Dalam Buddhisme, cinta kasih (Pali: mettā; Sanskerta: maitrī) atau kasih sayang (bedakan dari karuṇā) merupakan suatu sifat luhur yang perlu dikembangkan. Cinta kasih dirumuskan sebagai harapan untuk kebahagiaan semua makhluk tanpa terkecuali. Cinta kasih juga sering dikatakan sebagai niat baik yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lainnya, seperti seorang sahabat mengharapkan kebahagiaan temannya.[1][2][3][4][5] Cinta kasih merupakan bagian pertama dalam empat sifat luhur (Brahmavihāra), bersama dengan belas kasih (karuṇā), simpati (mudita), dan keseimbangan batin (upekkhā); dan satu dari sepuluh paramita dalam kategorisasi aliran Theravāda.[6]
Menurut tradisi Abhidhamma aliran Theravāda, mettā dibedakan dari karuṇā (belas kasih) dan mudita (simpati) karena ciri dan objek yang diambil. Saat faktor mental tanpa-kebencian berkembang maksimal, maka tanpa-kebencian akan berubah menjadi mettā. Di sisi lain, faktor mental belas kasih (karuṇā) perlu mengambil makhluk-makhluk menderita sebagai objeknya, sedangkan faktor mental simpati (mudita) perlu mengambil makhluk-makhluk bahagia sebagai objeknya.[7] Kitab komentar untuk Suttanipāta dan kitab Visuddhimagga menjelaskan bahwa mettā adalah harapan untuk mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan (hita-sukha-upanaya-kāmatā) bagi orang lain, sedangkan karuṇā adalah harapan untuk menghilangkan ketidaksejahteraan dan penderitaan (ahita-dukkha-apanaya-kāmatā) dari orang lain.[8]
Meditasi cinta kasih (mettā bhāvanā) merupakan suatu jenis meditasi yang populer dalam Buddhisme.[9]:318–319 Meditasi tersebut adalah bagian dari meditasi pengembangan empat sifat-sifat Brahmavihāra.[9]:278–279Mettā sebagai "meditasi cinta kasih" sering dipraktikkan di Asia dengan pelantunan syair-syair yang dipimpin oleh para biksu kepada para upasaka-upasika.[9]:318–319
Konsep cinta kasih universal mettā dibahas dalam berbagai diskursus berjudul Mettā Sutta, dan juga ditemukan dalam teks-teks kuno dan abad pertengahan agama Hindu dan Jainisme sebagai mettā atau maitri.[10]
Studi sampel kecil mengenai potensi meditasi cinta kasih menunjukkan adanya manfaat potensial.[11][12] Namun, tinjauan sejawat mempertanyakan kualitas dan ukuran sampel dari penelitian ini.[13][14]
Dalam Tripitaka Pali, istilah mettā muncul di banyak diskursus Sutta Piṭaka, seperti Kakacūpama Sutta (MN 21) dan Karaniya Mettā Sutta (Snp 1.8 dan Kp 9) dan kitab-kitab lainnya, seperti dalam Paṭisambhidāmagga (Ps dalam KN), menguraikannya sebagai sebuah praktik. Namun, sumber-sumber lainnya, seperti Abhidhamma, menggarisbawahi peran utama cinta kasih dalam pengembangan karma yang baik untuk kelahiran kembali yang lebih baik.[15]
Meditasi mettā secara teratur direkomendasikan kepada para pengikut Buddhisme dalam kitab suci Pali. Kitab suci tersebut secara umum menyarankan untuk memancarkan mettā ke dalam keenam arah, kepada makhluk apa pun yang ada.[16] Seperangkat instruksi praktis yang berbeda, yang masih banyak digunakan saat ini, ditemukan dalam kitab Visuddhimagga; kitab ini juga merupakan sumber utama untuk "musuh dekat dan jauh" yang akan dijelaskan di bawah (lihat bagian Visuddhimagga). Selain itu, variasi pada praktik tradisional ini telah dipopulerkan oleh guru-guru modern dan diterapkan dalam lingkungan penelitian modern.
Dalam lebih dari selusin diskursus, deskripsi berikut (dalam bahasa Indonesia dan Pāli) diberikan untuk memancarkan cinta kasih ke enam arah. Di antaranya adalah Mahāsudassana Sutta (DN 17), Mahāgovinda Sutta (DN 19), Udumbarika-Sīhanāda Sutta (DN 25), dan Cakkavatti Sutta (DN 26).[17]
Ia berdiam dengan melingkupi satu arah dengan pikiran cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa pertentangan, dan tanpa permusuhan.[19]
—Vatthūpama Sutta, MN 7 (diulang di Jīvaka Sutta, MN 55)
Dalam Subha Sutta (MN 99), rumusan dasar ini diperluas dalam berbagai cara. Misalnya, beberapa diskursus[20] berikan penjelasan berikut tentang bagaimana memperoleh kelahiran kembali di alam surgawi Brahmā (brahmānaṃ sahavyatāya maggo) :
"Apakah... jalan menuju alam-Brahmā? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa pertentangan dan tanpa permusuhan. Ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana.
