Hijaz
Hijaz (bahasa Arab: الحجاز, translit. al-Ḥijāz, har. 'pembatas') adalah sebuah wilayah di pesisir barat Jazirah Arab. Sejarah mengenai Hijaz sangat terbatas untuk masa-masa sebelum penyebaran Islam di Jazirah Arab pada abad ke-7 M. Setelah itu, sumber sejarah mengenai Hijaz lebih diketahui melalui Al-Qur'an. Penduduk asli di Hijaz ialah suku Arab Baqiyah. Sementara penduduk aslinya yang telah mengalami kepunahan ialah kaum Amaliqah. Sebelum penyebaran Islam, Hijaz telah menjadi pusat perdagangan di Jazirah Arab. Penduduk di Hijaz sebagian besar mengadakan penyembahan berhala dan paganisme sebelum masa penyebaran Islam. Setelah penyebaran Islam, Hijaz menjadi lokasi dari dua kota suci dalam agama Islam, yaitu Makkah dan Madinah. Pemerintahan di Hijaz dimulai pada masa Kekhalifahan Rasyidin dan berlanjut hingga Kekhalifahan Utsmaniyah. Setelah itu, pemerintahan di Hijaz berada dalam negara Arab Saudi. LokasiHijaz berlokasi di bagian barat Semenanjung Arab.[1] Lokasi Hijaz berada di tepi pantai Semenanjung Arab yang posisi wilayahnya dari tengah ke selatan.[2] Posisi Hijaz pada bagian tenggara dari tepian Laut Merah.[3] SejarahSumber sejarahBerita peninggalan Kekaisaran Persia dan Kekaisaran BizantiumSekitar 150 tahun sebelum dimulainya penyebaran Islam di kabilah-kabilah Makkah, berita-berita tentang wilayah Hijaz masih sangat terbatas. Setelah dimulainya masa Jahiliah di Hijaz, mulai tersebar berita dan puisi mengenai raja-raja dan kerajaan-kerajaan berbentuk kota di Hijaz terutama di Makkah. Berita-berita ini ditemukan dalam peninggalan Kekaisaran Persia dan Kekaisaran Bizantium. Selain itu, tersebar pula berita-berita tentang kabilah-kabilah Makkah yang telah melakukan banyak peperangan selama masa Jahiliah.[4] Al-Qur'anKondisi wilayah Hijaz secara khusus menjadi bagian dari konteks pewahyuan Al-Qur'an pada abad ke-7 Masehi. Keterangannya berkaitan dengan kondisi politik, kondisi sosial, intelektual dan agama yang dianut oleh masyarakat Arab terutama di Makkah dan Madinah yang menjadi tempat pewahyuan Al-Qur'an.[5] Rujukan mengenai kondisi kebudayaan dan dunia material di Hijaz dapat ditemukan di dalam Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an termuat kejadian-kejadian penting yang pernah terjadi di Hijaz pada masa dakwah Muhammad kepada bangsa Arab. Al-Qur'an juga menjelaskan tentang sikap dan tanggapan bangsa Arab terhadap dakwah Muhammad, keberadaan institusi masyarakat, serta nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat Arab.[6] Beberapa ayat di dalam Al-Qur'an juga menjelaskan tentang kondisi, watak dan status kewarganegaraan Bani Israil di perkotaan Hijaz. Ayat-ayat ini ialah Surah Al-Baqarah pada ayat ke-40, ke-83, dan ke-211. Kemudian ayat lainnya yakni Surah Ali Imran ayat ke-93 dan pada Surah Al-Ma'idah ayat 2–13 dan ayat 78–79.[7] IklimHujan turun secara teratur di wilayah Hijaz. Karena itu, wilayahnya termasuk subur untuk pertumbuhan tanaman.[8] Kurma menjadi salah satu hasil panen utama di Hijaz. Wilayah dengan hasil panen kurma terbanyak di Hijaz ialah Madinah.[2] Permukiman pertanian terbentuk di oasis yang terletak di Madinah dan wilayah yang dekat dari Makkah yaitu Ta'if.[9] Sementara wilayah Makkah sangat sulit menghasilkan kurma karena wilayahnya yang berupa bukit-bukit berbatu.[2] PendudukPenduduk asli di Hijaz adalah suku Arab Baqiyah dari kelompok etnis Arab Musta'rabah terutama Bani Adnan.[10] Kelompok etnis Arab Musta'rabah merupakan keturunan dari Ismail. Mereka tinggal di pedusunan maupun di perkotaan.