Allah (Kristen)
Allah menurut sebagian Kekristenan adalah Wujud Mulia Raya Mahakekal yang mencipta dan memelihara segala sesuatu.[1][2][3][4] Umat Kristen percaya bahwa Allah itu transenden (sepenuhnya lepas dan terpisah dari jagat bendawi) sekaligus imanen (melibatkan diri di dalam jagat bendawi).[5][6] Ajaran-ajaran Kristen tentang imanensi Allah, keterlibatan Allah, dan cinta kasih Allah kepada umat manusia memungkiri keyakinan akan kesehakikatan Allah dengan jagat ciptaan-Nya,[7] tetapi meyakini bahwa hakikat keilahian Allah manunggal dengan kodrat kemanusiaan di dalam pribadi Yesus Kristus melalui peristiwa yang disebut "inkarnasi". Fikrah Kristen purba tentang Allah terjabarkan di dalam surat-surat Paulus maupun di dalam syahadat-syahadat Kristen,[4][8][9] yang menandaskan kemahaesaan Allah serta keilahian Yesus.[a][2][11][12][13] Meskipun beberapa sekte Kristen Purba, misalnya kaum Ebioni, golongan sempalan Kristen Yahudi, menggugat apoteosis Yesus,[14] konsep bahwa Yesus itu satu dengan Allah diterima umat Kristen dari bangsa-bangsa non-Yahudi yang lebih banyak jumlahnya.[15] Inilah titik anjak perbedaan pandangan umat Kristen dari bangsa-bangsa non-Yahudi tentang Allah dari ajaran-ajaran Yahudi pada masa itu.[12] Wacana teologis seputar atribut-atribut atau sifat-sifat hakiki Allah sudah mencuat semenjak awal sejarah Kekristenan. Pada abad ke-2, Ireneus mengemukakan di dalam risalahnya bahwa "kemahabesaran Allah tidak kekurangan apa-apa, malah mewadahi segala-galanya".[16] Pada abad ke-8, Yohanes dari Damsyik menjabarkan delapan belas sifat hakiki Allah yang berterima luas sampai sekarang.[17] Seiring bergulirnya waktu, para teolog Kristen menghasilkan daftar-daftar sifat hakiki Allah yang sistematis. Ada yang mengacu kepada pernyataan-pernyataan di dalam Alkitab (misalnya doa Bapa Kami yang menyatakan bahwa Sang Bapa berada di surga), dan ada pula yang berlandaskan penalaran teologis.[18][19] Kerajaan Allah adalah frasa yang menonjol di dalam injil-injil sinoptis, dan kendati hampir semua sarjana sepakat bahwa frasa tersebut merupakan unsur utama dari ajaran-ajaran Yesus, tidak banyak mufakat yang tercapai di kalangan sarjana sehubungan dengan tafsir yang benar-benar tepat dari frasa tersebut.[20][21] Artikel ini mengutamakan pembahasan tentang Allah dari sudut pandang Kekristenan versi Konsili Nikea. Meskipun tidak memuat doktrin resmi mengenai Tritunggal seperti Syahadat Nikea, Kitab Suci Perjanjian Baru "berulang kali berbicara tentang Bapa, Putra, dan Roh Kudus... dengan cara yang mengarahkan orang menuju pemahaman tentang Allah yang Tritunggal." Tritunggal bukanlah triteisme, karena tidak menyiratkan keberadaan tiga ilah terpisah.[22] Sekitar tahun 200, Tertulianus merumuskan salah satu versi doktrin Tritunggal yang meneguhkan keilahian Yesus secara gamblang dan nyaris separipurna doktrin Tritunggal definitif yang dirumuskan Konsili Ekumene tahun 381.[23][24] Secara ringkas, boleh dikata doktrin Tritunggal adalah ajaran bahwa "Allah Yang Mahaesa itu wujud di dalam Tiga Pribadi Yang Sehakikat, yakni Pribadi Allah Bapa, Pribadi Allah Putra, dan Pribadi Allah Roh Kudus."[25][26] Para penganut doktrin Tritunggal, yang merupakan golongan mayoritas di dalam Kekristenan, menjunjung tinggi doktrin ini sebagai inti sari iman mereka,[27][28] sementara denominasi-denominasi yang memungkiri doktrin Tritunggal memaknai Bapa, Putra, dan Roh Kudus dengan berbagai macam cara.[29] Pengantar: istilah "Allah"Umat Kristen di Indonesia dan Malaysia menggunakan kata "Allah" sebagai terjemahan kata bahasa Ibrani Elohim (אֱלֹהִים, elohím) dan kata-kata serupa di Perjanjian Lama serta kata bahasa Yunani Theos (θεός, theós) dan kata-kata serupa di Perjanjian Baru pada Alkitab-Alkitab terjemahan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia (keduanya merupakan bentuk baku dari bahasa Melayu dan bahasa resmi di negara terkait), terutama dalam Alkitab Terjemahan Baru yang dipakai oleh Gereja-Gereja denominasi Kristen arus utama (termasuk Gereja Katolik) di Indonesia. Pelafalannya juga menggunakan pelafalan [ˈʔalah] (seperti mengucapkan "alah") alih-alih pelafalan [ʔɑɫːɑːh]. Penggunaan kata "Allah" dapat ditelusuri keberadaannya sejak penggunaannya pada zaman pra-Islam oleh bangsa Arab.[30] Umat berbagai agama samawi yang menuturkan bahasa Arab sama-sama menggunakan kata "Allah" sebagai sebutan bagi Sang Sembahan menurut keyakinan masing-masing.[31] Kata "Allah" secara khusus digunakan umat Islam (Arab maupun non-Arab) dan umat Kristen Arab,[32] tetapi juga digunakan oleh umat Sabi'ah, umat Babiyah, umat Baha'i, umat Yahudi Sefardi, umat Kristen Malta, dan umat Kristen Indonesia.[31][33][34][35] Penggunaan nama "Allah" oleh umat Kristen dan umat Sikh di Semenanjung Malaka telah menyulut kontroversi hukum dan politik.[36][37][38][39] Sejarah penggunaan kata "Allah" di tengah kalangan umat Kristen Indonesia dapat ditelusuri jauh pada waktu masuknya Kekristenan di Nusantara, terutama pada penggunaan kata tersebut oleh Fransiskus Xaverius saat menerjemahkan nas-nas Alkitab ke dalam bahasa Melayu pada abad ke-16.[40][41] Di dalam kamus bahasa Belanda–Melayu pertama yang disusun Albert Cornelius Ruyl, Justus Heurnius, dan Caspar Wiltens pada tahun 1650, kata "Allah" dicantumkan sebagai padanan kata Belanda Godt.[42] Latar belakangSama seperti umat Yahudi dan Islam, umat Kristen mengaitkan diri dengan Abraham, bapa leluhur yang kepadanya Allah menyatakan diri. Abraham diyakini sebagai orang pertama yang percaya akan kemahaesaan Allah dan menjalin hubungan ideal dengan Allah. Agama-agama Abrahamik meyakini bahwa Allah berinteraksi dengan keturunan Abraham selama beribu-ribu tahun. Perjanjian yang diikat Allah dengan keturunan Abraham termaktub di dalam Alkitab Ibrani, yang dikenal umat Kristen sebagai Kitab Suci Perjanjian Lama.[43] Di dalam tafsir tradisional Kristen, Allah senantiasa hanya dirujuk dengan kata sandang maskulin.[44] Perkembangan teologi tentang AllahSelayang pandangPandangan-pandangan Kristen purba mengenai Allah (sebelum injil-injil ditulis) tercermin di dalam pernyataan Rasul Paulus di dalam suratnya yang pertama kepada jemaat Kristen di Korintus (1 Korintus 8:5–6), yang diperkirakan ditulis dalam rentang waktu antara tahun 53 sampai tahun 54, kira-kira dua puluh tahun sesudah Yesus disalibkan:[12]
Selain menandaskan kemahaesaan Allah, pernyataan Rasul Paulus tersebut (kemungkinan besar berlandaskan pernyataan-pernyataan iman Kristen yang sudah terumuskan sebelum Paulus masuk Kristen) juga mengandung unsur-unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Paulus membedakan akidah Kristen dari akidah Yahudi pada zamannya dengan menyerangkaikan penyebutan Yesus dengan penyebutan Allah Bapa, maupun dengan menyematkan gelar ilahi "Tuhan" kepada Yesus, dan menyebutnya "Kristus".[4][9][12] Di dalam khotbahnya di hadapan sidang majelis Areopagus, sebagaimana diriwayatkan di dalam Kisah Para Rasul (Kisah Para Rasul 17:24–27), Paulus kian mempertegas keistimewaan pemahaman Kristen purba sekaligus menyelami hubungan Allah dengan umat Kristen:[45]
