Zoroastrianisme
Zoroastrianisme atau Mazdayasna adalah sebuah agama yang berasal dari Iran Raya dan merupakan salah satu agama tertua yang masih terus dianut hingga sekarang. Ajaran Zoroastrianisme didasarkan pada ajaran seorang Nabi Iran yakni Zoroaster (juga dikenal sebagai Zaraθuštra dalam Bahasa Avesta atau sebagai Zartosht dalam Bahasa Persia).[1][2] Penganutnya disebut juga sebagai Zoroastrian. Agama ini memiliki kosmologi dualistik yang memisahkan antara kebaikan dan kejahatan, dan eskatologi yang meramalkan akan terjadinya penaklukan pamungkas terhadap kejahatan oleh kebaikan.[3] Zoroastrianisme menganggap Ahura Mazda ('Tuhan Bijaksana') sebagai Tuhan yang tidak berawal lagi maha bijaksana.[4] Secara historis, fitur-fitur unik dari Zoroastrianisme, seperti monoteisme,[5] mesianisme, kepercayaan akan kehendak bebas, penilaian oleh Tuhan setelah kematian, konsep surga, neraka, malaikat, dan setan bisa jadi telah mempengaruhi sistem dari agama-agama dan filosofis-filosofis lain, termasuk Agama-Agama Samawi dan Gnostisisme,[6][7][8] Buddhisme Utara,[7] dan filsafat Yunani.[9] Dengan kemungkinan berakar dari milenia ke-2 SM, Zoroastrianisme memasuki sejarah tertulis semenjak abad ke-5 SM.[10] Agama ini berfungsi sebagai agama negara di Kerajaan-Kerajaan Iran Kuno selama lebih dari satu milenium, dari sekitar 600 SM hingga 650 M, tetapi menurun dari abad ke-7 M dan seterusnya sebagai akibat langsung dari penaklukan Muslim terhadap Persia (633-654 M) yang mengarah pada penganiayaan dalam skala besar terhadap orang-orang Zoroastrianisme.[11] Estimasi tertinggi jumlah penganut Zoroastrianisme saat ini adalah 110.000-120.000 orang,[12] dengan mayoritasnya tinggal di India, Iran, dan Amerika Utara; jumlah mereka dianggap mengalami penurunan.[13][14] Teks-Teks terpenting bagi Zoroastrianisme ialah apa yang terkandung dalam Avesta, terutama yang mencakup tulisan dari Zoroaster, yang dikenal sebagai Gatha, serta puisi-puisi di dalam Yasna yang mendefinisikan ajaran Zoroaster, yang berfungsi sebagai basis dalam melaksanakan ibadah. Filosofi agama Zoroaster memisahkan Tuhan-Tuhan dari tradisi Iran awal menjadi Ahura[15] dan Daeva,[16] yang mana Daeva dianggap tidak layak disembah. Zoroaster menyatakan bahwa Ahura Mazda ialah pencipta tertinggi, sang kreatif dan energi penopang dari alam semesta melalui Asha,[17] dan bahwa umat manusia diberikan pilihan untuk memilih berada pada pihak Ahura Mazda atau tidak, membuat umat manusia bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya. Meskipun tidak ada yang dapat melawan Ahura Mazda dalam segi kekuatan, Angra Mainyu (roh perusak), yang mana terlahir dari Aka Manah (pikiran jahat), dianggap merupakan sebagai entitas musuh utama dalam agama, berdiri melawan Spenta Mainyu (roh kreatif).[18] Literatur Persia Tengah kemudian mengembangkan karakter Angra Mainyu lebih lanjut menjadi Ahriman, meningkatkannya menjadi penentang utama Ahura Mazda.[19] Selain itu, energi kehidupan yang berasal dari Ahura Mazda, yang dikenal sebagai Asha (kebenaran, tatanan kosmik),[20][21] berdiri sebagai lawan dari Druj (kebohongan, tipu daya).[22][23] Ahura Mazda dianggap sebagai Tuhan yang Maha Baik dengan tanpa ada sedikitpun kebencian ataupun kejahatan berasal dari dirinya.[24] Ahura Mazda bertempat di Gētīg (alam material yang terlihat) dan Mēnōg (alam mental dan spiritual yang tidak terlihat)[25] melalui tujuh (enam bila tanpa Spenta Mainyu) Amesha Spentas[26] (emanasi langsung dari Ahura Mazda). Zoroastrianisme tidak sepenuhnya seragam dalam pemikiran teologis dan filosofis, terutama dengan pengaruh sejarah dan modern yang memiliki dampak signifikan pada kepercayaan, praktik, kosa kata, serta nilai-nilai dari segi individual dan lokal, yang terkadang menyatu dengan tradisi dan dalam kasus-kasus lain menggantikannya.[27] Tujuan utama dalam kehidupan seorang penganut Zoroastrianisme ialah menjadi seorang Ashavan (ahli mengenai Asha) dan membawa kebahagiaan ke dunia, yang berkontribusi pada pertempuran kosmik melawan kejahatan. Inti ajaran Zoroastrianisme meliputi:
