Astasila (Pali: aṭṭhasīla,aṭṭhaṅgasīla; Sanskerta: aṣṭāsīla,aṣṭāśīla, atau aṣṭāṅgaśīla) merupakan salah satu dari ajaran dasar moralBuddhisme yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para pengikutnya. Secara etimologi, kata "astasila" sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa Pali dan bahasa Sanskerta, yaitu aṭṭhaṅga (Pali) atau aṣṭāṅga (Sanskerta) yang berarti asta atau delapan dan sīla (Pali) atau śīla (Sanskerta) yang berarti sila atau moralitas. Dengan demikian, gabungan kedua kata ini dapat dimaknai sebagai Astasila atau Delapan Moralitas. Astasila atau delapan nilai moral ini biasanya dijalankan oleh umat awam pada hari-hari perenungan dalam agama Buddha yaitu hari uposatha. Dalam sabda Sang Buddha, dinyatakan bahwa menjalani Astasila merupakan suatu cara yang bijaksana untuk membersihkan pemikiran yang kotor. Selain itu, pelaksanaan Astasila pun bertujuan untuk mengenalkan bagaimana kehidupan di dalam biara kepada umat awam.
Penjelasan mengenai Astasila dapat dijumpai dalam Dhammika Sutta yang merupakan salah satu bagian dari Sutta Nipāta.[1]
Theravāda
Syair kitab suci
Berikut merupakan isi dari Astasila dalam bahasa Pali:[2]
Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari perbuatan tidak suci.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari.
Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak menari, menyanyi, bermain musik, pergi melihat tontonan-tontonan; menghindari memakai bunga-bungaan, wangi-wangian dan alat-alat kosmetik untuk tujuan menghias dan mempercantik diri.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah.
Pengambilan sila
Astasila biasanya diamalkan pada hari-hari uposatha. Oleh karena itu, delapan sila ini pun sering juga disebut uposathasila. Astasila ini biasanya dibacakan pada saat puja bakti di hari-hari uposatha atau saat umat hendak menjalankan delapan sila ini di hari-hari lain. Ritual pembacaan Astasila ini kurang lebih mirip dengan ritual pembacaan pancasila, tetapi terdapat beberapa perbedaan dalam bacaannya. Biasanya seorang pandita atau salah satu umat awam yang hendak mengamalkan delapan sila (para upasaka-upasika) akan memimpin permohonan tuntunan Tisarana dan Astasila kepada seorang biksu dengan membacakan kalimat berikut.[3]
Mayaṁ bhante, Tisaraṇena saha aṭṭhaṅga-samannāgataṁ-uposathaṁ yācāma. Dutiyampi mayaṁ bhante, Tisaraṇena saha aṭṭhaṅga-samannāgataṁ-uposathaṁ yācāma. Tatiyampi mayaṁ bhante, Tisaraṇena saha aṭṭhaṅga-samannāgataṁ-uposathaṁ yācāma. (Bhante, kami memohon Tisarana dan Latihan Moral Uposatha yang terdiri dari delapan sila. Untuk kedua kalinya Bhante, kami memohon Tisarana dan Latihan Moral Uposatha yang terdiri dari delapan sila. Untuk ketiga kalinya Bhante, kami memohon Tisarana dan Latihan Moral Uposatha yang terdiri dari delapan sila.)[3]
Kemudian, biksu tersebut akan menjawab sebagai berikut:
Yam-ahaṁ vadāmi taṁ bhaveta. (Ikutilah apa yang saya ucapkan)[3]
Setelah itu, para upasaka dan upasika menjawab dengan kalimat "Āma, Bhante" ("Baik, Bhante"). Kemudian, biksu tersebut membacakan kalimat Vandana sebanyak tiga kali yang kemudian diikuti oleh para upasaka dan upasika
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa. (Terpujilah Sang Bhagawa, Yang Mahasuci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna).[3]
Sesudah itu, biksu tersebut membacakan ayat-ayat Tisarana per kalimatnya yang kemudian diikuti oleh para upasaka dan upasika per kalimatnya.
Buddhaṁ saranaṁ gacchāmi, Dhammaṁ saranaṁ gacchāmi, Saṅghaṁ saranaṁ gacchāmi. Dutiyampi buddhaṁ saranaṁ gacchāmi, Dutiyampi dhammaṁ saranaṁ gacchāmi, Dutiyampi saṅghaṁ saranaṁ gacchāmi. Tatiyampi buddhaṁ saranaṁ gacchāmi, Tatiyampi dhammaṁ saranaṁ gacchāmi, Tatiyampi saṅghaṁ saranaṁ gacchāmi. (Aku berlindung kepada Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Saṅgha. Untuk kedua kalinya, aku berlindung kepada Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Saṅgha. Untuk ketiga kalinya, aku berlindung kepada Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Saṅgha)[3]
Seusai pembacaan Tisarana terlengkapi, biksu akan berkata sebagai berikut:
Tisaraṇa gamanaṁ paripuṇṇaṁ. (Tisarana telah diambil dengan lengkap)[3]
Kemudian, para upasaka dan upasika menjawabnya dengan kalimat "Āma, Bhante" ("Baik, Bhante"). Setelah itu, biksu tersebut membacakan ayat-ayat Atthangasila per kalimatnya yang kemudian diikuti pembacaannya oleh para upasaka dan upasika per kalimatnya pula. Sesudah membacakan Astasila, biksu tersebut akan mengucapkan kalimat di bawah ini yang kemudian diikuti oleh para upasaka dan upasika.
Idaṁ me sīlaṁ magga phalañāṇassa paccayo hotu. (Semoga kebajikan dari pengamalan Latihan Moral ini menjadi kondisi pendukung saya bagi pencapaian Pengetahuan Jalan dan Buah serta Nibbāna.)[3]
Kemudian, biksu tersebut menutup ritual pembacaan Astasila dengan mengucapkan kalimat berikut
Tisaraṇena saha aṭṭhaṅga-samannāgataṁ uposathasīlaṁ dhammaṁ sādhukaṁ katvā appamādena sampādetha (Laksanakanlah dengan seksama Latihan Moral Uposatha yang terdiri dari delapan sila beserta Tisarana ini, dan berjuanglah dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian.)[3]
Kemudian, diakhiri dengan jawaban dari para upasaka dan upasika yaitu "Āma, Bhante. Sādhu, sādhu, sādhu" ("Baik, Bhante. Sādhu, sādhu, sādhu").
^ abSangha Theravada Indonesia. "Paritta Suci"(PDF). Yayasan Dhammadīpa Ārāma. hlm. 50–51. Diakses tanggal 15 Desember 2019.
^ abcdefghAshin Kusaladhamma (Januari 2016). "Puja for Buddhist Culture Kids". Yayasan Satipaṭṭhāna Indonesia. hlm. 9–13. Diakses tanggal Mei 2022.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)