Ketidakkekalan (Pali: anicca;Sanskerta: अनित्य, anitya), juga dikenal sebagai perubahan, merupakan suatu ajaran penting dalam Buddhisme.[1][2][3] Ajaran ini menyatakan bahwa semua realitas yang berkondisi (saṅkhāra), tanpa kecuali, bersifat "sementara, cepat berlalu, tidak kekal".[1]
Ketidakkekalan merupakan satu dari trilaksana (tiga karakteristik keberadaan)—dua yang lainnya adalah penderitaan (dukkha) dan tanpa-atma (anatta).[4]
Anicca berbeda dengan Nirwana, yaitu realitas yang bersifat nicca, atau tidak mengenal perubahan, pembusukan, atau kematian.[1]
Ketidakkekalan dipahami sebagai satu dari tiga karakteristik keberadaan (tilakkhaṇa), dua lainnya adalah dukkha ('kegelisahan', dari Sanskertadushta, "berdiri tidak stabil") dan anatta (tanpa diri, tanpa jiwa, tanpa roh, tanpa hakikat).[2][3][5][6] Ini muncul dalam kitab-kitab Pali sebagai, "sabbe saṅkhārā aniccā, sabbe saṅkhārā dukkhā, sabbe dhammā anattā", yang diterjemahkan oleh Szczurek sebagai, "semua hal yang berkondisi tidak kekal, semua hal yang berkondisi menyakitkan, semua dhamma tidak memiliki Atma."
Semua peristiwa fisik dan mental, menurut ajaran Buddha, muncul dan lenyap.[1][7][8][9] Kehidupan manusia merupakan perwujudan dari ketidakkekalan dalam proses penuaan dan siklus kelahiran dan kematian yang berulang (saṁsāra); tak ada yang abadi, dan semuanya dapat rusak. Ketidakkekalan juga berlaku bagi semua makhluk dan lingkungannya, termasuk makhluk yang terlahir di loka surga dan loka neraka.[10][11]
Segala sesuatu, baik fisik maupun mental, adalah suatu bentukan berkondisi (saṅkhāra) yang memiliki asal muasal yang saling bergantung dan tidak kekal. Sesuatu tersebut muncul, berubah, dan lenyap.[12][13] Menurut Buddhisme, segala sesuatu dalam kehidupan manusia, semua benda, juga semua makhluk baik di alam apa pun dalam kosmologi Buddhis, selalu berubah, tidak kekal, mengalami kelahiran kembali dan kematian kembali (saṁsāra).[10][11]
Lima gugusan atau pāncakkhandha juga tunduk pada corak ketidakkekalan. Tradisi Abhidhamma menjelaskan saṅkhāra, dhamma, dan hubungannya dengan gugusan (khandha) dalam skema:[14]
Seluruh gugusan (khandha) termasuk dalam kategorisasi saṅkhāra, sedangkan Nirwana tidak termasuk. Kategorisasi yang mencakup saṅkhāra dan asaṅkhāra (bukan saṅkhāra, seperti Nirwana) disebut sebagai dhamma.
Ketidakkekalan berkaitan erat dengan ajaran anatta (tanpa-atma) yang menyatakan bahwa segala sesuatu tidak memiliki hakikat, diri yang kekal, roh yang kekal, atau jiwa yang tidak berubah.[16][17] Memahami anicca dan anatta merupakan langkah-langkah dalam kemajuan spiritual umat Buddha menuju kecerahan.[8][18][19]
Ketidakkekalan ini adalah sumber dukkha. Sang Buddha mengajarkan bahwa karena tidak ada objek fisik atau mental yang bersifat kekal, keinginan atau keterikatan terhadap keduanya menyebabkan penderitaan (dukkha).
Selama masih ada kemelekatan terhadap hal-hal yang tidak stabil, tidak dapat diandalkan, berubah-ubah, dan tidak kekal, maka akan ada penderitaan–ketika hal-hal tersebut berubah, ketika hal-hal tersebut tidak lagi menjadi apa yang kita inginkan.
(...)
Jika nafsu kehausan adalah penyebab penderitaan, maka penghentian penderitaan pasti akan mengikuti 'memudarnya dan berhentinya nafsu kehausan itu sendiri': meninggalkannya, menyerahkannya, melepaskannya, membiarkannya berlalu.
^ abRichard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN978-1-134-90352-8., Quote: "All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, suffering and lack of soul or essence."
^Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN978-1-134-90352-8. All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, dukkha and lack of soul, that is, something that does not change.
^[a] Christmas Humphreys (2012). Exploring Buddhism. Routledge. hlm. 42–43. ISBN978-1-136-22877-3.
[b] Brian Morris (2006). Religion and Anthropology: A Critical Introduction. Cambridge University Press. hlm. 51. ISBN978-0-521-85241-8., Quote: "(...) anatta is the doctrine of non-self, and is an extreme empiricist doctrine that holds that the notion of an unchanging permanent self is a fiction and has no reality. According to Buddhist doctrine, the individual person consists of five skandhas or heaps - the body, feelings, perceptions, impulses and consciousness. The belief in a self or soul, over these five skandhas, is illusory and the cause of suffering."
[c] Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN978-1-134-90352-8., Quote: "(...) Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vada) he expounded in his second sermon."