Monoteisme
Monoteisme adalah kepercayaan bahwa hanya ada satu pencipta Mahatinggi yang secara universal dirujuk sebagai Tuhan.[1][2][3][4][5][6][7] Perbedaan dapat dibuat antara monoteisme eksklusif, di mana satu Tuhan adalah keberadaan tunggal, dan monoteisme inklusif dan jamak, di mana beberapa dewa atau bentuk ketuhanan diakui, tetapi masing-masing didalilkan sebagai perpanjangan dari Tuhan yang sama.[1] Monoteisme dibedakan dari henoteisme (sistem keagamaan di mana orang percaya menyembah satu Tuhan tanpa menyangkal bahwa orang lain dapat menyembah dewa yang berbeda dengan validitas yang sama) dan monolatrisme (pengakuan akan keberadaan banyak dewa tetapi dengan pemujaan yang konsisten hanya pada satu dewa).[8] Istilah monolatri mungkin pertama kali digunakan oleh Julius Wellhausen.[9] Monoteisme mencirikan tradisi Bábisme, Baháʼí, Cheondoisme, Kekristenan,[10] Deisme, Druzisme,[11] Eckankar, Sikhisme, beberapa sekte Hindu (seperti Shaivisme and Vaishnavisme), Islam, Yudaisme, Samaritanisme, Mandaeisme, Rastafari, Seicho-no-Ie, Tenrikyo, Yazidisme, dan Atenisme. Unsur-unsur pemikiran monoteistik juga ditemukan dalam agama-agama awal seperti Zoroastrianisme, agama Tionghoa kuno, dan Yahwisme.[1][12][13] JenisDalam suatu masyarakat dengan peradaban yang maju, sistem kepercayaan akan Tuhan cenderung monoteisme. Jenis monoteisme ini terbagi menjadi monoteisme praktis, monoteisme spekulatif, monoteisme teoritis, maupun monoteisme murni. Monoteisme praktis merupakan kepercayaan terhadap satu Tuhan yang dipuja, tetapi tidak mengingkari keberadaan dewa-dewa lain. Monoteisme spekulatif merupakan kepercayaan yang meyakini adanya satu dewa yang awalnya terdiri dari dewa-dewa lain yang kemudian menyatu hingga hanya tersisa satu. Monoteisme teoritis merupakan paham yang mempercayai bahwa Tuhan itu esa dalam teori, tetapi dalam praktiknya mempercayai Tuhan yang jumlahnya lebih dari satu. Sedangkan monoteisme murni adalah paham yang menyatakan bahwa Tuhan itu esa dari segi jumlah dan sifat dalam teori, praktek, pemikiran maupun penghayatan.[14] Terdapat berbagai bentuk kepercayaan monoteis, termasuk:
Perbandingan dengan politeismeSebagai perbandingan, lihat Politeisme, yang berpendapat bahwa ada banyak tuhan. Dualisme mengajarkan bahwa ada dua kekuatan ilahi atau prinsip-prinsip kekal yang independen, yang satu adalah Kebaikan, dan yang lainnya adalah kuasa jahat, seperti yang diajarkan oleh Zoroastrianisme kuno (Zoroastrianisme modern sepenuhnya bersifat monoteistik). Pandangan ini lebih lengkap diajarkan dalam aliran-aliran yang muncul belakangan dari sistem Gonistik, seperti misalnya Manikheisme. Kebanyakan kaum monoteis akan mengatakan bahwa berdasarkan definisinya, monoteisme pasti berlawanan dengan politeisme. Namun, para pemeluk di lingkungan tradisi politeistik sering kali berperilaku seperti kaum monoteis. Ini disebabkan karena keyakinan akan tuhan yang banyak itu tidak berarti bahwa mereka menyembah banyak tuhan. Secara historis, banyak pemeluk politeis percaya akan keberadaan banyak tuhan, tetapi mereka hanya menyembah satu saja, yang dianggap oleh si pemeluk itu sebagai Tuhan yang Mahatinggi. Praktik ini disebut henoteisme. Ada pula teologi-teologi monoteistik di dalam Hinduisme yang mengajarkan bahwa rupa-rupa Tuhan yang banyak itu, yaitu Wisnu, Siwa, atau Dewi, semata-mata mewakili aspek-aspek dari kekuatan Ilahi yang ada di belakangnya atau Brahman (lih. artikel tentang Nirguna Brahman dan Saguna Brahman). Sebagian