TerminologiNama Zoroaster (Ζωροάστηρ) adalah terjemahan Yunani dari nama Zarathustra yang berasal dari bahasa Avesta. Ia dikenal sebagai Zartosht dan Zardosht dalam bahasa Persia dan Zaratosht di Gujarati. Nama agamanya menurut penganutnya adalah Mazdayasna, yang menggabungkan Mazda- dengan kata Yasna dari bahasa Avesta, yang berarti "penyembahan, pengabdian".[31] Dalam bahasa Inggris, penganut agama ini biasa disebut Zoroastrian atau Zarathustrian. Ungkapan lama yang masih digunakan sampai sekarang adalah Behdin, yang berarti "Agama terbaik|'Beh' < Persia Tengah 'weh', yang bermakna: 'baik' + 'din' < Persia Tengah 'dēn' < Avestan 'daēnā' yang bermakna 'agama'". Dalam liturgi Zoroastrian, istilah ini digunakan sebagai gelar bagi orang awam yang telah resmi dilantik ke dalam agama dalam upacara Navjote, berbeda dengan gelar-gelar imam seperti osta, osti, ervad (hirbod), mobed dan dastur.[32][33][34] Referensi pertama mengenai penyebutan "Zoroaster" dalam buku-buku berbahasa Inggris adalah dari Thomas Browne (1605–1682), yang secara singkat menyebut Zoroaster dalam Religio Medici-nya pada tahun 1643.[35] Istilah Mazdaisme (/ˈmæzdə.ɪzəm/) adalah bentuk alternatif dalam bahasa Inggris yang digunakan juga untuk agama ini, mengambil Mazda- dari nama Ahura Mazda dan menambahkan akhiran -isme untuk menunjukkan sistem kepercayaan.[36] TeologiZoroastrianisme percaya bahwa ada sosok pencipta tertinggi yang tidak diciptakan, yang universal, transenden dan serba baik bernama Ahura Mazda, atau secara literlit bermakna "Tuhan yang Bijaksana" (Ahura berarti "Tuhan" dan Mazda berarti "Kebijaksanaan" dalam bahasa Avesta).[37] Zoroaster memisahkan kedua atribut tersebut sebagai dua konsep yang berbeda di sebagian besar Gatha namun terkadang menggabungkannya menjadi satu bentuk. Zoroaster juga mengklaim bahwa Ahura Mazda maha tahu akan tetapi tidak maha kuasa.[38] Di dalam Gatha, Ahura Mazda dituliskan bekerja melalui emanasi yang dikenal sebagai Amesha Spenta[39] dan dengan bantuan "Ahura-Ahura lain."[40] Para cendikiawan dan teolog telah lama memperdebatkan esensi dari Zoroastrianisme, dengan dualisme, monoteisme, dan politeisme sebagai istilah-istilah utama yang diterapkan pada agama tersebut.[41][42][43] Beberapa cendekiawan menyatakan bahwa konsep ketuhanan Zoroastrianisme mencakup keberadaan dan pikiran sebagai entitas imanen, menggambarkan Zoroastrianisme sebagai kepercayaan pada alam semesta yang memiliki kesadaran yang menciptakan dirinya sendiri sebagai atribut khusus, sehingga menempatkan Zoroastrianisme dalam kelompok panteistik yang berbagi asal-usulnya dengan Hinduisme India.[44][45] Bagaimanapun, Asha, kekuatan spiritual utama yang berasal dari Ahura Mazda,[46] adalah tatanan kosmik yang merupakan antitesis dari kekacauan, yang merupakan druj, kepalsuan, dan ketidakteraturan.[47] Konflik kosmik yang dihasilkan melibatkan seluruh ciptaan, mental/spiritual dan material, termasuk kemanusiaan pada intinya, yang berperan aktif dalam konflik tersebut.