Tanpa atma atau bukan atma (Pali: anatta; Sanskerta: अनात्मन्, anātman), juga dikenal sebagai tanpa inti,[1][2]tanpa roh,[3][4]bukan roh,[5]tanpaarwah,[6]tanpa diri,[7]bukan diri,[8][9]tanpa Aku,[10][11] dan bukan Aku,[12] adalah suatu konsep dalam Buddhisme yang menyatakan bahwa tidak ada atma, roh, diri, atau esensi yang kekal dan tidak berubah yang dapat ditemukan dalam fenomena apa pun.[note 1]
Meski sering diartikan sebagai ajaran yang menyangkal keberadaan atma, tanpa-atma juga bisa digambarkan sebagai strategi untuk mencapai lenyapnya kemelekatan dengan menyadari ketidakkekalan atas segala sesuatu, dengan tetap tidak menyimpulkan keberadaan hakikat yang tidak berubah.[14][15][16] Sebaliknya, aliran dominan Hindu menegaskan keberadaan Atma sebagai kesadaran murni atau kesadaran saksi,[17][18][19][note 2] "mewujudkan kesadaran sebagai diri yang abadi."[20]
Etimologi dan nomenklatur
Anatta adalah kata gabungan dalam bahasa Pali yang terdiri dari kata "an-" (bukan) dan "atta" (hakikat/esensi yang ada dengan sendirinya).[21] Istilah ini mengacu pada konsep inti Buddhisme bahwa tidak ada fenomena yang memiliki "Diri" atau esensi yang permanen dan tidak berubah.[14]Anatta merupakan satu dari tiga ciri semua keberadaan, bersama dengan dukkha (penderitaan, ketidakpuasan) dan anicca (ketidakkekalan).[21]
Anatta (bahasa Pali) merupakan sinonim dari Anātman (an + ātman) dalam kitab-kitab Buddhis berbahasa Sanskerta.[22] Dalam beberapa kepustakaan Pali, ātman dalam kitab-kitab Weda juga disebut dengan istilah Attan, dengan pengertian "jiwa" (soul).[21] Penggunaan alternatif dari Attan atau Atta adalah "diri (self), diri sendiri (oneself), esensi dari seseorang (essence of a person)", didorong oleh kepercayaan Brahmanisme era Weda bahwa ātman diyakini sebagai esensi makhluk hidup yang permanen dan tidak berubah, atau "Diri Sejati".[21][22]
Dalam kepustakaan berbahasa Inggris yang berhubungan dengan Buddhisme, anatta diterjemahkan sebagai "bukan-Diri" (not-Self), tetapi terjemahan ini mengungkapkan makna yang tidak lengkap, kata Peter Harvey; terjemahan yang lebih lengkap adalah "tanpa-Diri" (no-Self) karena sejak awal, ajaran anatta menolak adanya sesuatu yang disebut "Diri" dalam seorang individu atau sesuatu apa pun, dan bahwa kepercayaan bahwa ada "Diri" merupakan sumber dari dukkha (penderitaan, rasa sakit, ketidakpuasan).[23][24][note 3] Namun, seorang cendekiawan Buddhis, Richard Gombrich, berpendapat bahwa anatta sering salah diterjemahkan menjadi "tidak memiliki diri atau esensi" (not having a self or essence), tetapi sebenarnya berarti "bukan [merupakan] ātman" (is not ātman), bukannya "tidak memiliki ātman".[14] Tidaklah tepat pula jika menerjemahkan anatta hanya sebagai “tanpa ego”, menurut Peter Harvey, karena konsep ātman dan atta di India berbeda dengan konsep ego dalam teori psikologi Sigmund Freud.[28][note 4]
Menurut aliran Theravāda, apa yang secara konsep atau konvensional (sammuti) disebut sebagai "diri" sebenarnya merujuk pada gugusan-gugusan pembentuk (khandha) suatu makhluk. Penderitaan muncul ketika seseorang mengidentifikasi atau melekat pada gugusan pembentuk kehidupan tersebut. Penderitaan ini dipadamkan dengan melepaskan kemelekatan terhadap gugusan-gugusan tersebut.
