Huayan sangat memengaruhi aliran Mahayana lainnya, termasuk Zen, yang dikenal dengan nama Buddhisme Chan di Tiongkok. Huayan hampir musnah di Tiongkok pada abad ke-9, meskipun hidup terus di Korea sebagai Buddhisme Hwaeom dan di Jepang sebagai Kegon. Selain Sutra Avatamsaka, aliran ini juga secara khusus berkaitan dengan parabel terkenal dari Jala Indra.[3]
Sejarah
Tiongkok
Cikal bakal aliran Huayan di Tiongkok adalah aliran Dilun, yang berlandaskan pada Shiyidijinglun atau Dilun, terjemahan Sūtra Daśabhūmika ("Sutra tentang 10 Tahapan") awal abad ke-6. Karena karya ini, yang berkenaan dengan jalan seorang bodhisattva menuju Jalan Kebuddhaan, adalah bagian dari Sutra Avatamsaka, para pengikut Dilun dengan mudah bergabung dalam aliran Huayan yang didirikan pada akhir abad ke-6 oleh Dushun (Fashun), sang patriark pertama.[4] Dushun (atau Tu-shun; 557-640) dan para muridnya mengembangkan minat yang mendalam pada Sutra Avatamsaka, yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa pada tahun 420. Di bawah bimbingan Dushun, Huayan pertama kali muncul sebagai sebuah aliran yang berbeda, meskipun belum disebut Huayan pada saat itu.[3]
Murid Dushun, Zhiyan (atau Chih-yen, 602-668), patriark kedua, mewariskan minat pada Avatamsaka kepada muridnya Fazang (atau Fa-tsang, 643-712), patriark ketiga.[3] Fazang, yang melakukan sistematisasi ajaran-ajarannya, dianggap sebagai pendiri aliran Huayan yang sebenarnya. Aliran ini kadang-kadang juga disebut aliran Xianshou, berdasarkan nama lain dari Fazang.[4]
Ketenaran Fazang sebagai seorang cendekiawan dan keterampilannya dalam menjelaskan pengajaran Avatamsaka membuahkan perlindungan dan pengakuan untuk Huayan.[3] Fazang memperoleh akses ke istana Tang di akhir kariernya dan menyajikan versi sederhana Huayan kepada Maharani Wu Zetian. Ajarannya ditemukan dalam karya tersebut, Risalah Mengenai Singa Emas (Jin shizi zhang), yang di dalamnya dia mengemukakan secara populer pemahamannya tentang saling penembusan universal semua fenomena.[5]
Patriark keempat Chengguan (atau Ch'eng-kuan, 738-839), juga seorang cendekiawan yang disegani, memperkuat pengaruh Huayan di istana kekaisaran. Patriark kelima, Guifeng Zongmi (atau Tsung-mi, 780-841) juga diakui sebagai master atau pemegang garis silsilah dari aliran Chan (Zen). Dalam Zen Jepang, dia dikenang dengan nama Keiho Shumitsu. Zongmi juga menikmati perlindungan dan penghormatan dari istana kekaisaran.[3]
Empat tahun setelah kematian Zongmi, Kaisar Tang Wuzong (berkuasa 840-846) memerintahkan agar semua agama asing disingkirkan dari Tiongkok, yang pada saat itu termasuk Zoroastrianisme dan Kekristenan Nestorian serta Buddhisme.[3] Huayan mengalami kemerosotan karena penindasan besar-besaran terhadap agama Buddha di Tiongkok pada tahun 845. Meskipun mengalami kemerosotan, aliran ini sangat memengaruhi perkembangan Neo-Konfusianisme (sebuah gerakan signifikan dalam pemikiran Tiongkok yang dimulai pada abad ke-11) dan dianggap oleh banyak kalangan sebagai bentuk pemikiran Buddhis Tiongkok yang paling berkembang.[4] Penindasan tersebut merupakan pukulan telak bagi aliran Huayan dan secara efektif mengakhiri Buddhisme Huayan di Tiongkok.[3] Aliran Huayan mati pada masa Dinasti Song.[5]
Korea
Pada saat berakhirnya aliran Huayan di Tiongkok, Huayan telah didirikan di Korea oleh seorang siswa Zhiyan bernama Uisang (625-702), dengan bantuan dari temannya Wonhyo. Pada abad ke-14 Huayan Korea, yang disebut Hwaeom, bergabung dengan Seon Korea (Zen), tetapi ajarannya tetap kuat dalam Buddhisme Korea.[3]
Jepang