orang mengklaim bahwa Hinduisme tidak pernah mengajarkan politeisme [1] Diarsipkan 2009-01-08 di Wayback Machine., dan klaim seperti itu bisa dianggap benar sebagai salah satu pandangan Hinduisme, yaitu pandangan Smarta yang adalah sebuah pandangan monoteistik yang inklusif dari monoteisme, seperti yang akan dibahas kelak. Pandangan Smarta ini mendominasi pandangan Hinduisme di Barat dan telah membingungkan semua orang Hindu karena mereka dianggap politeistik. Aliran Smarta ini adalah satu-satunya cabang dalam Hinduisme yang sepenuhnya mengikuti pandangan ini. Swami Vivekananda, seorang pengikut Ramakrishna, serta banyak tokoh lainnya yang memperkenalkan agama Hindu ke Barat, semuanya adalah penganut aliran Smarta. Hanya seorang pemeluk Smarta yang tidak mempunyai masalah untuk menyembah Siwa atau Wisnu bersama-sama karena ia memahaminya sebagai aspek-aspek yang berbeda dari Tuhan yang semuanya membawa kepada Tuhan yang sama. Jadi, menurut teologi Smarta, Tuhan dapat memiliki banyak sekali aspek, dan dengan demikian, begitu keyakinan ini, mereka percaya bahwa Wisnu dan Siwa sesungguhnya adalah Tuhan yang satu dan sama. Para teolog Smarta telah banyak mengutip referensi untuk mendukung pandangan ini. Misalnya, mereka menafsirkan ayat-ayat dalam Sri Rudram, mantra yang paling suci dalam Siwaisme, dan Wisnu sahasranama, salah astu doa yang paling suci dalam Wisnuisme, untuk membuktikan keyakinan ini. Sebaliknya, seorang pemeluk Wisnuisme menganggap Wisnu sebagai Tuhan satu-satunya yang sejati, yang layak disembah dan menganggap penyembahan terhadap bentuk-bentuk yang lainnya lebih rendah atau sama sekali keliru. Monoteisme dapat dibagi menjadi berbagai bentuk berdasarkan sikapnya terhadap politeisme: monoteisme inklusif menganggap bahwa semua tuhan atau dewa dalam politeisme semata-mata hanyalah nama-nama yang lain dari Tuhan monoteistik yang sama; Smartaisme, sebuah denominasi Hindu, mengikuti keyakinan ini dan percaya bahwa Tuhan itu hanya satu namun mempunyai berbagai aspek dan dapat disapa dengan nama yang berbeda-beda. Keyakinan ini mendominasi pandangan Hinduisme di barat. Sebaliknya, monoteisme eksklusif mengklaim bahwa semua tuhan ini adalah salah dan berbeda dari Tuhan yang monoteistik. Mereka itu hanyalah rekaan kuasa jahat, atau semata-mata suatu kekeliruan, sebagaimana yang dipahami oleh Wisnuisme, suatu aliran dalam Hinduisme, terhadap penyembahan apapun selain kepada Wisnu. Monoteisme eksklusif adalah ajaran yang terkenal dalam ajaran agama-agama Abrahamik. Kaitan di agama AbrahamikMonoteisme diduga berasal dari ibadah kepada tuhan yang tunggal di dalam suatu panteon dan penghapusan tuhan-tuhan yang lain, seperti dalam kasus penyembahan Aten dalam pemerintahan firaun Mesir Akhenaten, di bawah pengaruh istrinya yang berasal dari Timur, Nefertiti. Ikonoklasme pada masa pemerintahan firaun ini dianggap sebagai asal-usul utama penghancuran berhala-berhala dalam tradisi Abrahamik, yang didasarkan pada keyakinan bahwa tidak ada Tuhan lain di luar tuhan yang mereka akui. Dengan demikian, sebetulnya di sini tergantung pengakuan dualistik dan diam-diam tentang keberadaan tuhan-tuhan yang lain, tetapi hanya sebagai lawan yang harus dihancurkan karena mereka mengalihkan perhatian dari tuhan utama mereka. Monoteisme sebagaimana yang diwarisi oleh bangsa Israel dalam pengalaman Exodus di bawah pimpinan Musa dianggap, oleh mereka yang berpendapat bahwa bangsa Israel ini adalah orang-orang Hiksos,[15] sebagai