[48] Dalam teks-teks Zoroastrian, druj berasal dari Angra Mainyu (juga disebut dalam teks-teks datang belakangan sebagai "Ahriman"), roh/mental penghancur, sedangkan wakil utama Asha dalam konflik ini adalah Spenta Mainyu, roh/mentalitas kreatif.[49] Ahura Mazda adalah imanen dalam umat manusia dan berinteraksi dengan ciptaan melalui emanasi yang dikenal sebagai Amesha Spenta, yang dermawan / suci, yang merupakan perwakilan dan penjaga atas berbagai aspek penciptaan dan kepribadian yang ideal.[50] Ahura Mazda, melalui Amesha Spenta ini, dibantu oleh liga dewa yang tak terhitung jumlahnya yang disebut Yazatas, yang berarti "layak disembah", dan masing-masing umumnya merupakan hipostasis dari aspek fisik maupun moral dari penciptaan. Menurut kosmologi Zoroastrian, dalam mengartikulasikan formula Ahuna Vairya, Ahura Mazda akan menjadikan nyata kemenangannya terhadap Angra Mainyu.[51] Ahura Mazda pada akhirnya menaklukkan Angra Mainyu yang jahat, di mana realitas akan mengalami renovasi kosmik yang disebut Frashokereti[52] dan waktu yang terbatas akan berakhir. Dalam renovasi terakhir, semua ciptaan—bahkan jiwa orang mati yang awalnya dibuang atau memilih untuk turun ke "kegelapan"—akan dipersatukan kembali dengan Ahura Mazda di Kshatra Vairya (berarti "kekuasaan terbaik"),[53] dibangkitkan menuju keabadian. Dalam literatur Persia Tengah, kepercayaan yang menonjol adalah bahwa pada akhir zaman seorang figur penyelamat yang dikenal sebagai Saoshyant akan membawa Frashokereti, sedangkan dalam teks-teks Gathic istilah Saoshyant (berarti "orang yang membawa manfaat") mengacu pada semua orang beriman kepada Mazdayasna tetapi berubah menjadi konsep mesianis dalam tulisan-tulisan yang datang berikutnya. Teologi Zoroastrian mencakup terutama pentingnya mengikuti Tiga Jalan Asha yang berada dalam siklus Pikiran Baik, Kata-Kata Baik, dan Perbuatan Baik.[54] Terdapat pula penekanan pada penyebaran kebahagiaan, sebagian besar melalui amal,[55] dan menghormati kesetaraan spiritual dan tugas antara pria dan wanita.[56] Penekanan Zoroastrianisme pada melindungi dan memuliakan alam dan unsur-unsurnya telah menyebabkan beberapa orang menyatakan agama ini sebagai agama "yang pertama di dunia yang menyokong ekologi."[57] Avesta dan teks-teks lainnya dari agama ini menyerukan perlindungan air, tanah, api dan udara yang mana hal ini menjadikannya sebagai agama yang ekologikal: "Tidak mengherankan jika Mazdaisme...disebut sebagai agama ekologis pertama. Penghormatan kepada Yazatas (roh-roh ilahi) menekankan pelestarian alam (Avesta: Yasnas 1.19, 3.4, 16.9; Yashts 6.3–4, 10.13)."[58] Namun, pernyataan khusus ini tersandung oleh fakta bahwa Zoroastrianisme awal memiliki tugas untuk memusnahkan spesies yang dianggap "jahat", sebuah perintah yang tidak lagi diikuti dalam Zoroastrianisme modern.[59] SejarahZaman KlasikAkar dari agama Zoroastrianisme diperkirakan terletak pada sistem keagamaan prasejarah bersama Indo-Iran yang berasal dari awal milenium ke-2 SM.[60] Nabi Zoroaster sendiri, meskipun secara tradisional dianggap berasal dari abad ke-6 SM, namun oleh banyak sejarawan modern dianggap sebagai pembaharu agama politeistik Iran yang hidup pada abad ke-10 SM..[61] Zoroastrianisme sebagai agama belum terbentuk secara sempurna sampai beberapa abad kemudian. Zoroastrianisme memasuki sejarah tertulis sejak pertengahan abad 5 SM. Herodotus dalam buku The Histories-nya (selesai sekitar tahun 440 SM) menulis deskripsi mengenai masyarakat Iran Raya yang mana terdapat fitur-fitur Zoroastrianisme di dalamnya, seperti membiarkan yang mati dimakan burung-burung liar.