Bagaikan seorang peniup trompet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Ini adalah jalan menuju alam-Brahmā."[21][22]
Dalam Mettā Sutta (AN 11.15), Tripitaka Pali menyebutkan bahwa ada sejumlah manfaat dari praktik meditasi mettā, termasuk:
(1) “Seseorang tidur dengan nyenyak; (2) ia terjaga dengan bahagia; (3) ia tidak bermimpi buruk; (4) ia disukai manusia; (5) ia disukai makhluk halus; (6) para dewata melindunginya; (7) api, racun, dan senjata tidak dapat melukainya; (8) pikirannya dengan cepat dapat terkonsentrasi; (9) raut wajahnya tenang; (10) ia meninggal dunia dengan tidak bingung; dan (11) jika ia tidak menembus lebih jauh, maka ia mengembara menuju alam brahmā.[23][24][25]
Nīvaraṇappahāna Vagga (AN 1.11-20)
Tripitaka Pali, di AN 1.17 dalam kelompok Nīvaraṇappahāna Vagga (AN 1.11-20), juga menjunjung tinggi pengembangan mettā yang matang sepenuhnya sebagai penawar utama terhadap niat buruk:
“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang karenanya niat buruk yang belum muncul menjadi tidak muncul dan niat buruk yang telah muncul menjadi ditinggalkan selain daripada kebebasan pikiran melalui cinta-kasih. Bagi seorang yang mengamati secara seksama pada kebebasan pikiran melalui cinta-kasih, maka niat buruk yang belum muncul menjadi tidak muncul dan niat buruk yang telah muncul menjadi ditinggalkan.”[26][27]
Dalam kitab-kitab Khuddaka Nikāya, seperti Sutta Nipāta (Snp) dan Khuddakapāṭha (Kp), terdapat sebuah diskursus bernama sama, yaitu Mettā Sutta, yang isinya kurang lebih sangat mirip:
“Semoga makhluk-makhluk hidup berbahagia dan aman,
Dan semoga mereka berbahagia.
Makhluk apa pun juga yang bernapas,
Apakah lemah atau pun kuat,
Tanpa kecuali, apakah panjang atau pendek,
Atau sedang, atau besar atau kecil,
Atau padat, atau terlihat atau tidak terlihat,
Atau apakah mereka berdiam jauh atau dekat,
Mereka yang telah ada di sini, mereka yang segera menjelma—
Semoga mereka semua berbahagia.”
Jangan mencelakai makhluk lain
Dan jangan merendahkan dalam cara apa pun dan di mana pun;
Jangan saling mengharapkan kemalangan satu sama lain
Karena provokasi atau pun karena permusuhan
Seperti seorang ibu yang mempertaruhkan hidupnya
Menyayangi dan melindungi anaknya, anak tunggalnya,
Demikian pula ia harus mengembangkan cinta kasih tanpa batas ini
Terhadap semua yang hidup di seluruh alam semesta—
Merentang dari kesadaran luhur
Ke atas dan ke bawah dan ke sekeliling dunia,
Tanpa terganggu, bebas dari kebencian dan permusuhan.
Dan sewaktu ia berdiri dan sewaktu ia duduk
Atau ketika ia berbaring selagi masih terbebas dari kantuk,
Ia harus berfokus pada perhatian ini—
Ini adalah keberdiaman brahma di sini, mereka katakan.
Tetapi ketika ia hidup dengan cukup terbebas dari pandangan apa pun,
Bermoral, dengan memenangkan pandangan terang sempurna,
Dan meninggalkan keserakahan serta keinginan egois,
Maka ia pasti tidak akan terlahir kembali."
— Mettā Sutta, Snp 1.8 dan Kp 9, diterjemahkan oleh Indra Anggara
"Sabbe sattā bhavantu sukhitattā" atau "Sabbasattā bhavantu sukhitattā." "Semoga semua makhluk hidup berbahagia."