Dalam falsafah buddhis, tanpa-atma menunjukkan bahwa segala hal (dhamma), baik yang terkondisi (saṅkhāra) maupun yang tidak terkondisi (Nirwana), sesungguhnya tidak mempunyai inti yang tetap.[34]
Tanpa-atma dipahami sebagai satu dari tiga karakteristik keberadaan (tilakkhaṇa), dua lainnya adalah dukkha ('penderitaan') dan anicca ('ketidakkekalan').[35][36][37][38] Ajaran ini muncul dalam kepustakaan Pali sebagai:
"sabbe saṅkhārā aniccā,
sabbe saṅkhārā dukkhā,
sabbe dhammā anattā."
Kalimat-kalimat tersebut diterjemahkan oleh Szczurek sebagai "semua hal yang terkondisi tidak kekal, semua hal yang terkondisi menyakitkan, semua dhamma tidak memiliki Atma".
Saṅkhāra vs dhamma
Ashin Kheminda menyatakan bahwa Buddhisme menolak eksistensi roh dan menekankan bahwa makhluk-makhluk hanya terdiri atas gugusan-gugusan (khandha) yang tidak dapat diidentifikasi sebagai roh.[39] Tradisi Abhidhamma menjelaskan saṅkhāra, dhamma, dan hubungannya dengan gugusan atau agregat (khandha) dalam skema:[40]
Seluruh gugusan (khandha) termasuk dalam kategorisasi saṅkhāra, sedangkan Nirwana tidak termasuk. Kategorisasi yang mencakup saṅkhāra dan asaṅkhāra (bukan saṅkhāra, seperti Nirwana) disebut sebagai dhamma.
Terkait dengan ajaran tentang pandangan (Pali: diṭṭhi) dan belenggu (saṁyojana), dikenal istilah "sakkāyadiṭṭhi". Secara etimologi, kāya berarti "tubuh", sakkāya berarti "tubuh fisik", dan diṭṭhi berarti "pandangan" (sering kali merujuk pada pandangan salah). Sakkāya adalah istilah teknis untuk lima gugusan yang menjadi objek pelekatan makhluk yang belum tercerahkan. Secara umum, "percaya atas keberadaan diri atau roh" atau, lebih ringkasnya, "pandangan identitas diri" merujuk pada "kepercayaan bahwa dalam satu gugusan atau lainnya terdapat suatu entitas permanen, sebuah atma".[42]
Pandangan
Buddhisme Theravāda mengenal enam puluh dua pandangan-salah yang bersumber dari pandangan tentang identitas diri atau roh (sakkāyadiṭṭhi) tersebut. Dalam kitab Dhammasaṅgaṇī (Abhidhamma Piṭaka) dan Mahāpuṇṇama Sutta (MN 109) dijelaskan bahwa pandangan tentang identitas diri atau roh memiliki dua puluh variasi. Variasi-variasi tersebut didapatkan dari empat model untuk masing-masing dari lima gugusan, yaitu:[43][44]
Belenggu (Pali: saṁyojana, saññojana) mengikat mahkluk hidup pada samsara, yaitu lingkaran punarbawa yang disertai penderitaan. Dengan meyingkirkan seluruh belenggu secara bertahap, seseorang mencapai Nirwana melalui empat tingkat kemuliaan. Sebagaimana ditampilkan pada tabel, di dalam Sutta Piṭaka, lima belenggu pertama dirujuk sebagai "belenggu-belenggu rendah" (orambhāgiyāni saṃyojanāni) dan disingkirkan segera setelah seseorang mencapai tingkat sotāpanna; dan lima belenggu terakhir dirujuk sebagai "belenggu-belenggu tinggi" (uddhambhāgiyāni saṃyojanāni), disingkirkan oleh seorang arahat.[45]
Tanpa-atma terkait erat dengan belenggu pertama, yaitu pandangan identitas diri atau roh (sakkāyadiṭṭhi).[42] Dalam Sabbasava Sutta (MN 2), Buddha juga menjelaskan "belenggu atas pandangan":
"Ini adalah bagaimana ia memperhatikan dengan tidak bijaksana:
'Apakah aku ada di masa lampau?
Apakah aku tidak ada di masa lampau?
Apakah aku di masa lampau?
Bagaimanakah aku di masa lampau?
Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau?
Apakah aku akan ada di masa depan?
Apakah aku akan tidak ada di masa depan?
Akan menjadi apakah aku di masa depan?
Akan bagaimanakah aku di masa depan?
Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan?’
Atau kalau tidak demikian, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang sebagai berikut:
‘Apakah aku ada?
Apakah aku tidak ada?
Apakah aku?
Bagaimanakah aku?
Dari manakah makhluk ini datang?
Ke manakah makhluk ini akan pergi?’
“Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana seperti ini, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya ...:
‘ada diri [atau roh] bagiku’ ...
‘tidak ada diri [atau roh] bagiku’ ...
‘aku melihat diri [atau roh] dengan diri [atau roh]’ ...
'aku melihat bukan-diri [atau bukan-roh] dengan diri [atau roh]’ ...
‘aku melihat diri [atau roh] dengan bukan-diri [atau bukan-roh]’ ...
‘adalah diriku [atau rohku] ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku [atau rohku] ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’ ...
Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. [Oleh] karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan."[46][47]
Ajaran tentang "Benih Kebuddhaan" merupakan gagasan utama pemikiran Mahāyāna Asia Timur (seperti dalam Buddhisme Han).[48] Konsep Benih Kebuddhaan mengacu pada beberapa istilah terkait,[note 5] terutama Tathāgatagarbha dan Buddha-dhātu.[note 6]Tathāgatagarbha berarti "rahim dari yang telah meninggal" (lih. yang tercerahkan), sedangkan Buddha-dhātu secara harfiah berarti "alam Buddha" atau "substrat Buddha".[note 7] Beberapa teks utama merujuk pada tathāgatagarbha atau Buddha-dhātu sebagai "atman", Diri, atau esensi, meskipun teks-teks tersebut juga berisi peringatan terhadap penafsiran harfiah. Beberapa ahli telah mencatat kesamaan antara teks-teks tathāgatagarbha dan monisme substansial yang ditemukan dalam tradisi atman dan Brahman.[50]
Ajaran Tathāgatagarbha, pada awalnya, mungkin muncul pada akhir abad ke-3 Masehi, dan dapat diverifikasi dalam terjemahan bahasa Tionghoa pada milenium pertama Masehi.[51]
Mahāparinirvāṇa Sūtra
Berbeda dengan aliran-aliran madhyamika, Mahāparinirvāṇa Sūtra menggunakan "bahasa positif" untuk menunjukkan "realitas absolut". Menurut Paul Williams, Sūtra Mahāyāna Mahāparinirvāṇa mengajarkan esensi yang mendasari, "Diri", atau "Atman".[52] "Diri sejati" ini adalah Benih Kebuddhaan (Tathāgatagarbha) yang diyakini hadir dalam semua makhluk hidup, dan disadari oleh mereka yang telah tercerahkan. Sebagian besar ahli menganggap ajaran Tathāgatagarbha dalam Sūtra Mahāparinirvāṇa yang menegaskan 'esensi alamiah' dalam setiap makhluk hidup setara dengan 'Diri',[note 8] dan hal ini bertentangan dengan ajaran tanpa-atma (anatta) dalam sebagian besar teks dalam kitab-kitab Buddhis. Hal ini menyebabkan para alhli berpendapat bahwa Sūtra Tathāgatagarbha ditulis untuk mempromosikan Buddhisme kepada non-Buddhis.[54][55]
Menurut Sallie B. King, Sūtra Mahāyāna Mahāparinirvāṇa tidak mewakili suatu inovasi besar.[56] Inovasi terpentingnya adalah menghubungkan istilah buddhadhātu dengan tathāgatagarbha.[56] Menurut King, sūtra tersebut agak tidak sistematis,[56] yang membuatnya "menjadi sūtra yang bermanfaat bagi para siswa dan komentator di kemudian hari, yang terpaksa membuat tatanan mereka sendiri dan membawanya ke dalam teks".[56]Sūtra tersebut berbicara tentang sifat-sifat Buddha dalam begitu banyak cara yang berbeda sehingga para sarjana Tiongkok membuat daftar jenis-jenis Benih Kebuddhaan yang dapat ditemukan dalam teks tersebut.[56] Salah satu pernyataan tersebut adalah:
