Dalam Buddhisme, sebuah belenggu batin, rantai batin, atau ikatan batin (Pali: saṁyojana, saññojana; Sanskerta: संयोजन, saṁyojana) mengikat mahkluk hidup pada samsara, yaitu lingkaran punarbawa yang disertai penderitaan. Dengan meyingkirkan seluruh belenggu secara bertahap, seseorang mencapai Nirwana melalui empat tingkat kemuliaan.
Dalam Tripitaka Pali, kata "belenggu" digunakan untuk menjelaskan fenomena intrapsikis yang mengikat seseorang pada penderitaan. Sebagai contoh, dalam kitab Itivuttaka (Taṇhāsaṁyojana Sutta, Iti 15)[2] yang merupakan bagian dari Khuddaka Nikāya, Buddha menyatakan:
"Para bhikkhu, saya tidak melihat satu pun belenggu—belenggu yang mengikat makhluk-makhluk yang tergabung untuk mengembara dan berpindah-pindah selama waktu yang sangat lama—seperti belenggu nafsu kehausan. Terbelenggu oleh belenggu nafsu kehausan, makhluk-makhluk yang tergabung untuk mengembara dan berpindah-pindah selama waktu yang sangat lama."[3]
Di bagian kitab suci lainnya, penderitaan yang disebabkan oleh belenggu-belenggu dijelaskan secara tersirat dalam sebuah percakapan teknis antara Sāriputta dan Kotthita dalam Koṭṭhita Sutta (SN 35.232):
Kotthita:
"... Apakah mata adalah belenggu bagi bentuk-bentuk atau apakah bentuk-bentuk adalah belenggu bagi mata?
Apakah telinga adalah belenggu bagi suara-suara atau apakah suara-suara adalah belenggu bagi telinga?
Apakah pikiran adalah belenggu bagi fenomena-fenomena pikiran atau apakah fenomena-fenomena pikiran adalah belenggu bagi pikiran?"
Sāriputta:
"...Mata bukanlah belenggu bagi bentuk-bentuk juga bentuk-bentuk bukanlah belenggu bagi mata, melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana.
Telinga bukanlah belenggu bagi suara-suara juga suara-suara bukanlah belenggu bagi telinga, melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana. ...
Pikiran bukanlah belenggu bagi fenomena-fenomena pikiran juga fenomena-fenomena pikiran bukanlah belenggu bagi pikiran, melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana. ..."[4][5]
Sebagaimana ditampilkan pada tabel, di dalam Sutta Piṭaka, lima belenggu pertama dirujuk sebagai "belenggu-belenggu rendah" (orambhāgiyāni saṃyojanāni) dan disingkirkan segera setelah seseorang mencapai tingkat sotāpanna; dan lima belenggu terakhir dirujuk sebagai "belenggu-belenggu tinggi" (uddhambhāgiyāni saṃyojanāni), disingkirkan oleh seorang arahat.[18]
Sutta Piṭaka: tiga jenis belenggu
Dalam Saṅgīti Sutta (DN 33) dan kitab Dhammasaṅgaṇi (Dhs. 1002-1006), dijelaskan "tiga belenggu" yang sama seperti tiga belenggu pertama dalam daftar sepuluh jenis belenggu menurut Sutta Piṭaka yang telah disebutkan di atas:
Kitab komentar menegaskan bahwa pandangan salah, keraguan, kemelekatan pada ritual, iri hati, dan kekikiran dapat dibasmi dengan pencapaian tingkat kesucian pertama (sotāpatti); nafsu indrawi yang kotor dan antipati pada tingkat kedua (sakadāgāmitā); perwujudan halus dari belenggu serupa pada tingkatan ketiga (anāgāmitā); dan kesombongan, nafsu atas keberadaan, dan ketidaktahuan pada tahapan keempat atau terakhir (arahatta).
Secara khusus, Potaliya Sutta (MN 54), menjelaskan delapan belenggu (termasuk tiga poin dari Pancasila) yang "menuntun menuju terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia (Jalan Mulia Berunsur Delapan)" (ariyassa vinaye vohārasamucchedāya saṁvattanti) bagi seorang perumah tangga atau umat awam (upāsaka-upāsikā):
Belenggu-belenggu berikut ini adalah tiga belenggu pertama yang disebutkan dalam daftar sepuluh belenggu Sutta Pitaka, dan juga dalam daftar “tiga belenggu” Saṅgīti Sutta dan Abhidhamma Pitaka (DN 33, Dhs. 1002 ff.). Seperti yang ditunjukkan di bawah ini, tersingkirkannya ketiga belenggu ini adalah indikator kanonis bahwa seseorang telah berada di jalan menuju kecerahan.
