Origenes
Origenes dari Aleksandria[a] alias Origenes Adamantios[b] adalah cendekiawan, zahid,[5] dan teolog Gereja Perdana yang lahir dan mula-mula berkiprah di Aleksandria. Origenes adalah pujangga yang rajin berkarya. Ada kurang lebih 2.000 karya tulis yang ia hasilkan dalam berbagai cabang ilmu teologi, antara lain ilmu kritik naskah, eksegesis, hermeneutika, homiletika, dan ilmu kerohanian. Origenes adalah salah seorang ahli teologi, ahli hujah, dan ahli zuhud Gereja Perdana yang paling berpengaruh.[5][6] Ia juga disebut-sebut sebagai "genius terbesar yang pernah dilahirkan Gereja Perdana".[7] Ketika masih remaja, Origenes berniat gugur sebagai martir bersama-sama ayahnya, tetapi dicegah menyerahkan diri kepada pemerintah oleh ibunya. Saat berumur delapan belas tahun, Origenes menjadi seorang katekis di Perguruan Katekese Aleksandria. Ia tekun memperdalam ilmu, dan mengamalkan cara hidup zuhud, dengan berpantang makan daging dan minum khamar. Ia berselisih dengan Demetrius, Uskup Aleksandria, pada tahun 231, sesudah ditahbiskan menjadi presbiter oleh sahabatnya, Uskup Kaisarea, saat singgah di Palestina dalam perjalanannya menuju Athena. Demetrius melaknatnya sebagai pembangkang atasan, menuduhnya telah mengebiri diri sendiri dan mengajarkan bahwa setan pun pada akhirnya akan mencapai keselamatan, yang mati-matian disangkal oleh Origenes.[8][9] Ia mendirikan Perguruan Agama Kristen Kaisarea, tempatnya mengajar ilmu logika, kosmologi, sejarah alam, dan teologi, sehingga dihormati sebagai begawan teologi oleh Gereja-Gereja di Palestina dan Arab. Ia turut disiksa karena kedapatan beragama Kristen ketika berlangsung aksi aniaya besar-besaran terhadap umat Kristen atas titah Kaisar Decius pada tahun 250, dan wafat tiga atau empat tahun kemudian lantaran cedera yang dideritanya. Origenes dapat menghasilkan begitu banyak karya tulis berkat sokongan sahabat karibnya, Ambrosius, yang mengerahkan seregu setia usaha untuk menyalin karya-karya tulisnya, sehingga menjadikannya pujangga yang paling giat berkarya sepanjang Abad Kuno. Dalam karya tulisnya yang berjudul Perihal Asas-Asas, Origenes secara sistematis menjabarkan asas-asas teologi Kristen. Karya tulis ini melandasi karya-karya tulis Origenes selanjutnya di bidang teologi.[10] Ia juga menulis Melawan Kelsos (bahasa Latin: Contra Celsum; bahasa Yunani: Κατὰ Κέλσου, Kata Kelsou), risalah hujah Kristen perdana yang paling berpengaruh,[11] berisi jawaban-jawabannya atas tuduhan-tuduhan terhadap agama Kristen yang dilontarkan oleh Kelsos, filsuf pemeluk agama leluhur yang merupakan salah seorang pengecam terawal agama Kristen yang paling sengit. Origenes menghasilkan Enam Bagian, yakni edisi kritis Alkitab Ibrani yang pertama, berisi rangkaian ayat Alkitab dalam enam kolom sejajar, satu kolom berisi ayat-ayat Alkitab dalam bahasa dan aksara Ibrani, satu kolom berisi hasil alih aksaranya ke dalam aksara Yunani, sementara empat kolom selebihnya memuat empat versi terjemahannya dalam bahasa dan aksara Yunani. Ia menulis ratusan khotbah yang membahas hampir seluruh isi Alkitab, dan menafsirkan hikmah yang tersirat dalam banyak ayat. Origenes mengajarkan bahwa sebelum jagat raya indrawi diciptakan, Allah telah menciptakan jiwa-jiwa segala makhluk yang berakal budi. Jiwa-jiwa ini mula-mula berkhidmat sepenuhnya kepada Allah, tetapi kemudian menjauh dari Allah, dan dianugerahi jasad oleh Allah. Origenes adalah orang yang pertama kali mengemukakan teori pampas penebusan dalam bentuk yang sudah paripurna, dan kendati mungkin sekali menganut paham subordinasianisme, ia banyak bersumbangsih bagi perkembangan konsep ketritunggalan Allah. Origenes berharap seluruh umat manusia pada akhirnya akan mencapai keselamatan, tetapi senantiasa bersikap hati-hati dengan menegaskan bahwa pandangannya yang satu ini hanya spekulasi belaka. Ia membela ajaran tentang kehendak bebas dan menganjurkan paham ahimsa Kristen. Origenes adalah salah seorang Bapa Gereja,[12][13][14][15] dan dihargai banyak pihak sebagai salah seorang teolog Kristen terpenting sepanjang masa.[16] Ajaran-ajarannya sangat berpengaruh di Gereja Timur, mengingat Atanasius dari Aleksandria dan ketiga Bapa Kapadokia adalah pengikut-pengikut setianya.[17] Perdebatan seputar sesat tidaknya ajaran-ajaran Origenes menyulut Krisis Pengikut Origenes yang pertama pada penghujung abad ke-4, manakala kesahihan ajaran-ajaran Origenes digugat oleh Epifanius dari Salamis dan Hieronimus, tetapi dibela oleh Tiranius Rufinus dan Yohanes dari Yerusalem. Pada tahun 543, Kaisar Yustinianus I melaknatnya sebagai ahli bidah dan memerintahkan pembakaran karya-karya tulisnya. Konsili Konstantinopel II pada tahun 553 membidahkan Origenes, atau mungkin sekadar membidahkan ajaran-ajaran tertentu yang dianggap bersumber dari Origenes. Ajaran-ajarannya tentang prawujud jiwa ditolak oleh Gereja.[18] Riwayat hidupAwal hayatHampir semua informasi mengenai kehidupan Origenes berasal dari riwayat hidupnya yang panjang dalam jilid ke-4 Sejarah Gereja karya Eusebius (ca. 260 – ca 340).[19] Eusebius tidak saja menggambarkan Origenes sebagai seorang cendekiawan Kristen yang mumpuni, tetapi juga sebagai seorang tokoh suci.[19] Kendati demikian, riwayat hidup Origenes ini baru ditulis Eusebius sesudah hampir 50 tahun Origenes wafat, dan hanya menggunakan segelintir sumber tepercaya mengenai kehidupan Origenes, khususnya mengenai awal hayatnya.[19] Karena ingin menyajikan lebih banyak lagi keterangan mengenai tokoh idolanya ini, Eusebius menambahkan pula riwayat-riwayat kurang andal yang didasarkan atas kabar selentingan belaka, dan kerap membuat kesimpulan-kesimpulan spekulatif mengenai Origenes berdasarkan sumber-sumber yang ia dapati.[19] Bagaimanapun juga, para ahli dapat merekonstruksi suatu uraian riwayat hidup Origenes yang bersifat umum dengan cara membuang semua keterangan yang dinilai tidak akurat dari riwayat hidup yang ditulis Eusebius.[20] Origenes mungkin lahir pada tahun 185 atau 186 di Aleksandria.[17][21][22] Menurut Eusebius, ayah Origenes bernama Leonides dari Aleksandria, seorang mahaguru sastra sekaligus pemeluk agama Kristen yang taat, yang berani mengamalkan ajaran agamanya secara terang-terangan.[23][24] Joseph Wilson Trigg menilai keterangan ini tidak andal, tetapi berpendapat bahwa ayah Origenes sudah barang tentu adalah "seorang borjuis yang makmur dengan budaya Helenistik yang sudah mendarah daging".[24] Menurut John Anthony McGuckin, ibu Origenes, yang tidak diketahui namanya, mungkin saja berasal dari kalangan bawah yang tidak memiliki hak kewarganegaraan Romawi.[23] Mengingat status sosial ibunya, boleh jadi Origenes sendiri bukan warga negara Romawi.[25] Origenes diajari ilmu sastra serta filsafat oleh ayahnya,[26] mungkin juga pengetahuan tentang Alkitab dan ajaran agama Kristen.[26][27] Menurut Eusebius, Origenes diwajibkan ayahnya menghafal ayat-ayat Kitab Suci setiap hari.[28] Joseph Wilson Trigg menilai keterangan ini mungkin sekali benar, mengingat Origenes mampu mendaraskan ayat-ayat Kitab Suci di luar kepala sekehendak hatinya.[28] Eusebius juga meriwayatkan bahwa saat masih belia pun pengetahuan Origenes tentang Kitab Suci sudah sangat mendalam sampai-sampai ayahnya tidak mampu lagi menjawab pertanyaan-pertanyaannya.[29][30] Pada tahun 202, saat Origenes "belum lagi genap berumur tujuh belas tahun", Kaisar Septimius Severus memerintahkan agar setiap warga negara Romawi yang terang-terangan mengamalkan ajaran agama Kristen dijatuhi hukuman mati.[23][31] Ayah Origenes ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.[17][23][31] Menurut Eusebius, Origenes berniat menyerahkan diri kepada pemerintah agar ikut dihukum mati,[17][23] tetapi ibunya menyembunyikan semua pakaiannya sehingga ia tidak bisa menyerahkan diri, karena ia tidak mau keluar rumah dalam keadaan telanjang.[17][23] Menurut John Anthony McGuckin, sekalipun Origenes menyerahkan diri, kecil kemungkinan ia akan dihukum mati, karena kaisar hanya menyasar warga negara Romawi.[23] Ayah Origenes tewas dipenggal,[17][23][31] dan seluruh harta kekayaan keluarganya disita negara.[23][31] Selaku anak sulung dari sembilan bersaudara[23][31] maupun selaku ahli waris mendiang ayahnya, sudah menjadi tanggung jawab Origenes untuk menafkahi seluruh anggota keluarganya, yang mendadak jatuh miskin akibat angkara murka kaisar.[23][31] Saat berumur delapan belas tahun, Origenes diangkat menjadi katekis (guru agama) di Perguruan Katekese Aleksandria.[29] Banyak ahli menduga bahwa Origenes diangkat menjadi pemimpin perguruan,[29] tetapi menurut John Anthony McGuckin, sangat tidak mungkin Origenes diangkat menjadi pemimpin perguruan, lebih mungkin ia hanya diberi jabatan pengajar bergaji, mungkin sekadar untuk "membantunya" menafkahi keluarga.