pewaris kebijakan-kebijakan keagamaan Akhenaten, karena sebelumnya orang-orang Yahudi ini adalah politeis seperti halnya orang-orang Mesir. Masalah-masalah lain seperti Hak ilahi Raja juga muncul dari hukum-hukum firaun tentang penguasa sebagai demigod atau wakil-wakil dari Pencipta di muka bumi. Kuburan-kuburan yang besar di piramida Mesir yang mengikuti observasi astronomis, menggambarkan hubungan antara firaun dengan langit atau sorga dan karena itu kemudian diambil oleh para penguasa Krisen yang mengklaim bahwa mereka diberikan kekuasaan langsung oleh Allah. Zoroastrianisme dianggap oleh sebagian pakar sebagai bentuk kepercayaan monoteistik yang paling awal yang berevolusi dalam kehidupan manusia, meskipun sebagian turunannya tidak sepenuhnya demikian, karena Tuhan yang utama dalam turunan-turunan seperti Zurvanisme bukanlah pencipta satu-satunya. Ada teori yang menyatakan bahwa Yudaisme dipengaruhi oleh Zoroastrianisme, terutama pada masa pembuangan di Babel, dan setelah itu banyak bagian dari Perjanjian Lama yang ditulis dan disunting. Yudaisme yang lebih awal diasumsikan hanya mengakui bahwa YHVH adalah allah suku mereka (kemungkinan terkait dengan Yaw) yang merupakan dewa pelindung para keturunan Abraham, atau bahwa ada banyak allah tetapi bahwa hanya allah mereka sajalah yang paling kuat. Pandangan ini tidak sesuai dengan pemahaman diri agama-agama Abrahamik - Yudaisme, Kristen, Islam – yang secara tradisional menegaskan bahwa monoteisme eksklusif adalah agama asli dari seluruh umat manusia, sementara allah-allah lainnya dipandang sebagai berhala dan makhluk-makhluk yang keliru disembah sebagai tuhan. Beberapa profesor arkeologi membuat klaim yang controversial bahwa banyak cerita di dalam Kitab Suci Ibrani, termasuk catatan-catatan penting mengenai Musa, Salomo, dan lain-lainnya, sesungguhnya mula-mula dikembangkan oleh para penulis yang dipekerjakan oleh Raja Yosia (abad ke-7 SM) untuk merasionalisasikan keyakinan monoteistik terhadap YHVH. Teori ini mencatat bahwa negara-negara tetangga seperti Mesir dan Persia, meskipun menyimpan catatan-catatan tertulis, tidak mempunyai tulisan-tulisan mengenai cerita-cerita Alkitab atau tokoh-tokoh utamanya sebelum 650 SM. Klaim-klaim seperti itu diuraikan secara terinci dalam buku Who Were the Early Israelites? oleh William G. Dever, William B. Eerdmans Publishing Co., Grand Rapids, MI (2003). Buku lainnya yang serupa adalah The Bible Unearthed oleh Neil A. Silberman dan rekan-rekannya, Simon dan Schuster, New York (2001). Dunia menggolongkan Kristen ke dalam agama monoteis. Kristen percaya akan satu Allah. Mereka mengakui bahwa Allah ini satu, walaupun dalam pemahaman manusia Allah itu termanifestasi ke dalam tiga pribadi: Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus (bersama-sama disebut Tritunggal).[16] Dalam teologi Kristen, ketiga pribadi ini tidaklah independen melainkan selaras, artinya bersama-sama mereka mempunyai karakter dan hakikat / substansi ilahi yang sama dan tidak bertentangan satu sama lain. Meskipun demikian, ada sebagian sekte minoritas dari agama Kristen, seperti misalnya Saksi Yehuwa, menyangkal gagasan tentang Tritunggal, sementara yang lainnya, seperti sekte Mormonisme, menyembah hanya satu Allah, tetapi terbuka terhadap keberadaan yang lain-lainnya. Rastafarian, seperti banyak orang Kristen lainnya, percaya bahwa Allah adalah esa dan juga Tritunggal, dalam kasus mereka, Allah adalah Haile Selassie. Kaum Rasta memandang diri mereka sendiri, dan kemungkinan juga semua orang, sebagai unsure Roh Kudus dari Tritunggal, dengan Haile Selassie sebagai penjelmaan dari Allah Bapa dan Allah Anak. Haile Selassie juga dipandang sebagai kepala, dan kaum Rastafarian sebagai tubuh, dari Allah. Monoteisme dalam Islam
