Puja (Buddhisme)

Prosesi meditasi dan penyalaan lilin di Candi Borobudur, sebagai salah satu bentuk puja kepada Sang Buddha, yang melambangkan cahaya kebijaksanaan dengan segala ketulusan hati, rasa hormat, dan bakti.

Dalam Buddhisme, puja, pemujaan, atau puja bakti (Pāli: pūjā bhatti; Sanskerta: pūjā bhakti) simbolis diberikan kepada Triratna (Buddha, Dhamma, dan Sangha) sehingga menimbulkan rasa syukur dan inspirasi kontemplatif.[1] Puja merupakan salah satu praktik bakti dengan persembahan materi maupun nonmateri yang disertai pembacaan paritta (syair-syair perlindungan, pemujaan, dan pemberkatan). Pemujaan materi biasanya melibatkan benda-benda sederhana, seperti lilin yang menyala atau lampu minyak,[2] dupa yang menyala,[3] bunga,[4] makanan, buah, air atau minuman.[5] Pemujaan nonmateri dilakukan dengan mempraktikkan ajaran Sang Buddha.

Dalam kerangka ajaran hukum karma dan kelahiran kembali Buddhis tradisional, pemujaan mengarah pada akumulasi kebajikan yang mengarah pada:

Pemujaan ini sering kali berfungsi sebagai persiapan untuk meditasi.[8]

Dalam aliran Theravāda, ada dua jenis pemujaan yang berbeda:

  • pemujaan materi atau keramahtamahan (Pali: āmisa-pūjā[9] atau sakkara-pūjā[10])[11]
  • pemujaan praktik (Pali: paṭipatti-pūjā[12])

Theravāda

Puja materi

Puja materi berupa bunga sembari pradaksina pada hari raya Waisak di Pusdiklat Sikkhādama Santibhūmi, Bumi Serpong Damai, Kota Tangerang

Pemujaan materi (āmisa-pūjā atau sakkara-pūjā) dianggap sebagai pemujaan eksternal berupa "perkataan dan perbuatan".[9] Pemujaan materi mencakupi praktik derma atau kemurahan hati (Pali: dāna atau cāga).[13] Praktik ini juga merupakan praktik penghormatan Triratna (Buddha, Dhamma dan Sangha) dengan tujuan untuk memperdalam komitmen seseorang terhadap Jalan Mulia Berunsur Delapan. Lantunan (chanting) paritta tradisional dalam bahasa Pali yang dilantunkan ketika mempersembahkan lilin yang menyala (padīpa pūjā) dan dupa (sugandha pūjā) kepada rupang Buddha adalah:[14][15][16]

Dengan merenungkan suatu persembahan untuk pemujaan, seseorang secara nyata melihat ketidakkekalan hidup (Pali: anicca), salah satu dari trilaksana yang menjadi ciri segala sesuatu yang menjadi dasar ajaran Sang Buddha kepada murid-murid-Nya. Praktik ini tertuang pada bagian akhir dari salah satu lantunan tradisional berbahasa Pāli ketika mempersembahkan bunga (puppha pūjā) kepada Buddha:[14][17]

Dalam tradisi Saṅgha Theravāda Indonesia, paritta yang dibacakan adalah:[18]

(Untuk daftar koleksi lantunan paritta umum dalam praktik puja bakti dari tradisi yang sama, lihat Paritta#Lantunan umum.)

Puja nonmateri

Seorang pria Burma bermeditasi di Myanmar sebagai suatu bentuk puja nonmateri. Praktik meditasi yang meluas dipraktikkan oleh umat awam merupakan perkembangan modern dalam aliran Theravāda (pernah ada masa ketika praktik meditasi lebih terkesan khusus anggota sangha).

Dalam Kanon Pali, Sang Buddha menyatakan pemujaan praktik (paṭipatti) sebagai "cara terbaik untuk menghormati Sang Buddha"[19] dan sebagai pemujaan "tertinggi".[20] Ini terutama merupakan pemujaan internal untuk pengembangan batin (citta, bhāvanā, dan samādhi).[21]

“Tetapi Ananda, bhikkhu atau bhikkhuni mana pun, baik laki-laki maupun perempuan, yang menjalankan Dhamma, hidup lurus dalam Dhamma, berjalan di jalan Dhamma, melalui orang itulah Tathāgata dihormati, dimuliakan, dijunjung, dipuja, dan dihormati dengan derajat tertinggi.”

Pemujaan nonmateri atau pemujaan praktik (paṭipatti-pūjā) dapat diwujudkan dengan mengembangkan praktik-praktik:

Berdoa

Seorang biksu melantunkan paritta malam di dalam sebuah wihara yang terletak di dekat kota Kantharalak, Thailand.

