Kekaisaran Akhemeniyah (atau Akhaimenia; bahasa Persia Kuno: Parsā atau 𐎧𐏁𐏂, transliterasi: Khšāça, nama dinasti yang berkuasa: Haxāmanišiya) (sek. 550–330 SM) adalah sebutan bagi Kekaisaran Iran pada masa kekuasaan Dinasti Akhemeniyah. Sebelum menguasai seluruh Iran, dinasti ini awalnya adalah penguasa kawasan Persia (Iran selatan). Akhemeniyah adalah dinasti pertama asal Persia yang menjadi penguasa seluruh Iran, sehingga kekaisaran mereka juga disebut dengan Kekaisaran Persia Pertama.
Dinasti Akhemeniyah menjadi penguasa Iran setelah raja mereka, Koresy Agung, menggulingkan konfederasi Medes pada abad ke-6 SM. Kekaisaran ini meluas hingga pada akhirnya menguasai wilayah yang amat besar di dunia kuno dan pada tahun 500 SM membentang dari Lembah Indus di Asia Selatan hingga ke Thrakia dan Makedonia di perbatasan timur laut Yunani. Tidak ada kekaisaran lain sebelum masa itu yang lebih besar daripada Kekaisaran Akhaimenia.[4] Kekaisaran Akhaimenia pada akhirnya menguasai Mesir juga. Kekaisaran ini dipimpin oleh serangkaian raja yang menyatukan suku-suku dan bangsa-bangsanya yang terpisah-pisah dengan membangun jaringan jalan yang rumit.
Bangsa Persia menyebut diri mereka Pars, yang berasal dari nama suku Arya asli mereka Parsa, dan bermukim di daerah yang mereka beri nama Parsua (Persis dalam bahasa Yunani), yang dibatasi oleh Sungai Tigris di barat dan Teluk Persia di timur. Tempat ini menjadi wilayah pusat mereka pada masa Kekaisaran Akhaimenia.[4] Dari daerah inilah Koresy Agung pada akhirnya muncul dan mengalahkan bangsa Medes, Lydia, dan Kekaisaran Babilonia, membuka jalan untuk penaklukan selanjutnya ke Mesir dan Asia Kecil.
Pada puncak kejayaannya setelah penaklukan Mesir, kekaisaran ini menempati wilayah seluas kira-kira 8 juta km2,[5] meliputi tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Pada wilayah terluasnya, kekaisaran ini juga meliputi wilayah yang kini menjadi Iran, Turki, sebagian Asia Tengah, Pakistan, Thrakia, dan Makedonia, sebagian besar daerah pesisir Laut Hitam, Afghanistan, Irak, Arab Saudi utara, Yordania, Israel, Lebanon, Suriah, serta semua pusat pemukiman di Mesir kuno hingga ke barat sejauh Libya. Dalam sejarah Barat, Kekaisaran Akhaimenia disebutkan sebagai musuh negara-negara kota Yunani[4] selama Perang Yunani-Persia. Kekaisaran ini juga terkenal karena emansipasi terhadap terhadap perbudakan termasuk pembebasan bangsa Yahudi dari pembuangan ke Babilonia dan karena membangun infrastruktur seperti sistem pos, sistem jalan, dan penggunaan bahasa resmi di seluruh wilayah kekuasaannya. Kekaisaran ini menerapkan administrasi birokratis terpusat di bawah pimpinan Kaisar serta memiliki pasukan militer profesional dan pasukan wajib militer yang besar, mengilhami perkembangan serupa di kekaisaran-kekaisaran lain pada masa selanjutnya.[6]