Secara etimologi, kāya berarti "tubuh", sakkāya berarti "tubuh fisik", dan diṭṭhi berarti "pandangan" (sering kali merujuk pada pandangan salah, dalam Buddhisme, sebagaimana dicontohkan dalam tabel berikut).
"Aku tak berpikir begitu. Aku tak berpikir demikian pula atau sebaliknya. Aku tak berpikir tidak atau bukan-tidak."
Penundaan penilaian.
Secara umum, "percaya atas keberadaan diri atau roh" atau, lebih ringkasnya, "pandangan identitas diri" merujuk pada "kepercayaan bahwa dalam satu gugusan atau lainnya terdapat suatu entitas permanen, sebuah atta".[26]
Dalam Sabbasava Sutta (MN 2), Buddha juga menjelaskan "belenggu atas pandangan":
"Ini adalah bagaimana ia memperhatikan dengan tidak bijaksana:
'Apakah aku ada di masa lampau?
Apakah aku tidak ada di masa lampau?
Apakah aku di masa lampau?
Bagaimanakah aku di masa lampau?
Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau?
Apakah aku akan ada di masa depan?
Apakah aku akan tidak ada di masa depan?
Akan menjadi apakah aku di masa depan?
Akan bagaimanakah aku di masa depan?
Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan?’
Atau kalau tidak demikian, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang sebagai berikut:
‘Apakah aku ada?
Apakah aku tidak ada?
Apakah aku?
Bagaimanakah aku?
Dari manakah makhluk ini datang?
Ke manakah makhluk ini akan pergi?’
“Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana seperti ini, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya ...:
‘ada diri [atau roh] bagiku’ ...
‘tidak ada diri [atau roh] bagiku’ ...
‘aku melihat diri [atau roh] dengan diri [atau roh]’ ...
'aku melihat bukan-diri [atau bukan-roh] dengan diri [atau roh]’ ...
‘aku melihat diri [atau roh] dengan bukan-diri [atau bukan-roh]’ ...
‘adalah diriku [atau rohku] ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku [atau rohku] ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’ ...
Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. [Oleh] karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan."[27][28]
Pada umumnya, "keraguan" merujuk pada keraguan mengenai ajaran Buddha, yaitu Dhamma. (Ajaran-ajaran serupa lainnya ditampilkan pada tabel "Pandangan enam guru sesat".)
Lebih jelasnya, dalam SN 22.84, Tissa Sutta,[29] Buddha dengan tegas memperingatkan tentang keraguan atas Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang dijelaskan sebagai jalur yang benar menuju Nibbāna, memimpin seseorang melewati ketidaktahuan, nafsu indrawi, antipati, dan keputusasaan.
Kemelekatan pada ritual dan adat (sīlabbata-parāmāsa)
Sīla merujuk pada "perilaku moral", vata (atau bata) berarti "tugas keagamaan, ketaatan, tata cara, pelaksanaan, adat,"[30] dan parāmāsa berati "kemelekatan pada" atau "penularan" dan memiliki konotasi terkait "penyalahgunaan" Dhamma.[31] Secara keseluruhan, sīlabbata-parāmāsa diterjemahkan menjadi "kemelekatan pada peraturan dan ritual, kecanduan atas perilaku moral, khayalan bahwa hal tersebut cukup"[32] atau, lebih sederhananya, "jatuh kembali pada kemelekatan atas ritual dan adat."[33]
Sementara belenggu keraguan dapat dianggap sebagai upaya untuk menyinggung ajaran petapa lain semasa Buddha yang berlawanan, belenggu mengenai ritual dan adat sepertinya merujuk pada beberapa adat dari para brahmana.[34]
Memangkas belenggu
Meditasi atas belenggu
"Di sini, seorang bhikkhu memahami mata, ia memahami bentuk-bentuk, dan ... belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ... bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari belenggu yang telah ditinggalkan.
“Ia memahami telinga, ia memahami suara-suara … hidung, ... bau-bauan, … lidah, ... rasa kecapan, … badan, ... objek-objek sentuhan, … pikiran [atau batin], ... objek-objek pikiran [atau objek batin], dan ... belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ... bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana agar belenggu-belenggu yang telah ditinggalkan itu tidak muncul di masa depan. ..."
