Dalam Buddhisme, malu atau rasa malu (Pali: hiri atau hirī; Sanskerta: hrī atau hrīḥ, ह्रीः) berasal dari faktor internal, penghormatan diri sendiri, dan rasa sungkan. Rasa malu diartikan sebagai sikap berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan dan menjauhi perbuatan yang tidak baik.[1][2] Rasa malu adalah salah satu faktor mental baik dalam ajaran Abhidharma. Faktor mental yang berlawanan dengan karakteristik rasa malu adalah ahirika (Pali) atau āhrīkya (Sanskerta), artinya "tidak tahu malu". Rasa malu biasanya dipasangkan dengan ottappa ("rasa takut berbuat jahat").
Ada setidaknya dua diskursus dalam Sutta Piṭaka yang memiliki judul "Hiri Sutta." Kedua teks ini berfokus pada masalah rasa malu moral. Diskursus pertama (Saṁyutta Nikāya 1.18) adalah dialog singkat antara Sang Buddha dan sesosok dewa tentang hakikat rasa malu.[3] Diskursus kedua (Sutta Nipāta 2.3) adalah dialog tanya jawab antara Sang Buddha dan seorang petapa mengenai hakikat persahabatan sejati.[4] Satu diskursus lainnya (Aṅguttara Nikāya 7.65) berisi wejangan Sang Buddha tentang manfaat rasa malu berbuat jahat yang dipasangkan dengan rasa takut berbuat jahat, dan bahaya atas rasa tidak takut dan tidak malu berbuat jahat.[5]Tradisi Abhidhamma Theravāda mencantumkan hiri dalam daftar dua puluh lima sobhana cetasika ("faktor mental yang indah").
Hiri sering disebut bersamaan dengan ottappa ("rasa takut terhadap akibat perbuatan jahat"). Keduanya bertanggung jawab untuk mendorong seseorang agar menghindari melakukan tindakan jahat. Sebab terdekat untuk rasa malu adalah rasa hormat terhadap diri sendiri; sedangkan rasa takut berbuat jahat adalah rasa hormat terhadap orang lain. Bersama-sama, mereka dikenal sebagai lokapala ("penjaga dunia"):[6]
Para bhikkhu, dua dhamma yang murni ini adalah penjaga dunia. Apakah dua hal tersebut? Rasa-malu (hiri) dan takut-berbuat-jahat (ottappa). Para bhikkhu, apabila dua dhamma yang murni ini tidak menjaga dunia, maka tidak akan ada rasa hormat diberikan kepada ibu, atau saudara ibu, atau istri paman, atau istri guru, atau istri dari mereka yang dihormati. Dunia akan penuh dengan kekacauan kelahiran seperti halnya yang terjadi di antara kambing, ayam, babi, anjing, dan serigala. Para bhikkhu, karena dua dhamma yang murni ini menjaga dunia maka rasa hormat diberikan kepada ibu dan lain-lain.”
"Malu terhadap apa yang seharusnya membuat seseorang malu, malu melakukan hal-hal yang jahat dan tidak baik: ini disebut rasa malu berbuat jahat (hiri). Takut terhadap apa yang seharusnya membuat seseorang takut, takut melakukan hal-hal yang jahat dan tidak baik: ini disebut rasa takut berbuat jahat (ottappa)."[7]
Rasa malu vs rasa takut
Kitab komentar menguraikan hiri (rasa malu) dan ottappa (rasa takut) dengan menjabarkan perbedaan kedua faktor-mental ini dalam tiga hal:[6]
Kemunculan rasa-malu bersumber pada diri sendiri atau faktor internal (ajjhattasamuṭṭhāna); sedangkan kemunculan takut-berbuat-jahat bersumber pada orang lain atau faktor eksternal (bahiddhāsamuṭṭhāna).
Rasa-malu bersumber pada sikap menghormati diri sendiri (attādhipati); sedangkan takut-berbuat-jahat bersumber pada sikap menghormati dunia atau orang lain (lokādhipati).
Rasa-malu “berpijak” pada karakteristik alamiah dari rasa sungkan (lajjāsabhāvasaṇṭhita); sedangkan takut-berbuat-jahat “berpijak” pada karakteristik alamiah dari rasa takut (bhayasabhāvasaṇṭhita).