Surat-surat Paulus juga berulang kali menyebut-nyebut Roh Kudus. Tema "Allah yang telah memberikan juga Roh-Nya yang kudus kepada kamu" (1 Tesalonika 4:8) terus-menerus mengemuka di dalam surat-suratnya.[46] Di dalam Injil Yohanes (Yohanes 14:26) Yesus juga berbicara tentang "Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku".[47] Menjelang akhir abad pertama tarikh Masehi, Klemens dari Roma berulang kali menyebut-nyebut "Bapa, Putra, dan Roh Kudus", dan menghubungkan Sang Bapa dengan karya penciptaan di dalam imbauannya kepada umat Kristen di Korintus (1 Klemens 19.2) supaya "hendaklah pandangan kita tunak tertuju kepada Allah, khalik sarwa sekalian alam".[48] Pada pertengahan abad ke-2, di dalam risalah Melawan Bidat-Bidat (Buku 4, bab 5), Ireneus menegaskan bahwa Sang Mahapencipta adalah "satu-satunya Allah" dan "khalik langit dan bumi".[48] Semua pandangan tersebut sudah lama mengemuka sebelum Tertulianus menjabarkan konsep Tritunggal secara resmi di dalam karya tulisnya pada abad ke-3.[48] Pada umumnya rentang waktu akhir abad ke-2 sampai awal abad ke-4 (kira-kira dari tahun 180 sampai 313) disebut "zaman Gereja Raya" atau "zaman Pranikea." Pada rentang waktu inilah teologi Kristen berkembang pesat dan sejumlah ajaran Kristen dibakukan.[49] Semenjak abad ke-2, syahadat-syahadat Gereja Barat diawali dengan menandaskan kepercayaan akan "Allah Bapa Yang Mahakuasa", yakni "Allah dalam kemahaberdayaan-Nya selaku Bapa dan Khalik sarwa sekalian alam".[50] Penandasan semacam ini tidaklah menafikan kepercayaan bahwa "Bapa sarwa sekalian alam Yang Mahakekal itu juga adalah Bapa Yesus Kristus" maupun kepercayaan bahwa Allah "berkenan mengangkat orang beriman menjadi anak-Nya oleh kasih karunia".[50] Di lain pihak, syahadat-syahadat Gereja Timur diawali dengan menandaskan kepercayaan akan "Allah Yang Mahaesa", dan hampir selalu diperjelas dengan tambahan kalimat "Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu yang kasatmata maupun yang tak kasatmata" atau kalimat lain yang senada.[50] Agustinus dari Hipo, Tomas Aquinas, dan banyak tokoh Kristen lainnya menyifatkan Allah dengan istilah Latin "ipsum esse", yang kurang lebih berarti "keberadaan itu sendiri".[51][52] Lantaran bersifat swaada, Allah Kristen bukanlah "suatu keberadaan" melainkan "hakikat keberadaan itu sendiri", dan dapat dijelaskan dengan kalimat-kalimat seperti "mengada tanpa bergantung kepada apa-apa di luar diri sendiri" atau "mengada tanpa terikat prasyarat yang wajib dipenuhi segala sesuatu untuk dapat mengada". Seiring bergulirnya waktu, para teolog dan filsuf menggagas pemahaman-pemahaman yang jitu tentang sifat-sifat hakiki Allah dan mulai menyusun daftar-daftar sistematis yang merangkum sifat-sifat tersebut. Isinya berbeda-beda, tetapi pada dasarnya sifat-sifat hakiki Allah dipilah-pilah menjadi menjadi dua kelompok, yakni kelompok sifat hakiki berdasarkan pengingkaran (Allah tidak terpengaruh) dan kelompok sifat hakiki berdasarkan persangatan (Allah Mahabaik).[19] Menurut Ian Ramsey, ada tiga kelompok sifat hakiki Allah, dan sifat-sifat hakiki seperti mahasahaja dan mahasempurna memiliki dinamika logis yang berbeda dari sifat-sifat hakiki semacam mahabaik, karena ada bentuk-bentuk nisbi dari sifat-sifat hakiki semacam mahabaik (berpembanding) tetapi tidak demikian halnya dengan sifat-sifat hakiki semacam mahasempurna (tak berpembanding).[53] Sepanjang perkembangan fikrah Kristen tentang Allah, Alkitab "telah menjadi pengaruh yang dominan, baik pada teorinya maupun pada kenyataannya" di Dunia Barat.[54] NamaDi dalam teologi Kristen, nama Allah senantiasa mengandung makna dan signifikansi yang jauh lebih dalam daripada sekadar sebuah label atau sebutan belaka. Nama Allah bukan rekaan manusia melainkan diwahyukan Allah kepada manusia.[55][56] Memuliakan nama Allah merupakan salah satu perintah Dasatitah. Menurut ajaran-ajaran Kristen, perintah ini bukanlah sekadar peringatan agar menjauhi tindakan menyebut nama Allah secara sembarangan, melainkan juga suatu amanat untuk memuliakan nama Allah lewat amal saleh dan puji-pujian.[57] Amanat ini tercerminkan di dalam kalimat permohonan pertama kepada Allah Bapa di dalam Doa Bapa Kami, yaitu "Dikuduskanlah Nama-Mu".[58] Menurut para Bapa Gereja purba, nama Allah adalah representasi segenap tatanan "kebenaran ilahi" yang diwahyukan kepada umat beriman "yang percaya kepada Nama-Nya" (Yohanes 1:12) atau yang "berjalan demi nama Tuhan Allah kita" (Mikha 4:5).[59][60] Menurut Kitab Wahyu (Wahyu 3:12), orang-orang yang pada dirinya tertera nama Allah adalah orang-orang yang sudah ditentukan menjadi ahli surga. Injil Yohanes (Yohanes 17:6) menghadirkan ajaran-ajaran Yesus sebagai manifestasi nama Allah kepada murid-murid Sang Mesias.[59] Injil Yohanes (Yohanes 12:27) menyajikan pengorbanan Yesus Sang Anak Domba Allah maupun keselamatan yang dianugerahkan melalui pengorbanan tersebut sebagai pemuliaan nama Allah, dengan meriwayatkan suara dari surga yang menanggapi permohonan Yesus ("Bapa, muliakanlah nama-Mu") dengan perkataan "Aku telah memuliakan-Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi", mengacu kepada pembaptisan dan penyaliban Yesus.[61] Nama Allah biasanya ditulis dalam bentuk tunggal (misalnya Keluaran 20:7 dan Mazmur 8:1), lazimnya dengan istilah-istilah dengan makna yang sangat umum, ketimbang dengan sebutan khusus bagi Allah.[62] Meskipun demikian, penyebutan-penyebutan nama Allah secara umum dapat saja menyimpang ke bentuk-bentuk khusus yang mengungkap sifat-sifat hakiki Allah.[62] Kitab Suci memuat banyak sebutan untuk nama Allah, tetapi nama-nama utama di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama adalah Allah Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, El Syadai, dan Yahweh. Teos (θεός), Kirios (κύριος), dan Pater (πατήρ) adalah nama-nama asasi Allah di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.[62] Sifat hakiki
Wacana teologis seputar sifat-sifat hakiki Allah sudah mengemuka sedari awal sejarah Kekristenan. Pada abad ke-2, Ireneus mengangkat isu ini dan mengetengahkan beberapa sifat hakiki Allah. Sebagai contoh, di dalam karya tulisnya, Melawan Bidat-Bidat (Buku IV, Bab 19), Ireneus mengemukakan bahwa "kemahabesaran-Nya tidak kekurangan apa-apa, malah mewadahi segala-galanya".[16] Ireneus menyenaraikan sifat-sifat hakiki Allah berdasarkan pengetahuan yang ia gali dari tiga sumber, yakni Kitab Suci, mistisisme yang berkembang pada zamannya, dan amalan-amalan ibadat yang umum dijalankan umat Kristen.[16] Sekarang ini, beberapa sifat hakiki yang dikaitkan dengan Allah masih tetap didasarkan atas nas-nas Alkitab, misalnya nas Doa Bapa Kami yang menyatakan bahwa Bapa berada di surga. Sifat-sifat hakiki selebihnya disarikan melalui penalaran teologis.[18] Pada abad ke-8, Yohanes dari Damsyik mengetengahkan delapan belas sifat hakiki Allah di dalam karya tulisnya, Paparan Tepat Iman Ortodoks (Buku 1, Bab 8).[17] Sifat-sifat hakiki tersebut dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan waktu (kekal), ruang (tidak terbatas), materi, dan kualitas. Senarai sifat hakiki Allah yang disusun Yohanes dari Damsyik masih dihargai sampai sekarang. Beberapa di antaranya diangkat kembali dengan menggunakan istilah-istilah lain di dalam berbagai daftar sifat hakiki Allah yang disusun pada zaman modern.