Dalam MN 64, "Khotbah Panjang kepada Mālunkyāputta," Buddha menyatakan bahwa jalan untuk meninggalkan lima belenggu rendah (yang adalah, lima dari "sepuluh belenggu" pertama sebagaimana disebutkan sebelumnya) adalah melalui pencapaian jhāna dan pengetahuan vipassanā secara bersamaan.[37] Dalam SN 35.54, "Meninggalkan Belenggu-belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang dianggap meninggalkan belenggu-belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai ketidakkekalan" (Pali: anicca) dua belas landasan indra (āyatana), hal-hal yang sehubungan dengan enam indra-kesadaran (viññāṇa), kontak indra (phassa), dan perasaan (vedanā).[38] Berkaitan dengan hal yang sama, dalam SN 35.55, "Mencabut Belenggu-belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang mencabut belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai tanpa atma" (anatta) landasan indra, indra kesadaran, kontak indra, dan perasaan.[39]
Tripitaka Pali secara tradisional menjelaskan pemangkasan belenggu-belenggu ini dalam empat tingkatan:
Ia yang memotong tiga belenggu pertama (Pali: tīṇi saṁyojanāni) menjadi seorang "pemasuk-arus" (sotāpanna);
Ia yang memotong tiga belenggu pertama dan secara bertahap melemahkan dua belenggu berikutnya menjadi seorang yang "kembali-sekali-lagi" (sakadāgāmi);
Konsep tentang belenggu serupa dengan konsep buddhis yang ditemukan di seluruh Tripitaka Pali, termasuk lima rintangan batin (nīvaraṇa) dan sepuluh pengotor batin (kilesa). Sebagai perbandingan, dalam aliran Theravāda, "belenggu" biasanya mencakupi banyak kehidupan (masa lalu, saat ini, dan masa depan setelah kelahiran kembali) dan sulit dihilangkan, sedangkan rintangan merujuk pada hambatan sementara saat praktik meditasi. Pengotor batin (kilesa) mencakup seluruh pengotor batin, termasuk belenggu (saṁjoyana) dan rintangan (nīvaraṇa).[1]
Dalam Mahāprajñāpāramitāśāstra (bab VI), dijelaskan bahwa “para Arahat telah mematahkan belenggu (parikṣīṇabhava-saṃyojana) dari eksistensi ini.” Belenggu-belenggu (saṃyojana) ini ada sembilan dalam daftar:[41]
Saṃyojana ini meliputi seluruh eksistensi dan eksistensi ini meliputi semua saṃyojana. Oleh karena itu, muncul ungkapan "mematahkan belenggu" (parikṣīṇabhava-saṃyojana).[41]
Lihat pula
Anatta, konsep yang terkait dengan belenggu pertama (sakkāya-diṭṭhi).
Lima rintangan, juga termasuk belenggu keempat (kamacchanda), kelima (vyāpāda), kesembilan (uddhacca) dan kedua (vicikicchā).
Upadana (kemelekatan), dengan empat jenis kelakatan awal: kemelekatan atas kesenangan indrawi (kāmupādāna atau kāma-upadana), pandangan salah (diṭṭhupadānā), ritual dan adat (sīlabbata-upādāna), dan ajaran tentang diri atau roh (attavāda-upādāna).
Referensi
^ abGunaratana (2003), sebuah dhamma-talk berjudul "Dhamma [Satipatthana] - Ten Fetters."
^Bodhi (2000), hlm. 1230. Secara tangensial, dalam membahas penggunaan konsep "belenggu" dalam Satipatthana Sutta (mengenai perhatian-penuh terhadap enam landasan indra), Bodhi (2005) merujuk sutta ini (SN 35.232) sebagai penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan "belenggu," yaitu, "hasrat dan nafsu" (chanda-rāga). (Ketika memberikan penjelasan ini, Bodhi, 2005, juga mengomentari bahwa kitab komentar Satipāṭṭhana Sutta mengaitkan istilah "belenggu" dalam sutta itu dengan merujuk pada kesepuluh belenggu.)
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 660-1, entri "Sakkāya". Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (diakses 2008-04-09), menjelaskan sakkāya-diṭṭhi sebagai "teori tentang jiwa, kesesatan individualitas, spekulasi terkait keabadian atau hal lain mengenai individualitas seseorang." Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.179, menerjemahkannya sebagai "pandangan identitas"; Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan "pandangan atas kepribadian"; Harvey (2007), hlm. 71, menggunakan "pandangan-pandangan dalam kelompok yang ada"; Thanissaro (2000) menggunakan "pandangan-pandangan identifikasi-diri"; dan, Walshe (1995), hlm. 26, menggunakan "kepercayaan-pribadi."
