6). Seattle, WA: BPS Pariyatti Editions. ISBN 1-928706-00-2.
Bodhi, Bhikkhu (trans.) (2000b), The Connected Discourses of the Buddha: A Translation of the Samyutta Nikaya, Boston: Wisdom Publications, ISBN978-0-86171-331-8
Ñāṇamoli, Bhikkhu (trans.) & Bodhi, Bhikkhu (ed.) (2001). The Middle-Length Discourses of the Buddha: A Translation of the Majjhima Nikāya. Boston: Wisdom Publications. ISBN0-86171-072-X.
Antologi sutta
Bodhi, Bhikkhu (ed.) (2005a). In the Buddha's Words: An Anthology of Discourses from the Pāli Canon. Boston: Wisdom Pubs. ISBN0-86171-491-1.
Abhidhamma, kitab komentar Pali, sumber Theravāda modern
Bodhi, Bhikkhu, ed. (2000a), A Comprehensive Manual of Abhidhamma: The Abhidhammattha Sangaha of Ācariya Anuruddha, Seattle: BPS Pariyatti Edition, ISBN1-928706-02-9
Buddhaghosa, Bhadantācariya (trans. from Pāli by Bhikkhu Ñāṇamoli) (1999). The Path of Purification: Visuddhimagga. Seattle, WA: BPS Pariyatti Editions. ISBN1-928706-00-2.
Guenther, Herbert V. & Leslie S. Kawamura (1975), Mind in Buddhist Psychology: A Translation of Ye-shes rgyal-mtshan's "The Necklace of Clear Understanding" Dharma Publishing. Kindle Edition.
Karunadasa, Y (2010). The Theravada Abhidhamma. Its Inquiry into the Nature of Conditioned Reality. Centre of Buddhist Studies,
Ñāṇamoli, Bhikkhu (trans.) (1998). Mindfulness of Breathing (Ānāpānasati): Buddhist texts from the Pāli Canon and Extracts from the Pāli Commentaries. Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. ISBN955-24-0167-4.
Soma Thera (trans.) (2003). The Way of Mindfulness. Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. ISBN955-24-0256-5.
Fremantle, Francesca & Trungpa, Chõgyam (2003). The Tibetan Book of the Dead: The Great Liberation Through Hearing in the Bardo. Boston: Shambhala Publications. ISBN1-59030-059-9.
Geshe Tashi Tsering (2006). ''Buddhist Psychology: The Foundation of Buddhist Thought''. Perseus Books Group. Kindle Edition.
Nhât Hanh, Thich (1988). The Heart of Understanding: Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra. Berkeley, CA: Parallax Press. ISBN0-938077-11-2.
Kunsang, Erik Pema (translator) (2004). Gateway to Knowledge, Vol. 1. North Atlantic Books.
Nhât Hanh, Thich (1999). The Heart of the Buddha's Teaching. NY: Broadway Books. ISBN0-7679-0369-2.
Red Pine (2004). The Heart Sutra. Emeryville, CA: Shoemaker & Hoard. ISBN1-59376-009-4.
Trungpa, Chögyam (1999). The Essential Chögyam Trungpa. Boston: Shambhala. ISBN1-57062-466-6.
Trungpa, Chögyam (2001). Glimpses of Abhidharma. Boston: Shambhala. ISBN1-57062-764-9.
Trungpa, Chögyam (2002). Cutting Through Spiritual Materialism. Boston: Shambhala. ISBN1-57062-957-9.
Literatur sekunder
Boisvert, Mathieu (1995), The Five Aggregates. Understanding Theravada Psychology and Soteriology, Wilfrid Laurier University Press, for the Canadian Corporation for Studies in Religion / Corporation Canadienne des Sciences Religieuses
Frauwallner, Erich (1973), "Chapter 5. The Buddha and the Jina", History of Indian Philosophy: The philosophy of the Veda and of the epic. The Buddha and the Jina. The Sāmkhya and the classical Yoga-system, Motilal Banarsidass
Gal, Noa (July 2003). The Rise of the Concept of ‘Own-Nature’: (Sabhāva) in the Paṭisambhidāmagga [excerpt from Ph.D. thesis]. Oxford: Wolfson College. Retrieved 2008-01-22 from "Oxford Centre for Buddhist Studies" at Internet Archive.
Gethin, Ruper (1986), "The five khandhas: Their theatment in the nikāyas and early abhidhamma", Journal of Indian Philosophy, 14, doi:10.1007/BF00165825Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Gombrich, Richard (2009), "Chapter 9. Causation and non-random process", What the Buddha Thought, Equinox
Sue Hamilton. "From the Buddha to Buddhaghosa: Changing Attitudes Toward the Human Body in Theravāda Buddhism." In Religious Reflections on the Human Body, edited by Jane Marie Law. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1995, pp. 46–63.
Sue Hamilton. Identity and Experience: the Constitution of the Human Being According to Early Buddhism. London: Luzac Oriental,
Jinpa, Thupten (2002). Self, Reality and Reason in Tibetan Philosophy: Tsongkhapa's Quest for the Middle Way. Routledge.
Jones, Dhivan Thomas (2009), "New Light on the Twelve Nidanas", Contemporary Buddhism, 10 (2), 10 (2): 241–259, doi:10.1080/14639940903239793Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Kalupahana, David (1975). Causality: The Central Philosophy of Buddhism. The University Press of Hawaii.
Kuan, Tse-fu (2008), Mindfulness in Early Buddhism: New Approaches through Psychology and Textual Analysis of Pāli, Chinese and Sanskrit Sources, Routledge, ISBN978-0-415-43737-0
Nattier, Jan (1992). "The Heart Sutra: A Chinese Apocryphal Text?" Journal of the International Association of Buddhist Studies, vol. 15, no. 2, pp. 153–223.
Polak, Grzegorz (2011), Reexamining Jhana: Towards a Critical Reconstruction of Early Buddhist Soteriology, UMCS
Rawson, Philip (1991). Sacred Tibet. NY: Thames and Hudson. ISBN0-500-81032-X.
Schumann, Hans Wolfgang (1997) [1976], Boeddhisme. Stichter, scholen, systemen (Buddhismus - Stifter, Schulen und Systemen), Asoka
Shulman, Eviatar (2007), "Early Meanings of Dependent-Origination", Journal of Indian Philosophy, 36 (2): 297–317, doi:10.1007/s10781-007-9030-8Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Swanson, Paul L. (1993), The Spirituality of Emptiness in Early chinese Buddhism. In: Buddhist Spirituality. Indian, Southeast Asian, Tibetan, Early Chinese; edited by Takeuchi Yoshinori, New York: Crossroad
Wayman, Alex (1971), "Buddhist Dependent Origination", History of Religions, 10 (3): 185–203, doi:10.1086/462628, JSTOR1062009Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)