Menurut pandangan tradisional, wilayah Kekaisaran Akhaimenia yang amat luas dan keragaman etnokulturalnya yang luar biasa[7] pada akhirnya menjadi kerugian karena penyerahan kekuasaan kepada pemerintah lokal pada akhirnya melemahkan otoritas pusat milik raja, membuat banyak energi dan sumber daya terbuang akibat harus menghentikan pemberontakan lokal.[4] Ini menjelaskan mengapa ketika Aleksander Agung (Aleksander III dari Makedonia) menginvasi Persia pada tahun 334 SM dia menghadapi suatu kekaisaran terpecah belah dengan pemimpin yang lemah, mudah untuk dihancurkan. Sudut pandang ini ditentang oleh beberapa sejarawan modern yang berpendapat bahwa Kekaisaran Akhaimenia tidak menderita krisis semacam itu pada masa Aleksander, dan bahwa hanya kericuhan pergantian kekuasaan internal yang terjadi di dalam keluarga Akhemenid yang pernah hampir melemahkan kekaisaran.[4] Aleksander, yang merupakan pengagum Koresy Agung,[8] pada akhirnya menyebabkan keruntuhan dan perpecahan kekaisaran sekitar tahun 330 SM, membuatnya terbagi menjadi Kerajaan Ptolemaik dan Kekaisaran Seleukia, selain juga wilayah-wilayah kecil lainnya yang memedekakan diri pada masa itu. Akan tetapi, kebudayaan Iran di dataran tinggi tengah tetap berkembang dan pada akhirnya kembali berkuasa pada abad ke-2 SM.[4]
Warisan sejarah Kekaisaran Akhaimenia bukan hanya pengaruh teritorial dan militernya saja, melainkan meliputi pula pengaruh kebudaaan, sosial, dan keagamaan. Banyak orang Athena yang mengadopsi kebiasaan Akhaimenia dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai akibat dari kontak antarbudaya,[9] beberapa karena pernah dikerahkan oleh, atau bersekutu dengan raja Persia. Pengaruh Dekret Pemulihan Koresy Agung disebutkan dalam naskah Yudeo-Kristen, selain itu kekaisaran ini juga amat berperan dalam penyebaran Zoroastrianisme hingga ke timur sejauh Tiongkok. Bahkan Aleksander Agung, yang menaklukkan kekaisaran luas ini, menghormati adat-istiadatnya dan memerintahkan orang Yunani untuk ikut menghormasi raja-raja Persia termasuk Koresy Agung. Aleksander bahkan melakukan proskynesis, suatu adat kerajaan Persia, meskipun banyak diprotes oleh para tentara Makedonianya.[10][11] Kekaisaran Akhaimenia memberikan pengaruh terhadap politik, warisan dan sejarah Persia modern (kini Iran).[12] Perangaruhnya meliputi pula wilayah Persia sebelumnya yang secara keseluruhan disebut Persia Besar. Prestasi teknik yang penting di Kekaisaran Akhaimenia adalah sistem pengelolaan air Qanat, yang berusia lebih dari 3000 tahun dan memiliki panjang lebih dari 44 mil (71 km.)[13]
Pada tahun 480 SM, diperkirakan bahwa sekitar 50 juta[14] orang tinggal di Kekaisaran Akhaimenia[15] atau sekitar 44% dari seluruh populasi dunia pada masa itu, menjadikannya kekaisaran dengan jumlah penduduk terbanyak.[16]
Nama Persia berasal dari suku India-Eropa yang disebut Parsua. Persia merupakan pengucapan Latin dari orang India-Eropa, Parsua, yang menyebut perbatasan wilayah mereka Persis, sesuai nama suku mereka, suatu daerah yang terletak di sebelah utara Teluk Persia dan sebelah timur sungai Tigris disebut Persis (atau dalam bahasa Persia, Pars).[17] Sejarawan Yunani, Herodotos, menuturkan:[18]
Bangsa Persia terdiri atas sejumlah suku seperti terdaftar di sini. [...]: suku Pasargadai, Maraphii, dan Maspii, kepada mereka semua suku lainnya bergantung, Pasargadai adalah yang paling terkemuka; mereka memiliki klan Akhaimenid yang melahirkan raja-raja Perseid. Suku-suku lainnya adalah Panthialaei, Derusiaei, Germanii, kesemuanya hidup menetap, sisanya -Dai, Mardi, Dropici, Sagarti, merupakan suku nomaden.