[17] Pada abad ke-13, Tomas Aquinas mengemukakan delapan sifat hakiki Allah, yakni mahasahaja, mahasempurna, mahabaik, mahatakterpahami, mahahadir, mahatakberubah, mahakekal, dan mahaesa.[17] Salah satu di antara daftar-daftar sifat hakiki Allah lainnya adalah daftar tahun 1251 keluaran Konsili Lateran IV yang diadopsi Konsili Vatikan I tahun 1870 dan Katekismus Kecil Westminster pada abad ke-17.[17] Dua sifat hakiki yang memosisikan Allah di atas dunia tetapi sekaligus mengakui keterlibatan-Nya di dalam dunia adalah transenden dan imanen.[5][6] Transenden berarti Allah itu Mahakekal dan Mahaananta, tidak dikendalikan jagat ciptaan dan mengatasi peristiwa-peristiwa insani. Imanen berarti Allah itu terlibat di dalam dunia. Ajaran-ajaran Kristen sudah lama meyakini bahwa Allah memperhatikan hal-ihwal umat manusia.[5][6] Meskipun demikian, berbeda dari agama-agama panteistis, keberadaan Allah menurut agama Kristen tidak berasal dari hakikat jagat ciptaan.[7] Sejalan dengan kebiasaan yang sudah mentradisi, sejumlah teolog semisal Louis Berkhof membedakan sifat-sifat hakiki yang terkomunikan (sifat-sifat hakiki yang juga dapat dimiliki manusia) dari sifat-sifat hakiki yang tak terkomunikan (sifat-sifat hakiki yang hanya dimiliki Allah).[63] Meskipun demikian, teolog-teolog lain semisal Donald Macleod beranggapan bahwa segala bentuk penggolongan sifat-sifat hakiki Allah hanyalah reka-rekaan manusia belaka dan tidak berdasar.[64] Para teolog pada umumnya sepakat bahwa menganggap hakikat Allah ada dengan sendirinya dan lepas dari sifat-sifat hakiki-Nya, atau sifat-sifat hakiki adalah karakterisitk-karakteristik tambahan pada keberadaan Allah adalah pemikiran yang keliru. Sifat-sifat hakiki Allah adalah kualitas-kualitas hakiki yang ada secara permanen di dalam Keberadaan Allah dan ada bersama-sama dengan Allah. Perubahan dalam bentuk apa pun pada sifat hakiki Allah hanya dapat diartikan sebagai perubahan di dalam keberadaan hakiki Allah.[65] Menurut Hick, penyusunan daftar sifat hakiki Allah harus bertitik tolak dari "swaada" (aseitas), yang mengisyaratkan bahwa Allah itu Mahakekal dan keberadaan-Nya tidak bergantung kepada syarat apa pun. Menurut Hick, sifat hakiki berikutnya adalah "mahapencipta", karena Allah adalah sumber segala sesuatu yang menjadi unsur pembentuk makhluk ciptaan-Nya (creatio ex nihilo), dan adalah pemelihara segala sesuatu yang sudah dijadikan-Nya. Sifat-sifat hakiki selebihnya adalah "berpribadi", "maharahim", "mahabaik", dan "mahakudus".[66] Berkhof juga bertitik tolak dari "swaada", tetapi menurut Berkhof, sifat-sifat hakiki berikutnya adalah "mahatakberubah", "mahaananta" (mengisyaratkan bahwa Allah itu "Mahasempurna", "Mahakekal", dan "Mahahadir"), dan "mahaesa". Berkhof selanjutnya mengulik sifat-sifat hakiki intelektual, yakni "mahatahu", "mahabijaksana", serta "mahabenar", maupun sifat-sifat hakiki moral, yakni "mahabaik" (sudah mencakup "mahapengasih", "mahapemurah", "maharahim", dan "mahasabar"), "mahakudus", serta "mahasadik", dan akhirnya menelaah sifat hakiki "mahaberdaulat".[65] Gregorius dari Nisa adalah salah seorang teolog pertama yang mengemukakan pandangannya (berseberangan dengan pandangan Origenes) bahwa Allah itu Mahaananta. Dalil utama untuk kemahaanantaan Allah ia jabarkan di dalam karya tulisnya, Melawan Eunomius, bahwasanya kebaikan Allah itu tidak terhingga, dan karena kebaikan Allah itu bersifat hakiki, maka Allah juga tidak terhingga.[67] PenggambaranUmat Kristen purba percaya bahwa ayat-ayat Alkitab yang menegaskan ketakterlihatan Allah[b] tidak semata-mata menyifatkan diri Allah, tetapi juga merupakan pengharaman terhadap segala macam usaha untuk membuat gambar Allah.[69] Meskipun demikian, lambang Tangan Allah kemudian hari berulang kali ditemukan di sinagoge Dura Europos, satu-satunya sinagoge kuno berhiaskan lukisan dari abad ke-3 yang masih lestari. Mungkin sekali penggambaran Tangan Allah dalam seni rupa Kristen purba diserap dari seni rupa Yahudi. Lambang ini menjadi jamak dijumpai dalam seni rupa Abad Kuno Akhir, baik di Dunia Timur maupun Dunia Barat, dan terus menjadi cara utama untuk melambangkan tindakan atau perkenanan Allah Bapa di Dunia Barat sampai akhir kurun waktu perkembangan seni rupa Romanik. Di dalam penggambaran peristiwa-peristiwa tertentu, misalnya peristiwa pembaptisan Kristus, yang mengindikasikan representasi Allah Bapa, motif Tangan Allah dipakai, dengan tingkat kebebasan yang kian meningkat sejak zaman Karoling sampai akhir zaman Romanik. Sesudah ditemukannya sinagoga Dura Europos yang diperkirakan dibangun pada abad ke-3, motif ini sekarang tampaknya dipinjam dari seni rupa Yahudi, dan ditemukan di dalam seni rupa Kristen nyaris sejak permulaan sejarahnya.[70] Pemakaian citra-citra religius secara umum terus meningkat sampai penghujung abad ke-7. Ketika naik takhta pada tahun 695, Kaisar Yustinianus II menerakan gambar Kristus pada sisi kepala uang emas keluarannya, yang menyebabkan Dunia Islam berhenti memakai uang-uang logam keluaran Romawi Timur.[71] Meskipun demikian, peningkatan pembuatan citra-citra religius tidak mencakup pembuatan gambar Allah Bapa. Sebagai contoh, kendati tidak secara khusus mengecam gambar-gambar Allah Bapa, kanon 82 Konsili Trullo tahun 692 menyiratkan kecenderungan untuk mengutamakan ikon-ikon Kristus ketimbang bayang-bayang dan sosok-sosok Perjanjian Lama.[72] Pada permulaan abad ke-8, muncul usaha untuk menekan dan menghancurkan citra-citra religius seiring bermulanya masa ikonoklasme Romawi Timur (secara harfiah, ikonoklasme berarti "perusakan citra" atau "perang melawan citra"). Kaisar Leo III (717–741) menerbitkan maklumat Kaisar Romawi Timur yang melarang pemanfaatan ikon, diduga lantaran menafsirkan kekalahan angkatan bersenjata Romawi Timur di medan perang sebagai ganjaran terhadap amalan keliru menghormati ikon.[73] Maklumat tersebut (diterbitkan tanpa meminta pertimbangan Gereja) melarang penghormatan terhadap citra-citra religius, tetapi tidak diberlakukan untuk karya-karya seni rupa di bidang lain, antara lain citra kaisar, dan lambang-lambang religius semisal salib.[74] Dalil teologis menentang ikon mulai dimunculkan pihak ikonoklas. Menurut mereka, ikon tidak dapat merepresentasikan kodrat ilahi Yesus serentak dengan kodrat manusiawinya. Lingkungan semacam ini tidak memberi peluang bagi tindakan membuat gambar Allah Bapa secara terang-terangan, dan gambar-gambar semacam itu baru mulai muncul dua abad kemudian. Konsili Nikea II tahun 787 secara efektif menyudahi kurun waktu pertama ikonoklasme Romawi Timur dan memulihkan penghormatan terhadap ikon dan citra-citra suci pada umumnya,[75] tetapi bukan berarti penggambaran Allah Bapa langsung mendadak muncul dalam skala besar. Tokoh-tokoh pendukung ikon pada abad ke-8, misalnya Santo Yohanes dari Damsyik, membedakan citra-citra Allah Bapa dari citra-citra Kristus. Di dalam risalahnya, Ihwal Citra-Citra Suci, Yohanes dari Damsyik mengemukakan bahwa "pada masa lampau, Allah yang tidak memiliki bentuk atau jasad itu tidak pernah dapat digambarkan, tetapi sekarang, saat Allah terlihat dalam wujud manusia dan bercakap-cakap dengan manusia, saya membuat gambar Allah yang saya lihat".[76] Gagasan yang tersirat di dalam pernyataan ini adalah bahwasanya lantaran Allah Bapa dan Allah Roh Kudus tidak pernah menjadi manusia, kasatmata, dan dapat disentuh, maka citra dan ikonnya tidak dapat dibuat. Jadi, kenyataan yang ada pada Tritunggal secara keseluruhan tetap demikian adanya pada Sang Bapa dan Sang Roh Kudus, tetapi tidak pada Sang Sabda. Yohanes dari Damsyik mengemukakan di dalam risalahnya sebagai berikut:[77]