[29] Semasa bekerja di Perguruan Katekese Aleksandria, ia mengamalkan gaya hidup zuhud para sofis Yunani.[29][32][33] Ia mengajar sepanjang hari,[29] dan bergadang menulis risalah-risalah serta ulasan-ulasan sampai larut malam.[29][32] Ia berjalan kaki ke mana-mana tanpa kasut, dan hanya memiliki sehelai jubah luar.[32] Ia berpantang minum khamar[34][35] maupun makan daging,[34] dan sering kali berpuasa dalam jangka waktu yang lama.[35][32] Kendati Eusebius secara panjang lebar menggambarkan Origenes sebagai salah seorang rahib Kristen pada zamannya,[29] gambaran semacam ini sekarang sudah dianggap anakronistis.[29] Menurut Eusebius, pada masa mudanya, Origenes ditampung oleh seorang hartawati Kristen Gnostik,[36] penyokong seorang teolog Kristen Gnostik kenamaan dari Antiokhia, yang kerap datang berceramah di rumahnya.[36] Eusebius secara panjang lebar menegaskan bahwa, kendati tinggal seatap,[36] Origenes tidak pernah "berdoa bersama-sama" dengan induk semangnya maupun si teolog Kristen Gnostik.[36] Origenes kelak berhasil meyakinkan seorang hartawan bernama Ambrosius untuk meninggalkan sekte Kristen Gnostik pengikut Valentinus dan menjadi pemeluk agama Kristen yang ortodoks.[11][36] Ambrosius benar-benar terkesan pada pemuda bestari ini sampai-sampai ia beri sebuah rumah, seorang setia usaha, tujuh orang juru tulis cepat, seregu penyalin naskah dan penulis indah, serta mengongkosi penerbitan semua karya tulisnya.[11][36] Saat berumur 20-an awal, Origenes menjual sekumpulan kecil karya sastra Yunani peninggalan mendiang ayahnya dengan harga empat keping obolos, senilai upah seharinya.[36][32][33] Uang ini ia gunakan untuk melanjutkan studi Alkitab dan filsafat.[36][32] Origenes menuntut ilmu di berbagai perguruan di Aleksandria,[36] termasuk di Perguruan Katekese Aleksandria yang berhaluan filsafat Plato,[37][36] tempatnya berguru pada Amonios Sakas.[38][11][36][39][40] Menurut Eusebius, Origenes pernah berguru pada Klemens dari Aleksandria (ca. 150 – ca. 215),[35][17][41] tetapi John Anthony McGuckin berpendapat bahwa keterangan ini hampir dapat dipastikan hanyalah sebuah asumsi retrospektif yang didasarkan pada kemiripan ajaran-ajaran kedua tokoh.[35] Origenes sendiri jarang menyebut-nyebut nama Klemens dalam karya-karya tulisnya,[35] dan bilamana ia menyebut-nyebut nama Klemens, biasanya dalam rangka mengoreksi pendapat yang bersangkutan.[35] Sangkaan mengebiri diri sendiriMenurut Eusebius, akibat keliru menafsirkan ucapan Yesus bahwa "ada orang yang membuat dirinya tidak dapat kawin atas kemauan sendiri oleh karena Kerajaan Sorga" (Matius 19:12), pada masa mudanya, Origenes membayar seorang tabib untuk membedah dan membuang kemaluannya demi mengukuhkan nama baiknya selaku guru yang berbudi pekerti luhur bagi muda-mudi.[35][32] Eusebius juga meriwayatkan bahwa Origenes diam-diam memberitahukan tindakannya itu kepada Demetrius, Uskup Aleksandria. Konon Demetrius memuji tindakan Origenes, yang ia anggap sebagai tanda bakti kepada Allah.[35] Kendati demikian, Origenes sendiri tidak pernah menyinggung tentang tindakan itu dalam karya-karya tulisnya yang sintas sampai sekarang,[35][43] dan dalam Ulasan Injil Matius, yang ia tulis menjelang akhir hayatnya, Origenes melaknat segala macam tafsir harfiah atas ayat Matius 19:12,[35] dengan menegaskan bahwa hanya orang bodoh yang menafsirkan ayat ini sebagai anjuran melakukan kebiri.[35] Semenjak awal abad ke-20, sejumlah ahli telah mempertanyakan kebenaran sejarah dari tindakan pengebirian diri sendiri yang dilakukan Origenes. Banyak di antaranya beranggapan bahwa kisah ini dikarang-karang belaka.[44][45] Joseph Wilson Trigg mengemukakan bahwa keterangan Eusebius perihal tindakan pengebirian diri sendiri yang dilakukan Origenes tentunya benar, karena Eusebius (seorang pengagum berat Origenes) jelas-jelas menjabarkan tindakan tersebut sebagai perbuatan yang sungguh-sungguh bodoh, sehingga ia tidak akan sengaja menyajikan potongan informasi yang dapat mencemari nama baik Origenes kecuali jika informasi itu memang sudah "umum diketahui orang dan tidak dipertanyakan lagi kebenarannya."[32] Joseph Wilson Trigg beranggapan bahwa sikap Origenes melaknat tafsir harfiah atas Matius 19:12 "menyiratkan penentangannya terhadap cara baca harfiah yang pernah ia lakukan semasa muda."[32] Berseberangan dengan pendapat Joseph Wilson Trigg, John Anthony McGuckin menilai riwayat Eusebius tentang tindakan pengebirian diri sendiri yang dilakukan Origenes sebagai kisah yang "sukar dipercaya". Ia beranggapan bahwa kisah ini sengaja dipasang Eusebius untuk mengalihkan perhatian orang dari perkara-perkara yang lebih serius terkait sesat tidaknya ajaran-ajaran Origenes.[35] John Anthony McGuckin juga mengemukakan bahwa "kita tidak punya petunjuk yang mengisyaratkan bahwa tindakan kebiri dengan alasan menjaga nama baik pernah dianggap sebagai suatu tolok ukur oleh seorang guru di kelas campuran siswa-siswi."[35] Ia menambahkan bahwa siswi-siswi Origenes (Eusebius menyebut nama-nama mereka satu demi satu) tentunya selalu mengikuti pelajaran sambil ditemani pengiring masing-masing, dengan demikian Origenes tentu tidak punya alasan kuat untuk berpikir bahwa orang akan mencurigainya berlaku tidak senonoh.[35] Henry Chadwick berpendapat bahwa kendati mungkin saja benar, kisah Eusebius ini agaknya mustahil terjadi, mengingat penjelasan Origenes mengenai Matius 19:12 "dengan tegas menentang segala macam tafsir harfiah atas ayat tersebut".[46] Menurut Henry Chadwick, "mungkin Eusebius secara kurang kritis melaporkan desas-desus jahat yang sengaja diembus-embuskan oleh sekian banyak seteru Origenes."[46] Kendati demikian, banyak sejarawan terkenal, semisal Peter Brown dan William Placher, tidak kunjung menemukan alasan untuk menyimpulkan bahwa kisah ini tidak benar.[47] William Placher berteori bahwa jika memang benar-benar terjadi, maka tindakan kebiri ini mungkin dilakukan sesudah Origenes mendapatkan "tatapan membelalak" saat mengajar seorang perempuan secara privat.[47] Perjalanan dan karya-karya tulis perdanaSaat berusia 20-an awal, Origenes mulai kehilangan minat menjadi seorang ahli tata bahasa,[48] dan lebih berminat menjadi seorang filsuf ahli pidato.[48] Pekerjaannya selaku katekis ia serahkan kepada rekannya yang lebih muda, Herakles.[48] Ia juga mulai mulai menyebut dirinya "guru filsafat".[48] Kedudukan baru Origenes selaku filsuf Kristen berdasarkan pengakuan dari mulut sendiri ini membuatnya berselisih dengan Demetrius, Uskup Aleksandria.[48] Demetrius adalah sosok pemimpin berkarisma yang memimpin umat Kristen Aleksandria dengan tangan besi,[48] dan merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas pengangkatan Uskup Aleksandria.[49] Sebelum Demetrius menjabat, Uskup Aleksandria hanyalah seorang imam yang dipilih menjadi pemuka mewakili rekan-rekannya,[50] tetapi selepas masa jabatan Demetrius, Uskup Aleksandria sudah dipandang sebagai orang yang berkedudukan lebih tinggi daripada rekan-rekannya sesama imam.[50] Dengan mengaku-ngaku sebagai seorang filsuf mandiri, Origenes menghidupkan kembali sebuah peranan yang pernah sangat menonjol di kalangan umat Kristen perdana,[49] tetapi sekaligus menantang kewenangan uskup yang kala itu mulai dipandang sebagai satu-satunya pemuka agama yang berkuasa penuh.[49] Sementara itu, Origenes mulai menyusun karya tulis teologinya yang berjudul Perihal Asas-Asas (bahasa Latin: De Principiis; bahasa Yunani: Περί Αρχών, Peri Arkon),[50] karya tulis istimewa yang secara sistematis membentuk landasan teologi Kristen sampai berabad-abad kemudian.[50] Origenes juga mulai bepergian untuk mengunjungi perguruan-perguruan di seluruh kawasan sekitar Laut Tengah.[50] Pada tahun 212, ia berangkat ke Roma, salah satu pusat utama ilmu filsafat kala itu.[50] Di Roma, Origenes mengikuti kuliah-kuliah yang disampaikan oleh Hipolitus dari Roma, dan terpengaruh oleh pandangan teologi logos Hipolitus.[50] Pada tahun 213 atau 214, Wali Negeri Arab mengirim pesan kepada Prefek Mesir, memintanya memberangkatkan Origenes ke Arab agar ia dapat mewawancarainya dan belajar lebih banyak hal tentang agama Kristen dari cendekiawan Kristen terkemuka.[50] Origenes berangkat ke Arab dengan kawalan resmi[50], dan tinggal selama beberapa waktu bersama Wali Negeri Arab sebelum pulang ke Aleksandria.[51] Pada musim gugur tahun 215, Kaisar Karakala berkunjung ke Aleksandria.[52] Selama kunjungannya, siswa-siswa dari perguruan-perguruan di Aleksandria berunjuk rasa dan mengolok-oloknya sebagai pembunuh adiknya sendiri, mendiang Kaisar Geta.[52] Kaisar naik darah dan memerintahkan bala tentaranya menghancurkan kota, mengeksekusi mati wali kota, dan membunuh semua pengunjuk rasa.