Dari pernyataan di atas, kita dapat melihat bahwa seperti Yudaisme dan Kekristenan—penafsiran Al Qur'an tentang Allah adalah Tuhan yang kehadiran rohaninya dialami di dalam seluruh jagad raya. Islam menjelaskan monoteisme dalam cara yang sederhana. Terjemahan monoteisme dalam bahasa Arab adalah (Tauhid). Tauhīd berarti satu (berasal dari kata wahid/ahad). Kata ini menyiratkan penyatuan, kesatuan atau mempertahankan sesuatu agar tetap satu.[17] Kebenaran seseorang dalam Islam diukur dari "penyerahan dirinya secara total kepada ajaran Allah". Penyerahan diri yang dimaksud adalah menempatkan diri sebagai hamba Tuhan maksudnya hidup karena mencari keridhaan Allah dan tidak lagi hidup untuk kepentingannya sendiri, karena hanya dengan demikian pemeluk Islam dianggap kaffah dalam beragama. Mereka yang mengaku diri Islam namun dalam kehidupan mereka tidak melaksanakan ajaran-ajaran yang ada dalam Islam, dapat disebut sebagai orang munafik. Orang munafik adalah orang yang tidak jelas keyakinannya, orang yang di satu sisi mengakui Islam namun di sisi lain ia tidak melaksanakan apa yang diperintahkan dalam Islam. Orang-orang yang seperti inilah yang disebut dengan orang-orang yang kafir dengan sebenar-benarnya. Namun islam itu paling menekankan kasih sayang kepada seluruh alam. Kasih sayang kepada mereka di dunia dengan berbuat baik kepada manusia dan kasih sayang diakhirat dengan mengajak mereka mempercayai allah yang maha esa, tunggal (monotoisme). Monoteisme dalam agama Bahá'íSeperti dalam agama Islam, agama Bahá'í memahami monoteisme dalam pengertian yang sederhana. Doa wajib dalam agama Bahá'í, misalnya, mengandung pernyataan kesaksian monoteistik yang jelas. Kedua agama ini menyatakan "Keesaan Allah" (Tauhīd) sebagai ajaran utama mereka. Seperti juga halnya Islam, Bahá'í menganggap ajaran Tritunggal dalam agama Kristen sebagai penyimpangan terhadap ajaran asli Yesus yang ada dalam Bahá'í. Bahá'í memandang ajaran-ajaran non-monoteisme yang muncul sebelumnya sebagai versi kebenaran yang kurang dewasa. Agama Bahá'í juga menerima keotentikan para pendiri agama yang mengajarkan monoteisme, seperti misalnya Wisnuisme Gaudiya, yang memusatkan ibadahnya kepada Krisna sebagai Tuhan atau bahkan apa yang kadang-kadang dipahami sebagai ajaran-ajaran ateistik seperti misalnya Buddhisme. HinduismeDalam Hinduisme, ada beberapa pandangan yang terdiri dari monisme, dualisme, panteisme, panenteisme, yang disebut oleh sebagian pakar sebagai teisme monistik, serta monoteisme yang ketat. Namun mereka bukan politeistik, seperti yang dipandang kebanyakan orang luar. Hinduisme sering kali keliru ditafsirkan banyak orang sebagai agama politeistik. Contohnya adalah pemeluk Hindu sendiri, contohnya kaum Smarta, yang mengikuti filsafat Advaita, adalah monis, dan memahami berbagai manifestasi dari Tuhan yang esa atau sumber keberadaan. Kaum monis Hindu memahami satu keesaan, dengan berbagai pribadi Tuhan, sebagai aspek-aspek yang berbeda dari Yang Maha Tinggi dan Esa, seperti halnya satu pancaran cahaya yang dipisah-pisahkan menjadi berbagai macam warna oleh sebuah prisma, dan semuanya sah untuk disembah. Sebagian dari aspek-aspek Tuhan di dalam agama Hindu mencakup