[62] The Histories adalah sumber informasi utama mengenai periode awal era Akhemeniyah (648–330 SM), khususnya yang berkaitan dengan peran pendeta-pendeta Zoroastrianisme yang dikenal sebagai Majus. Menurut Herodotus, Majus adalah suku keenam Media dan memegang kekuasaan yang cukup besar di istana kaisar Median (sebelum penyatuan kekaisaran Persia di bawah Koresh Agung, semua orang Iran disebut sebagai "Mede" atau "Mada" oleh orang-orang di Dunia Kuno).[63] Menyusul penyatuan kerajaan Media dan Persia pada tahun 550 SM, Koresh Agung dan kemudian putranya Cambyses II membatasi kekuasaan orang Majus setelah mereka berusaha menabur perbedaan pendapat menyusul hilangnya pengaruh mereka. Pada 522 SM, para Majus memberontak dan mengadakan seorang saingan penerus takhta. Si perampas kekuasaan, berpura-pura menjadi putra bungsu Koresh, Smerdis, mengambil alih kekuasaan tak lama kemudian.[64] Karena pemerintahan despotik Cambyses dan ketidakhadirannya yang lama di Mesir, "seluruh rakyat, Persia, Media, dan semua bangsa lain" mengakui si perampas kekuasaan, terutama karena ia memberikan pengampunan pajak selama tiga tahun.[63] Darius I dan kemudian kaisar Achaemenid mengakui pengabdian mereka kepada Ahura Mazda dalam prasasti, sebagaimana dibuktikan beberapa kali dalam prasasti Behistun, dan yang tampaknya melanjutkan model koeksistensi dengan agama lain. Apakah Darius adalah pengikut ajarannya Zoroaster belum dipastikan secara pasti karena tidak ada indikasi catatan bahwa penyembahan Ahura Mazda secara eksklusif merupakan praktik Zoroastrian.[65] Menurut legenda Zoroastrian akhir (Denkard dan Kitab Arda Viraf), banyak teks suci hilang ketika pasukan Alexander Agung menyerbu Persepolis dan kemudian menghancurkan perpustakaan kerajaan di sana. Bibliotheca historicala karya Diodorus Siculus, yang diselesaikan sekitar tahun 60 SM, tampaknya mendukung legenda Zoroastrian ini. Menurut salah satu pemeriksaan arkeologi, terdapat bekar-bekas terbakar pada reruntuhan istana Xerxes.[66] Apakah kumpulan besar teks (semi-)religius "ditulis di atas perkamen dengan tinta emas", seperti yang disebutkan oleh Denkard, benar-benar ada tetap menjadi masalah spekulasi.[67] Penaklukan Alexander sebagian besar menggusur Zoroastrianisme dengan kepercayaan Helenistik,[61] meskipun Zoroastrianisme tetap dipraktekkan berabad-abad setelah runtuhnya Akhemeniyah di daratan Persia dan wilayah inti dari bekas Kekaisaran Akhemeniyah, terutama Anatolia, Mesopotamia, dan Kaukasus. Di kerajaan Kappadokia, yang wilayahnya dulunya merupakan milik Akhemeniyah, para kolonis Persia, terputus dari rekan seagama mereka di Iran, terus mempraktekkan agama [Zorastrianisme] nenek moyang mereka; dan di sana Strabo, yang mengamatinya pada abad pertama SM, mencatat (XV.3.15) bahwa "penyala api" tersebut memiliki banyak "tempat suci untuk para Tuhan Persia", begitupula kuil-kuil api.[68] Strabo lebih lanjut menyatakan bahwa ini adalah "tempat-tempat yang penting; dan di tengah-tengahnya terdapat sebuah altar, di mana ada banyak abu dan di mana orang majus menjaga apinya terus menyala."[68] Zoroastrianisme baru kembali mendapat ketertarikan yang besar setelah berakhirnya masa periode Parthia (247 SM–224).[61] Ajaran-ajarannyaKonsep KetuhananDi dalam ajaran Zoroastrianisme, hanya ada satu Tuhan yang universal dan Maha Kuasa, yaitu Ahura Mazda.[69] Ia dianggap sebagai Sang Maha Pencipta, segala puja dan sembah ditujukan hanya kepadanya.