Peradaban atau tamadun memiliki berbagai arti dalam kaitannya dengan perkembangan manusia. Seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada suatu masyarakat yang "kompleks": dicirikan oleh praktik dalam pertanian, hasil karya dan pemukiman. Dibandingkan dengan budaya lain, anggota-anggota sebuah peradaban tersusun atas beragam pembagian kerja yang rumit dalam struktur hierarki sosial. Secara harfiah, peradaban berasal dari kata adab yang berarti akhlak. Kesopanan budi pekerti.
Terminologi
Peradaban sering digunakan sebagai istilah lain "kebudayaan" di kalangan akademis.[2] Dalam pengertian umum, peradaban adalah istilah deskriptif yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Hal ini karena peradaban awal terbentuk ketika orang mulai berkumpul di pemukiman perkotaan di berbagai belahan dunia. Peradaban dapat dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial serta keragaman kegiatan ekonomi dan budaya.[3]
Awalnya, para antropolog dan ahli lainnya menggunakan kata "peradaban" dan "masyarakat beradab" untuk membedakan masyarakat yang mereka anggap lebih unggul secara budaya dengan kelompok masyarakat lain yang dianggap inferior secara budaya (disebut juga "liar" atau "barbar"). Penggunaan istilah "peradaban" secara etnosentris memunculkan anggapan bahwa masyarakat di sebuah peradaban memiliki moral yang baik dan budaya yang maju, sementara masyarakat lain memiliki moral yang buruk dan terbelakang. Sejarah penggunaan istilah ini menjadikan definisi peradaban terus berubah.[3]
Sejarah
Konsep "peradaban" bersifat modern. Di Era Penemuan Eropa, digunakan kata "modern" sebagai pembanding antara masyarakat yang tinggal di sebuah negara dengan yang tinggal di desa-desa atau perkampungan suku. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan masyarakat dari suatu masa ke masa hingga menjadi sebuah peradaban.[4]
Kriteria
Dibandingkan dengan masyarakat lain, peradaban memiliki struktur politik yang lebih kompleks berupa negara.[5] Masyarakat negara lebih terbagi ke dalam kelas-kelas sosial daripada masyarakat lain. Terdapat perbedaan peran yang besar di antara kelas-kelas sosial tersebut.[6]Kelas penguasa, biasanya berada di kota-kota, memiliki kendali atas surplus dan menjalankan kemauannya melalui tindakan pemerintah atau birokrasi. Morton Fried, seorang ahli teori konflik dan Elman Service, seorang ahli teori integrasi, membagi kebudayaan manusia berdasarkan sistem politik dan sosial. Klasifikasi ini terdiri dari empat kategori.[7]
Masyarakat hortikultura/pastoral yang biasanya memiliki dua kelas sosial berupa pemimpin dan rakyat jelata.
Masyarakat atau chiefdom yang memiliki beberapa kelas sosial yang diwariskan: raja, bangsawan, orang merdeka, dan budak.
Peradaban, masyarakat dengan strata sosial yang rumit dan pemerintahan yang teratur.
Gordon Childe mengidentifikasi sepuluh skala peradaban diukur dari perkembangannya dari barbarisme pranegara (mengikuti Lewis Henry Morgan[8] dan Friedrich Engels).[9] Skala ini kemudian banyak dibahas oleh arkeolog dan antropolog. Richard Mc Adams mengidentifikasi beberapa kriteria peradaban lainnya[10] berupa masyarakat dengan stratifikasi kelas,[11] hierarki politik, administrasi, divisi teritorial, pemerintahan independen, dan spesialisasi tenaga kerja dan kerajinan tangan. Dalam arkeologi Rusia, terdapat kriteria serupa. Misalnya, menurut Vadim Masson, kriteria peradaban adalah adanya atribut: kota, arsitektur monumental, dan bahasa tertulis.[10]
Terdapat korelasi antara stratifikasi masyarakat dengan pertanian. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa hanya dua dari 58 masyarakat dengan stratifikasi sosial rumit yang pertaniannya tidak berkembang. Kemudian, hampir semua kelompok masyarakat tersebut terlibat perdagangan dan memiliki ahli metalurgi atau pandai besi. Pengerjaan logam merupakan salah satu kriteria masyarakat yang maju.[10]
Konsep peradaban telah diperdebatkan oleh para sejarawan selama beberapa dekade. Pada akhir abad ke-20, sejarawan mulai mengkritik para ahli erosentris yang menentukan apa yang disebut sebagai peradaban. Di antaranya adalah Edward Farmer dan Syed Farid Alatas. Farmer berpendapat bahwa Asia tidak sama dengan Eropa. Tidak ada tradisi, bahasa, agama, atau budaya pemersatu di Asia. Dia memberikan contoh eurosentrisme dalam dunia akademik dengan mengutip buku teks populer oleh RR Palmer dan Joel Colton berjudul A History of the Modern World "Sejarah Dunia Modern" yang sebenarnya hanya menggambarkan sejarah peradaban Eropa.[15] Syed Farid Alatas berpendapat bahwa perubahan perlu dilakukan dalam sistem pendidikan untuk mengungkap kontribusi positif banyak peradaban lain terhadap Eropa modern seperti dari peradaban India, Tiongkok, dan Islam.[16] Dalam sistem pendidikan saat ini, peradaban Eropa diagung-agungkan dibandingkan peradaban lain. Revolusi Ilmiah yang dimulai oleh Revolusi Kopernikan misalnya dihubungkan dengan nama-nama Galileo, Kepler, Descartes, Newton dll. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa hanya peradaban Eropa yang berkontribusi pada kemajuan global. Arun Bala berpendapat bahwa sebenarnya banyak penemuan ilmiah yang merupakan gabungan dari berbagai penemuan yang dibuat oleh banyak peradaban, bukan hanya satu peradaban saja.[17]
^"Chronology". Digital Egypt for Universities. University College London. 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 March 2008.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abSociety, National Geographic (4 Maret 2020). "Civilizations". National Geographic Society (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 16 September 2020.
^Carneiro (1970). "Explicit theories of the origin of the state are relatively modern [...] the age of exploration, by making Europeans aware that many peoples throughout the world lived, not in states, but in independent villages or tribes, made the state seem less natural, and thus more in need of explanation."
^Grinin (2004), hlm. 132, "Some of these analogues turn out to be incapable to get transformed into states at all. Other systems of this kind do become states – but when reaching quite a high level of development and complexity that is fairly comparable with those of many state societies. Therefore, it is important to accept the fact that the societies that preceded the formation of the state historically strongly differ among themselves in size and complexity. This means that in different societies the transition to the state started not from the same but from different levels of sociocultural and political complexity."
^Alatas (2002), hlm. 767, "The purpose behind such changes to the curriculum lies in the need to educate people about the multicultural origins of modern civilization, about the contributions of Muslims, Indians and Chinese to modern Europe, about the positive aspects of all these civilizations, and about the common values and problems that humanity shares."
Grinin, Leonid E. (Ed); et al. (2004). The Early State and its Alternatives and Analogues (dalam bahasa Inggris). Volgograd: 'Uchitel' Publishing House. ISBN5-7057-0547-6.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Penggunaan et al. yang eksplisit (link) Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link)