Fathimiyah, atau al-Fāthimiyyūn (bahasa Arab: الفاطميون, translit. al-Fāthimiyyūn) adalah kekhalifahanSyiahIsma'iliyah yang berdiri sejak abad kesepuluh hingga kedua belas Masehi. Dinasti ini mencakup wilayah yang luas di Afrika Utara, mulai dari Samudera Atlantik di barat hingga Laut Merah di timur. Dinasti Fathimiyah, sebuah dinasti asal Arab, menelusuri nenek moyang mereka hingga putri Nabi Muhammad, Fatimah dan suaminya, 'Ali bin Abi Thalib. Khalifah Fathimiyah diakui sebagai imam yang sah oleh berbagai komunitas Isma'ili serta oleh denominasi di banyak negeri Muslim lain dan wilayah sekitarnya.[1][2] Berasal pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, Fatimiyah menaklukkan Ifriqiyah dan mendirikan kota al-Mahdiyya. Dinasti Ismaili menguasai wilayah di sepanjang pantai Mediterania Afrika dan akhirnya menjadikan Mesir sebagai pusat kekhalifahan. Pada puncaknya, kekhalifahan mencakup—selain Mesir—berbagai wilayah di Maghreb, Sudan, Sisilia, Levant, dan Hejaz.
Antara tahun 902 dan 909, fondasi negara Fathimiyah terwujud di bawah pimpinan da'i (pendakwah) Abu Abdallah, yang penaklukannya atas Aghlabiyyah Ifriqiyah dengan bantuan pasukan Kutama membuka jalan bagi pembentukan Khilafah.[3][4][5] Setelah penaklukan, Abdullah al-Mahdi Billah diambil kembali dari Sijilmasa dan kemudian diterima sebagai Imam gerakan, menjadi Khalifah pertama dan pendiri dinasti pada 909.[6][7] Pada 921, kota al-Mahdiyya ditetapkan sebagai ibu kota. Pada 948, mereka memindahkan ibu kota mereka ke al-Mansuriyya, dekat Kairouan. Pada 969, pada masa pemerintahan al-Mu'izz, mereka menaklukkan Mesir, dan pada 973, kekhalifahan dipindahkan ke ibu kota Fathimiyah yang baru didirikan di Kairo. Mesir menjadi pusat politik, budaya, dan agama kekaisaran dan mengembangkan budaya Arab baru dan "asli".[8] Setelah penaklukan awalnya, kekhalifahan sering mengizinkan toleransi beragama terhadap sekte Islam non-Syiah, serta terhadap Yahudi dan Kristen.[9] Namun, para pemimpinnya tidak membuat banyak kemajuan dalam membujuk penduduk Mesir untuk mengadopsi kepercayaan agamanya.[10]
Setelah masa pemerintahan al-'Aziz dan al-Hakim, pemerintahan panjang al-Mustansir mengukuhkan rezim di mana khalifah tetap menjauh dari urusan negara dan wazir mengambil kepentingan yang lebih besar.[11] Fraksionalisme politik dan etnis dalam militer menyebabkan perang saudara pada tahun 1060-an, yang mengancam kelangsungan hidup kekaisaran.[12] Setelah masa kebangkitan selama masa jabatan wazir Badr al-Jamali, kekhalifahan Fathimiyah menurun dengan cepat selama akhir abad ke-11 dan kedua belas.[12] Selain kesulitan internal, kekhalifahan tersebut melemah akibat masuknya bangsa Turki Seljuk ke Suriah pada tahun 1070-an dan kedatangan Tentara Salib di Levant pada tahun 1097.[13] Pada tahun 1171, Salahuddin menghapuskan kekuasaan dinasti tersebut dan mendirikan Dinasti Ayyubiyah, yang memasukkan kembali Mesir ke dalam lingkup otoritas nominal Kekhalifahan Abbasiyah.[14][15]
Untuk menekankan garis keturunan Ali, dinasti ini menamakan dirinya sendiri dengan sebutan 'Dinasti Ali' (al-dawla al-alawiyya),[18] namun banyak sumber Sunni yang memusuhi mereka hanya menyebut mereka sebagai Ubaydi (Banu Ubayd), yang diambil dari bentuk kecil Ubayd Allah untuk nama khalifah Fathimiyah pertama.[18]
Kebangkitan Fatimiyah
Fatimiyah berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia ("Ifriqiya") namun setelah penaklukan Mesir sekitar 971, ibu kotanya dipindahkan ke Kairo.