Kekaisaran Akhemeniyah bukanlah kekaisaran Iran pertama. Pada abad keenam SM suku bangsa Iran lainnya, yaitu bangsa Medes, telah mendirikan Kekaisaran Media.[17] Bangsa Medes pada awalnya merupakan bangsa Iran yang dominan di daerah tersebut, mulai berkuasa pada akhir abad ke-7 SM dan menjadikan Bangsa Persia bagian dari kekaisaran mereka. Bangsa-bangsa Iran sendiri memasuki daerah itu sekitar tahun 1000 SM[19] dan pada awalnya berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Assyria (911-609 SM). Akan tetapi, bangsa Medes dan Persia (bersama dengan bangsa Skythia dan Babilonia) memainkan peranan penting dalam keruntuhan Assyria melalui kerusuhan internal.
Setelah menaklukkan Asia Kecil (Turki modern), Persia menempatkan tiran pada tiap negara kota Yunani di sana sebagai pemimpin lokal. Pada tahun 499 SM, Aristagoras, tiran Miletos, bersama dengan satrap Persia, Artaphernes, melaksanakan ekspedisi untuk menaklukkan Naxos. Tujuan Aristagoras adalah untuk meningkatkan posisinya sendiri di Miletos, baik dalam hal keuangan maupun kekuasaan. Misi itu berakhir dengan kegagalan dan akibatnya pihak Persia berencana untuk memecat Aristagoras dari jabatan tiran. Mengahadapi ancaman pemecatan itu, Aristagoras memilih untuk menghasut negara-negara kota Ionia untuk memberontak melawan kekuasaan Persia. Seluruh Ionia terkena hasutannya, terutama karena mereka juga tidak senang dengan para tiran yang ditunjuk oleh Persia untuk memimpin mereka. maka terjadilah Pemberontakan Ionia. Pemberontakan juga diikuti oleh kota-kota di Aiolis, Doris, Siprus, dan Karia.
Konflik tersebut berlangsung hingga tahun 493 SM, ketika Persia menyepakati perjanjian damai dengan kota-kota Ionia. Namun pemberontakan itu menjadi fase awal dari konflik yang lebih besar. Selama pemberontakan, dua negara kota di Yunani daratan, yakni Athena dan Eretria, mengirim pasukan dan membantu kota-kota Ionia dalam melawan Persia. Akibatnya Darius murka dan bersumpah akan menghukum dua negara itu. Selain itu, Darius menganggap bahwa situasi politik di Yunani dapat menjadi ancaman bagi kestabilan kekaisarannya. Oleh karena itu, setelah Persia kembali menguasai keadaan di Asia Kecil, Darius memerintahkan dilancarkannya invasi ke Yunani.[20] Pasukan dan armada Persia memperoleh beberapa kesukesan awal di Yunani sebelum akhirnya dikalahkan oleh pasukan Athena, yang dibantu Plataia, dalam Pertempuran Marathon pada tahun 490 SM, yang memaksa pasukan Persia mengakhiri invasinya. Darius berniat untuk kembali menyerbu Yunani namun keburu meninggal dunia.
Xerxes I (485–465 SM, bahasa Persia Kuno Xšayārša "Pahlawan Para Raja"), putra Darius, naik takhta dan meneruskan misi ayahnya. Dia mengumpulkan pasukan yang besar dan pada tahun memimpin invasi ke Yunani 480 SM . Dia bersama pasukan darat Persia memasuki Yunani dari utara, menaklukkan Thrakia dan memaksa Makedonia menjadi sekutu Persia. Pasukan daratnya sempat terhenti akibat dihadang sejumlah tentara Yunani, termasuk tiga ratus prajurit Sparta, di Thermopylae, sementara armada lautnya juga sempat tertahan pada Artemision. Namun Persia pada akhirnya bisa melanjutkan invasi.