Mettā atau cinta kasih di sini, kata Harvey, adalah aspirasi sepenuh hati untuk kebahagiaan semua makhluk. Ini berbeda dari "tidak adanya niat buruk", dan lebih merupakan penawar rasa takut dan kebencian. Cinta kasih adalah ajaran untuk menaklukkan kemarahan dengan kebaikan, menaklukkan pembohong dengan kebenaran, menaklukkan orang kikir dengan memberi, dan menaklukkan kejahatan dengan kebaikan, kata Harvey.[9]:279
Mettākathā (Ps 2.4)
"Semoga semua makhluk terbebas dari kebencian, kesukaran, dan penderitaan, dan semoga mereka hidup berbahagia."
Dalam kitab Paṭisambhidāmagga (Ps) yang merupakan bagian dari Khuddaka Nikāya, secara tradisional dikaitkan dengan Sāriputta, terdapat bagian yang berjudul Mettākathā (Ps 2.4, "Kisah Cinta Kasih").[30] Dalam petunjuk ini, diberikan sebuah rumusan umum (di bawah ini, dalam bahasa Indonesia dan Pāli), yang pada hakikatnya identik dengan syair Cunda Sutta (AN 10.176)—terutama terlihat jelas dalam bahasa Pāli—untuk memancarkan cinta kasih.
Selain itu, instruksi ini menjelaskan dua puluh dua aspek “kebebasan kehendak oleh cinta kasih dengan pemancaran” (mettācetovimutti) dapat dipancarkan dengan:[28]
lima aspek dari "pemancaran yang tidak ditentukan" (anodhiso pharaṇā)
semua makhluk (sabbe sattā), semua makhluk bernapas (sabbe pāṇā bhāvapariyāpannā), semua yang (sabbe bhūtā bhāvapariyāpannā), semua pribadi (sabbe puggalā bhāvapariyāpannā), semua yang memiliki kepribadian (sabbe attabhāvapariyāpannā)
tujuh aspek dari "pemancaran yang ditentukan" (anodhiso pharaṇā)
semua perempuan (sabbā itthiyo), semua laki-laki (sabbe purisā), Para Mulia (sabbe ariyā), semua yang belum mencapai Kemuliaan (sabbe anariyā), para dewa (sabbe devā), semua manusia (sabbe manussā), semua yang menderita kesusahan [di alam bawah] (sabbe vinipātikā),
sepuluh aspek dari "pemancaran terarah" (disā-pharaṇā)
semua makhluk di arah timur (puratthimāya disāya), di arah barat (pacchimāya disāya), di arah utara (uttarā disāya), di arah selatan (dakkhīṇāya disāya), di arah timur laut (puratthimāya anudisāya), di arah barat laut (pacchimāya anudisāya), di arah barat daya (uttarā anudisāya), di arah tenggara (dakkhīṇāya anudisāya), di arah bawah (heṭṭhimāya disāya), di arah atas (uparimāya disāya).
Kemudian, pemancaran terarah dapat diterapkan pada masing-masing pemancaran yang tidak ditentukan dan pemancaran yang ditentukan. Misalnya, setelah memancarkan cinta kasih kepada semua makhluk di arah timur (Sabbe puratthimāya disāya sattā...), seseorang memancarkan cinta kasih ke semua makhluk di arah barat, lalu ke arah utara, lalu ke arah selatan, dan seterusnya; kemudian, seseorang memancarkannya ke semua makhluk bernapas dengan cara ini (Sabbe puratthimāya disāya pāṇā...), kemudian semua makhluk, semua pribadi, dan seterusnya hingga diperluas untuk semua yang lahir di alam rendah.
Mettābhāvanā Sutta (Iti 27)
Dalam kitab Itivuttaka, Mettābhāvanā Sutta (Iti 27), diuraikan manfaat pengembangan cinta kasih:
"Para bhikkhu, ke mana pun kita dilahirkan kembali, tidak dapat dibandingkan seperenambelas bagian daripada mettā yang merupakan pembebasan dari ikatan, mettā itu sendiri, yang merupakan pembebasan, akan bersinar dan menerangi seluruhnya.
Seperti, para bhikkhu, cahaya bintang yang bersinar tidak seterang seperenambelas daripada cahaya rembulan, tetapi cahaya bulan bersinar dan menerangi alam ini, demikian juga, para bhikkhu, mettā, yang merupakan pembebasan, akan bersinar dan menerangi seluruhnya, menerangi seluruh perbuatan baik yang menyebabkan kelahiran kembali."[31][32]
Menurut tradisi Abhidhamma aliran Theravāda, mettā merupakan hasil pengembangan maksimal dari faktor mental tanpa-kebencian (adosa). Faktor mental adosa dibedakan dari faktor mental karuṇā (belas kasih) dan faktor mental mudita (simpati) karena ciri dan objek yang diambil. Di sisi lain, faktor mental belas kasih (karuṇā) perlu mengambil makhluk-makhluk menderita sebagai objeknya, sedangkan faktor mental simpati (mudita) perlu mengambil makhluk-makhluk bahagia sebagai objeknya.[7]
Mettā, sebagai faktor mental tanpa-kebencian, didefinisikan dalam empat batasan:[7]
Karakteristik (lakkhaṇa): ketiadaan sifat galak atau bengis (acaṇḍikkalakkhaṇa) atau ketiadaan lawan (avirodhalakkhaṇa).