Dengan cepat kendali Abdullāh al-Mahdi meluas ke seluruh Maghreb, wilayah yang kini adalah Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya, yang diperintahnya dari Mahdia, ibu kota yang dibangun di Tunisia.
Fatimiyah memasuki Mesir pada 972, menaklukkan dinasti Ikhshidiyah dan mendirikan ibu kota baru di al-Qāhirat "Sang Penunduk" (Kairo modern)- rujukan pada munculnya planet Mars. Mereka terus menaklukkan wilayah sekitarnya hingga mereka berkuasa dari Tunisia ke Suriah dan malahan menyeberang ke Sisilia dan Italia selatan.
Tak seperti pemerintahan di sama, kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan. Anggota cabang lain dalam Islām, seperti Sunni, sepertinya diangkat ke kedudukan pemerintahan sebagaimana Syi'ah. Toleransi dikembangkan kepada non-Muslim seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam pemerintahan dengan berdasarkan pada kemampuan (pengecualian pada sikap umum toleransi ini termasuk "Mad Caliph" Al-Hakim bi-Amrillah).
Masyarakat
Komunitas Beragama
Masyarakat Fatimiyah sangat pluralistik. Syi'ah Ismailiyah adalah agama negara dan istana khalifah, namun sebagian besar penduduknya menganut agama atau denominasi yang berbeda. Sebagian besar penduduk Muslim tetap Sunni, dan sebagian besar penduduk tetap beragama Kristen. Orang Yahudi adalah minoritas yang lebih kecil. Seperti dalam masyarakat Islam lainnya pada masa itu, non-Muslim diklasifikasikan sebagai dzimmi, sebuah istilah yang menyiratkan pembatasan dan kebebasan tertentu, meskipun keadaan praktis dari status ini bervariasi dari konteks ke konteks. Para ahli umumnya sepakat bahwa, secara keseluruhan, pemerintahan Fatimiyah sangat toleran dan inklusif terhadap komunitas agama yang berbeda. Tidak seperti pemerintah-pemerintah Eropa Barat pada masa itu, kemajuan dalam jabatan-jabatan negara Fatimiyah lebih bersifat meritokratis daripada turun-temurun. Anggota aliran Islam lainnya, seperti Sunni, mempunyai kemungkinan yang sama untuk diangkat ke jabatan-jabatan pemerintahan seperti halnya kaum Syiah. Toleransi diperluas ke non-Muslim, seperti Kristen dan Yahudi, yang menduduki tingkat tinggi dalam pemerintahan berdasarkan kemampuan, dan kebijakan toleransi ini memastikan aliran uang dari non-Muslim untuk membiayai pasukan besar Mamluk yang dibawa oleh Khalifah. masuk dari Circassia oleh pedagang Genoa.
Ismailiyah
Kekhalifahan Fathimiyah menyebarkan ajaran Syiah dengan aliran Ismailiyah. Ajaran ini mulai disebarkan di Kairo dan wilayah sekitarnya. Proses penyebarannya bersamaan dengan konflik militer dan budaya dengan Kekhalifahan Abbasiyah yang mengikuti aliran Sunni.[19]
Kejatuhan
Pada 1040-an, Ziriyah (gubernur Afrika Utara pada masa Fatimiyah) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Fatimiyah dan berpindahnya mereka ke Islām Sunnī, yang menimbulkan serangan Banū Hilal yang menghancurkan. Setelah 1070, Fatimiyah mengendalikan pesisir Syam dan bagian Suriah terkena serangan bangsa Turki, kemudian Pasukan Salib, sehingga wilayah Fatimiyah menyempit sampai hanya meliputi Mesir.
