Xuanzang
Lihat pula: Xuanzang (tokoh fiksi) Xuanzang (Hanzi: 玄奘; Pinyin: Xuán Zàng; Wade–Giles: Hsüan-tsang) adalah seorang Bhikkhu Buddha yang berasal dari Tiongkok, pelajar, pelancong, dan penerjemah yang memberikan pengaruh terhadap interaksi antara tiongkok dan India di awal dinasti Tang. Xuanzang lahir dekat Luoyang, Henan tahun 602 sebagai Chén Huī atau Chén Yī (陳 褘) dan meninggal tanggal 5 Februari 664[1] di Yu Hua Gong(玉華宮). Ia terkenal dengan perjalanan tujuh belas tahunnya ke India, yang mana dia berguru kepada beberapa guru besar, terutama di Nalanda. Ketika kembali ke Tiongkok, dia membawakan 657 teks dalam bahasa Sanskerta. Dengan dukungan kaisar, dia melakukan penerjemahan teks tersebut di Chang'an (sekarang Xi'an), menarik banyak murid dan kolaborator dari seluruh Asia Timur. Ia dikenal jasanya atas penerjemahan 1.330 skripsi ke dalam Bahasa Mandarin. NamaXuanzang juga dikenal dengan nama Táng-sānzàng (唐三藏) dalam Bahasa Mandarin; dalam Bahasa Hokkian sebagai Tông-sam-cōng; dalam Bahasa Kanton sebagai Tong Sam Jong and Bahasa Vietnam sebagai Đường Tam Tạng. Romanisasi lainnya yang agak jarang adalah Hhuen Kwan, Hiouen Thsang, Hiuen Tsiang, Hsien-tsang, Hsuan Chwang, Hsuan Tsiang, Hwen Thsang, Xuan Cang, Xuan Zang, Shuen Shang, Yuan Chang, Yuan Chwang, and Yuen Chwang. Dalam Bahasa Jepang, dia dikenal sebagai Genjō, atau Genjō-sanzō (Xuanzang-sanzang). Dalam Bahasa Vietnam, dia dikenal sebagai Đường Tăng (Bhikkhu Buddha Tang), Đường Tam Tạng (Bhikkhu "Tiga koleksi Tang"), Huyền Trang (nama Vietnam untuk Xuanzang) Sānzàng (三藏) adalah sebuatan bahasa Mandarin untuk Tripitaka. Kehidupan awal
Xuanzang, yang dengan nama Chen Hui sewaktu dilahirkan, lahir di sebuah keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan. Ia merupakan yang terkecil dari empat bersaudara. Kakek buyutnya adalah seorang pejabat, dan kakeknya ditunjuk sebagai profesor di perguruan tinggi kerajaan di ibu kota. Ayahnya adalah seorang penganut Kong Hu Cu yang melepaskan semua jabatan untuk melepaskan diri dari konflik politik di Tiongkok pada saat itu. Menurut biografi tradisional, Xuanzang menunjukkan intelejensi yang kuat. Bersama dengan saudaranya, dia menerima pendidikan dari ayahnya, yang memberikan pelajaran tentang literatur-literatur klasik dan beberapa ajaran Kong Hu Cu. Walaupun keluarganya beragama Kong Hu Cu, masa muda dia menunjukkan ketertarikan menjadi Bhikkhu. Setelah ayah dia meninggal dunia tahun 611, dia hidup bersama dengan kakak sulung di Chensu (sekarang Chanjie) selama lima tahun di kuil Jingtu (淨土寺) di Luoyang. Dalam masa ini dia mempelajari ajaran Buddha baik aliran Theravada maupun Mahayana, yang kemudian lebih condong memilih Mahayana. Tahun 618, dinasti Sui runtuh dan Xuanzang beserta dengan kakak sulungnya menghindar ke Chang'an, di mana dijadikan sebagai ibu kota dinasti Tang, kemudian ke Chengdu, Sichuan. Di sinilah kedua bersaudara menghabiskan waktu dua sampai tiga tahunnya melanjutkan studi di kuil Kong Hui. Xuanzang menjadi seorang bhikkhu pada tahun 622 ketika berumur dua puluh tahun. Terdapat berbagai kontradiksi dan perbedaan dalam berbagai sumber mengenai waktu di mana Xuanzang memutuskan untuk melakukan perjalanan ke India. Ia kemudian meninggalkan kakak sulungnya dan kembali ke Chang'an untuk mempelajari bahasa asing dan melanjutkan studinya. Ia menguasai bahasa Sanskerta pada tahun 626, dan kemungkinan juga mempelajari Bahasa Tokharia. Pada masa ini Xuanzang menjadi tertarik kepada bidang metafisika