[10] Selain penduduk perkotaan, di Hijaz terdapat suku Arab Badui yang hidup secara nomaden.[9] Ada pula penduduk Hijaz yang mengalami kepunahan yaitu kaum Amaliqah. Kaum Amaliqah termasuk dalam suku Arab Aribah yang berasal dari keturunan Imlaq. Secara genealogi, kaum Amaliqah termasuk sepupu dari dari Bani Qahthan.[11] PemerintahanMasa Khulafaur RasyidinPenduduk di Hijaz tetap setia dalam kepemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq setelah kematian Muhammad.[12] Masa Kekhalifahan UmayyahPada masa Kekhalifahan Umayyah, wilayah Hijaz hanya mencakup tiga kota yakni Makkah, Madinah dan Ta'if. Wilayahnya berbatasan dengan wilayah Najd yang merupakan dataran tinggi, dan wilayah Tihamah yang merupakan dataran rendah berbentuk pesisir.[13] Masa Kesultanan MamlukHijaz menjadi salah satu wilayah kekuasaaan Kesultanan Mamluk ketika Dunia Islam sedang mengalami desentralisasi dan disintegrasi dalam politik.[14] Masa Kesultanan UtsmaniyahPada tahun 1517, Kesultanan Utsmaniyah mulai menjadi penguasa wilayah Hijaz.[15] Ketika Süleyman I (1520–1566) berkuasa sebagai sultan di Kesultanan Utsmaniyah, ia melakukan perluasan wilayah kekuasaan.[16] Pada tahun 1529 M, Hijaz ditaklukkan dan dikuasai oleh Kesultanan Utsmaniyah.[17] Di bawah kekuasaan kekuatan regional seperti Mesir atau Kesultanan Utsmaniyah hampir sepanjang sejarahnya, Hejaz sempat memperoleh kemerdekaan politik untuk sesaat pada awal abad ke-20.[18] Hijaz adalah salah satu wilayah Kesultanan Utsmaniyah yang diprovokasi hingga memberontak oleh T. E. Lawrence (alias "Lawrence of Arabia") dari Britania pada masa Perang Dunia I. Pada 1916 kemerdekaannya diproklamasikan oleh Hussein bin Ali, sang Syarif Mekkah. Pada 1924, kekuasaan ibnu Ali direbut ibnu Saud dari negara tetangganya, Nejd. Ibnu Saud keluar sebagai pemenang dan Hijaz menjadi bagian dari Arab Saudi hingga saat ini.[19] Masa pemerintahan Arab SaudiDalam wilayah Arab Saudi, Hijaz terletak di bagian barat laut.[13] Kehidupan sosialKebudayaanPada masa pewahyuan Al-Qur'an, kondisi sosial dan budaya di Hijaz sangat beragam. Penduduk di Hijaz menggabungkan antara budaya di sebagian besar Jazirah Arab termasuk Arab bagian selatan dengan budaya Yahudi dan Kristen dari Mediterania, budaya Mesir dan budaya Etiopia.[6] Setelah ajaran Islam yang disebarkan oleh Muhammad telah dianut oleh penduduk Makkah dan Madinah, kebudayaan yang berkembang di Hijaz tetap dipertahankan dengan penambahan pemikiran-pemikiran baru dari ajaran Islam. Pemikiran baru yang disampaikan oleh Muhammad di Hijaz terutama mengenai teologi, spiritual, hukum, moral dan etika.[20] Pada masa Kekhalifahan Umayyah, dua wilayah di Hijaz menjadi pusat kebudayaan. Keduanya yaitu Makkah dan Madinah. Kedua kota ini memiliki ulama-ulama yang dikenal sebagai ahli hadis yang menguasai ilmu fikih.[21] Selain itu, Hijaz pada masa Kekhalifahan Umayyah juga memberikan keterbukaan terhadap peradaban Persia dan peradaban Romawi-Yunani. Puisi jahiliah kembali dibuat dan orang-orang Arab mulai membuat dan mengembangkan teori-teori baru mengenai musik. Jenis puisi yang berkembang di Hijaz pada masa Kekhalifahan Umayyah adalah gazal. Puisi ini menceritakan kisah cinta yang disesuaikan dengan perasaan. Pada masa Kekhalifahan Umayyah, sebagian besar penyair Arab di Hijaz membuat puisi gazal. Penyair-penyair gazal di Makkah ialah Umar bin Abi Rabi’ah, ‘Arja dan Ibnu Qays al-Ruqiyat. Sedangkan di Madinah terdapat penyair seperti Al-Ahwash.