Sekitar tahun 790, Karel Agung memerintahkan penulisan empat jilid buku, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Libri Carolini (Kitab-Kitab Karel), untuk membantah gagasan yang keliru dipahami sidang majelis istananya sebagai maklumat-maklumat bersifat anti-ikon yang dikeluarkan Konsili Nikea II di Bizantium. Kendati tidak begitu dikenal pada Abad Pertengahan, buku-buku tersebut menguraikan unsur-unsur pokok dari pendirian teologis Katolik mengenai citra-citra suci. Bagi Gereja Barat, citra-citra hanyalah benda buatan seniman yang dimanfaatkan untuk menggugah indra umat beriman, dan sepantasnya dihormati lantaran subjek yang ditampilkannya, bukan lantaran benda itu sendiri pantas dihormati. Konsili Konstantinopel tahun 869 (dianggap ekumenis hanya oleh Gereja Barat) mengukuhkan keputusan-keputusan Konsili Nikea II dan melempangkan jalan bagi pemberantasan sisa-sisa gerakan ikonoklasme. Pada khususnya, kanon ketiga konsili ini mewajibkan citra Kristus dihormati sama seperti kitab Injil:[78]
Konsili Konstantinopel tahun 869 tidak mengeluarkan maklumat yang langsung menyentuh persoalan seputar citra-citra Allah Bapa. Konsili ini menyusun daftar ikon yang boleh dibuat, tetapi lambang-lambang Allah Bapa tidak termasuk di dalamnya.[79] Meskipun demikian, keberterimaan umum terhadap ikon dan citra-citra suci mulai menciptakan suatu atmosfer yang memungkinkan pembuatan lambang-lambang Allah Bapa. Sebelum abad ke-10, tidak ada upaya menggunakan sosok manusia untuk melambangkan Allah Bapa di dalam seni rupa Dunia Barat.[69] Meskipun demikian, seni rupa Dunia Barat pada akhirnya membutuhkan satu dan lain cara untuk mengilustrasikan kehadiran Allah Bapa. Oleh karena itu, beberapa gaya artistik yang memanfaatkan sosok manusia untuk melambangkan Allah Bapa lama-kelamaan muncul secara bertahap sekitar abad ke-10. Alasan yang mendasari pemakaian sosok manusia adalah keyakinan bahwa Allah menciptakan jiwa manusia menurut citra-Nya sendiri (dan dengan demikian memungkinkan manusia jauh mengatasi satwa lain). Tampaknya ketika para seniman pertama kali berusaha menggambarkan Allah Bapa, rasa takut dan kagum menghalangi mereka untuk menggunakan sosok manusia yang utuh. Lazimnya cuma salah satu bagian tubuh yang ditampilkan pada gambar, biasanya tangan, atau kadang-kadang wajah, tetapi jarang sekali seluruh jasad manusia. Di dalam banyak gambar, sosok Allah Putra menggeser sosok Allah Bapa, sehingga hanya sebagian kecil dari sosok Allah Bapa yang digambarkan.[80] Pada abad ke-12, penggambaran sosok Allah Bapa mulai muncul di dalam naskah-naskah beriluminasi buatan Prancis dan seni kaca patri pada jendela-jendela gereja di Inggris. Sebagai media yang tidak banyak diakses masyarakat, naskah-naskah beriluminasi di Prancis kerap lebih berani dari segi ikonografinya. Mula-mula kepala atau sosok sedada Allah Bapa ditampilkan dalam semacam bingkai awan di bagian atas bidang gambar, yakni bagian yang dulu biasanya ditempati gambar Tangan Allah. Salah satu contoh penggambaran semacam ini adalah relief adegan pembaptisan Yesus pada bejana baptis di Liège yang dikerjakan perupa Renier de Huy pada tahun 1118. Citra tangan Allah juga ditampilkan pada relief adegan lain. Lambat laun sosok manusiawi yang melambangkan Alah Bapa ditampilkan sampai sepinggang, kemudian sebadan, biasanya dalam posisi duduk di atas singgasana, misalnya pada fresko yang dilukis perupa Giotto sekitar tahun 1305 di Padua.[81] Pada abad ke-14, naskah Alkitab Napoli menampilkan gambar Allah Bapa di dalam belukar yang bernyala-nyala. Pada abad ke-15, naskah Très Riches Heures du Duc de Berry menampilkan lumayan banyak lambang Allah Bapa, antara lain gambar sebadan penuh sosok pria yang sudah lanjut usia tetapi berperawakan tinggi dan gagah, tampak sedang berjalan-jalan di Taman Eden, yang menampilkan pakaian dan ciri-ciri usia yang cukup beragam. Daun-daun pintu "Gapura Firdaus" di gedung baptisterium Firenze yang mulai dikerjakan Lorenzo Ghiberti pada tahun 1425 menampilkan citra manusia sebadan penuh untuk melambangkan Allah Bapa. Buku Ibadat Harian Rohan dari sekitar tahun 1430 juga memuat gambar-gambar Allah Bapa berupa manusia sebadan penuh, yang pada saat itu sudah menjadi bentuk penggambaran yang baku, sementara citra Tangan Allah kian langka dijumpai. Pada kisaran waktu yang sama, karya-karya seni lain, misalnya lukisan hiasan altar bertema kejadian dunia karya perupa Hamburg, Meister Bertram, melanjutkan cara lama yang menggambarkan Kristus sebagai Logos pada adegan kejadian dunia. Pada abad ke-15, muncul kebiasaan, meskipun tidak bertahan lama, untuk menggambarkan ketiga-tiga Pribadi Tritunggal Mahakudus dengan menampilkan tiga sosok yang mirip atau sama persis dengan sosok yang lazim ditampilkan sebagai gambaran Kristus. Pada lukisan beraliran Venesia awal, Santa Maria Dimahkotai karya Giovanni d'Alemagna dan Antonio Vivarini (sekitar tahun 1443), Allah Bapa digambarkan dengan menggunakan lambang yang kemudian hari secara konsisten digunakan para seniman, yakni sosok seorang bapa leluhur yang terlihat baik hati sekaligus adikuasa, lengkap dengan rambut dan janggut yang putih memanjang, yakni gambaran hampir-fisis tetapi masih figuratif yang bersumber dari dan dibenarkan oleh uraian tentang Yang Lanjut Usianya.[82]
Pada lukisan Kabar Sukacita yang dikerjakan Benvenuto di Giovanni pada tahun 1470, Allah Bapa digambarkan berjubah merah dan berkopiah kardinal. Meskipun demikian, representasi simbolis Allah Bapa dan Roh Kudus dalam rupa "tangan dan burung merpati" terus bertahan, bahkan sampai akhir abad ke-15, misalnya di dalam lukisan Pembaptisan Kristus yang dikerjakan Verrocchio pada tahun 1472.[83] Di dalam lukisan-lukisan penyembahan Tritunggal Mahakudus dari zaman Renaisans, sosok Allah digambarkan dengan dua cara, baik dengan menonjolkan pribadi Allah Bapa maupun dengan menghadirkan ketiga-tiga pribadi Tritunggal Mahakudus. Penggambaran Tritunggal Mahakudus di dalam karya-karya seni Renaisans sangat sering menampilkan sosok laki-laki tua sebagai gambaran Allah Bapa, biasanya berjanggut panjang dan berwajah kebapaan, kadang-kadang dengan praba segitiga (melambangkan Tritunggal Mahakudus) atau mahkota paus di kepala, teristimewa di dalam lukisan Renaisans Utara. Di dalam lukisan-lukisan tersebut, sosok Allah Bapa digambarkan menggenggam bola dunia atau memegang buku (sebagai lambang kemahatahuan Allah sekaligus untuk menunjukkan bahwa pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat ilahi). Sosok Allah Bapa ditempatkan di belakang dan lebih tinggi daripada sosok Kristus yang tersalib di dalam ikonografi Takhta Kerahiman. Seekor burung merpati, lambang Roh Kudus, dapat pula digambarkan sedang melayang-layang di angkasa.