Yogacara. JiarahTahun 629, dilaporkan bahwa Xuanzang bermimpi yang kemudian meyakinkannya untuk melakukan perjalanan ke India. Pada saat itu Dinasti Tang dan Turki Timur Göktürks sedang berperang; Kaisar Taizong melarang perjalanan ke luar negeri. Xuanzang meyakinkan beberapa penjaga pintu gerbang di Yumen dan berhasil keluar dari kerajaan via Liangzhou (Gansu), dan provinsi Qinghai. Ia kemudian melakukan perjalanan melewati Gurun Gobi ke Kumul (Hami), mengikuti gunung Tian Shan ke arah Barat, dan sampai ke Turfan tahun 630. Di sinilah dia bertemu dengan Raja Turfan, seorang umat Buddha yang memberinya beberapa peralatan dan barang-barang berharga untuk membiayai perjalanannya. Berjalan menuju ke barat, Xuanzang melarikan diri dari perampok dan mencapai Yanqi, kemudian melancong ke kuil Theravada di Kucha. Lebih jauh lagi, dia melewati Aksu sebelum berputar ke arah barat laut untuk melewati Tian Shan ke daerah yang sekarang dikenal sebagai Kirgizstan. Ia menuju ke Issyk Kul sebelum mengunjungi Tokmak di sebelah barat daya, dan bertemu dengan Khan Turki barat, yang pada saat itu ramah dengan kaisar Dinasti Tang. Setelah jamuan pesta, Xuanzang melanjutkan perjalanannya ke arah barat kemudian barat daya ke Tashkent (Chach/Che-Shih), ibu kota Uzebkistan sekarang. Dari sini, dia menyeberangi padang pasir ke barat menuju Samarkand. Di Samarkand, yang mana di bawah kekuasaan Kerajaan Persia, dia membuat raja lokal di sana terkesan dengan khotbah ajarannya. Berlanjut ke arah selatan, Xuanzang menyeberangi Gunung Pamir. Lebih jauh lagi, dia mencapai Amu Darya dan Termez, di mana dia menemukan sebuah komunitas dengan lebih dari 1.000 bhikkhu. Lebih jauh ke arah timur, dia melewati Kunduz, di mana dia menginap untuk beberapa waktu menyaksikan pemakaman Pangeran Tardu. Di sinilah dia bertemu dengan Bhikkhu Dharmasimha, dan atas anjurannya dia melakukan perjalanan ke arah barat menuju Balkh (Afganistan) untuk menyaksikan situs dan relik buddhis, terutama wihara Nava, atau Nawbahar, yang oleh dia dikatakan sebagai institusi monastik paling barat di dunia. Di sini Xuanzang juga menemukan lebih dari 3.000 bhikkhu Theravada, termasuk Prajnakara, seorang bhikkhu yang pernah belajar bersama dengan dia. Ia mendapatkan teks penting Mahāvibhāṣa di sini, yang kemudian dia menerjemahkannya ke dalam Bahasa Mandarin. Prajnakara kemudian menemani dia ke arah selatan menuju Bamiyan, di mana Xuanzang bertemu dengan raja dan melihat sepuluh kuil Theravada, dengan tambahan dua patung raksasa Buddha Bamiyan. Romobongan kemudian melanjutkan perjalanan ke arah timur, melewati Shibar dan menuju ibu kota Kapisi (sekita 60 km dari Kabul). Xuanzang kemudian melanjutkan perjalanan ke Jalalabad dan Laghman, di mana dia telah sampai ke India tahun 630. IndiaXuanzang kemudian meninggalkan Jalalabad, yang hanya terdapat beberapa bhikkhu, namun dengan banyak stupa dan biara. Ia melewati Hunza dan Khyber Pass ke arah timur, mencapai Peshawar. Agama Buddha di Peshawar mengalami kemunduran saat itu. Xuanzang mengunjungi beberapa stupa di sekitar Peshawar. Xuanzang meninggalkan Peshawar dan melancong ke timur laut ke Lembah Swat. Sesampainya di Udyana, dia menemukan 1.400 lebih biara tua, yang dikatakan pernah menampung 18.000 bhikkhu. Xuanzang berlanjut ke arah utara dan menuju Lembah Buner, sebelum kembali via Shabaz Gharni untuk menyeberangi Sungai Indus di Hund. Dari sana kemudian dia menuju Taxila, sebuah kerajaan Buddha. Di sini dia menemukan 5.000 lebih bhikkhu di 100 