[52] Ia juga memerintahkan pengusiran semua guru dan cendekiawan dari Aleksandria.[52] Origenes mengungsi ke kota Kaisarea Tepi Laut (bahasa Latin: Caesarea Maritima) di Provinsi Suriah Palestina (bahasa Latin: Provincia Syria Palaestina).[52] Di kota inilah ia menjadi tokoh idola Teoktistus, Uskup Kaisarea, dan Aleksander, Uskup Yerusalem,[52] yang memintanya menyampaikan ceramah Kitab Suci kepada sidang jemaat mereka masing-masing.[52] Kebijakan kedua uskup ini sama saja dengan menyuruh Origenes berkhotbah di gereja, padahal ia belum ditahbiskan menjadi rohaniwan.[52] Kendati bukan suatu fenomena yang terjadi di luar dugaan, apalagi Origenes sudah tenar di mana-mana sebagai seorang guru sekaligus filsuf,[52] kebijakan ini tetap saja membangkitkan amarah Demetrius, yang menilainya sebagai penyepelean terhadap kewenangannya.[52] Demetrius mengutus diakon-diakon dari Aleksandria menghadap para waligereja Palestina guna mendesak mereka agar secepat mungkin memulangkan katekisnya ke Aleksandria.[52] Ia juga menerbitkan sebuah maklumat teguran kepada para waligereja Palestina karena teledor membiarkan seorang awam berkhotbah di mimbar gereja.[53] Kedua uskup Palestina membalas tindakan Demitrius dengan menerbitkan maklumat sendiri, yang menuding Demetrius mengiri ketenaran Origenes.[54] Origenes mematuhi perintah Demetrius, dan pulang ke Aleksandria,[54] membawa serta segulung naskah kuno yang dibelinya di Yerikho, berisi keseluruhan Alkitab Ibrani.[54] Naskah yang konon ditemukan tersimpan "dalam tempayan" ini[54] menjadi sumber dari ayat-ayat Alkitab yang ditampilkan pada salah satu dari dua kolom ayat-ayat berbahasa Ibrani dalam Enam Bagian (bahasa Latin: Hexapla; bahasa Yunani: Ἑξαπλᾶ, Heksapla), edisi kritis Alkitab Perjanjian Lama yang pertama. Enam Bagian memuat enam kolom sejajar, satu kolom untuk ayat-ayat Alkitab dalam bahasa dan aksara Ibrani, satu kolom lagi untuk hasil alih aksara ayat-ayat yang sama ke dalam aksara Yunani, serta empat kolom untuk empat versi terjemahan ayat-ayat tersebut dalam bahasa dan aksara Yunani.[54] Origenes mengkaji Alkitab secara mendalam,[54] bahkan menurut Eusebius, Origenes sampai rela belajar bahasa Ibrani.[55][56] Kebanyakan ahli pada Zaman Modern sepakat bahwa keterangan ini tidak andal,[55][57] tetapi berbeda pandangan mengenai seberapa baik penguasaan bahasa Ibrani Origenes.[56] H. Lietzmann menyimpulkan bahwa kemampuan berbahasa Ibrani Origenes mungkin sekali tidak lebih dari sekadar mampu membaca aksara Ibrani,[56] sementara R. P. C. Hanson dan G. Bardy berpendapat bahwa Origenes mampu memahami bahasa Ibrani, tetapi tidak cukup mendalam untuk menyusun keseluruhan Enam Bagian.[56] Sepenggal catatan dalam Perihal Asas-Asas menyebut-nyebut tentang keberadaan seorang "guru bahasa Ibrani" tanpa mencantumkan nama yang bersangkutan,[55] tetapi mungkin sekali guru bahasa Ibrani ini hanyalah seorang tenaga ahli, bukan seorang guru.[55] Origenes juga mengkaji seluruh Kitab Suci Perjanjian Baru,[54] teristimewa surat-surat Paulus dan Injil Yohanes,[54] yang ia anggap sebagai karya-karya tulis yang terpenting dan terandal.[54] Atas permintaan Ambrosius, Origenes menyusun lima jilid pertama dari Ulasan Injil Yohanes.[58] Ia juga menulis delapan jilid pertama dari Ulasan Kitab Kejadian, Ulasan Kitab Mazmur Bab 1-25, dan Ulasan Kitab Ratapan.[58] Selain ulasan-ulasan ini, Origenes menulis pula dua jilid buku mengenai kebangkitan Yesus, dan sepuluh jilid Stromateis (Serba-Serbi).[58] Agaknya karya-karya tulis ini mengandung banyak spekulasi teologi,[59] biang keladi perselisihan yang lebih besar lagi antara Origenes dan Demetrius.[59] Berselisih dengan Demetrius dan hijrah ke KaisareaOrigenes berulang kali meminta Demetrius untuk menahbiskannya menjadi imam, tetapi Demetrius terus-menerus menolak.[33][60][11] Sekitar tahun 231, Demetrius mengutus Origenes dengan misi khusus ke Athena.[59][61] Ketika singgah di Kaisarea,[59][61] Origenes disambut dengan hangat oleh Teoktistus dan Aleksander, dua uskup Palestina yang sudah bersahabat karib dengannya sejak ia masih tinggal sebagai pengungsi di kota itu.[59][61] Ketika itulah Origenes meminta Teoktistus untuk menahbiskannya menjadi imam.[11][59] Teoktistus dengan senang hati mengabulkan permintaannya.[33][60][61] Demetrius benar-benar murka saat menerima kabar tentang penahbisan Origenes. Ia menerbitkan maklumat yang mengecam penahbisan Origenes sebagai tindakan pembangkangan terhadap atasan.[60][62][61] Eusebius meriwayatkan bahwa, akibat maklumat pengecaman yang dikeluarkan Demetrius, Origenes memutuskan untuk menetap di Kaisarea daripada pulang ke Aleksandria.[62] Kendati demikian, John Anthony McGuckin, mengemukakan bahwa mungkin sekali Origenes memang sudah berencana untuk menetap di Kaisarea.[63] Uskup-uskup Palestina mendapuk Origenes menjadi ketua teolog Kaisarea,[8] sementara Firmilianus, Uskup Kaisarea Mazaka di Kapadokia, salah seorang murid Origenes yang berbakti, memohon-mohon sang guru idolanya itu untuk mengajar di Kapadokia.[64] Demetrius mengirim serangkaian pernyataan keberatan kepada uskup-uskup Palestina dan sinode Gereja di Roma.[63] Menurut Eusebius, Demetrius mendakwa Origenes telah diam-diam mengebiri diri sendiri.[63] Mengebiri manusia adalah pelanggaran berat yang diancam hukuman mati menurut undang-undang Kekaisaran Romawi,[63] dan dapat mencederai keabsahan tahbisan Origenes, karena orang kebiri tidak dibenarkan menjadi imam.[63] Demetrius juga mendakwa Origenes mengajarkan paham pemulihan fitrah (bahasa Yunani: ἀποκατάστασις, apokatástasis) yang ekstrem, bahwasanya segala makhluk, termasuk setan, pada akhirnya akan mencapai keselamatan.[8] Dakwaan ini mungkin sekali timbul akibat kesalahpahaman terhadap dalil yang dikemukakan Origenes dalam debat melawan Kandidus, seorang guru Kristen Gnostik pengikut Valentinus.[8] Kandidus membela paham pratakdir dengan berdalil bahwa iblis sudah sejak semula ditakdirkan tidak selamat untuk selama-lamanya.[8] Origenes menyanggah dalil Kandidus dengan menyatakan bahwa jika benar iblis ditakdirkan terlaknat untuk selama-lamanya, maka ia terlaknat karena perbuatannya, yang merupakan buah dari kehendak bebasnya sendiri.[65] Oleh karena itu, Origenes berdalil bahwa setan hanya ditakdirkan terlaknat dari segi akhlak, bukan ditakdirkan terlaknat mutlak.[65] Demetrius wafat pada tahun 232, kurang dari setahun sejak keberangkatan Origenes dari Aleksandria.[63] Dakwaan-dakwaan terhadap Origenes pun hilang gaungnya sepeninggal Demetrius,[66] tetapi tidak lenyap sama sekali[67], dan terus membayang-bayangi kiprah Origenes sampai akhir hayatnya.[67] Dalam Surat kepada Sahabat-Sahabat di Aleksandria,[8] Origenes membela diri dengan mati-matian menyangkal pernah mengajarkan bahwa iblis akan mencapai keselamatan,[8][9][68] dan menegaskan bahwa gagasan tentang iblis mencapai keselamatan adalah gagasan yang konyol.[8] Berkiprah di Kaisarea
Kegiatan Origenes pada tahun-tahun pertamanya di Kaisarea adalah mendirikan sebuah perguruan agama Kristen.[70][71] Kaisarea sudah lama dipandang sebagai salah satu pusat kegiatan belajar mengajar bagi para filsuf Yahudi dan Helenistik,[70] tetapi sampai dengan kedatangan Origenes, Kaisarea tidak memiliki lembaga pendidikan tinggi agama Kristen.[70] Menurut Eusebius, perguruan yang didirikan Origenes lebih menyasar muda-mudi penganut agama leluhur yang berminat mempelajari agama Kristen,[10][71] tetapi masih ragu-ragu untuk minta dibaptis.[10][71] Oleh karena itu perguruan yang ia dirikan berusaha menguraikan ajaran-ajaran agama Kristen melalui filsafat Plato Pertengahan.[10][72] Origenes mengawali kurikulumnya dengan mengajarkan tertib bernalar klasik ala Sokrates kepada murid-muridnya.[69] Sesudah mereka mampu menguasainya, ia mengajarkan kosmologi dan sejarah alam.[69] Sesudah semuanya mereka kuasai, barulah ia mengajarkan teologi, akumulasi dari seluruh pengetahuan yang telah mereka pelajari sebelumnya.[69] Dengan berdirinya Perguruan Agama Kristen Kaisarea, ketenaran Origenes selaku seorang cendekiawan maupun teolog pun melambung sampai ke titik puncaknya.[70] Namanya termasyhur di seluruh kawasan sekitar Laut Tengah sebagai seorang cendekiawan yang cemerlang.[70] Para waligereja di Palestina dan Arab menghormati Origenes sebagai pakar utama dalam segala hal yang berkaitan dengan teologi.[66] Sewaktu mengajar di Kaisarea, Origenes melanjutnya penyusunan Ulasan Injil Yohanes, dari jilid ke-6 sampai sekurang-kurangnya jilid ke-10.[73] Dalam jilid ke-6, Origenes mengumpamakan dirinya sebagai "seorang Israel yang lolos dari kejamnya penindasan bangsa Mesir."