[84] Berbagai macam orang dari berbagai lapisan masyarakat, misalnya raja-raja, paus-paus, maupun para martir dapat saja turut dihadirkan di dalam lukisan itu. Pada lukisan pietà Tritunggal, Allah Bapa kerap digambarkan sebagai sosok seorang pria yang mengenakan pakaian kebesaran dan mahkota paus, kedua belah tangannya menopang jasad Kristus yang sudah tak bernyawa. Keduanya tampak mengambang di angkasa, dikawal malaikat-malaikat pembawa alat-alat sengsara Kristus.[85] Pembuatan citra-citra Allah Bapa dan Tritunggal Mahakudus diserang umat Protestan maupun Katolik, golongan Yansenis dan Bayanis maupun para teolog yang lebih ortodoks. Serangan pihak-pihak lain terhadap citra-citra Katolik berdampak terhadap turunnya dukungan Gereja Katolik terhadap pembuatan citra-citra yang kurang utama, dan menguatkan dukungannya terhadap pembuatan citra-citra yang paling utama. Di Gereja Barat, tekanan untuk membatasi citraan religius membuahkan keputusan-keputusan paling berpengaruh yang diumumkan dalam sidang terakhir Konsili Trento tahun 1563. Keputusan-keputusan Konsili Trento mengukuhkan doktrin tradisional Katolik bahwa citra-citra hanya sekadar mewakili pribadi yang dicitrakan, dan bahwasanya penghormatan terhadap citra-citra sesungguhnya ditujukan kepada pribadi yang dicitrakan, bukan kepada citra itu sendiri.[86] Di bidang seni rupa Katolik selepas Konsili Trento, penggambaran artistik Allah Bapa tidak akan luput dari kontroversi, tetapi penggambaran-penggambaran Tritunggal yang kurang lazim sudah tentu dikecam keras. Pada tahun 1745, Paus Benediktus XIV secara eksplisit mendukung penggambaran Takhta Kerahiman, merujuk kepada "Yang Lanjut Usianya", tetapi Paus Pius VI merasa perlu menerbitkan bula pada tahun 1786 untuk mengecam keputusan sebuah sidang gereja di Italia untuk menyingkirkan semua citra Tritunggal dari gereja-gereja.[87] Gambaran Allah Bapa ditampilkan dalam beberapa adegan Kejadian yang dilukis Michelangelo pada langit-langit Kapel Sistina. Yang paling terkenal di antaranya adalah adegan Penciptaan Adam. Gambar telujuk Allah yang hampir bersentuhan dengan telunjuk Adam merukapan suatu ikon kemanusiaan, mengingatkan orang bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26)). Allah Bapa digambarkan sebagai sosok adikuasa yang mengambang di dalam awan pada lukisan Pengangkatan Sang Perawan karya Tiziano di Basilika Frari, Venesia, lukisan yang sudah lama dikagumi sebagai salah satu mahakarya seni rupa Renaisans Tinggi.[88] Gereja Gesù di Roma menyimpan sejumlah lukisan yang menampilkan sosok Allah Bapa dari abad ke-16. Pada beberapa lukisan tersebut, Tritunggal masih dilambangkan dengan sosok tiga malaikat, tetapi ada pula lukisan Giovanni Battista Fiammeri yang menggambarkan Allah Bapa sebagai seorang pria pengendara awan pada bagian atas bidang lukisan.[89] Di dalam beberapa lukisannya, semisal Penghakiman Terakhir, perupa Rubens menghadirkan sosok Allah Bapa dengan menggunakan citra yang kala itu sudah berterima luas, yakni citra ramanda berjanggut yang mengamati segala sesuatu dari kejauhan.[90] Kendati marak bermunculan di Italia, Spanyol, Jerman, dan Negeri Dataran Rendah, penggambaran sosok Allah Bapa dihindari di negeri-negeri Eropa selebihnya, bahkan pada abad ke-17. Pada tahun 1632, hampir semua anggota Majelis Bintang di Inggris (kecuali Uskup Agung York) mengutuk pemampangan gambar-gambar Tritunggal pada kaca-kaca jendela gereja, bahkan beberapa di antaranya menganggap tindakan tersebut sebagai pelanggaran hukum.[91] Belakangan pada abad ke-17, Sir Thomas Browne mengemukakan di dalam tulisannya bahwa ia menganggap penggambaran sosok Allah Bapa dalam rupa seorang pria tua sebagai "suatu tindakan berbahaya" yang dapat mengarahkan orang kepada simbolisme bangsa Mesir.[92] Pada tahun 1847, Charles Winston masih mencerca citra-citra ala "tren keroma-romaan" (istilah yang mengacu kepada umat Katolik) yang ia anggap sebaiknya dijauhi di Inggris.[93] Pada tahun 1667, di dalam bab 43 dari keputusannya, Sidang Raya Kebatrikan Moskwa secara khusus menetapkan larangan terhadap sejumlah penggambaran simbolis Allah Bapa dan Allah Roh Kudus. Larangan ini juga mengakibatkan banyak ikon lain dimasukkan ke dalam daftar ikon terlarang,[94][95] dan sangat berdampak terhadap penggambaran ala-Barat yang sudah merambah ikon-ikon Ortodoks. Sidang raya ini juga menandaskan bahwa pribadi Tritunggal yang disebut "Yang Lanjut Usianya" adalah Kristus selaku Logos, bukan Allah Bapa. Meskipun demikian, beberapa ikon yang menampilkan gambaran simbolis Allah Bapa dan Allah Roh Kudus masih terus dibuat di Rusia maupun di Yunani, Rumania, dan negara-negara Kristen Ortodoks lainnya. Kerajaan Allah dan eskatologiKedaulatan dan kerajaanPenyifatan hubungan Allah dengan manusia di dalam Kekristenan mencakup gagasan tentang "Kerajaan Allah". Gagasan ini sudah mengemuka di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, dan dapat dipandang sebagai suatu konsekuensi dari penciptaan dunia oleh Allah.[20][96] "Mazmur-Mazmur Raja" (Mazmur Mazmur 45 45), Mazmur 93 93, Mazmur 96 96, Mazmur 97 97, Mazmur 98 98, Mazmur 99 99) menyediakan suatu latar belakang bagi gagasan ini dengan maklumat "Tuhan adalah Sang Raja".[20] Meskipun demikian, di dalam agama Yahudi kemudian hari mengemuka suatu gagasan yang lebih bersifat "nasional" mengenai kedaulatan Allah sebagai raja. Dalam pandangan ini, Sang Mesias yang dijanjikan dapat dipandang sebagai tokoh pembebas sekaligus pendiri negara Israel yang baru.[97] Istilah "Kerajaan Allah" tidak muncul di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, meskipun frasa "kerajaan-Nya" dan "kerajaan-Mu" digunakan dalam beberapa kasus yang berkenaan dengan Allah.[98] Akan tetapi Kerajaan Allah (sama dengan "Kerajaan Surga" dalam Injil Matius) merupakan frasa yang menonjol dalam injil-injil sinoptik (muncul 75 kali), dan hampir semua sarjana sepakat bahwa frasa ini adalah unsur utama dari ajaran-ajaran Yesus.[20][21] Meskipun demikian, R. T. France menunjukkan bahwa kendati konsep "Kerajaan Allah" mengandung makna intuitif bagi umat Kristen awam, sukar sekali didapati kesepakatan di kalangan sarjana mengenai arti frasa tersebut di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.[21] Ada sarjana yang menganggapnya sebagai suatu cara hidup Kristen, ada yang menganggapnya sebagai suatu metode pewartaan injil sedunia, ada yang menganggapnya sebagai penemuan kembali karunia-karunia karismatik, dan ada pula yang menghubungkannya bukan dengan situasi kini melainkan dengan dunia yang akan datang.[21] R. T. France menegaskan bahwa frasa Kerajaan Allah kerap ditafsirkan dengan berbagai macam cara supaya bersesuaian dengan agenda teologis penafsirnya.[21] Akhir zamanTafsir-tafsir atas istilah "Kerajaan Allah" telah memunculkan serentet perdebatan eskatologis di kalangan sarjana. Beragam pandangan telah dikemukakan, tetapi belum ada mufakat yang berhasil dicapai.[99][100][101] Sejak zaman Agustinus sampai zaman Reformasi Protestan, kedatangan Kerajaan Allah sudah erat dikaitkan dengan pembentukan Gereja, tetapi pandangan semacam ini kemudian hari ditinggalkan, dan pada permulaan abad ke-20, tafsir apokaliptis Kerajaan Allah mulai kuat bertapak.[99][101][102] Menurut pandangan yang juga disebut "eskatologi konsisten" ini, Kerajaan Allah bukan bermula pada abad pertama melainkan merupakan suatu peristiwa apokaliptis di masa depan yang belum terwujud.