lebih kuil. Di sini juga dia menemui seorang bhikkhu berbakat dan menghabiskan dua tahun (631-633) mempelajari Mahayana. Pada masa inilah, Xuanzang menuliskan catatan kejadian konsili keempat umat Buddha yang terjadi tahun 100 di bawah perintah Raja Kanishka dari Kushan. Tahun 633, Xuanzang meninggalkan Kashmir dan melanjutkan perjalanan ke selatan menuju Chinabhukti. Tahun 634, dia menuju timur ke Jalandhara di bagian timur Punjab, sebelum mendaki gunung ke kuil Theravada di Lembah Kulu dan kemudian memutar ke arah selatan kembali ke Bairat kemudian ke Mathura. Terdapat 2.000 bhikkhu di Mathura dari dua aliran Agama Buddha walaupun didominasi oleh Hindu. Xuanzang melancong ke Srughna sebelum menyeberang ke timur menuju Matipura dan sampai pada tahun 635. Dari sini, dia menuju selatan ke Sankasya (Kapitha), kemudian melanjutkan ke ibu kota kerajaan India Harsha, Kanyakubja (Kanauji). Di sini, tahun 636, Xuanzang menemukan 100 kuil dengan 10.000 bhikkhu, dan terkesan dengan kebijakan raja yang mempromosikan Agama Buddha. Xuanzang menghabiskan waktu di kota ini mempelajari aliran Theravada, sebelum menuju ke timur ke Ayodhya (Saketa). Xuanzang kemudian berjalan ke selatan menuju Kausambi (Kosam). Xuanzang kemudian kembali ke utara menuju Sravasti, berjalan melalu Terail di bagian selatan Nepal, kemudian ke Kapilavastu, pemberhentian terakhir dia sebelum Lumbini, tempat lahir Siddharta Gautama. Sesampainya di Lumbini, dia mengunjungi pilar dekat pohon Ashoka di mana Buddha dikatakan lahir. Pilar ini dibangun oleh Raja Ashoka, dan kemudian ditemukan kembali oleh A. Fuhrer tahun 1895. Tahun 637, Xuanzang meninggalkan Lumbini ke Kusinagara, tempat Sang Buddha meninggal, sebelum menuju ke barat daya Sarnath di mana Sang Buddha pernah memberikan khotbah pertamanya. Berjalan ke timur, pertama via Varanasi, Xuanzang mencapai Vaisali, Pataliputra (Patna) dan Bodh Gaya. Ia kemudian ditemani oleh bhikkhu lokal menuju Nalanda, universitas kuno yang terkenal di India, di mana dia menghabiskan waktu dua tahun di sana. Xuanzang mempelajari bahasa Sanskerta dan Yogacara ketika berada di Nalanda. PeninggalanXuanzang dikenal luas atas usahanya menerjemahkan teks Agama Buddha ke Bahasa Mandarin. Ia juga mendirikan sekolah Agama Buddha Faxiang yang walaupun tidak bertahan lama, namun memberikan pengaruh yang besar. Selain itu, dia juga diketahui mencatat kejadian-kejadian penting yang terjadi di kerajaan India utara, Harsha. Tahun 646, atas permintaan kaisar, Xuanzang menyelesaikan bukunya yang berjudul Perjalanan ke Barat di Dinasti Tang (大唐西域記), yang menjadi sumber utama sejarah abad pertengahan Asia Tengah dan India. Buku ini pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa Prancis oleh Stanislas Julien tahun 1857. Adapun buku biografi mengenai Xuanzang yang ditulis oleh bhikkhu Huili (慧立). Kedua buku tersebut pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Samuel Beal, pada tahun 1884 dan 1911.[2][3] Perjalanan Xuanzang melalui Jalur Sutra dan legenda yang bermunculan, menginspirasikan novel Perjalanan ke Barat, salah satu dari mahakarya klasik literatur Tiongkok. Tokoh Xuanzang di dalam novel adalah reinkarnasi dari seorang murid Sang Buddha, dan dilindungi oleh tiga murid sakti. Salah satunya adalah Sun Wukong, karakter yang populer di kebudayaan Tiongkok. Pada zaman Dinasti Yuan, terdapat sebuah opera oleh Wu Changling (吳昌齡) yang menceritakan perjalanan Xuanzang mengambil kitab suci. Liat pulaReferensi
Daftar Pustaka
Pranala luar
|