Fungsi (rasa): melenyapkan kemarahan (āghātavinayarasa) atau menyingkirkan tekanan dan demam nafsu amarah (pariḷāhavinayarasa).
Manifestasi (paccupaṭṭhāna): keadaan hati yang menyenangkan (sommabhāvapaccupaṭṭhāna).
Kitab Visuddhimagga menjelaskan bahwa mettā adalah harapan untuk mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan (hita-sukha-upanaya-kāmatā) bagi orang lain, sedangkan karuṇā adalah harapan untuk menghilangkan ketidaksejahteraan dan penderitaan (ahita-dukkha-apanaya-kāmatā) dari orang lain.[8] Selain itu, Visuddhimagga juga menjelaskan "musuh jauh" (dūrapaccatthika) dan "musuh dekat" (āsannapaccatthika) dari setiap sifat dalam Brahmavihāra:[33]
"Musuh jauh" (dūrapaccatthika) merujuk pada keadaan batin yang jelas-jelas bertentangan, sedangkan "musuh dekat" (āsannapaccatthika) merujuk pada keadaan batin yang seolah-olah serupa, tetapi sebenarnya berlawanan dari sifat luhurnya.[33] Kitab Visuddhimagga menjelaskan bahwa "musuh jauh" dari mettā adalah kebencian atau niat jahat, suatu kondisi pikiran yang kualitasnya jelas-jelas bertentangan. "Musuh dekat" dari mettā adalah nafsu.[35]
Memvisualisasikan makhluk hidup dan mengharapkan agar mereka bahagia adalah praktik dasar dari cinta kasih. Sebagai teknik untuk motivasi altruistik, Longchenpa merekomendasikan praktik empat sifat luhur (Sanskerta: catvāri brahmavihārā; Tibet: ཚངས་པའི་གནས་པ་བཞི, tsangpé népa zhi), di dalamnya termasuk cinta kasih (Sanskerta: maitrī; Tibet: བྱམས་པ་, jampa), untuk memperkuat aspirasi pencerahan, atau bodhicitta, yang merupakan inti dari Buddhisme Mahāyāna.[36]
Teknik
Beberapa tradisi memerintahkan para praktisi untuk mulai mempraktikkan cinta kasih kepada orang tua, kemudian meluaskannya kepada anggota keluarga lain, teman, masyarakat, dan akhirnya mengarahkan pikiran tersebut kepada seluruh umat manusia dan semua makhluk hidup. Seseorang dapat terlebih dahulu memikirkan ibu dan berbagai cara yang telah dilakukannya untuk menunjukkan kebaikan, kemudian berharap untuk membalas kebaikannya dengan memberinya kebahagiaan dan sumber kebahagiaan. Secara bertahap, seseorang memperluasnya kepada makhluk hidup lainnya.[36]
Dalam tradisi lain, seseorang dianjurkan untuk membangkitkan jampa terlebih dahulu kepada musuh atau orang yang tidak disukainya. Namun, dalam tradisi lain, seseorang dapat mengembangkan cinta kasih kepada makhluk hidup tanpa pandang bulu dengan berpindah dari satu daerah ke daerah lain atau dari satu arah ke arah lain. Seseorang juga dapat mempraktikkannya dengan napas, dengan membayangkan napas saat mengembuskan napas sebagai substansi kebahagiaan yang lembut dan menenangkan yang menyelimuti dunia dan memenuhi semua makhluk hidup dengan kebahagiaan.[36]
Buddhis Bhutan biasanya menumbuhkan rasa cinta kasih dengan melantunkan syair ini:[36]
མ་ནམ་མཁའ་དང་མཉམ་པའི་སེམས་ཅན་ཐམས་ཅད་བདེ་བ་དང་བདེ་བའི་རྒྱུ་དང་ལྡན་པར་གྱུར་ཅིག Semoga semua ibu makhluk hidup seluas angkasa meraih kebahagiaan dan menemukan sumber kebahagiaan.