Persia terus bergerak semakin jauh di Yunani dan menaklukkan kota Athena, yang sudah hampir kosong karena penduduknya telah dievakuasi. Pada akhirnya, dalam suatu pertempuran maritim yang menentukan di Pertempuran Salamis, armada Persia dikalahkan oleh armada gabungan Yunani. Ini membuat Xerxes menarik mundur sebagian besar pasukan daratnya dan kembali ke Persia. Mardonios, seorang jenderal Persia, tetap tinggal di Yunani dan ditugaskan menyelesaikan invasi bersama sisa-sisa pasukan darat Persia. Pada tahun 479 SM, pasukan gabungan Yunani mengalahkan pasukan Mardonios dalam Pertempuran Plataia, dan armada gabungan Yunani menghancurkan armada Persia pada Pertempuran Mykale. Semua kemenangan Yunani ini mengakhiri invasi Persia.
Fase kebudayaan
Xerxes I digantikan oleh Artahsasta I (465–424 SM), yang memindahkan ibu kota dari Parsa ke Babilon. Pada masa pemerintahannya bahasa Elam tak lagi digunakan sebagai bahasa pemerintahan, sedangkan bahasa Aram menjadi lebih banyak digunakan. Kemungkinan pada pemerintahannya juga kalender matahari digunakan sebagai kalender nasional. Artahsasta menjadikan Zoroastrianisme sebagai agama negara sehingga pada masa kini dia disebut juga sebagai Constantinus bagi agama tersebut.
Artahsasta meninggal di Susa dan jasadnya dibawa ke Parsa dimakamkan bersama para pendahulunya. Artahsasta digantikan oleh putra sulungnya Xerxes II, yang dibunuh oleh saudara tirinya hanya beberapa minggu setelah kematian Artahsasta. Dalam keadaan takhta Persia yang kacau, Darius II mengumpulkan dukungan bagi dirinya dan berarak ke timur, menghukum mati sang pembunuh dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja Persia.
Darius berkuasa sejak tahun 423 SM. Pada tahun 412 SM, atas desakan Tissaphernes, Darius memberi bantuan kepada Athena, kemudian kepada Sparta, yang mana bahwa kedua negara itu sedang berperang dalam konflik yang disebut Perang Peloponnesos. Namun pada tahun 407 SM, putra Darius, Koresy Muda, ditunjuk untuk menggantikan Tissaphernes, dan setelah itu bantuan seluruhnya diberikan hanya bagi Sparta, yang pada akhirnya berhasil mengalahkan Athena pada tahun 404 SM. Pada tahun itu pula Darius jatuh sakit dan meninggal di Babilonia. Menjelang kematiannya, istrinya, Parysatis, yang berasal dari Babilonia, memohon kepada Darius untuk menjadikan putra keduanya, Koresy Muda, sebagai raja Persia selanjutnya, akan tetapi Darius menolak.
Darius digantikan oleh putra sulungnya Artahsasta II Memnon. Plutarkhos menuturkan (kemungkinan atas otoritas Ktesias) bahwa Tissaphernes menemui raja baru itu pada hari penobatannya dan memperingatkannya bahwa adiknya, Koresy Muda, berniat membunuhnya pada upaca penobatan. Artahsasta kemudian menangkap Koresy dan hendak menghukum mati dia namun ibunya Parysatis ikut campur sehingga Koresy selamat. Koresy lalu diberikan jabatan sebagai satrap Lydia, di sana dia mengumpulkan pasukan untuk melakukan pemberontakan. Koresy dan Artahsasta akhirnya bentrok dalam Pertempuran Kunaxa pada tahun 401 SM, yang berakhir dengan kematian Koresy.
