Penderitaan atau duka (Pali: dukkha; Sanskerta: दुःख, duḥkha) merupakan istilah dalam Buddhisme yang juga dikenal sebagai ketidakpuasan, kesedihan, kemalangan, dan keputusasaan.[note 1] Maknanya tergantung pada konteksnya, dukkha dapat merujuk secara lebih spesifik pada “ketidakpuasan” atau “kegelisahan” kehidupan duniawi; dan ketidaknyamanan ketika batin didorong oleh nafsu kehausan (taṇhā) dan ketidaktahuan (avijjā).[1][2][3][4]
Dukkha digunakan dalam konteks Empat Kebenaran Mulia:
dukkha ("penderitaan")[6][7][8][9] adalah karakteristik bawaan dari keberadaan samsara;[web 1][10][11] bahwa tidak ada fenomena terkondisi yang kekal; fenomena terkondisi itu menyakitkan.
dukkha samudaya ("munculnya atau asal penderitaan"): bersama dukkha ada taṇhā ("nafsu kehausan"); kemelekatan (upādāna) atas keberadaan yang dukkha.[note 2][web 2][13][14][15]
dukkha nirodha ("terhentinya penderitaan"): kemelekatan atas dukkha dapat dilenyapkan oleh pelepasan atas taṇhā;[15][16][17][18][19] keadaan yang pada akhirnya mengarah ke pencapaian Nirwana,[20] termasuk empat tingkat kemuliaan.
dukkha nirodhagāminī paṭipadā atau magga ("jalan menuju terhentinya penderitaan") adalah jalan menuju lenyapnya taṇhā dan pembebasan dari dukkha (Nirwana); Jalan Mulia Berunsur Delapan.[21][22][23]
Tiga jenis penderitaan
Dalam kitab-kitab suci, dukkha memiliki makna yang luas dan umumnya dibagi menjadi tiga kategori:[24][25]
Dukkha-dukkha, penderitaan atas penderitaan umum – penderitaan jenis ini termasuk penderitaan fisik dan mental akibat kelahiran, penuaan, penyakit, kematian; tekanan karena hal-hal yang tidak diinginkan.
Vipariṇama-dukkha, penderitaan atas perubahan – penderitaan jenis ini berupa pengalaman menyenangkan atau bahagia yang berubah menjadi tidak menyenangkan ketika sebab dan kondisi yang menghasilkan pengalaman menyenangkan itu lenyap.
Saṅkhāra-dukkha, penderitaan atas keadaan terkondisi – ketidakmampuan hal-hal yang terkondisi untuk memberi seseorang kebahagiaan yang kekal. Penderitaan jenis ini termasuk "ketidakpuasan mendasar yang meliputi semua keberadaan, semua bentuk kehidupan, karena semua bentuk kehidupan berubah, tidak kekal, dan tanpa atma." Jenis penderitaan ini menunjukkan kurangnya kepuasan yang bertahan lama, atau perasaan bahwa segala sesuatu sering tidak sesuai dengan harapan atau standar seseorang.
Berbagai diskursus dalam Sutta Piṭaka menjelaskan bagaimana kehidupan duniawi ini dianggap sebagai penderitaan, dimulai dengan samsara (proses kematian dan kelahiran kembali yang terus berlanjut):[note 3]
Kelahiran adalah penderitaan, usia tua (pendewasaan) adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, penyakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan;
Kesedihan, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan adalah penderitaan;
Bergaul dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan, berpisah dengan orang yang disukai adalah penderitaan;
Tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan.
Singkatnya, kelima gugusan yang dilekati adalah penderitaan.
Penekanan awalnya adalah pada pentingnya mengembangkan kebijaksanaan tentang hakikat penderitaan, kondisi yang menyebabkannya, dan bagaimana penderitaan dapat diatasi. Proses ini dirumuskan dalam ajaran tentang Empat Kebenaran Mulia.
"Kelahiran adalah penderitaan; menjadi tua adalah penderitaan; penyakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan (ketidaksenangan), dan keputusasaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan.
Dengan kata lain, lima agregat kehidupan (pañcakkhandha) yang dipengaruhi kemelekatan adalah penderitaan (dukkha)."
Penderitaan dipahami sebagai yang satu dari tiga karakteristik keberadaan (tilakkhaṇa), dua lainnya adalah anicca ('ketidakkekalan') dan anatta (tanpa diri, tanpa jiwa, tanpa roh, tanpa hakikat).[27][28][29][30] Ini muncul dalam kitab-kitab Pali sebagai:
"sabbe saṅkhārā aniccā,
sabbe saṅkhārā dukkhā,
sabbe dhammā anattā."
Kalimat-kalimat tersebut diterjemahkan oleh Szczurek sebagai, "semua hal yang terkondisi tidak kekal, semua hal yang terkondisi menyakitkan, semua dhamma tidak memiliki Atma."