Manfaat
Kitab Mahayana menguraikan delapan manfaat khusus dari pengembangan cinta kasih, yang memenuhi orang yang mengembangkannya dengan rasa bahagia, damai, dan gembira. Manfaat-manfaat tersebut adalah:[36]
Orang tersebut disukai orang lain baik dalam ucapan maupun perilaku fisik;
Orang tersebut memperoleh kasih sayang dan perlindungan dari orang lain;
Dengan demikian, pengembangan cinta kasih membantu orang tersebut terhindar dari bahaya fisik yang ditimbulkan oleh orang lain;
Dengan ketenangan dan kedamaian, seseorang terbebas dari tekanan mental sehingga memastikan kesejahteraan mental yang baik;
Meningkatkan sistem kekebalan tubuh seseorang dan melindunginya dari penyakit;
Menangkal bahaya dari racun;
Dengan kesehatan mental dan fisik yang baik serta kasih sayang dari orang lain, seseorang dapat dengan mudah memenuhi keinginan dan rencananya; dan,
Seseorang terlahir kembali dalam keberadaan yang lebih tinggi dan luhur.
Mettā adalah kata Pali yang diturunkan dari kata maitrī yang berasal dari mitra yang, menurut Monier-Williams, berarti "teman".[37] Istilah ini ditemukan dalam pengertian tersebut dalam kepustakaan Weda,[38] seperti Shatapatha Brahmana, berbagai teks dari Upanisad awal, dan literatur Wedangga (seperti Aṣṭādhyāyī 5.4.3 karya Pāṇini).[37]Mettā ditemukan dalam kitab-kitab Sanskerta pada masa pra-Buddhisme (Brahmanisme dan Jainisme) sebagai maitrī, maitra, dan mitra yang berasal dari akar kata kuno mid (cinta/kasih).[38]
Dengan mengatakan kebenaran, aku menginginkan ini:
Semoga aku menikmati cinta kasihnya seperti kamu,
Janganlah seorang pun di antara kamu menggantikan yang lain,
Dia telah menikmati cinta kasihku, yang maha tahu.
Speaking the truth I desire this: May I enjoy her lovingkindness as do ye, May not one of you supplant another, She hath enjoyed my lovingkindness, the all-knower.
— Taittirīya Saṃhitā 4.3.12, Yajurweda, Versi Inggris oleh Arthur Keith[40]
Istilah serupa juga muncul dalam himne ke-55 dari kitab 19 Atharwaweda,[41] dan berbagai bagian Upanisad.[42] Upanisad awal utama dalam agama Hindu, yang disebut Maitri Upanisad, membahas kebaikan dan persahabatan universal. Upanisad Maitri, kata Martin Wiltshire, memberikan landasan filosofis, dengan menegaskan, "apa yang dipikirkan seseorang, itulah yang akan terjadi, inilah misteri abadi". Ide ini, tambah Wiltshire, mencerminkan asumsi dalam pemikiran kuno bahwa seseorang memengaruhi lingkungan dan situasinya sendiri, kausalitas bersifat adil, dan "tindakan kehendak yang baik menghasilkan situasi yang menyenangkan, sementara tindakan kehendak yang buruk menghasilkan situasi yang tidak menyenangkan".[43][43]:94–95 Kitab Maitri Upanisad mengajarkan, kata Juan Mascaró, bahwa kedamaian dimulai dari pikiran sendiri, kerinduan akan kebenaran, melihat ke dalam diri sendiri, dan bahwa "ketenangan pikiran mengatasi perbuatan baik dan jahat, dan dalam ketenangan jiwa menjadi satu: maka seseorang merasakan kegembiraan keabadian."[44]
Kitab Isa Upanisad juga membahas tentang persahabatan universal dan cinta kasih, tetapi tanpa istilah mettā.[45] Ajaran tentang maitrī universal ini memengaruhi pemikiran Mahatma Gandhi.[46]
Jainisme
Dalam Jainisme, Yogabindu–kitab yoga abad ke-6 karya Haribhadra–menggunakan kata Sanskerta maitrī dalam bait 402–404, dalam arti cinta kasih terhadap semua makhluk hidup.[47]
Ilmu psikologi
Meditasi
Dalam suatu bidang ilmu psikologi yang didasarkan pada konsep mettā, meditasi mettā, atau dikenal dengan "meditasi cinta kasih", adalah praktik yang berkaitan dengan pengembangan mettā. Praktik ini umumnya terdiri dari pengulangan frasa-frasa di dalam hati seperti “semoga Anda terbebas dari penderitaan” (compassion) atau “semoga Anda bahagia” (loving-kindness), misalnya ditujukan kepada seseorang yang, tergantung pada tradisi, mungkin atau mungkin tidak divisualisasikan secara internal.[48]