[70] Origenes juga menulis risalah Perihal Berdoa atas permintaan sahabatnya, Ambrosius, serta "saudarinya", Tatiana.[66] Dalam risalah ini, ia menguraikan berbagai macam cara berdoa yang tersurat dalam Alkitab, dan menyajikan suatu tafsir yang terperinci mengenai Doa Bapa Kami.[66] Bukan hanya orang Kristen, para penganut agama leluhur pun terpikat pada Origenes.[69] Setelah mendengar kabar tentang ketenaran Origenes, filsuf Neoplato, Porfirius,[69] berkunjung ke Kaisarea demi mendengar ceramahnya.[69] Porfirius meriwayatkan bahwa Origenes tidak saja sudah sangat mendalami ajaran-ajaran filsafat Pitagoras, Plato, dan Aristoteles,[69][74] tetapi juga ajaran-ajaran dari filsuf-filsuf utama aliran Plato Pertengahan, Neopitagoras, dan Stoa, antara lain Numenius dari Apamea, Kronius, Apolofanes, Longinus, Moderatus dari Gades, Nikomakus, Keremon, dan Kornutus.[69][74] Kendati demikian, Porfirius menilai Origenes telah mengkhianati filsafat sejati karena merendahkan kedalaman hikmat filsafat menjadi sekadar sarana tafsir Kitab Suci agama Kristen.[69][75] Eusebius meriwayatkan bahwa Origenes dipanggil ke Antiokhia, menghadap Yulia Avita Mamea, ibunda Kaisar Severus Aleksander, untuk "berbincang-bincang dengannya tentang filsafat dan ajaran agama Kristen."[76] Kaisar Aleksander Severus, yang menoleransi keberadaan umat Kristen di Kekaisaran Romawi, mangkat dibunuh pada tahun 235, kira-kira tiga tahun sesudah Origenes mulai mengajar di Kaisarea.[77] Maksiminus Traks, kaisar yang baru, berusaha menyingkirkan semua pendukung pendahulunya.[77] Aksi aniaya besar-besar yang dilancarkannya menyasar para pemuka umat Kristen.[77] Di Roma, Paus Ponsianus maupun Hipolitus dari Roma dijatuhi hukuman buang.[77] Sadar akan bahaya yang mengancam keselamatan nyawanya, Origenes bersembunyi di rumah seorang perawan Kristen bernama Yuliana,[77] mantan siswi Simakus, pemuka umat Kristen Ebioni.[77] Ambrosius, sahabat karib sekaligus penyokong setianya sejak lama, tertangkap di Nikomedia. Protoktetes, imam terkemuka di Kaisarea, juga tertangkap.[77] Untuk mengenang keduanya, Origenes menulis risalah Imbauan Menyongsong Kemartiran,[77][78] yang kini dihargai sebagai salah satu karya klasik terbesar dalam khazanah sastra perlawanan Kristen.[77] Sesudah Kaisar Maksiminus Traks wafat, Origenes keluar dari persembunyiannya dan mendirikan sebuah perguruan, tempat Gregorius Taumaturgus, yang kelak menjadi Uskup Pontus, menuntut ilmu. Mula-mula ia berkhotbah secara teratur setiap hari Rabu dan hari Jumat, tetapi kemudian melakukannya setiap hari.[66][79] Akhir hayatAntara tahun 238 dan 244, Origenes berkunjung ke Athena, tempatnya merampungkan Ulasan Kitab Nabi Yehezhiel dan mulai menulis Ulasan Kidung Agung.[80] Seusai kunjungannya ke Athena, ia mengunjungi Ambrosius di Nikomedia.[80] Menurut Porfirius, Origenes juga berkunjung ke Roma atau Antiokhia, tempat ia berjumpa dengan Plotinus, tokoh pendiri filsafat Neoplato.[81] Umat Kristen di kawasan sekitar Laut Tengah masih menghormati Origenes sebagai sosok yang paling ortodoks di antara semua teolog,[82] dan manakala para waligereja Palestina mendengar kabar bahwa Berilus, Uskup Busra sekaligus salah seorang pemuka umat Kristen yang paling berapi-api kala itu, telah menyebarkan ajaran adopsionisme, yakni keyakinan bahwa Yesus terlahir menjadi manusia biasa yang baru menjadi ilahi sesudah peristiwa pembaptisannya,[82] mereka pun mengutus Origenes untuk menginsyafkannya.[82] Origenes menghadapi Berilus dalam suatu acara debat yang digelar di muka umum, dan berhasil mengungguli Berilus sampai-sampai Uskup Busra ini berjanji untuk seterusnya hanya mengajarkan pandangan teologi Origenes.[82] Pernah pula seorang pemuka umat Kristen di Arab bernama Herakleides mengajarkan bahwa jiwa manusia tidaklah baka, dan turut binasa bersama jasadnya.[83] Origenes menyanggah ajaran ini dengan menegaskan bahwa jiwa manusia bersifat baka dan tidak dapat binasa.[83] Sekitar tahun 249, Wabah Siprianus berjangkit di mana-mana.[84] Karena yakin bahwa wabah ini muncul akibat keengganan umat Kristen mengakui ketuhanan dirinya, [84] Kaisar Decius pun mengeluarkan maklumat berisi perintah aniaya terhadap umat Kristen pada tahun 250.[84][10][83] Kali ini Origenes tidak melarikan diri.[10][83] Eusebius meriwayatkan betapa Origenes "menanggung siksa dan derita badani dengan kungkung besi pada lehernya di dalam penjara bawah tanah, dan dengan kedua kaki terpasung selama berhari-hari".[85][86][83] Wali Kota Kaisarea mewanti-wanti agar Origenes tidak dibunuh sebelum dapat dipaksa mengaku murtad di muka umum.[83] Origen dipenjarakan dan disiksa selama dua tahun,[83] tetapi menolak murtad.[10][87] Pada tahun 252, Kaisar Decius mangkat dibunuh dan Origenes pun dibebaskan dari penjara.[83] Kendati demikian, kesehatannya telanjur memburuk akibat siksa badani yang ditanggungnya,[10][88] dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada umur enam puluh sembilan tahun, kurang dari setahun sesudah dibebaskan.[10][88] Menurut salah satu legenda yang baru muncul belakangan dan diriwayatkan kembali oleh Hieronimus serta banyak penyusun buku panduan perjalanan, Origenes wafat dan dikuburkan di kota Tirus, tetapi legenda ini tidak begitu dapat dipercaya.[89] Karya tulisTafsir-tafsirOrigenes adalah seorang pujangga yang giat berkarya.[90][91][92][93] Menurut Epifanius, Origenes menghasilkan kira-kira 6.000 karya tulis semasa hidupnya.[94] Kebanyakan ahli sepakat bahwa angka perkiraan ini mungkin agak berlebihan.[94] Menurut Hieronimus, Eusebius hanya menyebutkan kurang dari 2.000 judul karya tulis Origenes dalam risalah Riwayat Pamfilus.[94][33] Daftar karya tulis utama Origenes yang disusun Hieronimus sendiri hanya berisi 800 judul.[94] Karya tulis Origenes yang terpenting di bidang kritik naskah sejauh ini adalah Enam Bagian, kajian perbandingan sejumlah hasil terjemahan Kitab Suci Perjanjian Lama yang tersaji dalam enam kolom.[95] Kolom pertama menampilkan ayat-ayat Alkitab dalam bahasa dan aksara Ibrani, kolom kedua menampilkan ayat-ayat yang sama dalam bahasa Ibrani yang ditulis dengan menggunakan aksara Yunani, kolom ketiga menampilkan terjemahan Yunani versi Septuaginta, kolom keempat menampilkan terjemahan Yunani versi Teodotion (cendekiawan Yahudi dari sekitar tahun 180 M), kolom kelima menampilkan terjemahan Yunani versi Akuila dari Sinope (cendekiawan Yahudi dari sekitar kurun waktu 117-138), dan kolom keenam menampilkan terjemahan Yunani versi Simakus (cendekiawan Kristen Ebioni dari sekitar kurun waktu 193-211).[95][96] Origenes adalah cendekiawan Kristen pertama yang memperkenalkan pembubuhan tanda kritik pada teks Alkitab.[97] Ia menandai kolom versi Septuaginta dalam Enam Bagian dengan tanda-tanda yang diadaptasi dari tanda-tanda yang digunakan para kritikus naskah di Perpustakaan Aleksandria.[97] Ayat-ayat dalam Septuaginta yang tidak didapati dalam teks Ibrani ia tandai dengan asteris (*),[97] sedangkan ayat-ayat dalam versi-versi terjemahan Yunani yang tidak didapati dalam Septuaginta ia tandai dengan obelus (÷).[97] Enam Bagian menjadi landasan Perpustakaan Kaisarea yang didirikan Origenes.[97] Enam Bagian masih menjadi buku koleksi utama Perpustakaan Kaisarea pada zaman Hieronimus.[97] Dalam surat-suratnya, Hieronimus mengaku sudah berkali-kali menggunakan buku ini.[97] Ketika Kaisar Konstantinus Agung memerintahkan pembuatan lima puluh salinan lengkap Alkitab untuk disebar ke seluruh wilayah Kekaisaran Romawi, Enam Bagian dijadikan naskah acuan dalam pembuatan salinan Perjanjian Lama oleh Eusebius.[97] Kendati buku aslinya sudah hilang,[98] Enam Bagian masih terlestarikan dalam berbagai sisa naskah.[97] Ada pula sebuah karya terjemahan yang kurang lebih lengkap dari kolom versi Yunani ke dalam bahasa Suryani yang dikerjakan oleh Paulus, Uskup Tela pada abad ke-7.[98] Pada tempat-tempat tertentu dalam Enam Bagian, Origenes menyisipkan kolom-kolom tambahan yang berisi versi-versi terjemahan Yunani yang lain.[97] Untuk Kitab Mazmur, ia menyajikan tidak kurang dari delapan versi terjemahan Yunani, sehingga bagian ini dikenal dengan sebutan Sembilan Bagian (bahasa Yunani: Εννέαπλά, Eneapla).[97] Origenes juga menyusun Empat Bagian (bahasa Yunani: Τετραπλά, Tetrapla), yakni versi ringkas dari Enam bagian, yang berisi keempat versi terjemahan Yunani dari Enam Bagian tanpa didampingi teks Ibrani.[97] Hieronimus meriwayatkan dalam Epistola 33 bahwa Origenes menulis skolion (penjelasan) untuk Kitab Keluaran, Kitab Imamat, Kitab Nabi Yesaya, Kitab Mazmur bab 1-15, Kitab Pengkhotbah, dan Injil Yohanes.[94] Tak satu pun dari kumpulan skolion ini yang lestari sampai sekarang,[94] tetapi penggalan-penggalan isinya dimasukkan ke dalam Catenaea, kumpulan kutipan dari buku-buku ulasan Alkitab yang ditulis Bapa-Bapa Gereja.