Artahsasta terus berkuasa dan menjadi raja Akhaimenia yang paling lama memerintah; dia menjadi raja selama sekitar 45 tahun, hingga tahun 358 SM. Selama masa pemerintahannya, Persia mengalami kedamaian dan kestabilan sehingga banyak dibangun monumen. Artahsasta memindahkan kembali ibu kota ke Parsa, yang dia perindah, sementara itu Ekbatana, sebagai ibu kota musim panas, diberi banyak tambahan hiasan berupa tiang dan genting yang dilapisi perak dan perunggu. Pada masa pemerintahannya juga, terjadi inovasi luar biasa pada kultus mezbah Zoroaster, dan tersebarnya agama itu ke seluruh Asia Kecil dan Levant, dari Armenia. Karena semua kontribusinya terhadap Persia, enam abad kemudian pendiri Kekaisaran Persia Kedua, Ardeshir I, menyatakan diri adalah keturunan Artahsasta.
Artahsasta II digantikan oleh Artahsasta III pada tahun 358 SM. Menurut Plutarkhos, Artahsasta III berkuasa setelah membunuh delapan saudara tirinya, untuk mengamankan takhtanya.[21] Pada tahun 343 SM Artahsasta III mengalahkan Nektanebo II, mengusirnya dari Mesir, dan kembali menjadi Mesir sebagai bagian dari Kekaisaran Iran. Masa kekuasaan Iran yang kedua di Mesir ini disebut sebagai dinasti ketiga puluh satu Mesir.[Catatan 1] Pada tahun 338 SM Artahsasta III meninggal karena sebab yang tak jelas. Menurut kuneiform dia mati karena sebab alami namun menurut Diodoros, seorang sejarawan Yunani, dia dibunuh oleh Bagoas, salah seorang menterinya.[22]
Artahsasta III digantikan oleh Artahsasta IV Arses, yang juga diracuni oleh Bagoas sebelum sempat mulai memerintah. Lebih jauh lagi, Bagoas membunuh semua anak Arses, serta banyak pangeran di Persia. Bagoas lalu menempatkan Darius III (336–330 SM), keponakan Artahsasta IV, sebagai raja Persia. Setelah berkuasa, Darius yang sebelumnya merupakan satrap Armenia, secara pribadi memerintahkan Bagoas meminum racun. Pada tahun 334 SM, tidak lama setelah Darius menguasai Mesir kembali, Aleksander Agung dan pasukannya yang telah banyak bertempur menginvasi Asia Kecil. Aleksander meneruskan rencanan ayahnya, Filipus, yang keburu meninggal sebelum sempat melaksanakan rencana invasinya.
Setelah menyeberang ke Asia Kecil, Aleksander mengalahkan pasukan Persia pada Pertempuran Granikos (334 SM), disusul oleh Pertempuran Issos (333 SM), dan yang terakhir pada Pertempuran Gaugamela (331 SM). Setelah itu dia berarak menuju Susa dan Parsa, yang menyerah pada awal 330 SM. Dari sana, Aleksander Agung bergerak ke utara menuju Pasargadae dan mengunjungi makam Koresy Agung.
Budaya
Agama
Kuil, meskipun berfungsi untuk tujuan keagamaan, namun berguna juga sebagai sumber penghasilan. Terilhami oleh para raja Babilonia, Persia menerapkan konsep pajak kuil wajib, yaitu bahwa semua penduduk harus membayar sejumlah besar pajak atau zakat kepada kuil di daerah mereka.[23]
Toleransi beragama telah digambarkan sebagai "karakteristik luar biasa" dari Kekaisaran Akhemeniyah.[24]Tanakh (kitab suci Yahudi) melaporkan bahwa Koresy Agung membebaskan bangsa Yahudi dari penawanan mereka di Babilonia pada tahun 539–530 SM, dan mengizinkan mereka untuk kembali ke tanah air mereka.[25] Koresy Agung juga membantu pemulihan tempat-tempat suci di berbagai kota.[24]
Selama periode Akhemeniyah, agama Zoroastrianisme mencapai Iran Barat Daya dan diterima oleh para penguasa, menjadi elemen penentu budaya Persia. Agama tersebut tidak hanya disertai dengan formalisasi konsep dan keilahian dari panteon tradisional Iran, tetapi juga memperkenalkan beberapa ide baru, termasuk ajaran mengenai kehendak bebas.[26][27] Di bawah perlindungan raja-raja Akhemeniyah, dan sebagai de factoagama negara pada abad ke-5 SM, Zoroastrianisme mencapai seluruh penjuru kekaisaran.