Setelah terjadi pembusukan sistem politik Fatimiyah pada 1160-an, penguasa ZengidNūr ad-Dīn memerintahkan jenderalnya yaitu Salahuddin Ayyubi untuk menaklukkan Mesir. Penaklukan berhasil dilakukan pada tahun 1169 M.[butuh rujukan]Dinasti Ayyubiyah terbentuk pada tahun 1174 M dengan pengangkatan Salahuddin Ayyubi sebagai sultan.[20]
Al-Mahdiyya, ibu kota pertama dinasti Fathimiyah, didirikan oleh khalifah pertamanya, 'Abdullāh al-Mahdī (297–322 H/909–934 M) pada tahun 300 H/912–913 M. Khalifah tersebut sebelumnya tinggal di dekat Raqqada, tetapi memilih lokasi baru yang lebih strategis ini untuk mendirikan dinastinya. Kota al-Mahdiyya terletak di semenanjung sempit di sepanjang pantai Laut Mediterania, di sebelah timur Kairouan dan tepat di sebelah selatan Teluk Hammamet, di wilayah Tunisia modern. Perhatian utama dalam pembangunan dan lokasi kota tersebut adalah pertahanan. Dengan topografi semenanjung dan pembangunan tembok setebal 8,3 m, kota tersebut menjadi tidak dapat ditembus melalui darat. Lokasi strategis ini, bersama dengan angkatan laut yang diwarisi Fathimiyah dari Aghlabiyyah yang ditaklukkan, menjadikan kota Al-Mahdiyya sebagai pangkalan militer yang kuat tempat ʿAbdullāh al-Mahdī mengonsolidasikan kekuasaan dan menumbuhkan bibit kekhalifahan Fathimiyah selama dua generasi. Kota ini mencakup dua istana kerajaan—satu untuk khalifah dan satu untuk putra dan penerusnya al-Qāʾim—serta sebuah masjid, berberapa gedung administrasi, dan gudang senjata.[21]
Kairo didirikan oleh khalifah Fathimiyah keempat, al-Mu'izz, pada tahun 359 H/970 M dan tetap menjadi ibu kota kekhalifahan Fathimiyah selama dinasti tersebut. Kota ini secara resmi bernama al-Qāhirah al-Mu'izziyya (bahasa Arab: القاهرة المعزية), yang dapat diterjemahkan sebagai "Kota Kemenangan al-Mu'izz", yang kemudian dikenal hanya sebagai al-Qāhira dan memberi kita nama modern "Kairo".[22][23] Dengan demikian, Kairo dapat dianggap sebagai ibu kota produksi budaya Fathimiyah. Meskipun kompleks istana Fathimiyah asli, termasuk bangunan administratif dan tempat tinggal kerajaan, tidak ada lagi, para cendekiawan modern dapat memperoleh gambaran yang baik tentang struktur asli berdasarkan catatan al-Maqrīzī dari era Mamluk. Mungkin monumen Fathimiyah terpenting di luar kompleks istana adalah Masjid al-Azhar (359–61 H/970–72 M) yang masih berdiri hingga kini, meskipun bangunannya diperluas dan dimodifikasi secara signifikan pada periode selanjutnya. Demikian pula masjid Fathimiyah penting al-Ḥākim, yang dibangun dari tahun 380 hingga 403 H/990–1012 M di bawah dua khalifah Fathimiyah, dibangun kembali dan direnovasi secara signifikan pada tahun 1980-an. Kairo tetap menjadi ibu kota, termasuk al-Mu'izz, selama sebelas generasi khalifah, setelah itu Kekhalifahan Fathimiyah akhirnya jatuh ke tangan pasukan Ayyubiyah pada tahun 567 H/1171 M.[24][25]
^ abFage, J. D. (1958). An Atlas of African History (dalam bahasa Inggris). E. Arnold. hlm. 11. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 March 2023. Diakses tanggal 3 May 2021.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^American University Foreign Area Studies (1979). Algeria, a Country Study (dalam bahasa Inggris). Washington, D.C.: Department of Defense, Department of the Army. hlm. 15. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 March 2023. Diakses tanggal 3 May 2021.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Julia Ashtiany; T.M. Johnstone; J.D. Latham; R.B. Serjeant; G. Rex Smith, ed. (1990). Abbasid Belles Lettres. Cambridge University Press. hlm. 13. ISBN978-0-521-24016-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 September 2024. Diakses tanggal 24 May 2018. ... it was at this time that an indigenous Arabic culture was developed in Egypt, and Arab Egypt, so to speak, came of age to the extent that it was able to rival older centres like Baghdad as a seat of learning and intellectual activity.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Wintle, Justin (2003). History of Islam. London: Rough Guides. hlm. 136–37. ISBN978-1-84353-018-3.