[94] Penggalan-penggalan lain dari kumpulan skholion ini terlestarikan dalam risalah Origenes yang berjudul Filokalia dan dalam risalah hujah membela Origenes yang ditulis oleh Pamfilus dari Kaisarea,[94] demikian pula dengan Stromateis, dan catatan pinggir Codex Athous Laura, 184, yang memuat petikan-petikan dari skolion untuk Roma 9:23, 1 Korintus 6:14, 1 Korintus 7:31, 1 Korintus 7:34, 1 Korintus 9:20–21, 1 Korintus 10:9, beserta sejumlah kecil petikan-petikan lain. Origenes menulis naskah-naskah khotbah mengenai seluruh isi Alkitab. Ada 205 atau 279 naskah khotbah Origenes yang masih lestari hingga sekarang, baik dalam bahasa Yunani maupun terjemahannya ke dalam bahasa Latin.[c] Khotbah-khotbahnya yang masih terlestarikan sampai sekarang adalah 16 khotbah mengenai isi Kitab Kejadian, 13 khotbah mengenai isi Kitab Keluaran, 16 khotbah mengenai isi Kitab Imamat, 28 khotbah mengenai isi Kitab Bilangan, 26 khotbah mengenai isi Kitab Yosua, 9 khotbah mengenai Kitab Hakim-Hakim, 2 khotbah mengenai isi Kitab Samuel I, 9 khotbah mengenai isi Kitab Mazmur bab 36-38,[d] 2 khotbah mengenai isi nyanyian-nyanyian pujian, 9 khotbah mengenai isi Kitab Nabi Yesaya, khotbah-khotbah mengenai isi Kitab Nabi Yeremia (7 khotbah dalam bahasa Yunani, 2 khotbah dalam bahasa Latin, dan 12 khotbah yang tersedia dalam bahasa Yunani maupun bahasa Latin), 14 khotbah mengenai isi Kitab Nabi Yehezkiel, dan 39 khotbah mengenai isi Injil Lukas. Khotbah-khotbahnya disampaikan dari mimbar gereja di Kaisarea, kecuali 2 khotbah mengenai isi Kitab Samuel I yang disampaikan di Yerusalem. Nautin berpendapat bahwa semua khotbahnya disampaikan dalam satu siklus liturgi yang mencakup jangka waktu tiga tahun, kira-kira antara tahun 238 dan 244, sebelum penulisan Ulasan Kidung Agung, yang memuat rujukan-rujukan Origenes pada khotbah-khotbahnya mengenai isi Kitab Hakim-Hakim, Kitab Keluaran, Kitab Bilangan, dan salah satu karya tulisnya mengenai isi Kitab Imamat.[101] Pada tanggal 11 Juni 2012, Perpustakaan Negara Bagian Bayern mengumumkan bahwa filolog Italia, Marina Molin Pradel, telah menemukan dua puluh sembilan khotbah Origenes yang belum diketahui sebelumnya, terlestarikan di dalam sebuah naskah Romawi Timur dari abad ke-12, yang tersimpan di perpustakaan tersebut.[102][103] Profesor Lorenzo Perrone dari Universitas Bologna beserta sejumlah pakar lain mengukuhkan keaslian khotbah-khotbah ini.[104] Origenes adalah narasumber utama informasi tentang pemanfaatan karya-karya tulis yang kelak disahkan menjadi Kitab Suci Perjanjian Baru.[105][106] Informasi ini digunakan dalam penyusunan Surat Paskah pada akhir abad ke-4, berisi daftar karya-karya tulis sahih agama Kristen, yang mungkin sekali didasarkan pada daftar yang termuat dalam Sejarah Gereja karya Eusebius bab 3 ayat 25 dan bab 6 ayat 25, yang mengacu pada keterangan dari Origenes.[106] Origenes mengakui sepenuhnya keaslian surat 1 Yohanes, 1 Petrus, dan Surat Yudas[105], serta mengakui keaslian Surat Yakobus dengan sedikit keraguan.[107] Ia juga membenarkan pemanfaatan surat 2 Yohanes, 3 Yohanes, dan 2 Petrus,[99] tetapi mewanti-wanti bahwa ketiga-tiganya dicurigai sebagai karya tulis gadungan.[99] Origenes mungkin pula membenarkan pemanfaatan karya-karya tulis yang kelak ditolak oleh para pujangga Gereja lainnya, antara lain Surat Barnabas, Gembala Hermas, dan 1 Klemens.[108] "Origenes bukanlah pencetus gagasan kanon Alkitab, tetapi sudah tentu dialah sumber dari dasar-dasar filsafat dan tafsir sastra yang melandasi keseluruhan gagasan tersebut."[108] Ulasan-ulasanDibading khotbah-khotbahnya, ulasan-ulasan Origenes mengenai kitab-kitab tertentu dalam Alkitab lebih berfokus pada tafsir sistematis.[109] Dalam ulasan-ulasannya, Origenes menerapkan metodologi kritik saksama (yang dikembangkan oleh para cendekiawan Mouseion di Aleksandria) pada Kitab Suci agama Kristen.[109] Isi ulasan-ulasannya juga mencerminkan pengetahuan ensiklopedik Origenes yang mengagumkan tentang berbagai macam hal,[109] dan kemampuannya untuk merujuk-silang kata-kata tertentu, dengan menyusun daftar berisi semua tempat kemunculan kata tertentu dalam Kitab Suci berikut semua maknanya.[109] Semua ini terasa semakin mengagumkan jika mengingat bahwa Origenes melakukannya pada zaman konkordansi Alkitab belum diciptakan.[109] Ulasan Injil Yohanes, yang memenuhi lebih dari tiga puluh dua jilid buku saat rampung,[110] ditulis dengan maksud khusus untuk menyajikan tafsir yang benar atas ayat-ayat Kitab Suci sekaligus untuk menyanggah tafsir Kitab Suci yang dikemukakan oleh Herakleon, guru aliran Kristen Gnostik pengikut Valentinus,[109][111] yang memanfaatkan ayat-ayat Injil Yohanes untuk mendukung dalilnya bahwa sesungguhnya ada dua ilah, bukannya satu saja.[109] Dari ketiga puluh dua jilid Ulasan Injil Yohanes, hanya sembilan yang masih lestari, yakni jilid ke-1, ke-2, ke-6, ke-10, ke-13, ke-20, ke-28, ke-32, dan sisa-sisa jilid ke-19.[112] Dari dua puluh lima jilid Ulasan Injil Matius yang ditulis Origenes, hanya delapan jilid yang sintas dalam bahasa Yunani, yakni jilid ke-10 sampai jilid ke-17 yang mencakup ulasan ayat-ayat Matius 13.36-22.33.[112] Ada pula sebuah buku yang memuat hasil terjemahannya ke dalam bahasa Latin, tanpa informasi mengenai jati diri penerjemahnya. Karya terjemahan ini bermula dengan isi jilid ke-12 bab 9 versi Yunani, yang mencakup ulasan ayat-ayat Matius 16.13-27.66.[112][113] Bagian-bagian tertentu dari isi karya terjemahan ini tidak ditemukan dalam versi Yunani, dan bagian-bagian tertentu dari versi Yunani tidak ditemukan di dalamnya.[112] Ulasan Injil Matius karya Origenes diakui semua pihak sebagai sebuah karya tulis klasik, bahkan sesudah pembidahan terhadap dirinya,[112] dan kelak menjadi karya tulis yang membuat Injil Matius ditempatkan pada urutan pertama.[112] Dari lima belas jilid Ulasan Surat Paulus kepada Jemaat di Roma yang ditulis Origenes, hanya segelintir sisa naskah dalam bahasa Yunani.[112] Versi terjemahan ringkasnya bahasa Latin disusun oleh rahib Tiranius Rufinus menjelang akhir abad ke-4.[114][e] Sejarawan Sokrates Skolastikus mencatat bahwa Origenes memasukkan pula pembahasan mengenai penyandangan gelar teotokos pada Bunda Maria dalam ulasannya,[114] tetapi pembahasan ini tidak ditemukan dalam karya terjemahan Rufinus,[114] mungkin sekali karena Rufinus tidak sependapat dengan Origenes terkait pokok bahasan ini, kendati pandangan Origenes sendiri tidak lagi dapat diketahui.[114] Origenes juga menulis Ulasan Kidung Agung,[114] berisi penjelasan saksama tentang alasan mengapa Kidung Agung relevan bagi umat Kristen.[114] Ulasan Kidung Agung adalah ulasan Origenes yang banyak menuai pujian.[114] Dalam kata pengantar karya terjemahan dua khotbah Origenes terkait Kidung Agung ke dalam bahasa Latin, Hieronimus mengungkapkan kekagumannya dengan kalimatnya yang terkenal, bahwa "dalam karya-karya tulisnya yang lain, Origenes mengungguli para cerdik pandai sebagaimana biasanya. Namun dalam ulasan ini, ia mengungguli dirinya sendiri."[114] Origenes menjabarkan lebih lanjut tafsir Rabi Akiba[114] dengan menafsirkan bahwa Kidung Agung adalah suatu kiasan suluk, di mana mempelai laki-laki melambangkan Sang Logos sementara mempelai perempuan melambangkan jiwa orang percaya.[114] Ulasan Kidung Agung Origenes adalah ulasan Kristen pertama yang menyajikan tafsir semacam ini,[114] dan kelak sangat mempengaruhi tafsir-tafsir Kidung Agung sesudahnya.[114] Kendati demikian, hanya tinggal sebagian isinya yang terlestarikan dalam terjemahan Latinnya, hasil karya Tiranus Rufinus pada tahun 410.[114][f] Sisa-sisa dari ulasan-ulasan lain juga masih ada sekarang ini. Bagian-bagian tertentu dari Filokalia Origenes memuat petikan-petikan dari jilid ke-3 Ulasan Kitab Kejadian. Ada pula ulasan tentang isi Kitab Mazmur i, iv.1, ulasan singkat tentang nyanyian-nyanyian pujian, ulasan panjang tentang nyanyian-nyanyian pujian, jilid ke-20 dari ulasan tentang isi Kitab Nabi Yehezkiel,[g] dan ulasan tentang isi Kitab Nabi Hosea. Sehubungan dengan ulasan-ulasan yang sudah tidak ada lagi sekarang ini, hanya ada sedikit sekali bukti mengenai pembagiannya.[h] Perihal Asas-AsasPerihal Asas-Asas merupakan penjabaran teologi Kristen secara sistematis untuk pertama kalinya.[115][40] Origenes menyusun karya tulis ini pada masa mudanya, antara tahun 220 dan 230, saat masih tinggal di Aleksandria.[115] Sisa-sisa dari jilid 3.1 dan jilid 4.1-3 dalam bahasa Yunani terlestarikan dalam Filokalia karya Origenes.[115] Segelintir kutipan-kutipan yang lebih pendek dari karya asli dalam bahasa Yunani terlestarikan dalam Surat kepada Menas yang ditulis Yustinianus.