Meskipun ia telah mengatakan bahwa semua fenomena [dharma] tidak memiliki Diri, bukan berarti bahwa semua itu sepenuhnya/sungguh-sungguh tidak memiliki Diri. Apakah Diri ini? Setiap fenomena [dharma] yang benar [satya], nyata [tattva], abadi [nitya], berdaulat/otonom/mengatur diri sendiri [aisvarya], dan yang dasar/ fondasinya tidak berubah [asraya-aviparinama], disebut sebagai 'Diri' [atman].[57]
Dalam Sūtra Mahāparinirvāṇa, Sang Buddha juga diyakini berbicara tentang "sifat-sifat positif" dari Nirwana, yaitu "Yang Abadi, Bahagia, Diri (Atman), dan Yang Murni."[58] Sūtra Mahāyāna Mahāparinirvāṇa menjelaskan:
Edward Conze. secara konotasi, menghubungkan istilah tathāgata itu sendiri (sebutan yang diberikan Sang Buddha kepada diri-Nya sendiri) dengan gagasan tentang Diri yang sejati dan nyata:
Seperti halnya tathata menunjuk pada realitas sejati secara umum, demikian pula kata yang berkembang menjadi Tathāgata menunjuk pada jati diri sejati, realitas sejati dalam diri manusia.[60]
Johannes Bronkhorst menyatakan bahwa mungkin saja "Buddhisme asli tidak menyangkal keberadaan jiwa [Ātman, Atta]", meskipun tradisi Buddhis yang teguh telah menyatakan bahwa Sang Buddha menghindari pembicaraan tentang jiwa atau bahkan menyangkal.[61] Meskipun mungkin ada ambivalensi tentang keberadaan atau ketidakberadaan Atman dalam literatur Buddhis awal, Bronkhorst menambahkan, jelas dari teks-teks ini bahwa mencari pengetahuan-tentang-Diri bukanlah jalan Buddhis untuk pembebasan, dan berpaling dari pengetahuan-tentang-Diri adalah jalan untuk pembebasan.[62] Posisi ini merupakan posisi yang terbalik dari tradisi Weda yang mengakui pengetahuan tentang Diri (Atman) sebagai "sarana utama untuk mencapai pembebasan".[62]
Metode pengajaran
Menurut Paul Williams, Sūtra Mahāparinirvāṇa menggunakan istilah “Diri” (Atman) untuk memenangkan hati para pertapa non-Buddhis. Ia mengutip dari sūtra tersebut:[63]
Benih Kebuddhaan sebenarnya bukanlah diri. Demi [membimbing] makhluk hidup, saya menggambarkannya sebagai Diri.[64]
Dalam Lankavatara Sutra yang muncul lebih belakangan, disebutkan bahwa tathāgatagarbha dapat disalahartikan sebagai suatu Diri/Atman, padahal bukan demikian.[65]
Ratnagotravibhāga
Teks Ratnagotravibhāga (juga dikenal sebagai Uttaratantra), teks lain yang disusun pada paruh pertama milenium pertama Masehi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa pada tahun 511 Masehi, menunjukkan bahwa ajaran Tathāgatagarbha dimaksudkan untuk memenangkan makhluk hidup agar meninggalkan "cinta-diri" (atma-sneha)–yang dianggap sebagai cacat moral.[66][67] Terjemahan Tathāgatagarbha dalam bahasa Tionghoa abad ke-6 menyatakan bahwa "Buddha memiliki shiwo (Diri Sejati) yang berada di luar keberadaan dan ketiadaan".[68] Akan tetapi, Ratnagotravibhāga menegaskan bahwa "Atman" yang tersirat dalam ajaran Tathāgatagarbha sebenarnya adalah "bukan-Atman".[69][70]
AnattaDiarsipkan 2015-12-10 di Wayback Machine., Encyclopædia Britannica (2013): "Anatta, (Pali: “non-self” or “substanceless”) Sanskrit anatman, in Buddhism, the doctrine that there is in humans no permanent, underlying substance that can be called the soul. Instead, the individual is compounded of five factors (Pali khandha; Sanskrit skandha) that are constantly changing."