Dewi, Wisnu, Ganesya, dan Siwa. Pandangan Smarta inilah yang mendominasi pandangan tentang Hinduisme di Barat. hal ini disebabkan karena Swami Vivekananda, seorang pengikut Ramakrishna, di antara banyak orang lainnya, yang memperkenalkan keyakinan Hindu ke dunia Barat, semuanya adalah penganut Smarta. Aliran-aliran Hinduisme lainnya, seperti yang digambarkan kelak, tidak menganut keyakinan ini secara ketat dan lebih erat berpegang pada persepsi Barat tentang arti keyakinan yang monoteistik. Selain itu, seperti agama-agama Yudeo-Kristen yang percaya akan malaikat, orang Hindu juga percaya akan keberadaan yang tidak begitu kuat, seperti halnya para dewa. Hinduisme kontemporer saat ini dibagi menjadi empat pembagian utama yaitu, Wisnuisme, Siwaisme, Saktiisme, dan Smartaisme. Seperti halnya Yahudi, Kristen, dan Muslim yang mempercayai satu Tuhan namun berbeda dalam konsep Ketuhanan, semua pengikut agama Hindu percaya pada satu Tuhan namun berbeda dalam konsepnya. Dua bentuk utama dari perbedaan ini adalah antara dua kepercayaan monoteistik dari Wisnuisme yang menganggap Tuhan adalah Wisnu dan Siwaisme, yang memahami Tuhan sebagai Siwa. Aspek-aspek Tuhan yang lainnya pada kenyataannya adalah aspek-aspek dari Wisnu atau Siwa; lihat Smartaisme untuk informasi lebih lanjut. Hanya seorang pemeluk Smartaisme tidak akan mengalami masalah untuk menyembah Siwa atau Wisnu bersama-sama karena ia memandang berbagai aspek dari Tuhan menuntun kepada satu Tuhan yang sama. Pandangan Smartalah yang mendominasi pandangan Hinduisme di Barat. Sebaliknya, seorang pemeluk Wisnuisme menganggap Wisnu sebagai Tuhan satu-satunya yang layak disembah, sementara bentuk-bentuk lainnya adalah penampakan yang lebih rendah. Lihat misalnya, ilustrasi tentang pandangan pemeluk Wisnuisme tentang Wisnu sebagai Tuhan sejati yang esa di sini Diarsipkan 2010-07-22 di Wayback Machine.. Dengan demikian, banyak pemeluk Wisnuisme, misalnya, percaya bahwa hanya Wisnu lah yang dapat menganugerahkan tujuan terakhir manusia, moksa. Lihat misalnya, di sini Diarsipkan 2010-07-22 di Wayback Machine.. Demikian pula, banyak pemeluk Siwaisme juga menganut keyakinan yang sama, seperti yang diilustrasikan pada di sini Diarsipkan 2006-01-11 di Wayback Machine. dan di sini Diarsipkan 2006-01-11 di Wayback Machine.. Namun, bahkan pemeluk Wisnuisme, seperti orang-orang Hindu lainnya, mempunyai toleransi terhadap keyakinan-keyakinan yang lain karena Dewa Krisna, avatar Wisnu, mengatakannya demikian di dalam Gita. Beberapa pandangan melukiskan pandangan toleran ini:
Kutipan lain di dalam Gita mengatakan:
Bahkan sebuah ayat Weda melukiskan tema toleransi ini. Kitab-kitab Weda dihormati di dalam Hinduisme, apapun juga alirannya. Misalnya, sebuah nyanyian Rig Weda yang terkenal menyatakan bahwa: "Kebenaran hanya Satu, meskipun para bijak mengenalnya dalam berbagai bentuk." Hal ini berlawanan dengan keyakinan-keyakinan di dalam tradisi-tradisi agama lain, yang mewajibkan pemeluknya mempercayai Allah hanya dalam satu aspek dan menolak sama sekali atau meremehkan keyakinan-keyakinan lainnya. Monoteisme dalam TaoismeTao adalah Yang Tertinggi yang tidak dapat didefinisikan dengan bahasa manusia, sifatnya adalah ketiadaan (nothingness) dan mengandung tuhan-tuhan yang lainnya. Berbeda dengan monoteisme Timur Tengah, Tao tidak mempunyai sifat-sifat pribadi seperti kesucian, cinta kasih, dan kebenaran. Hal ini membuat Taoisme terbebas dari masalah-masalah teodisi. Referensi
Lihat pula |