Selama masa pemerintahan Artahsasta I dan Darius II, Herodotos menulis "[bangsa Persia] tidak memiliki gambar dewa, tidak ada kuil atau altar, dan menganggap penggunaannya sebagai tanda kebodohan. Saya pikir ini berasal dari ketidakpercayaan mereka bahwa para dewa memiliki sifat yang sama dengan manusia, seperti yang dibayangkan orang Yunani."[28] Dia mengklaim bahwa orang Persia mempersembahkan korban kepada "matahari dan bulan, ke bumi, ke api, ke air, dan ke angin. Ini adalah satu-satunya dewa yang pemujaannya telah turun kepada mereka dari zaman kuno. Pada periode berikutnya, mereka memulai penyembahan Urania, yang mereka pinjam dari orang Arab dan Asyur. Mylitta adalah nama yang digunakan orang Asyur untuk dewi ini dan bangsa Persia menyebutnya sebagai Anahita."[28]
Sarjana-imam Babilonia Berosus mencatat bahwa Artahsasta II adalah orang pertama yang membuat patung dewa dan menempatkannya di kuil-kuil di banyak kota besar kekaisaran.[29] Berosus juga mendukung Herodotos ketika dia mengatakan bahwa bangsa Persia tidak mengenal gambar dewa sampai Artahsasta II mendirikan gambar tersebut. Tentang sarana pengorbanan, Herodotos menambahkan "mereka tidak mengangkat mezbah, tidak menyalakan api, tidak menuangkan persembahan."[30] Pernyataan ini ditafsirkan menunjukkan sebuah penambahan penting pada Zoroastrianisme. Sebuah altar dengan kayu bakar dan ritual Yasna dengan menuangkan minuman persembahan diidentifikasi sebagai bagian dari Zoroastrianisme modern. Praktik tersebut tampaknya belum berkembang pada pertengahan abad ke-5. Boyce juga menetapkan perkembangan itu pada masa pemerintahan Artahsasta II (abad ke-4 SM), sebagai tanggapan ortodoks terhadap inovasi kultus kuil.
Herodotos juga mengamati bahwa "tidak ada doa atau persembahan yang dapat dilakukan tanpa kehadiran majus."[30] Namun majus bukanlah pendeta Zoroaster sebagaimana pengertian modern. Keterangan dari Herodotos yang menyatakan bahwa majus sebagai salah satu suku atau kasta Media juga tidak menyiratkan bahwa orang majus ini adalah orang Media. Mereka hanyalah posisi imamat atau kependetaan turun-temurun yang dapat ditemukan di seluruh Iran Barat dan meskipun awalnya tidak terkait dengan satu agama tertentu, mereka secara tradisional bertanggung jawab atas semua layanan ritual dan keagamaan. Meskipun majus diidentifikasikan dengan Zoroastrianisme pada zaman setelahnya (masa Sassaniyah, abad ke-3-7 M), diketahui dari keterangan Herodotos mengenai majus pada pertengahan abad ke-5 bahwa Zoroastrianisme tunduk pada modifikasi doktrinal yang saat ini dianggap sebagai pencabutan ajaran asli nabi. Juga, banyak praktik ritual yang dijelaskan dalam Vendidad Avesta (seperti pengungkapan orang mati) sudah dipraktikkan oleh majus zaman Herodotos.