Dua pendekatan metodologis yang berbeda telah ditemukan dalam makalah tinjauan terkini: praktik yang berfokus pada compassion, dan praktik yang berfokus pada loving-kindness. Berfokus pada compassion berarti meditasi terdiri dari harapan untuk membebaskan makhluk dari penderitaan, sedangkan berfokus pada loving-kindness berarti mengharapkan kebahagiaan bagi para makhluk.[48][49]
Latihan ini secara bertahap akan semakin sulit jika dikaitkan dengan target yang menerima compassion atau loving-kindness dari praktisi. Pada awalnya, praktisi menargetkan "diri sendiri, kemudian orang-orang yang dicintai, orang-orang yang netral, orang-orang yang tak disukai, dan akhirnya semua makhluk, dengan variasi di berbagai tradisi".[48]
Penelitian
Beberapa studi penelitian percontohan tentang efek meditasi mettā menunjukkan adanya peningkatan emosi positif bagi para praktisi.[50][51] Secara khusus, dampak langsung pada emosi positif setelah latihan serta efek jangka panjang dapat ditunjukkan, meskipun efek ini mungkin tidak berlaku untuk semua orang.[50] Dalam sebuah studi pembuktian konsep, yang tidak terkontrol dalam pemilihan sampel dan pembandingan, para peneliti melaporkan potensi terapeutik untuk masalah psikologis, seperti depresi atau kecemasan sosial, bila dikombinasikan dengan pengobatan lain yang dapat diandalkan.[51]
Potensi terapeutik
Penerapan meditasi mettā untuk pengobatan masalah psikologis dan masalah terkait perawatan kesehatan lainnya merupakan topik penelitian. Hofmann dkk. membahas potensi penggunaan untuk terapi dan melaporkan data yang tidak memadai, dengan beberapa penelitian yang menjanjikan sejauh ini. Penelitian tersebut dapat menunjukkan dampak positif pada masalah seperti skizofrenia, depresi, dan kecemasan. Menurut Hofmann dkk., perlu ada penelitian yang lebih ketat, terutama dengan penerapan pendekatan Buddhis terhadap meditasi compassion dan loving-kindness.[51]
Dalam studi percontohan delapan minggu pada tahun 2005, meditasi loving-kindness menyebabkan berkurangnya rasa sakit dan kemarahan pada orang dengan nyeri punggung bawah kronis.[52] Meditasi compassion, menurut artikel Science Daily, dapat mengurangi respons peradangan dan perilaku terhadap stres yang telah dikaitkan dengan depresi dan sejumlah penyakit medis.[53]
Sebuah meta-analisis tahun 2015, yang mensintesis berbagai eksperimen berkualitas tinggi tentang meditasi cinta kasih, menemukan peningkatan sedang [kuantifikasi] pada emosi positif harian, dengan meditasi pada aspek loving-kindness dari mettā memiliki efek yang lebih besar daripada praktik dengan fokus pada compassion. Lamanya waktu bermeditasi tidak memengaruhi besarnya dampak positif dari praktik tersebut.[50]
Perhatian dan ulasan
S. R. Bishop, dalam ulasannya tahun 2002, menyarankan kehati-hatian dalam klaim manfaat, dan menyatakan, "apa yang telah dipublikasikan penuh dengan masalah metodologi. Saat ini, kita hanya tahu sedikit tentang efektivitas pendekatan [mindfulness-lovingkindness-compassion] ini; namun, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pendekatan ini mungkin menjanjikan."[56]
Dalam tinjauan beberapa studi tahun 2014, Galante dkk. mencapai kesimpulan serupa, dengan menyatakan "hasilnya tidak meyakinkan untuk beberapa outcomes, khususnya terhadap kontrol aktif; kualitas metodologi laporan rendah hingga sedang; hasil tidak akurat karena CI (selang kepercayaan) yang lebar yang berasal dari studi kecil" dan bahwa "metode meditasi loving-kindness menunjukkan bukti manfaat individu dan komunitas melalui efeknya pada kesejahteraan dan interaksi sosial mereka".[57]
^In the Buddha's Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon. Diterjemahkan oleh Bodhi, Bhikkhu. Somerville, Mass.: Wisdom Publications. 2005. hlm. 90, 131, 134. ISBN0-86171-491-1.
Harvey, Peter (2007). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 247–48. ISBN978-0-521-31333-9. [spelled without a hyphen: "lovingkindness"]
Bodhi, Bhikkhu, ed. (2001). The Middle-Length Discourses of the Buddha: A Translation of the Majjhima Nikāya. Diterjemahkan oleh Ñāṇamoli, Bhikkhu. Boston: Wisdom Publications. hlm. 120, 374, 474, passim. ISBN0-86171-072-X.