[69] Pengakuan ini adalah bentuk penegasan bahwa hanya Ahura Mazda yang harus disembah di tengah konteks kepercayaan tradisional masyarakat Iran yang kuat dengan pengaruh politeisme.[70] Zoroastrianisme mempunyai prinsip dualisme yang mempercayai bahwa ada dua kekuatan yang bertentangan dan saling beradu yakni kekuatan kebaikan dan kejahatan.[69] Dalam tradisi Zoroastrianisme, yang jahat diwakili oleh Angra Mainyu atau Ahriman, sedangkan yang baik diwakili oleh Spenta Mainyu.[69] Manusia harus selalu memilih akan berpihak pada kebaikan atau kejahatan selama hidupnya.[70] Akan tetapi, dengan paham dualisme ini tidak berarti bahwa Zoroastrianisme tidak mengakui monoteisme karena Ahura Mazdalah satu-satunya Tuhan yang disembah.[70] Ahura Mazda, pada saatnya akan mengalahkan kekuatan yang jahat dan berkuasa penuh.[69] Ahriman dan para pengikutnya akan dimusnahkan untuk selamanya.[69] Meskipun ajaran Zarathustra mengajarkan monoteisme dengan Ahura Mazda sebagai satu-satunya dewa yang harus disembah namun keberadaan dewa-dewa lain pun tetap diakui.[69] Dewa-dewa yang turut diakui keberadaanya ada lima yaitu:[69]
Konsep mengenai PenciptaanAlam semesta dalam ajaran Zoroastrianisme berusia 12000 tahun.[69] Setelah masa 12000 tahun berakhir barulah akan terjadi kiamat.[69] Masa 12000 tahun ini terbagi menjadi beberapa periode:
Konsep Eskatologi: Kehidupan Setelah KematianDalam pemahaman Zoroastrianisme, setiap orang akan mengalami penghakiman setelah meninggal.[72] Penganut Zoroaster meyakini bahwa ketika seseorang meninggal, ia harus dapat membuktikan dirinya telah melakukan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan.[72] Mereka percaya setiap roh manusia yang telah meninggal harus melewati Jembatan Cinvat yaitu jembatan yang menuju ke sorga.[73] Jiwa manusia sesudah meninggal akan tetap tinggal selama tiga hari di dalam tubuhnya dan baru pada hari ke empat dibawa menuju penghakiman di Jembatan Cinvat.[72] Setelah berhasil melewati jembatan ini maka seseorang akan hidup bahagia dengan rahmat Ahura Mazda.[73] Semakin banyak kebaikan yang dibuat seseorang maka akan semakin lebarlah jembatan itu dan sebaliknya, semakin besar kejahatannya maka semakin sempitlah jembatan itu hingga rohnya tidak dapat melewatinya dan jatuh dari Jembatan Cinvat.[73] Di bawah jembatan inilah terdapat neraka yang penuh api, sebuah tempat yang suram dan penuh kesedihan.[73] Menurut ajaran Zoroastrianisme, dunia akan mengalami pembaruan menuju kesempuranaan dan jiwa-jiwa baik yang masih hidup dan sudah mati akan dibebaskan selamanya dari kuasa jahat.[73] Pembaruan dunia dan kebangkitan kembali seluruh ciptaan disebut Frashokeveti[73] Konsep mengenai Etika HidupDalam pandangannya mengenai etika hidup yang ideal, ada tiga hal utama yang ditekankan dalam Zoroastrianisme yaitu pikiran yang baik, perkataan yang baik dan perbuatan yang baik.[74] Zoroastrianisme memberikan kebebasan bagi setiap penganutnya untuk memilih hidup yang baik atau jahat bagi dirinya sendiri.[74] Menurut mereka dunia yang akan datang akan mengalami pembaruan.[73] Pembaruan dunia ini tidak dapat dapat dikerjakan oleh satu orang saja tetapi membutuhkan keterlibatan banyak orang.[73] Oleh karena itu, Zoroastrianisme sangat menekankan tanggung jawab moral dari masing-masing orang untuk melakukan kebaikan.[73] Dosa bagi penganut Zoroastrianisme adalah penolakan untuk bersekutu dengan aspek kebaikan dari Ahura Mazda.[74] Mereka meyakini bahwa tidak ada yang ditakdirkan atau dikodratkan sebelumnya.