^Robert, Tignor (2011). Worlds Together, Worlds Apart (edisi ke-3rd). New York: W. W. Norton & Co., Inc. hlm. 338. ISBN978-0-393-11968-8.
^Baer, Eva (1983). Metalwork in Medieval Islamic Art. SUNY Press. hlm. xxiii. ISBN978-0791495575. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 January 2023. Diakses tanggal 13 August 2015. In the course of the later eleventh and twelfth century, however, the Fatimid caliphate declined rapidly, and in 1171 the caliphate was dissolved and the Fatimid dynasty was overthrown by Ṣalāḥ ad-Dīn, the founder of the Ayyubid dynasty. He restored Egypt as a political power, reincorporated it in the Abbasid caliphate and established Ayyubid suzerainty not only over Egypt and Syria but, as mentioned above, temporarily over northern Mesopotamia as well.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Zaghrut, Fathi (April 2022). Artawijaya, ed. Tragedi-Tragedi Besar dalam Sejarah Islam. Diterjemahkan oleh Irham, Masturi. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 30. ISBN978-979-592-978-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Rogers, J.M., J.M. Rogers and J. Jomier, "al-Ḳāhira", in: Encyclopaedia of Islam, 2nd ed., Edited by: P. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel, W.P. Heinrichs.
Cortese, Delia, "Fatimids", in Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia of the Prophet of God (2 vols.), Edited by C. Fitzpatrick and A. Walker, Santa Barbara, ABC-CLIO, 2014, Vol I, pp. 187–91.
Daftary, Farhad (1999). "Fatimids". Dalam Yarshater, Ehsan. Encyclopædia Iranica, Volume IX/4: Fārs II–Fauna III. London and New York: Routledge & Kegan Paul. hlm. 423–26. ISBN978-0-933273-32-0.
Halm, Heinz (1991). Das Reich des Mahdi: Der Aufstieg der Fatimiden (dalam bahasa Jerman). Munich: C.H. Beck. ISBN978-3-406-35497-7.
English translation: Halm, Heinz (1996). The Empire of the Mahdi: The Rise of the Fatimids (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Bonner, Michael. Brill. ISBN9004100563.
Hofer, Nathan (2017). "Sufism in Fatimid Egypt and The Problem of Historiographical Inertia". Journal of Islamic Studies. 28 (1): 28–67. doi:10.1093/jis/etw042.
Lev, Yaacov (1987). "Army, Regime, and Society in Fatimid Egypt, 358–487/968–1094". International Journal of Middle East Studies. 19 (3): 337–365. doi:10.1017/S0020743800056762. JSTOR163658.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Lev, Yaacov (1995). "The Fatimids and Byzantium, tenth–12th Centuries". Graeco-Arabica. 6: 190–208. OCLC183390203.
Runciman, Steven (1951), The History of the Crusades Volume I: The First Crusade and the Foundation of the Kingdom of Jerusalem, Cambridge University Press
Sanders, Paula (1998). "The Fāṭimid state, 969–1171". Dalam Petry, Carl F. The Cambridge History of Egypt, Volume 1: Islamic Egypt, 640–1517. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 151–74. ISBN0-521-47137-0.