[115] Mayoritas isi teks hanya terlestarikan dalam bentuk terjemahannya ke dalam bahasa Latin yang dihasilkan oleh Tiranius Rufinus pada tahun 397, itu pun dalam bentuk yang sudah sangat diringkas.[115] Perihal Asas-Asas diawali dengan sebuah esai berisi penjelasan mengenai hakikat teologi.[115] Isi jilid pertama berkenaan dengan ranah surgawi,[115][40] yakni uraian-uraian mengenai keesaan Allah, keterkaitan antarpribadi Allah Tritunggal, hakikat roh ilahi, akal budi, dan para malaikat.[116] Isi jilid ke-2 berkenaan dengan ranah insani, yakni uraian-uraian tentang penjelmaan Sang Logos, jiwa manusia, kehendak bebas, dan eskatologi.[117][40] Isi jilid ke-3 berkenaan dengan kosmologi, dosa, dan penebusan.[117][40] Isi jilid ke-4 berkenaan dengan teologi dan tafsir Kitab Suci.[117][40] Melawan KelsosMelawan Kelsos (bahasa Yunani: Κατὰ Κέλσου, Kata Kelsou; bahasa Latin: Contra Celsum), yang seluruh isinya masih lestari dalam bahasa Yunani, adalah karya tulis terakhir Origenes, yang ia susun sekitar tahun 248. Melawan Kelsos adalah karya tulis hujah pembelaan ajaran agama Kristen yang benar dari serangan Kelsos, filsuf penganut agama leluhur yang pada Abad Kuno dipandang sebagai penentang tergigih Gereja Perdana.[11][120] Pada tahun 178, Kelsos menulis sebuah polemik berjudul Perihal Ajaran Yang Benar (bahasa Yunani: Λόγος Ἀληθής, Logos Alētēs), berisi berbagai dalil menentang agama Kristen.[120] Gereja mengabaikan serangan Kelsos,[120] tetapi Ambrosius, penyokong Origenes, menyodorkan permasalahan ini ke hadapan Origenes.[120] Mula-mula Origenes ingin mengabaikan Kelsos dan membiarkan dalil-dalilnya terlupakan dengan sendirinya,[120] tetapi salah satu dalil utama Kelsos, yakni dalil bahwa tidak seorangpun ahli filsafat Plato yang menghargai diri sendiri akan mau bertindak kelewat bodoh dengan menjadi pemeluk agama Kristen, membuat Origenes merasa terusik untuk menyusun karya tulis sanggahan.[120] Dalam karya tulis ini, Origenes secara sistematis menyanggah setiap dalil Kelsos, butir demi butir,[11][119] dan menyajikan dalil-dalil rasional yang melandasi ajaran agama Kristen.[121][122][74] Origenes mendasarkan banyak mengacu pada ajaran Plato,[123] serta berdalil bahwa agama Kristen tidak mustahil dapat seiring sejalan dengan filsafat Yunani,[123] dan bahwa filsafat mengandung banyak perkara yang benar dan mengagumkan,[123] tetapi Alkitab mengandung hikmat yang lebih besar daripada segala macam hikmat yang dapat dinalar para filsuf Yunani.[123] Tuduhan Kelsos bahwasanya mukjizat-mukjizat Yesus hanyalah permainan sulap belaka, bukannya bukti kuasa ilahi, disanggah Origenes dengan berdalil bahwa tidak seperti para pesulap, Yesus tidak membuat mukjizat sebagai bahan pertunjukan melainkan sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak orang yang menyaksikannya.[121] Melawan Kelsos menjadi karya tulis yang paling berpengaruh di antara semua karya tulis hujah Gereja Perdana.[11][119] Sebelum Melawan Kelsos ditulis, agama Kristen dipandang sebelah mata oleh banyak orang sebagai agama rakyat jelata yang buta huruf dan tidak terpelajar.[121][119] Dengan Melawan Kelsos, Origenes mengangkat agama Kristen ke tataran ilmiah.[118][119] Melawan Kelsos sangat dikagumi oleh Eusebius, sampai-sampai dalam jilid pertama karya tulisnya yang berjudul Melawan Hierokles, ia mengemukakan bahwa Melawan Kelsos memuat dalil-dalil yang memadai untuk mematahkan segala macam kritik terhadap Gereja.[124] Lain-lainAntara tahun 232 dan 235, saat berada di Palestina, Origenes menulis risalah Perihal Berdoa. Seluruh isi risalah masih terlestarikan sampai sekarang dalam bahasa Yunani sebagaimana aslinya.[66] Risalah didahului dengan pengantar mengenai objek berdoa, perlunya berdoa, dan manfaat berdoa, disambung dengan penjelasan doa Bapa Kami, ditutup dengan keterangan mengenai posisi, tempat, dan sikap yang perlu diperhatikan pada saat berdoa, serta jenjang doa.[66] Perihal Kemartiran atau Imbauan Menyongsong Kemartiran, yang juga terlestarikan utuh dalam bahasa Yunani,[77] ditulis kira-kira sesudah bermulanya aksi aniaya besar-besaran atas titah Kaisar Maksiminus pada paruh pertama tahun 235.[77] Dalam risalah ini, Origenes memberi peringatan kepada pembaca untuk tidak main-main dengan penyembahan berhala, dan menggarisbawahi kewajiban menanggung kemartiran dengan gagah berani, sementara dalam bagian ke-2 ia menjelaskan makna kemartiran.[77] Papirus-papirus yang ditemukan di Tura pada tahun 1941 memuat dua risalah Origenes dalam bahasa Yunani yang sebelumnya tidak diketahui orang.[122] Tarikh penyusunan kedua risalah ini tidak dapat ditentukan secara pasti, tetapi mungkin sekali keduanya ditulis seusai aksi aniaya besar-besaran atas titah Kaisar Maximinus pada tahun 235.[122] Yang satu berjudul Perihal Paskah,[122] dan yang lain berjudul Dialog dengan Herakleides, yakni notula debat antara Origenes dan Herakleides yang disusun oleh salah seorang juru tulis cepat Origenes. Herakleides adalah Uskup Arab penganut paham kuasimonarkianisme, yang mengajarkan bahwa Allah Bapa dan Allah Putra adalah satu pribadi yang sama.[125][122][126][i] Dalam Dialog dengan Herakleides, Origenes menggunakan cara pengusutan Sokrates guna meyakinkan Herakleides untuk menerima "teologi Logos",[125][127] prototipe dari ajaran tentang ketritunggalan Allah.[128] Isi Dialog dengan Herakleides dengan jelas menunjukkan bahwa adu pendapat antara Origenes dan Herakleides, khususnya penyampaian tanggapan-tanggapan Origenes, berlangsung dalam suasana akrab dan penuh adab jika dibandingkan dengan polemik-polemik Tertulianus yang tajam maupun debat-debat yang sengit pada abad ke-4 antara kubu pengusung ajaran ketritunggalan Allah dan kubu pengusung ajaran Arius.[127] Karya-karya tulis yang hilang mencakup dua jilid buku tentang kebangkitan, yang ditulis sebelum Perihal Asas-Asas, dan dua jilid buku tentang perihal yang sama dalam bentuk tanya-jawab yang didedikasikan bagi Ambrosius. Eusebius mengoleksi lebih dari seratus pucuk salinan surat Origenes,[129] dan ada beberapa jilid kumpulan salinan surat Origenes dalam daftar yang disusun Hieronimus. Selain dari sejumlah kecil sisa naskah, hanya tiga surat yang masih lestari.[130] Yang pertama ada adalah sepucuk surat yang dialamatkan kepada sahabat-sahabat di Aleksandria; sebagian isinya terlestarikan dalam terjemahan Latin Rufinus.[130][8] Yang kedua adalah sepucuk surat pendek yang dialamatkan kepada Gregorius Taumaturgus; terlestarikan dalam Filokalia.[130] Yang ketiga adalah sepucuk surat balasan kepada Sekstus Yulius Afrikanus; seluruh isi surat masih lestari dalam bahasa Yunani, bahkan isi surat dari Sekstus pun masih lestari; memuat pembelaan keaslian bagian tambahan berbahasa Yunani dalam Kitab Daniel.[130][80] Karya-karya tulis gadungan yang disusun dengan mencatut nama Origenes semasa hidupnya dibahas Rufinus dalam De adulteratione librorum Origenis. Dialogus de recta in Deum fide, Filosofumena yang diyakini sebagai karangan Hipolitus dari Roma, dan Ulasan Kitab Ayub karangan Yulianus Si Pengikut Arius juga pernah disebut-sebut sebagai hasil karya Origenes.[131][132][133] PandanganKristologiDalam tulisannya, Origenes mengemukakan bahwa Yesus adalah "yang sulung dari segala ciptaan, yang mengambil wujud raga dan jiwa manusia."[134] Ia sungguh-sungguh percaya bahwa Yesus memiliki jiwa insani,[134] dan memandang keji paham Doketisme (keyakinan bahwa Yesus datang ke dunia dalam bentuk roh, bukan dalam bentuk jasad).[134] Origenes membayangkan kodrat insani Yesus sebagai jiwa yang paling rapat dengan Allah, dan tetap setia secara sempurna pada Allah, kendati semua jiwa lain akhirnya menjauh dari Allah.[134][135] Pada waktu menjelma menjadi manusia, jiwa Yesus manunggal dengan Logos dan "saling berbaur" menjadi satu.[136][135] Dengan demikian, menurut Origenes, Kristus memiliki kodrat insani sekaligus ilahi,[136][135] tetapi sebagaimana semua jiwa lain, kodrat insani Kristus sudah wujud sejak semula.[137][135] Origenes adalah orang pertama yang mencetuskan teori pampas penebusan dalam bentuk yang sudah paripurna,[138] sekalipun Ireneus sudah lebih dahulu mencetuskan semacam prototipe dari teori ini.[138] Menurut teori ini, kematian Kristus di kayu salib adalah pampasan kepada setan sebagai ganti kebebasan umat manusia.[138] Menurut teori ini juga, setan sesungguhnya telah diperdaya Allah,[138][139] karena Kristus bukan saja tidak berdosa, melainkan juga adalah penjelmaan ilahi, yang tidak dapat diperbudak setan.[139] Teori ini kelak diperluas lebih lanjut oleh teolog-teolog seperti Gregorius dari Nisa dan Rufinus dari Akuilea.[138] Pada abad ke-11, Anselmus dari Canterbury mengecam teori pampas beserta teori Christus Victor yang masih berkaitan dengannya,[138] sehingga jumlah peminatnya di kawasan barat Eropa jauh berkurang.