Brian Morris (2006). Religion and Anthropology: A Critical Introduction. Cambridge University Press. hlm. 51. ISBN978-0-521-85241-8.: "...anatta is the doctrine of non-self, and is an extreme empiricist doctrine that holds that the notion of an unchanging permanent self is a fiction and has no reality. According to Buddhist doctrine, the individual person consists of five skandhas or heaps—the body, feelings, perceptions, impulses and consciousness. The belief in a self or soul, over these five skandhas, is illusory and the cause of suffering."
Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN978-1-134-90352-8.: "...Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vāda) he expounded in his second sermon."
AnattaDiarsipkan 2015-12-10 di Wayback Machine., Encyclopædia Britannica (2013): "Konsep anatta, atau anātman, bertolakbelakang dari kepercayaan Hindu terkait ātman ("diri"). [The concept of anatta, or anatman, is a departure from the Hindu belief in atman ("the self")].";
Steven Collins (1994), "Religion and Practical Reason" (Editors: Frank Reynolds, David Tracy), State Univ of New York Press, ISBN978-0-7914-2217-5, hlm. 64; "Inti dari soteriologi Buddhis adalah ajaran tentang bukan-diri (Pali: anatta, Sanskerta: anātman, ajaran yang berlawanan dari ajaran tentang ātman sebagai inti dari pemikiran Brahman). Singkatnya, ini adalah ajaran [Buddhis] bahwa manusia tidak memiliki roh, jiwa, tidak memiliki diri, tidak memiliki hakikat [kekal] yang tidak berubah.";
David Loy (1982), "Enlightenment in Buddhism and Advaita Vedanta: Are Nirvana and Moksha the Same?", International Philosophical Quarterly, Volume 23, Issue 1, hlm. 65–74;
KN Jayatilleke (2010), Early Buddhist Theory of Knowledge, ISBN978-8120806191, hlm. 246–249, dari catatan 385 selanjutnya;
^Buddha tidak menyangkal keberadaan suatu makhluk atau benda, merujuknya sebagai kumpulan gugusan yang saling bergantung yang tidak kekal, namun menyangkal adanya roh, diri, jiwa, atau identitas metafisik dalam segala hal apa pun.[25][26][27]
^Istilah ahaṃkāra berarti 'ego' dalam filsafat India.[29]
^Buddha-dhātu, batin/pikiran, Tathāgatagarbha, Dharma-dhatu, hal-hal demikian (tathata).[49]
^Trainor 2004, hlm. 207: "benih suci yang menjadi dasar bagi [makhluk] untuk menjadi Buddha (sacred nature that is the basis for [beings'] becoming buddhas)."
^Wayman dan Wayman tidak setuju dengan pandangan ini, dan mereka menyatakan bahwa Tathāgatagarbha bukanlah diri maupun makhluk hidup, bukan jiwa, maupun kepribadian.[53]
Referensi
^Mahāthera, Ven. Dhammavuddho. Segenggam Daun Bodhi. Pemuda Theravāda Indonesia (Patria) Sumatera Utara. hlm. 153; 165–168; 254. ISBN978-602-95614-1-8.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Dhammavihari Buddhist Studies (2024-01-11), Bahaya Percaya pada Roh, diakses tanggal 2024-08-22, (Pada stempel waktu 1:27-1:33) ... Ya, arwah ya, kalau seseorang meninggal dunia (katanya) rohnya bergentanyangan, arwahnya bergentayangan, seolah-olah masih memiliki identitas yang sama ...
^Mahāthera, Ven. Dhammavuddho. Segenggam Daun Bodhi. Pemuda Theravāda Indonesia (Patria) Sumatera Utara. hlm. 151; 188–189; 204–205. ISBN978-602-95614-1-8.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN978-1-134-90352-8. All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, dukkha and lack of soul, that is, something that does not change.
^ abcdThomas William Rhys Davids; William Stede (1921). Pali-English Dictionary. Motilal Banarsidass. hlm. 22. ISBN978-81-208-1144-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-07. Diakses tanggal 2016-10-23.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abJohannes Bronkhorst (2009). Buddhist Teaching in India. Simon and Schuster. hlm. 124–125 with footnotes. ISBN978-0-86171-566-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-07. Diakses tanggal 2016-10-23.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Nāgārjuna (1996). Mūlamadhyamakakārikā of Nāgārjuna. Diterjemahkan oleh David J. Kalupahana. Motilal Banarsidass. hlm. 56. ISBN978-81-208-0774-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-22. Diakses tanggal 2016-10-23.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^David Loy (2009). Awareness Bound and Unbound: Buddhist Essays. State University of New York Press. hlm. 105–106. ISBN978-1-4384-2680-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-17. Diakses tanggal 2016-10-23.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Mengutip: Nāgārjuna, filsuf Buddhis [Mahāyāna] India abad kedua, menggunakan istilah śūnyatā bukan untuk mengkarakterisasikan sifat sejati realitas, tetapi untuk menyangkal bahwa segala sesuatu memiliki eksistensi diri atau realitasnya sendiri.
^Peter Harvey (2012). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 62. ISBN978-0-521-85942-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-27. Diakses tanggal 2016-10-23. Again, anatta does not mean 'egoless', as it is sometimes rendered. The term 'ego' has a range of meanings in English. The Freudian 'ego' is not the same as the Indian atman/atta or permanent Self.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Surendranath Dasgupta (1992). A History of Indian Philosophy. Motilal Banarsidass (Republisher; Originally published by Cambridge University Press). hlm. 250. ISBN978-81-208-0412-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-02. Diakses tanggal 2016-10-23.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN978-1-134-90352-8. All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, dukkha and lack of soul, that is, something that does not change.
^Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN978-1-134-90352-8.Mengutip: "Semua eksistensi fenomena [dalam ajaran Buddha] dikatakan mempunyai tiga karakteristik yang saling terkait: ketidakkekalan, penderitaan, dan tidak adanya roh atau esensi."
^Untuk referensi sutta-tunggal, baik untuk "belenggu-belenggu tinggi" maupun "belenggu-belenggu rendah," lihat, DN 33 (bagian kelima) dan AN 1.13. Dalam hal lainnya, sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu rendah diikuti dengan sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu tinggi, seperti dalam: SN 45.179 and 45.180; SN 46.129 and 46.130; SN 46.183 dan 46.184; SN 47.103 dan 47.104; SN 48.123 dan 48.124; SN 49.53 dan 49.54; SN 50.53 dan 50.54; SN 51.85 dan 51.86; SN 53.53 dan 53.54; dan, AN 9.67 dan 9.70. Sebagai tambahana, lima 'belenggu rendah' sendiri (tanpa rujukan terhadap 'belenggu-belenggu tinggi') didiskusikan, contoh, dalam MN 64.
^Merv Fowler (1999). Buddhism: Beliefs and Practices. Sussex Academic Press. hlm. 101–102. ISBN978-1-898723-66-0.. Mengutip: "Beberapa teks literatur tathāgatagarbha, seperti Mahāparinirvāṇa Sūtra, sebenarnya merujuk pada ātman, meskipun teks-teks lain berhati-hati untuk menghindari istilah tersebut karena pandangan tersebut bertentangan langsung dengan ajaran umum Buddhisme tentang anatta. Memang, perbedaan antara konsep umum India tentang ātman dan konsep Buddhis yang populer tentang Benih Kebuddhaan sering kali kabur sampai-sampai berbagai penulis menganggapnya sebagai sinonim."
McClelland, Norman C. (2010), Encyclopedia of reincarnation and karma, Jefferson, N.C.: McFarland, ISBN978-0-7864-5675-8
Mackenzie, Matthew (2012), "Luminosity, Subjectivity, and Temporality: An Examination of Buddhist and Advaita views of Consciousness", dalam Kuznetsova, Irina; Ganeri, Jonardon; Ram-Prasad, Chakravarthi, Hindu and Buddhist Ideas in Dialogue: Self and No-Self, Routledge
Plott, John C. (2000), Global History of Philosophy: The Axial Age, Volume 1, Motilal Banarsidass, ISBN978-8120801585
Wynne, Alexander (2009), "Early Evidence for the 'no self' doctrine?"(PDF), Oxford Centre for Buddhist Studies: 59–63, 76–77, diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2017-06-02, diakses tanggal 2017-04-23Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)