Wanita
Kedudukan wanita di Iran masa Akhemeniyah berbeda-beda, tergantung dari tiap budaya dan wilayahnya. Kedudukan wanita Iran di Iran sebenarnya secara tradisional telah dijelaskan dari rujukan mitologis Alkitab dan sumber-sumber Yunani Kuno, tetapi tidak satupun dari sumber tersebut yang sepenuhnya dapat diandalkan lantaran perincian yang kadang bias. Rujukan yang paling dapat diandalkan adalah arkeologi Tablet Benteng Parsa (PFT, Persepolis Fortification Tablets) yang menggambarkan kedudukan wanita, dari anggota keluarga kaisar hingga buruh penerima jatah makanan di Parsa.[31]
Kedudukan para wanita tergantung hubungan kekerabatan masing-masing mereka dengan raja diraja. Ibu suri atau ibunda raja diraja (bahasa Elam: sunki ammari) menempati kedudukan tertinggi dalam hierarki para wanita istana, diikuti oleh istri (sunki irtiri), putri (sunki pakri), selir, dan wanita istana lain.[31] Kaisar biasanya menikahi seorang wanita anggota keluarga kaisar atau seorang wanita bangsawan Iran yang masih memiliki hubungan dengan seorang satrap (gubernur) atau tokoh penting Iran lainnya. Pernikahan juga diizinkan bagi anggota keluarga kaisar untuk menikahi kerabat, tetapi tidak ada bukti pernikahan antara anggota keluarga dekat selain antara saudara tiri.[31] Selir sering kali berupa budak, terkadang tawanan perang, atau putri dari negara lain yang tidak dinikahi secara resmi karena status mereka sebagai orang asing, sehingga anak-anak mereka pada dasarnya tidak berhak mewarisi takhta.[31]
Sumber-sumber Yunani mendakwa kaisar memiliki ratusan selir yang dipingit di harem, tetapi tidak ada bukti arkeologis yang mendukung keberadaan harem, atau pemingitan wanita dari kontak dengan pria di istana Iran.[31] Para wanita istana bergabung dengan kaisar saat sarapan dan makan malam dan menemaninya dalam perjalanannya.[31] Mereka mungkin telah berpartisipasi dalam perburuan istana, serta selama perjamuan resmi. Herodotos menceritakan mengenai utusan Iran di istana Makedonia menuntut kehadiran wanita selama jamuan makan karena merupakan kebiasaan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam jamuan makan di negara mereka sendiri.[31] Permaisuri mungkin telah menghadiri audiensi kaisar, dan bukti arkeologis menunjukkan bahwa dia juga memberikan audiensi sendiri, setidaknya untuk kalangan wanita.[31] Wanita istana dan bangsawan dapat melakukan perjalanan sendiri, ditemani oleh pelayan pria dan wanita, memiliki dan mengelola kekayaan, tanah, dan bisnis mereka sendiri.[31] Penggambaran wanita Iran menunjukkan mereka dengan gaun panjang dan kerudung yang rebah di belakang kepala sebagai hiasan, tidak menutupi wajah atau rambut mereka.[31]
Wanita istana dan bangsawan Akhemeniyah diberi pendidikan dalam mata pelajaran yang tampaknya tidak cocok dengan pemingitan, seperti menunggang kuda dan memanah.[32][33] Wanita istana dan bangsawan memegang dan mengelola perkebunan dan bengkel yang luas dan mempekerjakan banyak pelayan dan buruh profesional.[34] Mereka tampaknya juga tidak hidup terpisah dari pria, karena diketahui bahwa mereka muncul di depan umum dan bepergian dengan suami mereka,[35] berpartisipasi dalam berburu[36] dan dalam pesta.[37] Setidaknya istri utama dari seorang pria keluarga kaisar atau bangsawan tidak hidup dalam pengasingan, seperti yang dinyatakan dengan jelas bahwa istri biasanya menemani suami mereka di jamuan makan malam, meskipun mereka meninggalkan jamuan ketika "wanita penghibur" masuk dan laki-laki mulai "bergembira".[38]