[138] Bagaimanapun juga teori pampas masih lumayan populer dalam Gereja Ortodoks Timur.[138] Kosmologi dan eskatologiSalah satu ajaran utama Origenes adalah ajaran prawujud jiwa,[141][142][140][135] yakni ajaran bahwa sebelum menciptakan jagat raya indrawi, Allah terlebih dahulu menciptakan seluruh kecerdasan tak berjasad (bahasa Yunani: ψυχαί, psikai).[142][140][143][135] Mula-mula semua jiwa ini hanya berkhidmat dan mengasihi khaliknya,[142][143][135] tetapi seiring meredupnya pijaran api ilahi, hampir semua kecerdasan nirjasad ini lambat laun jenuh berkhidmat kepada Allah, dan kasih mereka terhadap-Nya pun "meredup" (bahasa Yunani: ψύχεσθαι, psikestai).[142][140][143][135] Ketika Allah menciptakan jagad indria, jiwa-jiwa yang sebelumnya sudah wujud tanpa jasad ini pun mengejawantah.[142][140] Jiwa-jiwa yang paling redup rasa kasihnya terhadap Allah mengejawantah menjadi roh-roh jahat.[143][135] Jiwa-jiwa yang lumayan redup rasa kasihnya terhadap Allah mengejawantah menjadi jiwa manusia, yang nantinya akan menitis ke dalam raga.[143][135] Jiwa-jiwa yang tidak begitu redup rasa kasihnya terhadap Allah mengejawantah menjadi para malaikat.[143][135] Akan tetapi ada satu jiwa yang tetap berkhidmat secara sempurna kepada Allah, dan manunggal dengan Sabda (Logos) Allah melalui kasihnya yang sempurna terhadap Allah.[134][135] Logos pada akhirnya menitis ke dalam raga dan dilahirkan ke dunia oleh Perawan Maria, menjadi Allah sekaligus manusia, Yesus Kristus.[134][143][135] Origenes mungkin saja percaya dan mungkin pula tidak percaya pada ajaran Plato tentang metempsikosis ("transmigrasi jiwa" alias reinkarnasi).[144] Origenes secara tegas menolak "ajaran palsu perihal transmigrasi jiwa-jiwa ke raga-raga",[145][17] tetapi mungkin yang ia tolak adalah jenis transmigrasi tertentu.[145] Geddes MacGregor berpendapat bahwa Origenes tentunya percaya pada metempsikosis karena selaras dengan pandangan eskatologinya,[146] dan tidak pernah secara tegas dinafikan dalam Alkitab.[146] Kendati demikian, Roger E. Olson menolak anggapan bahwa Origenes percaya pada reinkarnasi sebagai suatu kesalahpahaman gerakan Zaman Baru terhadap ajaran-ajaran Origenes.[147] Sudah tentu Origenes menolak pandangan filsafat stoa mengenai jagat raya yang berulang,[145] yang secara langsung bertentangan dengan pandangan eskatologinya.[145] Origenes percaya bahwa seluruh dunia pada akhirnya akan memeluk agama Kristen,[148] "karena dunia terus-menerus mendapatkan semakin banyak jiwa."[149] Ia percaya bahwa Kerajaan Surga belum datang,[150] tetapi setiap orang Kristen wajib menghadirkan realitas akhir zaman tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.[150] Origenes menganut paham kesemestaan,[151] yang mengajarkan bahwa semua manusia pada akhirnya akan mencapai keselamatan,[152][17][151] tetapi hanya sesudah dimurnikan dari dosa-dosanya oleh "api ilahi".[153] Sejalan dengan tafsir kias Origenes, "api ilahi" bukanlah api secara harfiah, melainkan dukacita mendalam karena menyadari dosa-dosa diri sendiri.[152][153] Origenes juga senantiasa bersikap hati-hati dengan menegaskan bahwa keselamatan semesta hanyalah suatu kemungkinan, bukan ajaran yang sudah baku.[152] Hieronimus mengutip kalimat yang konon berasal dari Origenes, yakni "sesudah akhir zaman dan pemulihan fitrah segala sesuatu yang hanya berlangsung satu kali, Gabriel akan seharkat dengan Iblis, Paulus akan seharkat dengan Kayafas, dan anak-anak perawan akan seharkat dengan para pelacur."[151] Kendati demikian, Hieronimus tidak secara sengaja mengubah kutipan-kutipan agar membuat Origenes tampak lebih mirip seorang ahli bidah,[143] dan Origenes sendiri jelas-jelas menegaskan dalam Surat kepada Sahabat-Sahabat di Aleksandria bahwa Setan dan roh-roh jahat pengikutnya tidak ikut mengambil bagian dalam keselamatan pada akhir zaman.[152][68] EtikaOrigenes sungguh-sungguh yakin akan keberadaan kehendak bebas manusia,[155] dan menolak keras ajaran kaum pengikut Valentinus mengenai keterpilihan orang-orang tententu.[156] Origenes justru meyakini bahwa jiwa-jiwa yang tak berjasad sekalipun memiliki kemampuan untuk membuat keputusan sendiri.[156] Lebih lanjut lagi, dalam tafsirnya atas riwayat Yakub dan Esau, Origenes mengemukakan bahwa peri kehidupan seseorang saat lahir sesungguhnya bergantung pada amal perbuatan jiwanya semasa prawujud.[154] Menurut Origen, ketimpangan semu peri kehidupan manusia, yakni ada yang miskin, ada yang kaya, ada yang sakit-sakitan, dan ada yang sehat walafiat, sesungguhnya adalah akibat dari amal perbuatan jiwanya sebelum menitis ke dalam raga.[154] Origenes membela gagasan mengenai kehendak bebas manusia dalam tafsir-tafsirnya atas sejumlah contoh kemahatahuan ilahi akan masa depan yang termaktub di dalam Kitab Suci.[157] Ia berpendapat bahwa riwayat Injil tentang kemahatahuan Yesus akan pengkhianatan Yudas sebelum terjadi, dan riwayat Kitab Ulangan tentang kemahatahuan Allah akan pembangkangan bangsa Israel di masa depan, hanya sekadar menunjukkan bahwa Allah sudah sejak semula mengetahui kejadian-kejadian yang akan terjadi.[157] Oleh karena itu Origenes menyimpulkan bahwa pribadi-peribadi yang terlibat dalam kejadian-kejadian tersebut tetap saja membuat keputusan sendiri berdasarkan kehendak bebas masing-masing.[157] Origenes adalah penganjur ahimsa yang gigih.[158][159][149][160] Dalam Melawan Kelsos, ia mengemukakan bahwa fitrah ahimsa adalah salah satu gatra agama Kristen yang paling menonjol secara lahiriah.[158] Kendati mengakui bahwa ada orang Kristen yang mengabdi pada negara selaku personel angkatan bersenjata Romawi,[161][162][149] Origenes menggarisbawahi kenyataan bahwa sebagian besar umat Kristen tidaklah demikian,[161][149] dan menegaskan bahwa tindakan melibatkan diri dalam peperangan duniawi sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Kristus.[161][159][149][160] Origenes membenarkan bahwa adakalanya perang memang perlu bagi sebuah negara non-Kristen,[163] tetapi juga menegaskan bahwa orang Kristen mustahil melibatkan diri dalam perang semacam itu tanpa mengkompromikan imannya, karena Kristus secara mutlak melarang segala bentuk kekerasan.[163][160] Menurut Origenes, tindak kekerasan yang diriwayatkan dalam beberapa bagian Kitab Suci Perjanjian Lama sesungguhnya bermakna kiasan,[148] dan menunjukkan sejumlah ayat Perjanjian Lama yang ia tafsirkan mendukung ahimsa, misalnya Mazmur 7:4–6 dan Ratapan 3:27–29.[148] Origenes mengemukakan bahwa andaikata semua orang cinta damai dan cinta sesama seperti umat Kristen, tidak akan ada lagi peperangan, sehingga negara tidak lagi membutuhkan angkatan bersenjata.[164] Asas tafsir Alkitab
Origenes melandaskan setiap ajaran teologinya pada Kitab Suci agama Kristen,[142][165][144][135] dan tidak pernah merujuk ajaran-ajaran filsafat Plato sebelum meneguhkan pandangannya dengan dalil-dalil Alkitabiah yang kukuh.[142][166] Bagi Origenes, Kitab Suci adalah karya tulis yang diilhami Allah.[142][165][144][167] Ia juga senantiasa berhati-hati agar jangan sampai mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan tafsir-tafsir Kitab Suci yang ia buat sendiri.[144] Bagaimanapun juga, Origenes memang gemar berspekulasi melampaui apa yang dinyatakan secara eksplisit di dalam Alkitab,[147][168] dan kegemaran inilah yang sering kali menempatkan dirinya pada ranah abu-abu di antara ajaran ortodoks dan bidah.[147][168] Menurut Origenes, ada dua ragam sastra Alkitabiah, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, yakni historia ("sejarah, atau narasi") dan nomotesia ("legislasi, atau tuntunan mencapai budi pekerti yang luhur").[167] Origenes dengan tegas menyatakan bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru harus dibaca bersamaan dengan mengikuti aturan yang sama pula.[169] Origenes mengajarkan pula bahwa ada tiga cara yang berlainan dalam menafsir ayat-ayat Kitab Suci,[169][40] yakni cara "jasmani", cara "sukmawi", dan cara "rohani". Cara "jasmani" adalah tafsir secara harfiah, yakni tafsir kesejarahan dari suatu ayat;[169][40] cara "sukmawi" adalah mengkaji hikmah yang tersembunyi di balik suatu ayat;[169][40] sementara cara "rohani" adalah mengkaji makna yang kekal, yakni kenyataan nirjasad yang disampaikan suatu ayat.[169][40] Origenes menyajikan contoh-cotoh sempurna dari cara "jasmani" dalam tafsir Kitab Amsal, cara "sukmawi" dalam tafsir Kitab Imamat, dan cara "rohani" dalam tafsir Kitab Kidung Agung yang ia susun.[170] Origenes menganggap tafsir "rohani" sebagai tafsir yang paling mendalam sekaligus tafsir yang menyampaikan makna yang paling penting dari suatu ayat.