Kitab komentar memberi ilustrasi untuk dua faktor-mental ini—hiri dan ottappa—dengan perumpamaan dua bolabesi (dvīayoguḷa). Dari dua bola besi tersebut, bola yang satu dingin, tetapi seluruh permukaannya dilumuri oleh kotoran manusia; sedangkan bola yang kedua adalah bola yang panas membakar. Seorang yang bijaksana tidak mau memegang bola yang pertama karena merasa jijik dengan kotoran manusia; sementara itu dia juga tidak berani memegang bola yang kedua karena takut tangannya terbakar. Ketidakinginan orang tersebut memegang bola yang dingin dan penuh kotoran adalah seperti seseorang yang tidak melakukan kejahatan karena rasa-malu yang muncul dari diri sendiri. Kemudian, ketidakinginan untuk memegang bola panas karena takut tangannya terbakar adalah seperti seseorang yang takut-berbuat-jahat karena rasa takut terlahir di empat alam rendah (neraka, binatang, hantu kelaparan, dan jin).
Faktor internal
Rasa-malu muncul dari salah satu dari empat alasan (catukāraṇa), yaitu merenungkan kelahiran (jāti), usia (vayo), kekuatan dan keberanian (sūrabhāva), dan keterdidikan (bāhusacca). Seseorang tidak melakukan perbuatan jahat dengan memunculkan kemunculan faktor-mental ini setelah merenungkan pertimbangan:
Status kelahirannya yang baik, yaitu terlahir di keluarga yang terhormat (jātisampannāna). Perenungan-perenungan, seperti “Perbuatan jahat seperti ini tidak pantas saya lakukan. Perbuatan seperti ini hanya dilakukan oleh mereka dengan status kelahiran yang rendah seperti para nelayan atau sejenisnya (hīnajaccānaṃ kevaṭṭādīnaṃ idaṃ kammaṃ).”
Usia, seperti “Perbuatan buruk seperti ini hanya pantas dilakukan oleh anak kecil, tidak untuk orang seusia saya.”
Kekuatan dan keberanian, seperti “Perbuatan yang tidak baik seperti ini hanya pantas dilakukan oleh mereka dari golongan yang lemah (dubbalajātika), tidak untuk saya yang mempunyai kekuatan dan keberanian (sūrabhāva).”
Keterdidikan, seperti “Perbuatan jahat seperti ini hanya pantas dilakukan oleh orang dungu (andhabāla) dan tidak bijaksana; sungguh tidak pantas buat saya yang bijaksana (paṇḍita) dan terdidik (bahussuta) melakukannya.”
Setelah merenungkan salah satu dari empat sebab di atas, seseorang kemudian menahan diri dan tidak melakukan perbuatan jahat seperti membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang bukan haknya, berzina, berbohong, dan lain-lain.[6]
Penghormatan diri sendiri
Rasa-malu muncul karena adanya sikap seseorang yang menghormati dirinya sendiri (attādhipati). Dengan kata lain, martabat seseorang menjadi pendorong baginya untuk tidak melakukan perbuatan jahat. Perenungan-perenungan tentang status diri sendiri di masyarakat menjadi sarana yang efektif buat seseorang untuk memunculkan faktor-mental rasa-malu.
Mādisassa saddhāpabbajitassa bahussutassa dhutaṅgadharassa na yuttaṃ pāpakammaṃ kātun'ti. Tidaklah pantas untuk seseorang seperti saya, yang meninggalkan kehidupan berumah tangga karena keyakinan, berpengetahuan luas, menyenangi praktik pertapaan, melakukan perbuatan yang jahat.
Seseorang membuat diri sendiri sebagai pemimpin yang tertinggi (attādhipati jeṭṭhaka), meninggalkan kejahatan, mengambangkan sila atau akhlak, meninggalkan kesalahan, mengembangkan perilaku tanpa kesalahan, dan menjaga dirinya sendiri untuk tetap bersih dari kesalahan-kesalahan sekecil apa pun.[6]
Rasa sungkan
Ettha pana lajjāti lajjanākāro; tena sabhāvena saṇṭhitā hirī. Di sini, sungkan adalah perilaku sungkan; rasa-malu “berpijak” di karakteristik alamiah dari (rasa sungkan) tersebut.