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 615, entri "Vicikicchā". Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (diakses 2008-04-09), menjelaskan vicikicchā sebagai "keraguan, kebingungan, ketidakpastian." Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.179, Gethin (1998), hlm. 73, and Walshe (1995), hlm. 26, menerjemahkannya sebagai "keraguan."Thanissaro (2000) menggunakan "ketidakpastian." Harvey menjelaskan, "kebimbangan atas tanggung-jawab kepada Tiga Perlindungan dan nilai kehidupan" (cf. M i.380 and S ii.69-70).
^Sebagai contoh, lihat: Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 713, entri "Sīla". Diarsipkan 2012-07-18 di Archive.is (diakses 2008-04-09), mengenai konsep serupa tentang sīlabbatupādāna (= sīlabbata-upādāna), "berupaya setelah bekerja dan ritual." Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.179, menerjemahkan istilah ini sebagai "pemahaman menyimpang terkait peraturan dan sumpah"; Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan "bergantung pada peraturan dan sumpah"; Harvey (2007), hlm. 71, uses "pemahaman atas peraturan dan sumpah"; Thanissaro (2000) menggunakan "pemahaman atas peraturan dan praktik-praktik"; dan, Walshe (1995), hlm. 26, menggunakan "keterikatan atas ritual dan upacara."
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 654, entri "Vyāpāda". Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (diakses 2008-04-09), mendefinisikan vyāpādo sebagai "berlaku buruk, berbuat jahat: keinginan untuk melukai, kedengkian, keinginan buruk." Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.179, Harvey (2007), hlm. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), hlm. 26, menerjemahkannya sebagai "keinginan buruk" ("ill will") Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan "keengganan" ("aversion").
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 574-5, entri "Rūpa". Diarsipkan 2012-07-12 di Archive.is (diakses 2008-04-09), mendefinisikan rūparāgo sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam rūpa" ("lust after rebirth in rūpa"). Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu atas bentuk-materi" ("lust for form") Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan "keinginan atas materi" ("desire for form"). Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan atas bentuk-materi" ("passion for form"). Walshe (1995), hlm. 27, menggunakan "keinginan atas keberadaan dalam alam-kehidupan-materi" ("craving for existence in the Form World").
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 574-5, entri "Rūpa". Diarsipkan 2012-07-12 di Archive.is (diakses 2008-04-09), menyarankan bahwa arūparāgo dapat dijelaskan sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam arūpa" ("lust after rebirth in arūpa"). Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu atas ketidakadaan bentuk" ("lust for the formless"). Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan "keinginan atas keadaan nonmateri" ("desire for the formless"). Harvey (2007), hlm. 72, menggunakan "keterikatan atas bentuk murni atau alam-alam nonmateri" ("attachment to the pure form or formless worlds") Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan untuk apa yang tidak berbentuk" ("passion for what is formless"). Walshe (1995), hlm. 27, menggunakan "keinginan atas keberadaan di Dunia Tanpa Bentuk" ("craving for existence in the Formless World").
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 528, entri "Māna". Diarsipkan 2012-07-11 di Archive.is (diakses 2008-04-09), mendefinisikan māna sebagai "kebanggaan, kesombongan, keangkuhan" ("pride, conceit, arrogance"). Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.180, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), hlm. 27, menerjemahkannya sebagai "kesombongan" ("conceit"). Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan "kebanggaan" ("pride"). Harvey (2007), hlm. 72, menggunakan "kesombongan 'ke-Aku-an'" ("the 'I am' conceit").
^Untuk membedakan antara belenggu pertama, "pandangan tentang diri" dan belenggu ke delapan "kesombongan," lihat, contoh:, SN 22.89 (trans., Thanissaro, 2001).
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 85, entri "Avijjā". Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (diakses 2008-04-09), mendefinisikan avijjā sebagai "kebodohan; akar buruk utama dan kelahiran kembali yang terus menerus" ("ignorance; the main root of evil and of continual rebirth"). Bodhi (2000), hlm. 1565 (SN 45.180), Gethin (1998), hlm. 73, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), hlm. 27, translate it as "ignorance." Harvey (2007), hlm. 72, menggunakan "kebodohan spiritual" ("spiritual ignorance").
^Untuk referensi sutta-tunggal, baik untuk "belenggu-belenggu tinggi" maupun "belenggu-belenggu rendah," lihat, DN 33 (bagian kelima) dan AN 1.13. Dalam hal lainnya, sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu rendah diikuti dengan sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu tinggi, seperti dalam: SN 45.179 and 45.180; SN 46.129 and 46.130; SN 46.183 dan 46.184; SN 47.103 dan 47.104; SN 48.123 dan 48.124; SN 49.53 dan 49.54; SN 50.53 dan 50.54; SN 51.85 dan 51.86; SN 53.53 dan 53.54; dan, AN 9.67 dan 9.70. Sebagai tambahan, lima 'belenggu rendah' sendiri (tanpa rujukan terkait 'belenggu-belenggu tinggi') didiskusikan, contoh, dalam MN 64.