[73] Apa yang dilakukan, dikatakan dan dipikirkan selama hidup akan menentukan apa yang akan terjadi setelah meninggal. Mereka pun menolak konsep pertapaan karena mereka memahami bahwa dunia itu baik.[74] Tidak ada ruang untuk penyangkalan diri dan bertapa karena menolak dunia berarti menolak ciptaan dan menolak ciptaan berarti menolak Sang Pencipta.[74] Ritus Kematian dalam ZoroastrianismeZoroastrianisme tidak mengizinkan penguburan dan pembakaran tubuh orang yang telah meninggal karena dianggap akan menodai air, udara, bumi dan api.[72] Mereka menyelenggarakan ritus kematian dengan menempatkan mayat di atas Dakhma atau Menara Ketenangan.[72] Di sana terdapat pembagian tempat yang jelas bagi kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak.[72] Adapun tahap-tahap yang dilakukan saat upacara kematian adalah sebagai berikut:[72]
Ritus NaojoteRitus Naojote merupakan sebuah ritus yang dijalani oleh anak-anak yang berusia antara tujuh hingga sepuluh tahun.[72] Istilah Naojote berasal dari kata nao yang berarti baru dan jote atau zote yang artinya mempersembahkan doa-doa.[72] Dalam ritus ini, anak-anak laki-laki dan perempuan diberikan Sadre dan Kusti, pakaian kudus yang harus dipakai seumur hidup.[72] Setelah mengikuti ritus Naojote, anak-anak dianggap sudah punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menjalankan ritus-ritus keagamaan dalam Zoroastrianisme.[72] Tempat IbadahPara penganut Zoroastrianisme beribadah di dalam kuil yang disebut dengan Kuil Api.[75] Disebut demikian karena di dalam kuil, api dibiarkan menyala terus-menerus sebagai lambang kehadiran dewa.[75] Api bukan saja menyimbolkan kehadiran Tuhan tetapi juga sebagai simbol kesucian.[74] Upacara Keagamaan Sehari-Hari dan Berbagai Hari RayaUntuk melangsungkan upacara keagamaan sehari-hari, penganut Zoroaster tidak diharuskan pergi ke kuil.[72] Mereka dapat berdoa di mana saja seperti di gunung-gunung, sungai-sungai, ladang-ladang ataupun di rumah.[72] Mereka dapat menyampaikan nazar, penyesalan dosa,ungkapan terima kasih, dan sebagainya.[72] Waktu yang dirasakan tepat untuk melakukan upacara agama sehari-hari adalah di pagi hari.[72] Zoroastrianisme mempunyai beberapa hari raya atau disebut Gahambars.[72] Perayaan Tahun Baru (Naw Ruz atau Noruz) merupakan hari raya yang dirayakan paling meriah.[72] Selain itu, ada juga Festival Seribu Hari (Sada) yang dirayakan di dekat sungai, Pengenangan akan orang-orang yang telah meninggal, dan perayaan Ulang Tahun Zoroaster.[72] Kitab SuciKitab suci orang-orang penganut Zoroaster adalah kumpulan tulisan-tulisan sakral yang dikenal dengan Avesta yang terbagi menjadi empat bagian.[72] Keempat bagian itu terdiri atas:
Sekte-sekte dalam ZoroastrianismeTerbaginya Zoroastrisme ke dalam beberapa kelompok bukan disebabkan karena perbedaan pemahaman teologi.[72] Pembagian sekte-sekte ini karena waktu perayaan Tahun Baru yang berbeda-beda.[72] Terdapat tiga sekte dalam Zoroastrianisme:[72]
Perkembangan Zoroastrianisme Masa KiniZoroastrianisme tidak menekankan pentingnya konversi.[73] Mereka berusaha mempertahankan agamanya sebagai agama yang khas dalam komunitas mereka.[73] Akan tetapi, mereka tetap membuka peluang bagi siapa saja yang hendak menjadi penganut Zoroastrianisme.[73] Sepanjang abad 20, banyak orang-orang penganut Zoroastrianisme yang menetap di Iran dan India melakukan migrasi ke negara-negara lain.[73] Kini, komunitas Zoroastrianisme dapat ditemukan di kota-kota besar seperti London,New York,Chicago,Boston dan Los Angeles dan telah hidup berbaur dengan komunitas-komunitas beragama lain.[73] Referensi
Pranala luar |