Imperium Italia
Imperium Italia (bahasa Italia: Impero Italiano) adalah imperium yang dibentuk setelah Kerajaan Italia bergabung dengan kekuatan-kekuatan di Eropa dalam mendirikan koloni di seberang lautan selama proses Perebutan Afrika. Negara Italia modern sebagai negara yang bersatu baru ada sejak tahun 1861. Pada masa ini Prancis, Spanyol, Portugal, Britania, dan Belanda telah menjadi kekaisaran-kekaisaran besar di dunia selama beberapa ratus tahun. Salah satu daerah yang tersisa untuk kolonisasi adalah benua Afrika. Akhir abad ke 19, Kerajaan Italia muncul sebagai kekuatan imperialisme baru, turut serta dalam Aliansi Delapan Negara pada Pemberontakan Boxer, sebagai hasilnya memperoleh wilayah Konkesi Tientsin, Menjelang pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914, Italia telah mencaplok Eritrea dan Somalia, dan merebut sebagian wilayah Kesultanan Utsmaniyah, termasuk Libya, meskipun kemudian pasukan Italia dikalahkan dalam usahanya untuk menaklukan Ethiopia. Pemerintahan Fasis di bawah diktator Italia Benito Mussolini, yang berkuasa sejak tahun 1922, berniat menambah luas wilayah kekaisaran. Ethiopia kemudian berhasil direbut, empat dekade setelah kegagalan sebelumnya, dan luas Italia di Eropa meningkat. "Imperium Italia" yang resmi diproklamirkan pada tanggal 9 Mei 1936 menyusul penaklukan Ethiopia.[1] Italia memihak Jerman Nazi selama Perang Dunia II dan pada awalnya menikmati kesuksesan. Akan tetapi, pasukan Sekutu pada akhirnya merebut koloni-koloni Italia di seberang lautan dan Italia sendiri akhirnya diinvasi pada tahun 1942. Dengan demikian Imperium Italia pun runtuh. PendirianPada tahun 1922, pemimpin gerakan fasis Italia, Benito Mussolini, menjadi Perdana Menteri Italia melalui sebuah kudeta. Mussolini menyelesaikan masalah mengenai kedaulatan Dodecanese pada Perjanjian Lausanne tahun 1923, yang meresmikan administrasi Italia atas Libya dan Kepulauan Dodecanese, sebagai balasan untuk pembayaran ke Turki, negara penerus Kesultanan Utsmaniyah, meskipun dia gagal dalam usahanya untuk memperoleh mandat untuk sebagian Irak dari Britania. Sebulan setelah ratifikasi perjanjian Lausanne, Mussolini memerintahkan invasi ke pulau Korfu di Yunani setelah terbunuhnya seorang jenderal Italia di sana. Pers Italia mendukung tindakan itu, menyebut-nyebut bahwa Korfu pernah menjadi bagian dari Republik Venesia sempat ratus tahun.[2] Meskipun masalah ini dibawa oleh Yunani ke Liga Bangsa-Bangsa, Mussolini tetap berhasil menahan tekananya, dan hanya ancaman perang dari Britania yang dapat meyakinkannya untuk mengevakuasi pasukan Italia dari Yunani.[3] Konfrontasi atas Korfu, dan determinas Italia yang jelas-jelas tidak pernah mau menyerahkan kedaulatan Dodecanese, berujung pada Britania dan Italia menyelesaikan masalah Jubalandia pada tahun 1924; wilayah itu kemudian digabungkan ke dalam Somalia Italia.[4] Di Eropa Timur, rezim fasis memiliki rancangan imperial untuk wilayah Albania, Dalmatia, sebagian besar Slovenia, Kroasia, Bosnia dan Herzegovina, Makedonia, dan Yunani berdasarkan alasan bahwa semua wilayah tersebut pernah dikuasai oleh Romawi.[5] Rezim ini juga ingin mendirikan hubungan patron-klien protektif dengan Austria, Hungaria, Romania, dan Bulgaria.[5] Selama akhir tahun 1920-an ekspansi imperial menjadi tema yang sangat disukai dalam pidato-pidato Mussolini.[6] Dia berpendapat bahwa Italia membutuhkan tempat untuk "kelebihan jumlah penduduknya", dan bahwa dengan demikian pada daya tarik negara-negara lainnya untuk membantu ekspansinya.[6] Di antara tujuan-tujuan Mussolini (tidak diumumkan secara umum) adalah bahwa Italia harus menjadi kekuatan dominan di Mediterania yang akan mampu melawan Prancis atau Britania, selain juga memperoleh akses ke Samudra Atlantik dan Samudra Hindia.[6] Mussolini merasa bahwa Italia membutuhkan akses tak tertandingi ke samudra-samudra dan jalur-jalur perkapalan dunia untuk menjamin kedaulatan nasionalnya.[7] Ini disebutkan dalam sebuah dokumen yang dia buat ada tahun 1939 yang berjudul "Perjalanan ke Samudra", dan disertakan dalam catatan resmi pertemuan Dewan Agung Fasisme.[7] Naskah ini menyebutkan bahwa posisi kelautan menentukan kemerdekaan suatu bangsa; negara dengan akses bebas samudra berarti adalah negara yang merdeka, sementara negara yang tidak memiliki akses ini berarti tidak merdeka. Italia, yang hanya memiliki akses ke lautan yang tidak dikuasai oleh Prancis dan Britania Raya, disebut sebagai "negara setengah merdeka", dan disebut juga sebagai "tahanan di Mediterania."[7]: Pada bulan Oktober 1935, Mussolini melancarkan Perang Italia-Abbysina Kedua dan menginvasi Ethiopia. Kaisar Haile Selassie kabur dari ibu kota Ethiopia, Addis Ababa, pada tanggal 2 Mei 1936 dan pasukan Italia mulai memasuki kota itu pada tanggal 5 Mei. Italia lalu menggabungkan Eritrea Italia, Somalia Italia, dan Ethiopia yang baru direbut untuk membentuk Afrika Timur Italia (Africa Orientale Italiana, A.O.I.). Invasi ini memperoleh persetujuan taktis dari negara Prancis dan Britania Raya, yang tidak ingin mengucilkan Italia, karena pada saat itu, Italia dapat dimanfaatkan sebagai sekutu yang memiliki potensi untuk melawan Jerman Nazi.[8] Kemenangan Italia diumumkan pada tanggal 9 Mei 1936, dan Mussolini menyatakan berdirinya "Imperium Italia".[1] Raja Italia Victor Emmanuel III menambahkan Kaisar Ethiopia ke dalam gelarnya. Mussolini kemudian bermimpi mengirimkan para pemukim Italia ke Afrika Timur Italia, dan orang Italia memiliki harapan yang tinggi untuk mengubah daerah itu menjadi aset ekonomi.[8] Akan tetapi, dengan mencaplok Ethiopia, yang merupakan anggota Liga Bangsa-Bangsa, Italia telah menarik rasa kemarahan internasional.[8] Hal ini tidak mempengaruhi ekonomi Italia secara drastis, yang dikarenakan Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang bukan merupakan anggota Liga Bangsa-Bangsa dan dengan demikian mereka tidak ikut menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Italia seperti halnya yang dilakukan oleh Liga Bangsa-Bangsa. Teritori koloni
Referensi
Sumber
Pranala luar
|