^Untuk daftar dalam Saṅgīti Sutta mengenai tiga belenggu-belenggu, lihat, contoh, Walshe (1995), hlm. 484. Untuk daftar tiga belenggu dalam Dhammasaṅgaṇi, lihat: Rhys Davids (1900), hlm. 256-61. Lihat pula, Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 656, entri untuk "Saṃyojana". Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (diakses 2008-04-09), mengenai tīṇi saṃyojanāni. (C.A.F. Rhys Davids (1900), hlm. 257, menerjemahkan ketiga istilah ini sebagai "teori kepribadian, kebingungan, dan penularan atas hal-hal yang semata-mata merupakan peraturan dan ritual" ("the theory of individuality, perplexity, and the contagion of mere rule and ritual.")
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 656, entri "Saṃyojana". Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is merujuk Cūḷa-niddesa 657, 1463, dan Dhammasaṅgaṇī 1113. Pada faktanya, keseluruhan bagian dari Dhammasaṅgaṇī merujuk pada belenggu-belenggu (buku III, ch. V, Dhs. 1113-34), lihat pula Rhys Davids (1900), hlm. 297-303. (Rhys Davids, 1900 hlm. 297, menyediakan terjemahan dalam bahasa Inggris mengenai istilah-istilah berbahasa Pali: "sensualitas, penolakan, kesombongan, pendapat spekulatif, kebingungan, penularan aturan dan ritual semata, gairah untuk eksistensi baru, iri hati, kekejaman, kebodohan.") (""sensuality, repulsion, conceit, speculative opinion, perplexity, the contagion of mere rule and ritual, the passion for renewed existence, envy, meanness, ignorance.") Pada kepustakaan Pali pascakanonis, daftar ini juga dapat ditemukan dalam komentar Buddhaghosa (dalam Papañcasudani) pada bagian Satipatthana Sutta mengenai enam dasar indra dan belenggu-belenggu.(Soma, 1998).
^Sebagai perbandingan, lihat: Gethin (1998), hlm. 10-13, untuk sebuah diskusi yang dilakukan Buddha mengenai tradisi sramanik dan brahmanik.
^Soma, 1998, bagian "The Six Internal and the Six External Sense-bases." Perlu digaris bawahi bahwa hanya belenggu yang diabaikan, bukan organ indra atau objek indra.
^Anggara, Indra. "SuttaCentral". MN 10: Mahāsatipaṭṭhānasutta. Diakses tanggal 2024-09-13.
^Bodhi (2000), hlm. 1148. Perhatikan bahwa Sutta-Sutta yang menjadi rujukan (MN 64, SN 35.54 and SN 35.55) dapat dilihat saling melengkapi dan konsisten jika, sebagai contoh, menyimpulkan bahwa seseorang perlu menggunakan pencapaian jhanik dan pengetahuan vipassana guna "mengetahui dan melihat" ketidak kekalan dan inti tanpa-diri dari sumber indra, kesadaran, kontak dan sensasi. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai ketidak kekalan dan tanpa-diri, lihat Tiga Corak Umum.
^See, e.g., Bhikkhu Bodhi's introduction in Ñāṇamoli & Bodhi (2001), hlm. 41-43. Bodhi, pada gilirannya mengutip, misalnya, MN 6 dan MN 22.
Bodhi, Bhikkhu (2000). The Connected Discourses of the Buddha: A Translation of the Samyutta Nikaya. Somerville, MA: Wisdom Publications. ISBN 0-86171-331-1.
Harvey, Peter (1990/2007). An introduction to Buddhism: Teachings, history and practices. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-31333-3.
Ñāṇamoli, Bhikkhu & Bhikkhu Bodhi (2001). The Middle Length Discourse of the Buddha: A Translation of the Majjhima Nikāya. Somerville, MA: Wisdom Publications. ISBN 0-86171-072-X.
Rhys Davids, C.A.F. ([1900], 2003). Buddhist Manual of Psychological Ethics, of the Fourth Century B.C., Being a Translation, now made for the First Time, from the Original Pāli, of the First Book of the Abhidhamma-Piṭaka, entitled Dhamma-Sangaṇi (Compendium of States or Phenomena). Kessinger Publishing. ISBN 0-7661-4702-9.
Walshe, Maurice O'Connell (trans.) (1995). The Long Discourses of the Buddha: A Translation of the Dīgha Nikāya. Somerville: Wisdom Publications. ISBN 0-86171-103-3.