[99] Pada pertengahan abad ke-20, eskatologi terealisasi, yang sebaliknya menganggap Kerajaan Allah tidak bersifat apokaliptis melainkan merupakan manifestasi dari kedaulatan ilahi atas dunia (direalisasikan oleh karya pelayanan Yesus) telah mendapatkan dukungan segolongan sarjana.[99] Menurut pandangan ini, Kerajaan Allah sudah terwujud sekarang.[100] Pendekatan tandingan eskatologi teresmikan kemudian hari dikemukakan sebagai tafsir "sudah dan belum".[99] Menurut pandangan ini, Kerajaan Allah sudah terwujud, tetapi baru akan tersingkap secara paripurna suatu hari kelak di masa depan.[100] Tafsir-tafsir yang tidak sehaluan ini telah melahirkan cukup banyak varian, karena berbagai sarjana menggagas model-model eskatologis baru yang meminjam unsur-unsur dari kedua tafsir tersebut.[99][100] PenghakimanNas Ibrani 12:23 menyifatkan Allah sebagai "Hakim seluruh bumi", dan pandangan bahwa seluruh umat manusia pada akhirnya akan "dihakimi" merupakan salah satu unsur pokok ajaran-ajaran Kristen.[103] Sejumlah nas Perjanjian Baru (misalnya Yohanes 5:22 dan Kisah Para Rasul 10:42) dan pernyataan-pernyataan syahadat yang terumuskan kemudian hari mengindikasikan bahwa kewenangan untuk menghakimi telah diserahkan kepada Yesus.[103][104] Yohanes 5:22 menyatakan bahwa "Bapa tidak menghakimi siapa pun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak".[103] Kisah Para Rasul 10:42 menyifatkan Yesus yang sudah bangkit sebagai pihak "yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati."[103] Peran Yesus dalam penghakiman Allah ditonjolkan di dalam syahadat-syahadat Kristen yang paling umum dipakai. Syahadat Nikea menyatakan bahwa Yesus "duduk di sebelah kanan Bapa, dan akan datang kembali dalam kemuliaan, untuk menghakimi orang yang hidup maupun yang mati, dan pemerintahannya tidak berkesudahan".[105] Syahadat Para Rasul memuat pengakuan serupa.[105] Sejumlah ayat Injil menyuarakan imbauan untuk mewaspadai bahaya dosa dan menganjurkan suatu jalan kebenaran yang harus dilalui supaya terhindar dari penghakiman Allah.[106] Sebagai contoh, Khotbah di Bukit di dalam Matius 5:22–26 mengimbau orang untuk menghindari dosa, dan Perumpaan tentang Pukat di dalam Matius 13:49) menyatakan bahwa pada akhir zaman malaikat-malaikat akan "memisahkan orang jahat dari orang benar, lalu mencampakkan orang jahat ke dalam dapur api".[106] Dengan demikian umat Kristen dapat mengenyam anugerah pengampunan yang meluputkan mereka dari penghakiman Allah dengan menuruti ajaran-ajaran Yesus dan melalui suatu hubungan pribadi dengannya.[106] TritunggalismeSejarah dan landasanPada awal sejarah Kekristenan, konsep keselamatan erat dikaitkan dengan laku menyeru "Bapa, Putra, dan Roh Kudus".[107][108] Sejak abad pertama, umat Kristen sudah menyeru Allah dengan nama "Bapa, Putra, dan Roh Kudus" di dalam doa, pembaptisan, komuni, eksorsisme, kidung madah, khotbah, syahadat, absolusi, dan pemberkatan.[107][108] Kenyataan ini tercermin di dalam kalimat "sebelum ada doktrin Tritunggal, umat Kristen sudah berdoa menyeru Tritunggal Mahakudus".[107] Istilah "Tritunggal" tidak muncul secara eksplisit di dalam Alkitab, tetapi golongan penganut Tritunggalisme yakin bahwa konsep Tritunggal yang baru dikembangkan kemudian hari sesungguhnya konsisten dengan ajaran-ajaran Alkitab.[27][28] Kitab Suci Perjanjian Baru memuat sejumlah pemakaian rumusan liturgis dan doksologis tiga-serangkai, misalnya nas 2 Korintus 1:21–22 yang menyatakan bahwa "Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi, memeteraikan tanda milik-Nya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita".[27][110] Ihwal Kristus menerima "kewenangan dan keilahian yang setara" dinyatakan di dalam nas Matius 28:18, bahwasanya "kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi", demikian pula di dalam nas Yohanes 3:35,Yohanes 13:3, dan Yohanes 17:1.[110] Ihwal Roh berasal "dari Allah" maupun "dari Kristus" dinyatakan dalam nas Galatia 4:6, Kisah Para Rasul 16:7, Yohanes 15:26, dan Roma 8:14–17.[110] Konsep umum Tritunggal terungkap di dalam karya-karya tulis Kristen purba sejak permulaan abad ke-2, mulai dari pandangan Ireneus yang dikemukakannya di dalam risalah Melawan Bidat-Bidat (Buku I Bab X) sebagai berikut:[107]
Sekitar tahun 213, di dalam risalah Melawan Prakseas (Bab 3) Tertulianus menyajikan suatu representasi resmi dari konsep Tritunggal, bahwasanya Allah ada sebagai satu "hakikat" tetapi memiliki tiga "Pribadi", yakni Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[111][112] Dalam rangka membela koherensi Tritunggal, Tertulianus mengemukakan (Melawan Prakseas 3) bahwa "Keesaan yang menurunkan Tritunggal dari diri-Nya sendiri jauh dari rusak, malah sesungguhnya disokong olehnya." Tertulianus juga membahas tentang bagaimana Roh Kudus keluar dari Bapa dan Putra.[111] Konsili Nikea I tahun 325 dan Konsili Konstantinopel I tahun 381 mendefinisikan dogma Tritunggal "dan garis-garis besar yang sangat sederhana dalam rangka menghadapi bidat-bidat", dan versi dogma Tritunggal yang dipakai Gereja sejak saat itu adalah versi yang berasal dari tahun 381.[26] Pada abad ke-5, di Gereja Barat, Santo Agustinus memperluas teologi Tritunggal di dalam karya tulisnya, De Trinitate (Ihwal Tritunggal), sementara pengembang utama teologi Tritunggal di Gereja Timur adalah Yohanes dari Damsyik yang berkiprah pada abad ke-8.[113] Teologi Tritunggal akhirnya mencapai bentuk klasiknya dalam karya tulis Tomas Aquinas pada abad ke-13.[113][114] Bernhard Lohse (1928-1997) menegaskan bahwa doktrin Tritunggal tidak berasal dari sumber-sumber non-Kristen seperti ajaran filsafat Plato atau agama Hindu, dan bahwasanya segala upaya untuk membuktikan adanya keterkaitan dengan sumber-sumber semacam itu sudah tergoyahkan.[115] Mayoritas umat Kristen dewasa ini adalah golongan penganut Tritunggalisme yang menganggap kepercayaan akan Tritunggal sebagai tolok ukur ortodoksi atau kepercayaan yang benar.[107] Doktrin TritunggalSebagian besar umat Kristen menganggap doktrin Tritunggal sebagai asas pokok iman mereka.[25][26] Doktrin Tritunggal dapat dirangkum dalam kalimat berikut ini:[25]