[170] Ia mengajarkan bahwa ada sejumlah ayat yang tidak mengandung makna harfiah sama sekali, dan hanya mengandung makna kias semata.[170] Kendati demikian, ia menegaskan bahwa "ayat-ayat yang benar dari segi kesejarahan jauh lebih banyak jumlahnya dibanding ayat-ayat yang disusun dengan makna rohani semata,"[170] dan kerap menggunakan contoh-contoh dari kenyataan-kenyataan nirjasad.[171] Origenes mendapati bahwa ayat-ayat mengenai kehidupan Yesus di dalam keempat injil kanonik mengandung pertentangan-pertengangan yang tak terukunkan,[172][173][174] tetapi ia menganggap pertentangan-pertentangan ini tidak mengecilkan makna rohani dari ayat-ayat tersebut.[173][174] Gagasan Origenes tentang dua kali penciptaan didasarkan atas tafsir kias kisah penciptaan dalam dua bab pertama Kitab Kejadian.[140] Penciptaan kali pertama, sebagaimana diriwayatkan dalam Kejadian 1:26, adalah penciptaan jiwa-jiwa purbakala,[175] yang dijadikan "menurut citra Allah" dan oleh karena itu bersifat nirjasad seperti Allah.[175] Penciptaan kali kedua, sebagaimana diriwayatkan dalam Kejadian 2:7, adalah peristiwa pemberian raga rohani atau badan halus kepada jiwa manusia, [176] dan riwayat tentang Allah memakaikan "pakaian dari kulit binatang" kepada Adam dan Hawa dalam Kejadian 3:21 adalah peristiwa perubahan badan halus menjadi badan kasar.[175] Dengan demikian, tahap-tahap ini merupakan tahap-tahap kemerosotan dari keadaan suci nirjasad.[175] TeologiKonsepsi Origenes mengenai Allah Bapa bernuansa apofatis. Ia meyakini bahwa Allah itu sempurna keesaan-Nya, tanwujud, nirjasad, mengatasi segala sesuatu, dan oleh karena itu tak terpahami lagi tak terbandingkan. Allah Bapa juga tidak berubah serta mengatasi ruang dan waktu. Akan tetapi kemahakuasaan-Nya dibatasi oleh kemahabaikan, kemahaadilan, serta kemahabijaksanaan-Nya, dan sekalipun mahaleluasa, kemahabaikan serta kemahakuasaan-Nya mengharuskan-Nya menyatakan diri. Pernyataan diri Allah, yakni pancaran kekal diri Allah, dibahasakan Origenes dengan berbagai istilah, salah satunya adalah Logos. Pernyataan diri Allah adalah ciptaan-Nya yang pertama (bdk. Prov. viii. 22), untuk menjadi perantara cipta antara Allah dan jagad raya dalam penciptaan. Perantaraan Logos diperlukan karena Allah itu mahaesa dan mahaajeg, sehingga tidak dapat menjadi sumber dari jagat raya dan sekian banyak isinya. Logos adalah asas cipta dan budi yang meresapi jagat raya.[184] Logos menggerakkan seluruh umat manusia melalui kemampuan mereka untuk berpikir secara logis dan masuk akal,[185] guna menuntun mereka menuju kebenaran pernyataan diri Allah.[185] Seiring perkembangan nalarnya, semua manusia kian serupa dengan Kristus.[184] Kendati demikian, mereka masih mempertahankan individualitas masing-masing, dan tidak menyatu padu dengan Kristus.[186] Penciptaan hanya terlaksana melalui Logos, dan pendekatan Allah yang paling karib dengan jagat raya adalah firman untuk mencipta. Kendati pada hakikatnya esa, Logos mengandung sejumlah besar konsep, sehingga Origenes mengistilahkannya, dengan lagak khas ahli filsafat Plato, sebagai "hakikat segala hakikat" dan "cipta segala cipta". Origenes banyak berjasa bagi perkembangan gagasan mengenai Ketritunggalan Allah.[177][178][179] Ia menegaskan bahwa Roh Kudus adalah bagian dari Ketuhanan,[180] serta menafsirkan perumpamaan dirham yang hilang sebagai kisah yang bermakna Roh Kudus itu berdiam di dalam diri tiap-tiap orang,[187] dan bahwasanya ilham Roh Kudus diperlukan dalam segala bentuk pembicaraan tentang Allah.[188] Origenes mengajarkan bahwa tindakan ketiga-tiga pribadi Tritunggal sangat dibutuhkan manusia untuk mencapai keselamatan.[183] Dalam salah satu kutipan dari Origenes yang terlestarikan dalam terjemahan risalah Membela Origenes, karya Pamfilus, ke dalam bahasa Latin yang dikerjakan oleh Rufinus, Origenes tampak menggunakan frasa homooúsios (ὁμοούσιος, "sehakikat") untuk menjelaskan keterkaitan antara Sang Bapa dan Sang Putra,[181][189] tetapi pada bagian lain, Origenes justru membidahkan keyakinan mengenai kese-hipostasis-an Sang Putra dan Sang Bapa.[189] Menurut Rowan Williams, lantaran kata ousia dan kata hipostasis digunakan dengan makna yang sama pada masa hidup Origenes,[189] maka Origenes hampir dapat dipastikan membidahkan homoousios.[189] Menurut Rowan Williams, kiranya mustahil orang dapat memastikan apakah kata homoousios memang berasal dari Pamfilus, apatah lagi dari Origenes.[189] Bagaimanapun juga, Origenes adalah seorang penganut paham Subordinasionisme,[181][180][182][183] paham yang mengajarkan bahwa Sang Bapa lebih tinggi derajatnya daripada Sang Putra, dan Sang Putra lebih tinggi derajatnya daripada Roh Kudus.[181][180][183] Paham ini didasarkan atas ajaran kesebandingan dalam filsafat Plato.[180] Menurut Hieronimus, Origenes pernah mengemukakan dalam tulisannya Allah Bapa tidak dapat dilihat semua makhluk, termasuk Sang Putra maupun Roh Kudus,[190] dan Sang Putra juga tidak dapat dilihat Roh Kudus.[190] Origenes pernah berpendapat bahwa Sang Putra diciptakan oleh Sang Bapa, dan Roh Kudus diciptakan oleh Sang Putra,[191] tetapi di lain kesempatan ia mengemukakan dalam tulisannya bahwa "sampai dengan saat ini belum aku dapati satu ayat pun di dalam Alkitab yang mengatakan bahwa Roh Kudus adalah makhluk ciptaan."[180][192] Pada masa hidup Origenes, paham Tritunggal yang ortodoks belum dirumuskan,[190][193] dan paham subordinasionisme belum dianggap bidah.[190][193] Nyatanya hampir semua teolog ortodoks prakontroversi Arius pada paruh kedua abad ke-4 sedikit banyaknya menganut paham Subordinasionisme.[193] Mungkin saja Origenes menganut paham Subordinasionisme dalam rangka mempertahankan ajaran tentang keesaan Allah di tengah-tengah serbuan ajaran Gnostik.[182] Dampak terhadap GerejaSebelum krisisOrigenes sering kali dianggap sebagai teolog Kristen terkemuka yang pertama.[195] Kendati ortodoksinya dipertanyakan di Aleksandria semasa hidupnya,[168][143] siksa yang ditanggung Origenes saat berlangsungnya penganiyaan terhadap umat Kristen atas perintah Kaisar Decius, membuat Paus Dionisius dari Aleksandria memulihkan nama baik Origenes di Aleksandria dengan mempermaklumkannya sebagai martir Kristen.[83] Kemudian hari, sesudah Origenes wafat, Paus Dionisius menjadi salah seorang pendukung gigih ajaran-ajaran teologi Origenes.[196][197][198] Setiap teolog Kristen yang muncul setelahnya dipengaruhi oleh teologinya, baik secara langsung maupun tidak langsung.[94] Akan tetapi, sumbangan Origenes bagi teologi begitu luas dan kompleks sehingga para pengikutnya sering kali menekankan bagian-bagian yang berbeda secara drastis dari ajarannya dengan melepaskan bagian-bagian lain. [196][199] Dionisius menekankan pandangan Subordinasionis Origenes,[196][197] yang membuatnya mengingkari keesaan Tritunggal dan menimbulkan kontroversi di seluruh Afrika Utara.[196][197] Pada saat yang sama, murid Origenes lainnya, yakni Teognostos dari Aleksandria mengajarkan bahwa Sang Bapa dan Sang Putra itu sesungguhnya "sehakikat".[200] Selama berabad-abad setelah kematiannya, Origenes dianggap sebagai benteng ortodoksi,[16][201] dan filosofinya secara praktis dipegang oleh Kekristenan Timur.[147] Origenes dipuja sebagai salah satu guru Kristen terkemuka;[7] dia sangat dicintai oleh para biarawan, yang melihat diri mereka sebagai penerus warisan pertapaan Origenes.[7] Namun, seiring berjalannya waktu, Origenes dikritik di bawah standar ortodoksi di era-era selanjutnya, daripada standarnya seumur hidupnya sendiri.[202] Pada awal abad keempat, penulis Kristen Metodius dari Olimpus mengkritik beberapa argumen Origenes yang lebih spekulatif[203][143][204][205] tetapi di sisi lain setuju dengan Origenes pada semua poin teologi lainnya .[206] Para kritikus seperti Petrus dari Antiokhia dan Eustathius dari Antiokhia menganggap Origenes sebagai bidat.[204] Baik teolog ortodoks maupun heterodoks mengklaim mengikuti tradisi yang telah ditetapkan Origenes.[147] Athanasius dari Alexandria, pendukung paling menonjol dari ajaran Tritunggal Mahakudus di Konsili Nicea Pertama, sangat dipengaruhi oleh Origenes,[194][17][143] dan begitu pula Basil dari Kaisarea, Gregorius dari Nyssa, dan Gregorius dari Nazianzus (yang disebut "Bapa-Bapa Kapadokia").[207][17][143] Pada saat yang sama, Origenes sangat memengaruhi Arius dari Alexandria dan pengikut berikutnya Arianisme.[208][194][209][210] Meskipun sejauh mana hubungan antara keduanya diperdebatkan,[211] di zaman kuno, banyak orang Kristen ortodoks percaya bahwa Origenes adalah sumber sejati dan utama dari ajaran Arian.[211][212] Keterangan
Rujukan
Daftar pustaka
Bacaan lanjutan
Pranala luarWikisumber memiliki karya asli dari atau mengenai:
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Origen art.
|