Seseorang yang mempunyai rasa-malu juga mempunyai perilaku yang sangat cermat, berhati-hati, dan menjunjung tinggi etika serta sopan santun. Faktor-mental rasa-malu diyakini membuat seseorang menjadi pribadi yang lembut dan tidak kasar. Rasa-malu—dan juga takut-berbuat-jahat—muncul dalam bentuk penghindaran dari perbuatan jahat atau yang tidak baik (pāpaparivajjana). Kitab komentar memberikan contoh tentang seseorang dari keluarga baik-baik yang ingin buang air di alam terbuka, tetapi kemudian membatalkannya karena melihat ada orang lain yang pantas dihormati di sekitar tempat tersebut. Pada saat dia memutuskan untuk membatalkan hasratnya, maka pada saat itu faktor-mental rasa-malu muncul di arus kesadarannya.[6]
Tidak tahu malu atau ahirika adalah suatu faktor mental yang sifatnya berlawanan dari faktor mental rasa malu. Faktor mental ini merupakan satu dari empat belas faktor mental tidak baik dalam klasifikasi Abhidhamma. Karakteristiknya adalah tidak merasa jijik terhadap perilaku tubuh dan ucapan, atau tidak merasa malu terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak baik (kāyaduccaritādīhi ajigucchanalakkhaṇaṃ, alajjālakkhaṇaṃvā). Sebab terdekat dari ahirika adalah tidak adanya rasa hormat kepada dirinya sendiri.
Ahirika adalah faktor-mental yang membuat seseorang tidak malu untuk berbuat jahat. Kitab Puggalapaññatti memberikan perumpamaan yang sangat kuat seperti seekor babi di desa yang tidak jijik memakan kotorannya sendiri. Apabila ahirika tidak muncul di dalam kesadaran, maka seseorang malu atau bahkan tidak akan berpikir untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. Akan tetapi, karena kemunculan ahirika maka perbuatan yang tidak baik akan terus-menerus berulang dan, bahkan, seseorang akan terus kecanduan untuk menikmatinya.[6]
"Apa itu hrī? Sejauh yang saya lihat, hrī adalah menghindari hal-hal yang tidak baik dan fungsinya adalah memberikan dasar untuk menahan diri dari tindakan-tindakan yang tidak baik."[8]
Kitab Abhidharmakośabhāsya mencantumkan hrī dalam sepuluh faktor mental yang berbudi luhur (daśa kuśalamahābhῡmikā dharma; 大善地法).
Tradisi Yogācāra mengenalinya sebagai salah satu dari sebelas faktor mental yang baik (ekādaśa-kuśala; 十一善).
Perbedaan antara apatrāpya (rasa takut) dan hrī (rasa malu) adalah apatrapya berarti menahan diri dari tindakan yang tidak baik untuk menghindari celaan orang lain; sedangkan hrī berarti menahan diri dari tindakan yang tidak baik karena hati nurani sendiri.[9][10]
Apa itu tidak tahu malu (ahrīkya)? Ahrīkya adalah tidak menahan diri dengan menjadikan penyimpangan diri sendiri sebagai suatu hal yang biasa. Ahrīkya adalah peristiwa emosional yang terkait dengan nafsu-nafsu (raga), kebencian-keengganan (dvesha), dan kekeliruan (moha). Ahrīkya membantu semua emosi dasar dan mendalam.[11]
Terjemahan alternatif
harga diri (self-respect) - Herbert Guenther, Dzigar Kongtrul Rinpoche, Rangjung Yeshe Wiki
kehati-hatian (conscience, conscientiousness) - Bhikkhu Sujato, Erik Pema Kunsang
martabat moral diri sendiri (moral self-dignity) - Alexander Berzin
Guenther, Herbert V. & Leslie S. Kawamura (1975), Mind in Buddhist Psychology: A Translation of Ye-shes rgyal-mtshan's "The Necklace of Clear Understanding". Dharma Publishing. Kindle Edition.
Kunsang, Erik Pema (penerjemah) (2004). Gateway to Knowledge, Vol. 1. North Atlantic Books.