Singkatnya, doktrin Tritunggal adalah sebuah misteri yang "mustahil dinalar manusia tanpa bantuan" maupun "diungkapkan secara jelas dan meyakinkan lewat penalaran sesudah diwahyukan", tetapi "tidak bertentangan dengan akal budi" karena "tidak menyalahi prinsip-prinsip penalaran".[114] Doktrin Tritunggal diuraikan di dalam Syahadat Atanasius dari abad ke-4, yang memuat petikan berikut ini:[26][27] Kami menyembah Allah yang Tritunggal, dan Tritunggal yang Mahaesa, Bagi umat Kristen penganut Tritunggalisme (Kristen Katolik, Kristen Ortodoks, dan kebanyakan denominasi Kristen Protestan), Bapa sama sekali bukan suatu ilah yang terpisah dari Putra dan Roh Kudus, kedua hipostasis ("pribadi") lainnya dari Keallahan menurut agama Kristen.[116] Kendati istilah "Bapa" dan "Putra" menyiratkan gender maskulin, gender Allah di dalam agama Kristen sepanjang sejarah dipandang sebagai kiasan belaka, dan tidak merepresentasikan hakikat Allah yang sesungguhnya.[117][118] Pada abad ke-20, terjadi peningkatan fokus teologis terhadap doktrin Tritunggal. Salah satu pemicunya adalah gagasan-gagasan Karl Barth yang tertuang di dalam empat belas jilid mahakaryanya, Kirchliche Dogmatik (Dogmatika Gereja).[119] Fokus teologis ini mengaitkan pewahyuan Firman Allah dengan Tritunggal, dan berdalil bahwa doktrin Tritunggal adalah unsur yang membedakan "konsep Allah agama Kristen" dari semua agama lain.[119][120] BapaKemunculan teologi Ttitunggal mengenai Allah Bapa pada awal sejarah Kekristenan didasarkan atas dua gagasan utama. Yang pertama adalah gagasan bahwa Yahweh di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama sama dengan Allah yang diajarkan Yesus di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, dan yang kedua adalah gagasan bahwa Yesus berbeda tetapi bersatu dengan Bapanya.[121][122] Contoh nas tentang kesatuan Sang Putra dengan Sang Bapa adalah nas Matius 11:27, "tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak", yang menandaskan pengetahuan Sang Bapa dan Sang Putra satu sama lain.[123] Konsep kebapaan Allah sudah mengemuka di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, tetapi bukan merupakan tema utama.[121][124] Meskipun sudah dipakai di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, pandangan mengenai Allah selaku Bapa baru menjadi sorotan utama di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, karena kerap disinggung Yesus.[121][124] Pandangan semacam ini termanifestasi di dalam doa Bapa Kami yang memadukan kebutuhan-kebutuhan duniawi akan makanan sehari-hari dengan konsep saling mengampuni.[124] Penekanan Yesus pada hubungan istimewanya dengan Sang Bapa menggarisbawahi perbedaan sekaligus kesatuan hakikat Yesus dengan Sang Bapa, yang menjadi cikal bakal gagasan tentang kesatuan Bapa dan Putra di dalam Tritunggal.[124] Pandangan tentang Allah selaku Bapa diturunkan Yesus kepada murid-muridnya, dan akhirnya disampaikan kepada segenap Gereja, sebagaimana tercermin di dalam permohonan Yesus kepada Allah Bapa bagi para pengikutnya pada akhir Wejangan Perpisahan, pada malam sebelum ia disalibkan.[125] Contoh pandangan tentang Allah selaku Bapa di Wejangan Perpisahan adalah Yohanes 14:20, ketika Yesus memberitahu murid-muridnya bahwa "Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu", dan Yohanes 17:22, ketika Yesus berdoa kepada Bapa, "Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu."[126] Di dalam teologi Tritunggal, Allah Bapa adalah arke atau principium (permulaan), yakni "sumber" atau "asal" Putra maupun Roh Kudus, dan dianggap sebagai sumber kekal Keallahan.[127] Bapalah yang secara kekal memperanakkan Putra, dan secara kekal menghembuskan Roh Kudus. Putra secara kekal lahir dari Bapa, dan Roh Kudus secara kekal keluar dari Bapa,[48][127] atau menurut Gereja Barat dari Bapa dan Putra. Meskipun berbeda dari segi "asal", Allah Bapa satu, setara, sama-sama kekal, dan sehakikat dengan Putra dan Roh Kudus, masing-masing adalah Allah Yang Mahaesa lagi Mahakekal yang tak terpisahkan satu sama lain, sama-sama adalah Sang Khalik, artinya sama-sama Tidak Diciptakan dan Mahakuasa.[48] Dengan demikian Kemanunggalan Ilahi terdiri atas Allah Bapa, bersama Putra-Nya dan Roh-Nya, yang berbeda dari Allah Bapa tetapi secara sempurna manunggal di dalam Allah Bapa.[48] Oleh karena itulah Tritunggal melampaui daya nalar insani, dan hanya dapat diketahui karena ada pewahyuan dari Allah.[128][129] Penganut doktrin Tritunggal percaya bahwa Allah Bapa tidak bersifat panteistis, dalam arti tidak dipandang identik dengan alam semesta, tetapi eksis di luar jagat ciptaan, selaku Khalik dari jagad ciptaan.[130][131] Ia dipandang sebagai Allah yang Mahapengasih dan Mahapeduli, Bapa Surgawi yang aktif berkiprah di dalam dunia maupun kehidupan orang-orang.[130][131] Ia menciptakan segala sesuatu yang kasatmata maupun yang tak kasatmata di dalam cinta kasih dan kebijaksanaan, serta menciptakan manusia demi diri manusia itu sendiri.[130][131][132] PutraSedari awal sejarah Kekristenan, sejumlah gelar telah diberikan kepada Yesus, antara lain Mesias (Kristus) dan Putra Allah.[133][134] Dari sudut pandang teologis, gelar-gelar tersebut adalah atribut-atribut yang berlainan. Gelar "Mesias" mengacu kepada penggenapan nubuat-nubuat Perjanjian Lama di dalam diri Yesus, sementara gelar "Putra Allah" mengacu kepada hubungannya selaku Sang Putra dengan Sang Bapa.[133][134] Allah Putra berbeda dari Mesias maupun Putra Allah, dan teologi tentang Allah Putra sebagai bagian dari doktrin Tritunggal baru dibakukan secara resmi seabad lebih sesudah teologi tentang Mesias dan Putra Allah dibakukan.[134][135][136] Menurut injil-injil, Yesus dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan oleh Perawan Maria.[137] Riwayat-riwayat Alkitab tentang kiprah Yesus mencakup riwayat pembabtisannya, mukjizat-mukjizat yang ia perbuat, serta kbotbah, pengajaran, dan penyembuhan yang ia berikan. Riwayat-riwayat di dalam injil-injil lebih menyoroti wafat Yesus, dengan mengkhususkan kira-kira sepertiga dari isinya bagi liputan peristiwa-peristiwa yang berlangsung di Yerusalem selama tujuh hari atau sepekan terakhir kehidupan Yesus.[138] Inti kepercayaan Kristen adalah bahwasanya lewat wafat dan kebangkitan Yesus, umat manusia yang berdosa dapat didamaikan dengan Allah, dan oleh karena itu ditawari keselamatan dan janji kehidupan yang kekal.[139] Kepercayaan akan kodrat penebusan dari wafat Yesus sudah dianut sebelum surat-surat Paulus ditulis, bahkan sudah muncul sejak hari-hari permulaan sejarah Kekristenan dan Gereja Yerusalem.[140] Pernyataan Syahadat Nikea yang berbunyi "untuk kita ... disalibkan" adalah cerminan dari kepercayaan inti ini.[139] Dua pertanyaan kristologis, yakni bagaimana Yesus dapat menjadi Allah sejati sambil melanggengkan iman akan keberadaan satu Allah, dan bagaimana kemanusiaan dan keilahian dapat manunggal di dalam satu pribadi, adalah pertanyaan-pertanyaan fundamental yang sudah mengemuka sebelum Konsili Nikea I tahun 325.[141] Meskipun demikian, teologi "Allah Putra" pada akhirnya terefleksikan di dalam pernyataan Konsili Nikea pada abad ke-4.[142] Syahadat Kalsedon tahun 451, yang diterima mayoritas umat Kristen, menandaskan bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia dan "Allah sejati sekaligus manusia sejati" (paripurna illahi sekaligus paripurna insani). Karena sepenuhnya menjadi manusia dalam segala hal, Yesus mengalami derita dan cobaan sama seperti manusia lain, hanya saja ia tidak berbuat dosa. Karena sepenuhnya adalah Allah, Yesus mengalahkan kematian dan kembali hidup.[143] Konsili Konstantinopel III tahun 680 menegaskan bahwa baik kehendak ilahi maupun kehendak insani ada di dalam diri Yesus, dan kehendak ilahi yang diutamakan, sehingga memimpin dan menuntun kehendak insani.[144] Dalam Kekristenan arus utama, Yesus Kristus selaku Allah Putra dimuliakan sebagai Pribadi Kedua Tritunggal Mahakudus karena relasi kekalnya dengan Pribadi Pertama Tritunggal Mahakudus (Allah selaku Sang Bapa).[145] Ia dipandang setara dengan Bapa dan Roh Kudus, dan sepenuhnya Allah sekaligus sepenuhnya manusia. Menurut kodrat ilahinya Yesus adalah Putra Allah, dan menurut kodrat insaninya Yesus berasal dari nasab Daud.