Salzberg, Sharon (1995). Lovingkindness: The Revolutionary Art of Happiness. Boston: Shambhala Publications. hlm. passim. ISBN1-57062-176-4. [without a hyphen]
^Warder, A. K. (2004). Indian Buddhism. Delhi: Motilal Banarsidass. hlm. 63, 94. ISBN81-208-1741-9.Parameter |orig-date= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Gombrich, Richard (2002). Theravada Buddhism: A Social History from Ancient Benares to Modern Colombo. London: Routledge. ISBN0-415-07585-8.Parameter |orig-date= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Rhys Davids, Thomas William; Stede, William (1952). Pali-English Dictionary. VI. London: The Pali Text Society. hlm. 164–165. ISBN978-81-208-1144-7.Parameter |orig-date= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abSn-A 128 (disitasi oleh (Rhys Davids & Stede 1921–25, hlm. 197); lihat pula, (Buddha Dharma Education Association & BuddhaNet). Demikian pula dengan kitab Visuddhimagga IX.105–109 pascakanonis, memberikan penjelasan lebih lanjut, seperti dengan metafora yang menggambarkan mettā sebagai harapan seorang ibu agar anaknya (sehat) tumbuh besar dan karuṇā sebagai harapan seorang ibu agar anaknya yang sakit bisa sembuh, (Buddhaghosa 1999, hlm. 313–14).
^Bishop, S.R. (2002). "What do we really know about mindfulness-based stress reduction?". Psychosom Med. 64 (1): 71–83. doi:10.1097/00006842-200201000-00010. PMID11818588.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Sebagai tambahan untuk AN 10.176, diskursus lain yang mengandung hal ini[butuh klarifikasi] termasuk:
The Threefold Knowledge Discourse (Tevijja Sutta, DN 13), vv. 76–77 (Walshe, 1995, hlm. 194). Lihat juga Discourse to Dhānañjāni (Dhānañjāni Sutta, MN 97) (Ñāṇamoli & Bodhi, 2001, hlm. 796), dengan pernyataan serupa tentang penyatuan dengan Brahma dibuat oleh Yang Mulia Sāriputta tanpa metafora pemain terompet.
^MN 99 (Ñāṇamoli & Bodhi, 2001, hlm. 816-17). Dalam terjemahan tersebut, teks ini disajikan sebagai satu paragraf. Di sini, teks dibagi menjadi dua, dengan demikian mengikuti penyajian teks Pāli, untuk meningkatkan keterbacaan. Mengingat panjang teks ini, terjemahan yang relatif tidak rumit, dan status yang kurang dikenal (misalnya, dibandingkan dengan Karaniya Metta Sutta), teks Pāli yang terkait tidak ditampilkan dalam artikel utama ini, tetapi di sini:
"Majjhima Nikaya: Sutta Pitaka". Bodhgaya News. buku 2, BJT hlm. 730 [MN 99]. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-19. Diakses tanggal 2009-08-07. Kata yang dihilangkan berulang kali ("...") adalah māṇava ("siswa" atau "pemuda"") sehingga hanya teks yang umum pada semua diskursus yang teridentifikasi yang terwakili di sini. (Misalnya, dalam MN 97, alih-alih māṇava, teksnya menggunakan nama Brahmana yang dituju.)
Lihat juga AN 8.1 (berjudul sama, Mettānisaṃsa Sutta [SLTP] dan Mettā Suttaṃ [CSCD]) yang tidak menyertakan tiga dari empat manfaat terakhir yang disebutkan dalam AN 11.16 (yaitu "Pikiran seseorang menjadi lebih cepat terkonsentrasi. Kulitnya menjadi cerah. Seseorang meninggal tanpa kebingungan...").
^Numerical Discourses of the Buddha: An anthology of Suttas from the Aṅguttara Nikāya, diterjemahkan oleh Nyanaponika, Thera; Bodhi, Bhikkhu, Walnut Creek, Calif.: AltaMira Press, 1999, AN 1.ii.7, ISBN0-7425-0405-0
^Cited in Buddhaghosa & Ñāṇamoli (1999), p. 302, Vsm.IX,50. See also Ñanamoli (1987), section 11, "Methodical Practice: from the Patisambhidamagga," where this sentence is translated as: "May all beings be freed from enmity, distress and anxiety, and may they guide themselves to bliss."