[22] KeagamaanPaganismeSebelum masa kenabian Muhammad, paganisme dianut oleh sebagian besar suku-suku Arab di Makkah. Mereka menyembah dewa-dewa yang ditempatkan di bagian dalam dan di sekitar Ka'bah. Paganisme juga dianut oleh sebagian besar suku-suku non-Yahudi di Madinah. Sebagian besar penganut paganisme di Hijaz meyakini adanya kekuatan absolut yang disebut Allah. Namun kaum pagan juga meyakini adanya tuhan-tuhan selain Allah. Tuhan-tuhan ini tidak disembah dengan pengagungan dan hanya disembah dengan imbalan pertolongan. Karena itu, keagamaan pada kaum pagan di Hijaz tidak mengalami kemajuan dan keyakinan mengenai kehidupan setelah kematian merupakan suatu pandangan yang tidak diterima secara umum.[23] Kristen, Yahudi dan HunafaKomunitas agama Kristen dan agama Yahudi di Hijaz juga mulai berkembang sebelum masa kenabian Muhammad.[24] Di Hijaz juga terdapat kaum Hunafa yang hanya menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan.[25] Kaum Hunafa meyakini agama Ibrahim yang murni tanpa penyembahan berhala. Namun kaum Hunafa tidak termasuk penganut agama Yahudi maupun agama Kristen.[26] Jumlah kaum hanif sangat sedikit sehingga tidak mempengaruhi kehidupan kaum pagan Arab di Hijaz.[25] Agama Yahudi menjadi salah satu kepercayaan penting di Madinah karena dianut melalui perkawinan, adopsi dan konversi. Sementara itu, agama Kristen tidak memiliki pengaruh penting di Hijaz. Monoteisme yang dianut oleh Yahudi dan Nasrani mulai tersebar di Hijaz tetapi masih dianggap asing dan tidak sesuai oleh sebagian besar masyarakat Badui.[27] IslamHijaz merupakan wilayah yang penting dalam agama Islam. Di dalam wilayahnya terdapat tempat-tempat yang diyakini suci dalam ajaran Islam.[13] Salah satu tempat penting di Hijaz ialah Ka'bah.[28] Setelah Muhammad menjadi pemimpin di Madinah, ajaran-ajaran Islam mulai menyebar di Hijaz.[29] Delapan tahun setelah hijrah ke Madinah, Muhammad dan pasukan Muslim melakukan Penaklukan Makkah. Sebagian besar dari penduduk Makkah mulai memeluk agama Islam setelah berhasilnya penaklukan pada Agustus 630 M. Pasukan Muslim atas perintah Muhammad mengosongkan Ka'bah dari benda berhala yang sebelumnya ditempatkan di dalamnya untuk penyembahan berhala. Pengosongan ini mengakhiri penyembahan berhala di Ka'bah dan diganti penggunaannya untuk menyembah Tuhan Yang Esa.[29] Ketika Ali bin Abi Thalib terpiilih sebagai khalifah, penyebaran Islam dan Muslim di Hijaz telah mencakup Makkah, Madinah dan Ta'if serta meluas ke wilayah lain di Jazirah Arab dan luar Jazirah Arab.[30] Madrasah ahli hadis mulai muncul di Hijaz pada masa Tabi'in. Kemunculan madrasah ahli hadis di Hijaz merupakan akibat dari Fitnah Besar yang menimbulkan konflik di antara para Sahabat Nabi.[31] Madrasah ahli hadis di Hijaz terutama di Madinah, sangat terpengaruh oleh dua Sahabat Nabi yang sangat mengutamakan hadis dan sunnah. Keduanya yaitu Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Periwayat hadis di Hijaz jumlahnya sangat banyak dan terutama tinggal di Madinah, sehingga memudahkan pengecekan kebenaran periwayatan hadis. Bersamaan dengan periwayatan hadis sahih, beredar pula hadis palsu dalam jumlah yang sedikit. Kondisi masyarakat Hijaz juga mendukung terbentuknya madrasah ahli hadis karena sifatnya yang homogen sehingga permasalahan-permasalah baru jarang muncul.[32] Ulama yang menjadi pelopor periwayatan hadis dari Muhammad ialah Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (51–124 H). Ia memulai penghimpunan hadis atas perintah dari Umar bin Abdul Aziz yang memerintah sebagai khalifah termasuk di Hijaz sejak tahun 99–102 H.