Saṅkhāra vs dhamma
Lima gugusan atau pāncakkhandha juga tunduk pada corak penderitaan. Tradisi Abhidhamma menjelaskan saṅkhāra, dhamma, dan hubungannya dengan gugusan (khandha) dalam skema:[31]
Seluruh gugusan (khandha) termasuk dalam kategorisasi saṅkhāra, sedangkan Nirwana tidak termasuk. Kategorisasi yang mencakup saṅkhāra dan asaṅkhāra (bukan saṅkhāra, seperti Nirwana) disebut sebagai dhamma.
Aliran-aliran Buddhisme Han dipengaruhi oleh Taoisme dan teori Konfusianisme yang menyatakan bahwa penderitaan (古:十 sepuluh arah, 口 lubang atau bukaan) dikaitkan dengan teori tujuh emosi penyakit endogen melalui pembentukan po, istilah yang berhubungan dengan gagasan psikologis Barat tentang ego atau referensi teologis tentang jiwa manusia. Teori ini diuraikan dalam penerapan pengobatan tradisional Tionghoa untuk pengobatan dan pencegahan rasa sakit dan penderitaan akibat penyakit, wabah, dan ketidaktahuan.[33][34]
Catatan
^Terjemahan bahasa Inggris dari dukkha: * Nyanatiloka Thera 2004, hlm. 61: dukkha (1) 'pain', painful feeling, which may be bodily and mental [...] 2. 'Suffering', 'ill'. * Huxter 2016, hlm. 10: "dukkha (unsatisfactoriness or suffering) (....) In the Introduction I wrote that dukkha is probably best understood as unsatisfactoriness." :[3] "(...) the three characteristics of samsara/sankhara (the realm of rebirth): anicca (impermance), dukkha (pain) and anatta (no-self)." Lihat juga Anuradha Sutta: To Anuradha
^Ketika memaknai dukkha secara harfiah sebagai penderitaan, taṇhā biasanya diinterpretasikan sebagai "sebab" dari "penderitaan" dalam bahasa Dunia Barat, tetapi taṇhā juga dapat diinterpretasikan sebagai suatu faktor yang mengikat kita pada penderitaan fisik dan emosional, atau sebagai respons terhadap penderitaan fisik dan emosional, mencoba menghindarinya;[12]
^Paul Williams: "All rebirth is due to karma and is impermanent. Short of attaining enlightenment, in each rebirth one is born and dies, to be reborn elsewhere in accordance with the completely impersonal causal nature of one's own karma. The endless cycle of birth, rebirth, and redeath, is samsara."[26]
^Beckwith: "The Buddha says All dharmas [= pragmata] are anitya "impermanent" dukkha "unsatisfactory, imperfect, unstable" anatman "without an innate self-identity"[9]
^Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN978-1-134-90352-8. All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, dukkha and lack of soul, that is, something that does not change.
^Anderson 2004, hlm. 295–297. Kutipan: "This, bhikkhus, is the noble truth that is suffering. Birth is suffering; old age is suffering; illness is suffering; death is suffering; sorrow and grief, physical and mental suffering, and disturbance are suffering. [...] In short, all life is suffering, according to the Buddha's first sermon."
^Anderson 2004, hlm. 295–297. Kutipan: "The second truth is samudaya (arising or origin). To end suffering, the four noble truths tell us, one needs to know how and why suffering arises. The second noble truth explains that suffering arises because of craving, desire, and attachment."
^Anderson 2004, hlm. 295–297, Kutipan: "The third truth follows from the second: If the cause of suffering is desire and attachment to various things, then the way to end suffering is to eliminate craving, desire, and attachment. The third truth is called nirodha, which means 'ending' or 'cessation'. To stop suffering, one must stop desiring";
^Anderson 2004, hlm. 295–297, Kutipan: "This, bhikkhus, is the noble truth that is the way leading to the ending of suffering. This is the eightfold path of the noble ones: right view, right intention, right speech, right action, right livelihood, right effort, right mindfulness, and right concentration.[..] The Buddha taught the fourth truth, maarga (Pali, magga), the path that has eight parts, as the means to end suffering."
^Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN978-1-134-90352-8., Quote: "All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, suffering and lack of soul or essence."
^Soothill, William Edward; Hodous, Lewis (2006). A dictionary of Chinese Buddhist terms: with Sanskrit and English equivalents and a Sanskrit-Pali index (edisi ke-Repr. - Transferred to digital printing). London New York, NY: Routledge. ISBN978-0-7007-1455-1.
Daftar pustaka
Alexander, James (2019), "The State Is the Attempt to Strip Metaphor Out of Politics", dalam Kos, Eric S., Michael Oakeshott on Authority, Governance, and the State, Springer
Williams, Paul (2002), Buddhist Thought, Routledge, ISBN0-415207010
Sumber web
^Four Noble Truths: BUDDHIST PHILOSOPHY, Encyclopaedia Britannica, Kutipan: "The first truth, suffering (Pali: dukkha; Sanskrit: duhkha), is characteristic of existence in the realm of rebirth, called samsara (terj. har.'wandering')."
^Four Noble Truths: BUDDHIST PHILOSOPHY, Encyclopaedia Britannica, Kutipan: "The second truth is the origin (Pali and Sanskrit: samudaya) or cause of suffering, which the Buddha associated with craving or attachment in his first sermon."