[137][145][146][147] Yang termutakhir, diskusi-diskusi seputar isu-isu teologis terkait Allah Putra serta perannya di dalam Tritunggal mengemuka pada abad ke-20 dalam suatu konteks perspektif tentang wahyu ilahi yang "berbasis Tritunggal".[148][149] Roh KudusDi dalam Kekristenan arus utama, Roh Kudus dipercaya sebagai salah satu dari tiga pribadi ilahi Tritunggal Mahakudus dari hakikat Allah yang tunggal. Roh Kudus dipercaya bertindak selaras dengan dan sehakikat dengan Allah Bapa dan Allah Putra (Yesus).[150][151] Kitab Suci Perjanjian Baru memuat banyak pernyataan mengenai Roh Kudus. Kehadiran Roh Kudus secara istimewa dirasakan sesudah Yesus naik ke surga, tanpa mengesampingkan kenyataan bahwa kehadiran Roh Kudus juga diriwayatkan di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.[22] Teologi Kristen tentang Roh Kudus, atau pneumatologi (dari kata Yunani pneuma, artinya "roh"), adalah bagian terakhir dari teologi Tritunggal yang didalami dan dikembangkan dengan tuntas, dan oleh karena itu pemahaman tentang Roh Kudus di kalangan umat Kristen lebih beragam daripada pemahaman tentang Sang Bapa maupun Sang Putra.[150][151] Di dalam teologi Tritunggal, Roh Kudus biasanya disebut sebagai "Pribadi Ketiga" Allah Tritunggal, sementara Sang Bapa adalah "Pribadi Pertama" dan Sang Putra adalah "Pribadi Kedua".[150] Berpangkal dari perenungan akan peristiwa pewartaan malaikat kepada Maria yang diriwayatkan di dalam Injil Lukas (Lukas 1:35), Syahadat Para Rasul menyatakan bahwa Yesus "dikandung dari Roh Kudus".[152] Syahadat Nikea menyebut Roh Kudus sebagai "Tuhan, Yang Menghidupkan", yang bersama Bapa dan Putra "disembah dan dimuliakan".[153] Allah Putra bermanifestasi menjadi Putra Allah lewat tindakan inkarnasi, tetapi tidak demikian halnya dengan Allah Roh Kudus yang tetap tidak tersingkap.[154] Meskipun demikian, sebagaimana yang dinyatakan di dalam surat pertama Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus (1 Korintus 6:19), Allah Roh Kudus terus-menerus bersemayam di dalam tubuh umat beriman.[154][155] Di dalam teologi Kristen, Roh Kudus dipercaya menjalankan fungsi-fungsi ilahi di dalam kehidupan umat Kristen atau kehidupan Gereja. Tindakan Roh Kudus dipandang sebagai bagian asasi dari tindakan membimbing orang menuju iman Kristen.[156] Orang yang baru memeluk iman Kristen "dilahirkan kembali dari Roh".[157] Roh Kudus memungkinkan terselenggaranya kehidupan yang Kristiani dengan bersemayam di dalam diri setiap orang percaya dan memampukan mereka untuk hidup sadik dan beriman.[156] Roh Kudus bertindak sebagai Penghibur atau Parakletos, yaitu pihak yang mengantarai, pihak yang menolong, atau pihak yang bertindak selaku penasihat, khususnya pada masa-masa pencobaan. Roh Kudus bertindak menyadarkan orang-orang yang belum tertebus akan keberdosaan perbuatan maupun pikiran mereka, dan akan kelaikan moral mereka sebagai pendosa di hadapan Allah.[158] Roh Kuduslah yang dulu mengilhami penulisan Kitab Suci dan yang sekarang menafsirkannya bagi orang Kristen dan Gereja.[159] Perbedaan antarpenganut TritunggalismeMenurut teologi Kristen Ortodoks Timur, hakikat Allah melampaui pengertian manusia dan tidak dapat didefinisikan maupun didekati pemahaman manusia.[160] Ajaran-ajaran Kristen Katolik mirip dengan Kristen Ortodoks Timur dalam pandangan bahwa misteri-misteri Tritunggal melampaui daya nalar manusia.[129] Meskipun demikian, ada perbedaan di antara keduanya, karena menurut ajaran dan teologi Katolik, Allah Bapa adalah sumber mahakekal dari Sang Putra ("diperanakkan" Bapa secara kekal) maupun Roh Kudus ("keluar" secara kekal dari Bapa dan Putra) dan menghembuskan Roh Kudus bersama maupun melalui Sang Putra, sementara Kristen Ortodoks Timur berpendirian bahwa Roh Kudus hanya keluar dari Bapa.[161] Kebanyakan denominasi Kristen Protestan maupun aliran-aliran Kristen lain yang muncul sesudah Reformasi Protestan menganut keyakinan-keyakinan umum tentang Tritunggal dan teologi tentang Allah yang mirip dengan Kristen Katolik. Denominasi-denominasi tersebut mencakup gereja-gereja yang terlahir dari rumpun Anglikan, Baptis, Metodis, Lutheran, dan Presbiterian. Doktrin Tritunggal bahkan disifatkan sebagai "dogma pokok dari teologi Kristen" di dalam The Oxford Dictionary of the Christian Church.[162] Meskipun demikian, pandangan representatif dari teologi Tritunggal Protestan tentang Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus sukar untuk dirumuskan setepat-tepatnya lantaran keberagaman dan kurang tersentralisasinya gereja-gereja Protestan.[162] AwatritunggalismeSejumlah golongan Kristen menolak doktrin Tritunggal, sehingga disebut golongan Antitritunggal atau Awatritunggal.[163] Golongan-golongan ini menganut pandangan-pandangan yang berbeda satu sama lain. Ada yang meyakini Yesus sebagai keberadaan ilahi yang setingkat lebih rendah daripada Allah Bapa, dan ada pula yang meyakininya sebagai Yahweh dari Perjanjian Lama dalam wujud manusia, Allah tetapi tidak selamanya menjadi Allah, nabi, maupun sekadar waliyullah.[163] Menurut beberapa definisi Kristen Protestan dengan cakupan makna yang luas, golongan-golongan Antitritunggal adalah bagian dari rumpun besar Kristen Protestan, tetapi sebagian besar definisi Kristen Protestan meliyankannya.[164] Awatritunggalisme sudah muncul sedari awal sejarah Kekristenan, dan dianut sempalan-sempalan Kristen seperti kaum Arian, kaum Ebioni, kaum Gnostis, dan lain-lain.[29] Pandangan-pandangan Antitritunggal ditentang banyak uskup, misalnya Ireneus, dan oleh karena itu ditolak konsili-konsili ekumene. Syahadat Nikea mengangkat isu hubungan antara kodrat ilahi dan kodrat insani Yesus.[29] Sesudah ditolak Konsili Nikea, Awatritunggalisme memudar sampai berabad-abad lamanya, dan orang-orang yang menolak doktrin Tritunggal dibenci umat Kristen lainnya, tetapi sempalan-sempalan Antitritunggal kembali muncul pada abad ke-19 di Amerika Utara dan tempat-tempat lain.[164] Menurut teologi Saksi-Saksi Yehuwa, Allah Bapa sajalah satu-satunya Allah yang sejati dan mahakuasa, bahkan mengatasi Putra-Nya, Yesus Kristus. Saksi-Saksi Yehuwa mengakui bahwa Yesus bersifat prawujud, sempurna, memiliki hubungan "anak-beranak" yang unik dengan Allah Bapa, adalah tokoh utama dalam karya penciptaan maupun penebusan, dan adalah Sang Mesias, tetapi mereka percaya bahwa hanya Allah Bapa saja yang tidak berpermulaan.[165] Di dalam teologi gereja Mormon, konsepsi Allah yang terutama adalah Keallahan, suatu sidang ilahi beranggotakan tiga keberadaan ilahi yang terpisah, yakni Elohim (Sang Bapa), Yehuwa (Sang Putra, atau Yesus), dan Roh Kudus. Sang Bapa dan Sang Putra dipercaya memiliki tubuh jasmani yang sudah disempurnakan, sementara Roh Kudus memiliki tubuh rohani. Gereja Mormon mengakui keilahian Bapa, Putra, dan Roh Kudus, tetapi meyakini bahwa ketiganya adalah keberadaan-keberadaan yang berlainan, esa bukan dalam hakikat melainkan dalam kehendak dan maksud, serta sama-sama mahatahu, mahakuasa, dan maharahim.[166] Pentakosta Keesaan mengembangkan salah satu bentuk Monarkianisme Modalistis yang menandaskan bahwa hanya ada satu Allah, yakni Roh ilahi mahaesa, yang memanifestasikan diri dengan berbagai cara, antara lain dengan menjadi Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[167] Baca jugaKeterangan
Rujukan
Sumber
Pranala luar |