[33] Keberadaan madrasah ahli hadis di Hijaz kemudian menjadi salah satu penyebab munculnya salah satu fikih mazhab yaitu Mazhab Maliki di Madinah.[32] Pada abad ke-17 dan ke-18 M, studi hadis kembali mulai berkembang di Hijaz bersamaan dengan gerakan pembaharuan pemikiran Islam.[34] KebahasaanDi Hijaz diketahui pernah digunakan bahasa Arab Ba'idah yaitu Al-Tsamudiyah dan Al-Lihyaniyah. Bahasa Arab Ba'idah merupakan bahasa Arab yang penggunaannya hanya diketahui melalui prasasti-prasasti yang ditemukan oleh para arkeolog dari daerah Damaskus hingga ke Al-'Ula yang merupakan bagian utara Hijaz.[35] Bahasa Al-Tasmudiyah ditemukan pada sekitar dua ribu prasasti yang ditemukan dari daerah Hijaz dan Najd. Penggunaan bahasa Al-Tasmudiyah dalam prasasti merupakan peninggalan kaum Tsamud yang disebutkan di dalam Al-Qur'an.[36] Sementara itu, bahasa Al-Lihyaniyah ditemukan penggunaannya dalam prasasti-prasasti peninggalan bangsa Lihyan yang diperkirakan menghuni wilayah Al-'Ula.[37] Penduduk di bagian barat Hijaz merupakan salah satu kelompok penutur asli terawal dari bahasa Arab Baqiyah selain penduduk Najd dan Tihamah. Bahasa ini terdiri dari bahasa Tamim dan bahasa Hijazi dengan dominasi bahasa Quraisy. Penggunaan bahasa Arab Baqiyah menjadi bahasa Al-Qur'an dan bahasa Arab utama bagi umat Islam termasuk di Hijaz. Bahasa Arab Baqiyah kemudian meluas penggunaannya dari bahasa Al-Qur'an, bahasa hadis, bahasa syair jahiliah dan bahasa syair Islam termasuk di Hijaz.[38] KemasyarakatanSebelum dan pada masa awal penyebaran Islam di Hijaz, struktur sosial di Hijaz didominasi oleh kaum laki-laki Arab. Keberadaan kaum laki-laki dianggap sebagai pemimpin atas kaum perempuan Arab. Pengambilan keputusan penting yang bersifat publik hanya dilakukan oleh kaum laki-laki dan umumnya mengabaikan pendapat dari kaum perempuan. Peran penting dalam ranah publik di Hijaz pada masa tersebut ialah aktif dalam pertempuran. Karena kaum perempuan tidak terlibat aktif di dalam pertempuran, maka muncul anggapan bahwa perempuan perlu dilindungi oleh kaum laki-laki. Karena anggapan ini, kaum perempuan sulit bertahan hidup di Hijaz yang diliputi oleh kekerasan. Sehingga kaum perempuan bergantung secara finansial kepada kaum laki-laki.[39] PerhubunganInfrastruktur jalan di lereng-lereng bukit dalam wilayah Hijaz mulai dibangun pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik (705–714 M). Pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik juga dibuat telaga-telaga khusus bagi masyarakat di Hijaz.[40] PerdaganganPada masa sebelum penyebaran Islam, kondisi geografi yang gersang dan tandus membuat penduduk Arab di wilayah Hijaz hanya melakukan kegiatan perdagangan dan peternakan.[41] Penduduk Hijaz dan penduduk di daerah Jazirah Arab lainnya mulai menjalin hubungan perdagangan pada akhir abad ke-6 Masehi. Hubungan perdagangan terbentuk antara penduduk Hijaz dengan penduduk di kota kecil dan kota besar dalam wilayah Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Persia. Selain itu, orang Arab dari wilayah di luar Hijaz juga melakukan kunjungan ke Ka'bah untuk menghormatinya.[42] Beberapa kota di Hijaz berkembang menjadi pusat perdagangan.[41] Pusat perdagangan di Hijaz pada masa jahiliah terletak di Pasar Ukaz yang lokasinya dekat dari Ta'if. Penduduk dari seluruh Jazirah Arab melakukan perdagangan di Pasar Ukaz. Selain digunakan untuk perdagangan, Pasar Ukaz menjadi pusat kegiatan sosial dan sastra yang berpengaruh kepada penyatuan dialek dalam bahasa Arab. Pasar Ukaz dibuka setiap tanggal 1–20 atau tanggal 15–30 Zulkaidah.[43] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|