Pada tahun 736, biksu Tang, Dao Rui diundang ke Jepang untuk meneruskan argumentasi mengenai aliran Huayan, yang merupakan perkenalan pertama aliran Huayan di Jepang. Kemudian, Shenxiang (Hanzi Tradisional: 審祥; bahasa Jepang: Shinjō; bahasa Korea: Simsang)[note 1] dari Silla, murid Fazang, berangkat ke Jepang untuk mengajarkan Sutra Avatamsaka, dan merupakan sesepuh pertama aliran Huayan di Jepang. Sejak itu, aliran Huayan perlahan-lahan berkembang.[7] Di Jepang, aliran ini dikenal dengan namaKegon. Kegon tidak pernah menjadi sebuah aliran besar, tetapi bertahan hingga saat ini.[3]
Ajaran utama
Ajaran utama dari aliran Huayan berfokus pada saling penembusan semua fenomena dan integrasi total dari dunia absolut dan relatif, dan dengan demikian merupakan salah satu aliran yang paling spekulatif dari semua aliran Buddhis Tiongkok. Seperti Tiantai, aliran Huayan mengembangkan sistemnya sendiri untuk mengklasifikasikan ajaran Buddha.[5]
Dalam Risalah mengenai Lima Ajaran Buddhisme Huayan (Hanzi: 華嚴五教章; Pinyin: Huáyán Wǔjiào Zhāng) karya Fazang, dia menawarkan klasifikasi doktrinal ajaran Buddha yang terdiri dari lima bagian. Lima kategori tersebut adalah:[8]
Ajaran Paripurna tersebut mengacu kepada aliran Huayan, dan melalui klasifikasi ini, Fazang mencoba untuk menunjukkan keunggulan ajaran Huayan atas ajaran aliran-aliran Buddhis lainnya.[8]
Sumbangsih khas aliran Huayan termasuk doktrin bahwa "satu adalah semua, dan semua adalah satu," bahwa realitas tertinggi secara ontologis identik dengan dunia ilusi akal sehat, dan bahwa menyadari fakta-fakta ini mengarah pada belas kasih universal. Huayan juga dikenal karena sifat argumennya yang tajam, terutama dalam Dialog Tukang Rakit karya Fazang dan Tentang Asal-Usul Humanitas karya Zongmi. Huayan memiliki pengaruh doktrin Madhyamaka dari Nagarjuna, Aliran, dan ajaran Kebangkitan Keyakinan dalam Mahayana. Namun, Huayan merupakan suatu bentuk Buddhisme yang khas Tionngkok, terutama karena caranya menafsirkan "kekosongan" dalam hal "saling ketergantungan" dan memperlakukan dunia alami sebagai memiliki nilai intrinsik.[9]
Doktrin paling penting dalam aliran ini adalah teori sebab akibat oleh dharmadhatu ("totalitas" atau "prinsip universal"), yang mana semua unsur muncul secara bersamaan, seluruh hal menciptakan dirinya sendiri, prinsip-prinsip utama dan manifestasi konkret tercampur, dan manifestasi-manifestasi tersebut saling identik.[10]
Kitab utama
Kitab-kitab utama yang menjadi landasan ajarannya yang khas adalah Sutra Avatamsaka dan Kebangkitan Keyakinan dalam Mahayana. Sutra Avatamsaka menyajikan suatu kerumitan yang memusingkan dan visi realitas yang rumit sebagai "saling penembusan" yang menyeluruh, tentang Kebuddhaan sebagai memiliki spasial atau ruang lingkup temporal atau batas yang sama dengan semua yang ada, dan fitur-fitur realitas yang sepenuhnya tergantung pada pikiran dan perbuatan makhluk hidup. Kebangkitan Keyakinan dalam Mahayana mengembangkan teori tathagatagarbha, (bahasa Sanskerta untuk "embrio kebuddhaan" atau "rahim kebuddhaan"), potensi Kebuddhaan.[9]
Salah satu metafora yang paling berkesan dalam kesusastraan Huayan adalah yang berasal dari Jala Indra, yang menggambarkan visi semua hal dalam suatu hubungan timbal balik satu sama lain tanpa dicampur menjadi satu entitas homogen tunggal. Metafora karakteristik ini ditemukan pada akhir Penenangan dan Perenungan dalam Lima Ajaran Huayan, sebuah karya yang sering, meskipun mungkin tidak akurat, dikaitkan dengan Dushun.[11]
Catatan kaki
^Simsang 審祥 (Ch.Shenxiang; J.Shinjō, abad ke-8), yang berasal dari Silla dan telah belajar dengan Fazang di Tiongkok[6]