^Dalam bagian artikel ini, sumber utama berbahasa Inggris adalah:
^Devi, Upi. Vimala (1994). Seri Penerbitan Tipitaka "Khuddaka Nikāya": Itivuttaka(PDF). Medan: Fakultas Dharma Acarya, Institut Ilmu Agama Buddha Smaratungga Cabang Medan. hlm. 16.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Buddhagosha, Bhadantācariya (2010). Vishudimagga: The Path of Purification(PDF). Diterjemahkan oleh Ñāṇamoli, Bhikkhu. Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. II.IX.98.
"Dhamma Lists". Insight Meditation Center. Redwood City, Calif.
^ abRhys Davids, Thomas William; Stede, William (1952). Pali-English Dictionary. VI. London: The Pali Text Society. hlm. 164–165. ISBN978-81-208-1144-7.Parameter |orig-date= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Bloomfield, Maurice (1906), A Vedic Concordance, Harvard Oriental Series, 10, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, hlm. 713–717
^The Veda of the Black Yajus School entitled Taittiriya Sanhita, 2: Kandas IV–VII, diterjemahkan oleh Keith, Arthur Berriedale, Harvard University Press, 1914, hlm. 335 (iv,3,12,i:k)
^Carson, J. W. (2005). "Loving-Kindness Meditation for Chronic Low Back Pain: Results From a Pilot Trial". Journal of Holistic Nursing. 23 (3): 287–304. doi:10.1177/0898010105277651. PMID16049118.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Bishop, S.R. (2002). "What do we really know about mindfulness-based stress reduction?". Psychosom Med. 64 (1): 71–83. doi:10.1097/00006842-200201000-00010. PMID11818588.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Acharya Buddharakkhita (trans.) (1987/2006). "Kakacupama Sutta: The Parable of the Saw (excerpt)" from Positive Response: How to Meet Evil With Good (Bodhi Leaves No. 109). Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society (1987). Diakses dari "Access to Insight" (2006) at Kakacupama Sutta: The Parable of the Saw.
Amaravati Sangha (trans.) (1994, 2004). "Karaniya Metta Sutta: The Buddha's Words on Loving-Kindness" from Chanting Book: Morning and Evening Puja and Reflections (1994). Hemel Hempstead: Amaravati Publications. Diakses 2007-11-25 dari "Access to Insight" (2004) di Karaniya Metta Sutta: The Buddha's Words on Loving-Kindness.
Bodhi, Bhikkhu (2005). In the Buddha's Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon. Somerville, MA: Wisdom Publications. ISBN0-86171-491-1.
Gombrich, Richard (1988; reprinted 2002). Theravada Buddhism: A Social History from Ancient Benares to Modern Colombo. Routledge: London. ISBN0-415-07585-8.
Harvey, Peter (2007). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN0-521-31333-3.
Ñāṇamoli, Bhikkhu (trans.) & Bhikkhu Bodhi (ed.) (2001). The Middle-Length Discourses of the Buddha: A Translation of the Majjhima Nikāya. Boston: Wisdom Publications. ISBN0-86171-072-X.
Ñanamoli Thera (trans.) & Bhikkhu Khantipalo (ed.) (1993/1994). Saleyyaka Sutta: The Brahmans of Sala (MN 41). Diakses 2007-12-23 dari "Access to Insight" (transkripsi 1994) di Saleyyaka Sutta: The Brahmans of Sala.
Nyanaponika Thera & Bhikkhu Bodhi (trans.) (1999). Numerical Discourses of the Buddha: An anthology of Suttas from the Aṅguttara Nikāya. Walnut Creek, CA: AltaMira Press. ISBN0-7425-0405-0.
Rhys Davids, Caroline A. F. ([1900], 2003). Buddhist Manual of Psychological Ethics, of the Fourth Century B.C., Being a Translation, now made for the First Time, from the Original Pāli, of the First Book of the Abhidhamma-Piṭaka, entitled Dhamma-Sangaṇi (Compendium of States or Phenomena). Kessinger Publishing. ISBN0-7661-4702-9.
Thanissaro Bhikkhu (trans.) (1997b). Metta (Mettanisamsa) Sutta: Good Will (AN 11.16). Diakses 2010-07-07 dari "Access to Insight" di Metta (Mettanisamsa) Sutta: Good Will.
Upatissa, Arahant, N.R.M. Ehara (trans.), Soma Thera (trans.) and Kheminda Thera (trans.) (1995). The Path of Freedom (Vimuttimagga). Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. ISBN955-24-0054-6.
Walshe, Maurice (1995). The Long Discourses of the Buddha: A Translation of the Dīgha Nikāya. Somerville, MA: Wisdom Publications. ISBN0-86171-103-3.