Tidak ada wanita yang secara resmi memerintah negara pada masa Akhemeniyah, baik sebagai maharani atau wali resmi. Meski demikian, beberapa kerabat raja diraja memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan, seperti Atosa dan Parysatis. Tidak ada bukti adanya perempuan yang dipekerjakan sebagai pejabat di pemerintahan atau dalam pelayanan keagamaan, tetapi ada banyak bukti arkeologis tentang perempuan yang dipekerjakan sebagai pekerja bebas di Parsa bersama laki-laki.[31] Perempuan dapat dipekerjakan sebagai pemimpin angkatan kerja mereka, yang dikenal dengan sebutan arraššara pašabena, yang kemudian diberi gaji yang lebih tinggi daripada pekerja laki-laki dari angkatan kerja mereka.[31] Sementara pekerja perempuan diberi lebih sedikit daripada laki-laki, pekerja yang memenuhi syarat dalam kerajinan diberi upah yang sama terlepas dari jenis kelaminnya.[31]
Daftar raja wangsa Akhemeniyah
Belum terbukti
Akhaimenes atau Akhemenes (leluhur wangsa Akhemeniyah)
Bukti epigrafi raja-raja ini tidak dapat dipastikan dan dianggap rekaan raja Darius I
Ariaramnes, putra Teispes dan memerintah bersama Koresy I
Arsames, putra Ariaramnes dan memerintah bersama Kambises I
Sudah terbukti
Raja Persia, sebagai penguasa bawahan dari wangsa Media yang menjadi Raja Diraja Iran
Banyak sejarawan tidak memasukkannya sebagai daftar penguasa Iran lantaran saat Darius III mangkat, Aleksander sudah menguasai sebagian besar wilayah Akhemeniyah, termasuk ibu kota Parsa
Keterangan
^Pada dua masa berbeda, Persia menguasai Mesir meskipun dua kali Mesir berhasil meraih kemerdekaan sementara dari Persia. Setelah praktik Manetho, Sejarawan Mesir menyebut periode kekuasaan Persia di Mesir sebagai dinasti kedua puluh tujuh Mesir, berlangsung pada tahun 525–404 SM, hingag kematian II, dan dinasti ketiga puluh satu Mesir, berlangsung pada tahun 343–332 SM, yang dimulai setelah Nektanebo II dikalahkan oleh Artaxerxes III.
Catatan kaki
^Josef Wiesehöfer, Ancient Persia, (I.B. Tauris Ltd, 2007), 119.
^Hoschander, Jacob. "The Book of Esther in the Light of History: Chapter IV", The Jewish Quarterly Review, New Series, Vol. 10, No. 1 (Jul., 1919), pp. 87–88
^Chr. Walker, "Achaemenid Chronology and the Babylonian Sources," in: John Curtis (ed.), Mesopotamia and Iran in the Persian Period: Conquest and Imperialism, 539-331 B.C. (London 1997), page 22.
^"Book of Ezra | King James Bible". Kingjamesbibletrust.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 May 2011. Diakses tanggal 21 March 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcdefghijklmMaria Brosius, “WOMEN i. In Pre-Islamic Persia”, Encyclopædia Iranica, online edition, 2021, available at WOMEN i. In Pre-Islamic Persia (accessed on 26 January 2021). Originally Published: January 1, 2000. Last Updated: March 15, 2010. Encyclopædia Iranica, online edition, New York, 1996- https://iranicaonline.org/articles/women-i
^(Ctesias, frg. 16 (56) in Jacoby, Fragmente III/C, hlm. 471)