Rahula (lahir sekitar 534 SM) adalah anak semata wayang dari Pangeran Siddharta Gautama yang kelak menjadi Buddha. Ibunya adalah Putri Yasodhara. Terdapat beberapa catatan sejarah mengenai dirinya di dalam kitab Tipitaka berbahasa Pali.
Riwayat Hidup
Anak yang dilahirkan oleh Putri Yasodhara diberi nama Rahula oleh Pangeran Siddhartha. Rahula berarti "belenggu" atau "ikatan", sedangkan beberapa ahli mengatakan rāhu bukan berarti belenggu. Menurut sumber lain, yang ditemukan dalam Mūlasarvāstivādavinaya, putranya dinamakan Rahula karena sesuai dengan gerhana bulan yang terjadi, yang dipercayai disebabkan oleh ular Rahu.[1]
Rahula dibesarkan oleh ibu dan kakeknya, Raja Suddhodana. Ketika dia berusia tujuh tahun, Rahula meminta warisan dari ayahnya ketika Buddha kembali mengunjungi Kerajaan Kapilavastu. Pada hari ketujuh dari kepulangan Buddha Gautama, Yasodhara membawa Rahula untuk melihat ayahnya, yang kini telah menjadi seorang Buddha. Dia mengatakan pada Rahula karena ayahnya telah melepaskan kehidupan istana dan bahwa dialah penerus kerajaan itu nantinya, dia harus meminta warisan mahkota dari ayahnya demi masa depannya.
Setelah makan siang, Rahula mengikuti Buddha dan berkata "Berikan padaku warisanku." Tidak seorang pun mencoba untuk menghentikannya. Buddha pun tidak mencegahnya untuk mengikuti dirinya. Rahula kemudian melihat ayahnya dan berkata, "Yang Mulia, bahkan bayang-bayangmu menyenangkan bagiku."
Setelah tiba di Taman Nigrodha, tempat Buddha tinggal untuk sementara waktu, Buddha berpikir: "Dia menginginkan warisan ayahnya, tetapi warisan itu penuh masalah. Aku akan berikan manfaat dari pencerahan spiritualku dan membuatnya sebagai pemilik warisan agung."
Buddha memanggil Yang Mulia Sariputta dan memintanya menahbiskan Rahula kecil yang kemudian dikenal sebagai Samanera pertama di dunia. Samanera berarti calon biksu.
Raja Suddhodana yang mengetahui perihal cucunya telah ditahbiskan menjadi seorang samanera kemudian meminta kepada Buddha agar hanya menahbiskan mereka yang masih di bawah umur dengan persetujuan orang tua atau walinya. Buddha menyetujui hal ini. Peraturan ini pun kemudian ditetapkan termasuk perihal meminta izin dari pasangan sebelum seorang pria maupun wanita ditahbiskan menjadi seorang biksu dan biksuni.[2]
Segera setelah penahbisannya, Buddha mengajarkan Rahula tentang arti pentingnya mengatakan kebenaran. Khotbah ini dikenal dengan nama Rahulavada Sutta.[3] Buddha menempatkan kebenaran sebagai yang tertinggi di antara nilai-nilai kebajikan lainnya. Para pencari kebenaran, tidak seharusnya melanggar aturan moral (sila) Kebenaran.
Rahula kemudian menjadi salah satu arahat berkat petunjuk-petunjuk Buddha. Rahula meninggal sebelum Buddha, Sariputta dan Moggallana.
Referensi
^Raniero Gnoli (ed.) The Gilgit Manuscript of the Samghabhedavastu. Rome: Instituto Italiano per il Medio ed Estremo Oriente, 1977. 1:119.