Secara umum, umat Buddha Theravāda mendefinisikan ulang terminologi berdoa sebagai aktivitas batin yang merenungi Dhamma dan menyampaikan puji-pujian kepada Triratna, bukan meminta sesuatu yang diinginkan kepada makhluk apa pun. Jika berdoa didefinisikan sebagai suatu aktivitas batin yang memohon atau meminta sesuatu yang diinginkan—misalnya kebahagiaan—kepada dewa, brahma, atau makhluk apa pun yang diyakini bisa memberikannya, maka Buddhisme menolak kegiatan berdoa. Dengan pengertian tersebut, kebahagiaan dianggap hanya bisa didapatkan melalui berdoa dan merupakan hadiah dari makhluk yang diminta. Apabila makhluk tersebut tidak berkenan, maka kebahagiaan tidak bisa terwujud karena tidak ada makhluk lain yang bisa menghalangi kehendaknya; termasuk diri sendiri. Dengan demikian, kebahagiaan menjadi sesuatu yang berada di luar kuasa seseorang. Dengan batasan istilah seperti ini, maka paritta buddhis, seperti Ettāvatā dan Brahmavihārapharaṇa, tidak termasuk dalam terminologi berdoa karena keduanya melibatkan perbuatan baik yang menjadi faktor utama kemunculan kebahagiaan.[22] Dengan tiadanya keyakinan terhadap suatu pencipta dunia, pandangan Buddhisme mengenai berdoa pun tidak melibatkan kehadiran pencipta dunia. Dalam Iṭṭha Sutta (Aṅguttara Nikāya 5.43),[23] Buddha menyatakan bahwa kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan alam surga tidak dapat diperoleh melalui doa-doa atau aspirasi-aspirasi. Kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan alam surga hanya dapat diperoleh dengan mempraktikkan jalan yang menuju padanya. Alih-alih berdoa untuk meminta kebahagiaan kepada suatu sosok, Sammāsambuddha mengatakan bahwa sebab dari kebahagiaan adalah mengikuti jalan yang membawa ke kebahagiaan. Jalan yang membawa ke kebahagiaan adalah praktik-praktik kebajikan, seperti dāna (bederma), sīla (moralitas), dan lain-lain (dānasīlādikā puññapaṭipadā).[22]

Mahāyāna

Dalam aliran-aliran Buddhisme Utara, objek-objek yang digunakan untuk praktik puja, seperti patung Buddha atau penggambaran suci lainnya, diletakkan di belakang:

  • air (melambangkan keramahtamahan, untuk membasuh muka dan kaki)
  • syal (Tibet kha-btags, pesembahan persahabatan)
  • bunga, dupa, lampu, wewangian dan makanan (mewakili seseorang yang mengabdikan seluruh indranya untuk latihan spiritual).[24]

Puja dengan materi dipenuhi dengan pemaknaan sebagai berikut:

  • penyalaan lilin atau lampu minyak melambangkan cahaya kebijaksanaan yang menerangi kegelapan kebodohan.
  • pembakaran dupa melambangkan wangi moralitas.
  • bunga melambangkan cita-cita untuk mencapai tubuh Buddha dengan tiga puluh dua tanda Buddha serta ajaran ketidakkekalan. Sebagai alternatif, sebuah syair Zen mengungkapkan keinginan agar "bunga" pikiran "mekar di musim semi pencerahan".[25]
  • makanan, buah, air, minuman melambangkan nektar Dharma dan keinginan untuk mencapainya.

Referensi

  1. ^ Lihat, misalnya, Harvey (1990), hlm. 172-3.
  2. ^ Indaratana (2002), hlm. iv, v; Kapleau (1989), hlm. 193; Khantipalo (1982); Lee & Thanissaro (1998).
  3. ^ Indaratana (2002), hlm. 11-12.
  4. ^ Lihat, misalnya, Indaratana (2002), hlm. 11-12. Harvey (1990), hlm. 173, dan Kariyawasam (1995), chapter 1, keduanya berpendapat bahwa bunga adalah bentuk persembahan yang paling umum.
  5. ^ Kapleau (1989), hlm. 193; Khantipalo (1982); dan, Harvey (1990), hlm. 175, terutama yang berkaitan dengan Buddhisme Utara.
  6. ^ Lee & Thanissaro (1998). Lihat pula Harvey (1990), hlm. 173, yang dalam membahas “persembahan” menyatakan: "Such acts consequently generate 'merit'."
  7. ^ "Purity Of Sila [Chapter 5]". Wisdom Library (dalam bahasa Inggris). 2010-01-27. Diakses tanggal 2024-08-20. 
  8. ^ Lihat, misalnya, Indaratana (2002), hlm. v; Kapleau (1989), hlm. 191ff.; dan Khantipalo (1982).
  9. ^ a b Lee & Thanissaro (1998).
  10. ^ Khantipalo (1982).
  11. ^ Lihat juga Pindapata terkait praktik tradisional Theravada untuk memberikan sedekan kebutuhan biksu.
  12. ^ Khantipalo (1982); Lee & Thanissaro (1998).
  13. ^ Lihat, misalnya, Lee & Thanissaro (1998).
  14. ^ a b Indaratana (2002), hlm. 12.
  15. ^ Indaratana (2002), hlm. 11. Lihat pula Harvey (1990), hlm. 175, yang menerjemahkan syair persembahan cahaya sebagian sebagai deskripsi Sang Buddha sebagai "the lamp of the three worlds, dispeller of darkness."
  16. ^ Harvey (1990), hlm. 175.
  17. ^ Indaratana (2002), hlm. 11. Demikian pula, lihat Harvey (1990), hlm. 173; dan, Kariyawasam (1995), bab. 1, bag. 2, "Personal Worship."
  18. ^ Saṅgha Theravāda Indonesia; Mapanbudhi (sekarang Magabudhi) (1996). Paritta Suci: Kumpulan Paritta dan Penggunaannya dalam Upacara-Upacara (PDF) (edisi ke-7). Malang: Yayasan Dhammadipa Arama. 
  19. ^ Kantipalo (1982), n. 1.
  20. ^ Lee & Thanissaro (1998).
  21. ^ "Maha-parinibbana Sutta: Last Days of the Buddha". 
  22. ^ a b Kheminda, Ashin. "Berdoa Dari Sudut Pandang Buddhisme". Dhammavihari Buddhist Studies. Diakses tanggal 2022-09-19. 
  23. ^ Anggara, Indra. "AN 5.43: Iṭṭhasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  24. ^ Harvey (1990), hlm. 175.
  25. ^ Harvey (1990), hlm. 173.

Bibliografi

 

Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia