Yustinianus I (bahasa Latin: Flavius Petrus Sabbatius Yustinianus; bahasa Yunani: Φλάβιος Πέτρος Σαββάτιος Ἰουστινιανός; 483 – 13 atau 14 November 565), umumnya dikenal dengan nama Yustinianus yang Agung, adalah KaisarRomawi Timur (Bizantium) yang berkuasa dari tahun 527 hingga 565. Pada masa kekuasaannya, ia berusaha mengembalikan kejayaan kekaisaran dan menaklukkan kembali bagian baratKekaisaran Romawi.
Ia merupakan salah satu tokoh terpenting pada abad kuno. Masa kekuasaannya ditandai dengan renovatio imperii (restorasi kekaisaran) yang ambisius.[1] Ambisi ini ditunjukkan melalui pemulihan sebagian wilayah Kekaisaran Romawi Barat, termasuk kota Roma sendiri. Selain itu, pada masa kekuasaannya, ditulis hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang masih menjadi dasar bagi hukum masyarakat di negara-negara modern. Pada masanya pula, budaya Bizantium berkembang, dan program pembangunannya melahirkan karya-karya besar, seperti pembangunan kembali Hagia Sophia yang menjadi pusat Ortodoks Timur selama berabad-abad.
CognomenIustinianus yang didapatnya menunjukkan bahwa ia diadopsi oleh pamannya (yang juga saudara kandung Vigilantia), Yustinus. Yustinus adalah seorang penjaga kekaisaran (atau excubitores). Ia membawa Yustinianus ke Konstantinopel dan menjamin pendidikan anak itu.[8] Maka Yustinianus memiliki pendidikan dalam bidang yurisprudensi, teologi, dan sejarah Romawi.[8] Ia pernah bekerja selama beberapa waktu dengan excubitores, tetapi informasi lengkap mengenai karier awalnya kurang diketahui.[8] Penulis kronik John Malalas, yang hidup pada masa kekuasaan Yustinianus, mendeskripsikan penampilan Yustinianus yang pendek, berkulit putih, berambut keriting, berwajah bundar, dan rupawan. Procopius, penulis kronik lain, membandingkan penampilan Yustinianus dengan kaisar tiran Domitianus, walaupun ini mungkin tidak benar.[9]
Ketika Kaisar Anastasius mangkat pada tahun 518, Yustinus dinyatakan sebagai kaisar baru, dengan bantuan dari Yustinianus.[8] Selama masa kekuasaan Yustinus (518–527), Yustinianus adalah tangan kanan kaisar. Ia telah menunjukkan banyak ambisi. Ketika Yustinus menjadi semakin pikun pada akhir kekuasaannya, Yustinianus menjadi penguasa de facto.[8] Yustinianus ditunjuk sebagai konsul pada tahun 521, dan selanjutnya menjadi komandan angkatan bersenjata timur.[8][10] Setelah wafatnya Yustinus I pada 1 Agustus 527, Yustinianus menjadi penguasa penuh.[8]
Sebagai penguasa, Yustinianus menunjukkan semangat yang besar. Ia dikenal sebagai "kaisar yang tidak pernah tidur" dalam catatan mengenai etos kerjanya. Yustinianus juga dikenal bersedia menerima nasihat dan mudah didekati.[11] Keluarga Yustinianus berasal dari latar belakang yang rendah, sehingga ia tidak memiliki dasar kekuatan di aristokrasi lama Konstantinopel. Akan tetapi, Yustinianus dikelilingi oleh bawahan-bawahan yang berbakat, yang dipilih bukan berdasarkan latar belakang aristokrat, tetapi atas dasar jasa. Sekitar tahun 525, ia menikahi Theodora, seorang courtesan ("pemberi asmara" di istana) yang dua puluh tahun lebih muda darinya. Menurut hukum lama, Yustinianus tak bisa menikahinya karena kelas sosialnya, tetapi Kaisar Yustinus I telah mengesahkan hukum yang memperbolehkan pernikahan antar kelas sosial yang berbeda.[12] Theodora akan menjadi tokoh yang berpengaruh dalam politik Kekaisaran, dan kaisar-kaisar selanjutnya akan mengikuti jejak Yustinianus dalam menikah di luar kelas aristokrat. Pernikahan ini menimbulkan skandal, tetapi Theodora terbukti merupakan tokoh yang pintar, penilai karakter yang baik, dan pendukung terbesar Yustinianus.
Ia terjangkit penyakit pes pada awal tahun 540-an, tetapi berhasil sembuh. Theodora meninggal pada tahun 548, kemungkinan karena kanker,[13] dalam usia yang relatif muda. Yustinianus, yang tertarik dengan masalah teologis dan banyak terlibat dalam debat mengenai doktrin Kristen,[14] menjadi semakin setia kepada agama pada masa akhir hidupnya. Ketika meninggal dunia pada malam 13-14 November 565, ia tak memiliki anak. Yustinianus digantikan oleh Yustinus II. Jenazah Yustinianus dimakamkan dalam mausoleum di Gereja Rasul Suci.
Pembuatan undang-undang
Yustinianus terkenal akan reformasi yudisialnya, yang dilakukan dengan meninjau kembali seluruh hukum Romawi,[15] yang sebelumnya tak pernah dicoba. Seluruh undang-undang Yustinianus kini dikenal dengan istilah Corpus juris civilis. Undang-undang tersebut terdiri dari Codex Yustinianus, Digesta atau Pandectae, Institutiones, dan Novellae.
Pada masa awal kekuasaannya, Yustinianus menunjuk quaestorTribonianus untuk mengawasi tugas ini. Rancangan pertama Codex Yustinianus (kodifikasi konstitusi kekaisaran dari abad ke-2 hingga seterusnya) diterbitkan pada tanggal 7 April 529. (versi terakhir diterbitkan pada tahun 534.) Selanjutnya, Digesta (atau Pandectae), kumpulan naskah hukum yang lebih tua, dan Institutiones, buku yang menjelaskan prinsip-prinsip hukum, diterbitkan tahun 533. Novellae, kumpulan hukum-hukum baru yang diterbitkan pada masa Yustinianus, melengkapi Corpus. Berbeda dengan sebagian isi corpus, Novellae ditulis dalam bahasa Yunani, bahasa yang banyak digunakan di Romawi Timur.
Kitab Tribonianus menjamin keselamatan hukum Romawi, serta membentuk dasar hukum Bizantium selanjutnya. Satu-satunya provinsi di barat tempat kitab Yustinianus diperkenalkan adalah Italia (setelah penaklukan, melalui sanksi pragmatik tahun 554),[16] yang selanjutnya tersampaikan ke Eropa Barat pada abad ke-12 dan menjadi dasar kitab hukum Eropa. Kitab tersebut juga sampai ke Eropa Timur dan Rusia.[17] Kitab-kitab Yustinianus masih berpengaruh hingga kini.
Keputusan Yustinianus untuk menunjuk penasihat yang efisien tetapi tidak populer telah membahayakan kedudukannya. Pada Januari 532, pengikut fraksi balap chariot di Konstantinopel, yang sebelumnya saling terpisah, bersatu melawan Yustinianus dalam pemberontakan yang dikenal dengan nama kerusuhan Nika. Mereka memaksanya untuk memecat Tribonianus dan dua menteri lainnya, dan juga berusaha menjatuhkan Yustinianus dan mengangkat senator Hypatius (yang merupakan keponakan kaisar Anastasius) sebagai pengganti. Kerusuhan meletus, dan Yustinianus mempertimbangkan untuk lari dari ibu kota, namun Theodora mencegahnya dengan berkata, "Siapapun yang telah mengenakan mahkota kekaisaran tidak boleh berpasrah melihat kehilangannya. Tak kan pernah aku melihat seharipun aku tidak disapa sebagai permaisuri."[18] Dua hari selanjutnya, Yustinianus memerintahkan jenderal Belisarius dan Mundus untuk memadamkan kerusuhan. Procopius memperkirakan bahwa 30.000[19] penduduk tak bersenjata tewas terbunuh di Hippodrome. Atas desakan Theodora, yang tampaknya berlawanan dengan pertimbangan sang kaisar sendiri,[20] Yustinianus menghukum mati Hypatius.[21]
Kehancuran yang diakibatkan oleh kerusuhan memberikan Yustinianus kesempatan untuk mengikat namanya dalam bangunan-bangunan baru, seperti Hagia Sophia.
Penaklukan militer
Salah satu ciri dalam masa kekuasaan Yustinianus adalah usaha pemulihan wilayah Romawi Barat yang hilang pada abad ke-5.[22] Kaisar Yustinianus tidak pernah terlibat langsung dalam peperangan, tetapi ia menunjukkan keberhasilannya dalam pengantar hukum-hukumnya, dan mengenangnya dalam karya seni.[23] Penaklukan kembali kebanyakan dilakukan oleh jenderalnya, Belisarius.[24]
Yustinianus mewarisi permusuhan dengan Persia Sassaniyah dari pamannya.[25] Pada tahun 530, tentara Persia berhasil dikalahkan dalam Pertempuran Dara, tetapi pada tahun-tahun berikutnya, tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius dikalahkan dalam Pertempuran Callinicum. Ketika raja Kavadh I dari Persia wafat (September 531), Yustinianus menutup peperangan melalui "Perdamaian Abadi" (yang menghabiskan biaya 11.000 pon emas)[26] dengan raja Persia yang baru, Khosrau I (532). Setelah mengamankan front timur, Yustinianus mengalihkan perhatiannya ke Barat, tempat kerajaan-kerajaan JermanikAria didirikan di wilayah bekas Kekaisaran Romawi Barat.
Kerajaan barat pertama yang diserang Yustinianus adalah kerajaan milik bangsa Vandal di Afrika Utara. Raja Hilderic, yang memiliki hubungan baik dengan Yustinianus dan klerus Katolik Afrika Utara, telah dijatuhkan oleh sepupunya, Gelimer tahun 530. Yustinianus menentang tindakan Gelimer dan meminta agar Gelimer mengembalikan kerajaan kepada Hilderic. Akan tetapi, Gelimer menolak. Yustinianus menggunakannya sebagai alasan. Dengan disetujuinya perdamaian di Timur pada tahun 532, ia mulai mempersiapkan serangannya.[27]
Pada tahun 533, Belisarius dengan 92 dromon yang mengawal 500 kapal pengangkut, mendarat di Caput Vada (kini Ras Kaboudia) di Tunisia, dengan tentara sejumlah 15.000 orang, ditambah dengan beberapa tentara barbar. Mereka berhasil mengalahkan bangsa Vandal yang tak siaga di Ad Decimum pada 14 September 533, dan di Tricamarum pada bulan Desember. Kartago juga berhasil direbut. Raja Gelimer melarikan diri ke gunung Pappua di Numidia, dan menyerah pada musim semi berikutnya. Ia dibawa dan diarak dalam parade kemenangan di Konstantinopel. Sardinia, Korsika, Kepulauan Balearik, dan benteng Septem di dekat Gibraltar juga berhasil direbut dalam peperangan yang sama.[28]
Prefektur Afrika, yang berpusat di Kartago, didirikan pada April 534,[29] tetapi akan goyah di ambang kehancuran selama lima belas tahun ke depan, di tengah peperangan dengan bangsa Moor. Wilayah ini tidak sepenuhnya disatukan hingga tahun 548.[30] Pemulihan Afrika menghabiskan biaya sekitar 100.000 pon emas.[31]
Seperti di Afrika, intrik antar dinasti di Italia Ostrogoth memberikan kesempatan untuk melakukan intervensi. Raja muda Athalaric meninggal pada 2 Oktober 534, dan Theodahad memenjarakan ratu Amalasuntha (putri Theodoric dan ibu dari Athalaric) di pulau Martana. Selanjutnya, Theodahad membunuh sang ratu di tempat itu tahun 535. Kemudian, Belisarius dengan 7.500 tentara[32] menyerang Sisilia (535), maju ke Italia, menjarah Naples, dan merebut Roma pada 9 Desember 536. Pada masa itu, Theodahad telah dijatuhkan oleh tentara Ostrogoth, yang telah memilih Vitigis sebagai raja baru mereka. Vitigis mengumpulkan tentara dan mengepung Roma dari Februari 537 hingga Maret 538 tanpa berhasil merebut kota tersebut. Yustinianus mengirim jenderal Narses ke Italia, akan tetapi ketegangan antara Narses dengan Belisarius menjadi hambatan. Milan berhasil direbut, tetapi segera dikuasai kembali dan dihancurkan oleh Ostrogoth. Yustinianus menarik jenderal Narses pada tahun 539. Selanjutnya situasi mulai berpihak kepada Romawi. Pada tahun 540, Belisarius telah mencapai ibu kota Ostrogoth di Ravenna. Di sana ia ditawarkan gelar Kaisar Romawi Barat oleh Ostrogoth. Sementara itu, pada saat yang sama, utusan Yustinianus datang untuk menegosiasikan perdamaian yang akan memberikan wilayah di sebelah utara sungai Po kepada orang-orang Goth. Belisarius berpura-pura menerima tawaran, memasuki Ravenna pada Mei 540, dan merebutnya kembali untuk kekaisaran.[33] Selanjutnya, setelah dipanggil kembali oleh kaisar, Belisarius kembali ke Konstantinopel dengan membawa Vitigis dan istrinya Matasuentha.
Perang melawan Sassaniyah 540–562
Setelah pemberontakan terhadap Bizantium di Armenia pada akhir tahun 530-an, dan kemungkinan termotivasi atas permohonan duta-duta Ostrogoth, Raja Khosrau I melanggar "Perdamaian Abadi" dan menyerbu wilayah Romawi pada musim semi tahun 540.[34] Ia menjarah Beroea dan Antiokhia,[35] mengepung Dara, dan menyerang kerajaan satelit Lazica yang kecil tetapi penting. Khosrau I menuntut upeti kepada setiap kota yang dilaluinya. Ia memaksa Yustinianus I membayar 5.000 pon emas, ditambah 500 pon emas setiap tahun.[35]
Belisarius tiba di Timur pada tahun 541. Akan tetapi, setelah sempat berhasil, ia ditarik kembali ke Konstantinopel tahun 542. Alasan penarikan kembali sang jenderal tidak diketahui, kemungkinan karena adanya rumor mengenai ketidaksetiaan jenderal.[36]Merebaknya penyakit pes meredakan pertempuran pada tahun 543. Pada tahun berikutnya, Sassaniyah berhasil mengalahkan 30.000 tentara Bizantium,[37] tetapi tidak berhasil merebut kota Edessa. Akhirnya, pada tahun 545, gencatan senjata disetujui di front selatan Romawi-Persia. Setelah itu, Perang Lazica di utara berlanjut selama beberapa tahun, hingga disetujuinya gencatan kedua pada tahun 557. Maka Perdamaian 50 Tahun disetujui pada tahun 562. Dalam perdamaian itu, Sassaniyah setuju untuk meninggalkan Lazica, dengan ganti Romawi harus menyerahkan upeti 400 atau 500 pon emas (30.000 solidi) per tahun.[38]
Perang di Italia, tahap kedua, 541–554
Sementara usaha militer diarahkan ke timur, situasi di Italia semakin memburuk. Di bawah pimpinan raja Ildibad, Eraric (keduanya dibunuh tahun 541), dan terutama Totila, Ostrogoth dengan cepat membalikkan keadaan. Setelah kemenangan di Faenza tahun 542, mereka merebut kembali kota-kota utama di Italia Selatan, dan segera menguasai seluruh semenanjung. Belisarius dikirim kembali ke Italia pada akhir tahun 544, tetapi kekurangan pasukan. Ia dicopot dari komandonya pada tahun 548 karena tak membuat kemajuan.
Pada periode ini, kota Roma berganti tangan selama tiga kali: pertama direbut oleh Ostrogoth pada Desember 546, lalu ditaklukan kembali oleh Bizantium tahun 547, dan selanjutnya dikuasai kembali oleh Goth pada Januari 550. Totila juga menjarah Sisilia dan menyerang pantai Yunani. Akhirnya, Yustinianus mengirim tentara sejumlah 35.000 orang (2.000 dipisah dan dikirim untuk menyerbu wilayah Visigoth di Spanyol selatan) di bawah komando Narses.[39] Tentara Bizantium mencapai Ravenna pada Juni 552, dan mengalahkan Ostrogoth dalam Pertempuran Busta Gallorum di Pegunungan Apennini. Pada pertempuran tersebut, Totila tewas. Setelah pertempuran kedua di Mons Lactarius pada bulan Oktober, perlawanan Ostrogoth berhasil dipatahkan. Pada tahun 554, serangan besar orang-orang Frank berhasil digagalkan dalam Pertempuran Casilinum, dan Italia telah dikuasai oleh Romawi Timur, meskipun Narses memerlukan waktu beberapa tahun untuk menghabisi sisa-sisa benteng Goth. Pada akhir perang, Italia dijaga oleh tentara sejumlah 16.000 orang.[31] Penguasaan kembali Italia telah menghabiskan biaya sebesar 300.000 pon emas.[31]
Peperangan lain
Kekaisaran Romawi Timur menyerang wilayah Visigoth di Spanyol, ketika Athanagild meminta dukungan dalam pemberontakan melawan raja Agila. Pada tahun 552, Yustinianus mengirim tentara sejumlah 2.000 orang di bawah pimpinan Liberius. Bizantium berhasil merebut Cartagena dan kota-kota lain di pantai tenggara dan mendirikan provinsi Spania sebelum diperiksa oleh bekas sekutu mereka, Athanagild, yang telah menjadi raja. Perang ini menandai puncak perluasan kekuasaan Bizantium.
Pada masa Yustinianus, Balkan diserang oleh orang-orang Turkik dan Slavia, yang tinggal di sebelah utara sungai Donau. Maka sang kaisar berusaha menggabungkan diplomasi dengan pembangunan sistem pertahanan. Pada tahun 559, serangan orang-orang Sklavinoi dan Kutrigur di bawah pimpinan Zabergan mengancam Konstantinopel, tetapi mereka berhasil diusir oleh jenderal Belisarius yang telah menua.
Hasil
Ambisi Yustinianus untuk mengembalikan kejayaan Kekaisaran Romawi tidak berhasil diwujudkan secara keseluruhan. Di Barat, keberhasilan pada tahun 530-an diikuti dengan tahun-tahun stagnansi. Perang dengan Goth menjadi bencana bagi Italia.[40] Pajak tinggi yang dipungut sangat tidak disukai. Sementara kemenangan terakhir di Italia dan penaklukan pantai selatan Spanyol memperluas wilayah Bizantium, serta menambah martabat kekaisaran, akan tetapi penaklukan-penaklukan tersebut terbukti tidak kekal. Sebagian besar Italia akan lepas karena serangan oleh orang-orang Lombardia tiga tahun setelah kematian Yustinianus (568). Provinsi Spania yang baru didirikan berhasil direbut kembali oleh Visigoth pada tahun 624 di bawah kepemimpinan Suintila. Dalam satu setengah abad, Afrika akan selamanya lepas karena ditaklukan oleh Kekhalifahan Rashidun dan Umayyah.
Konstantinopel sendiri tidak aman dari serangan orang-orang barbar di utara.[41] Dalam usahanya untuk merestorasi Kekaisaran Romawi kuno, Yustinianus menghabiskan sumber daya Romawi Timur, sementara ia gagal untuk melihat kenyataan yang telah berubah pada Eropa abad ke-6.[42] Bahkan dikatakan bahwa keberhasilan militer Yustinianus kemungkinan menumbuhkan bibit kejatuhan kekaisaran.[43]
Keagamaan
Yustinianus melihat Ortodoks di negerinya diancam oleh arus keagamaan yang menyimpang, terutama monofisitisme, yang memiliki banyak penganut di Suriah dan Mesir. Doktrin monofisit telah dikutuk sebagai bidaah oleh Konsili Khalsedon pada tahun 451, dan kebijakan toleran Kaisar Zeno dan Anastasius I terhadap monofisitisme telah menjadi penyebab ketegangan dalam hubungan dengan uskup-uskup Roma. Yustinianus menyetujui doktrin Khalsedon dan secara terbuka mengutuk monofisitisme. Ia mencoba menerapkan kesatuan religius dengan memaksa mereka menerima kompromi-kompromi doktrinal yang akan memuaskan semua pihak. Kebijakan itu tidak berhasil karena tidak dapat memuaskan kedua belah pihak. Sebelum mangkat, Yustinianus menjadi lebih condong terhadap doktrin monofisit, terutama dalam bentuk aphthartodocetism, tetapi ia telah wafat sebelum sempat mengeluarkan undang-undang yang mengangkat ajarannya menjadi dogma. Theodora bersimpati dengan monofisit dan dikatakan menjadi penyebab intrik pro-monofisit di istana.
Kebijakan religius
Pada awal kekuasaannya, ia menganggap sudah saatnya untuk menyebarluaskan kepercayaan gereja mengenai Trinitas dan Inkarnasi melalui hukum. Ia juga merasa perlu untuk mengancam semua bidaah dengan hukuman yang layak;[44] kemudian Yustinianus I menyatakan bahwa ia ingin menghilangkan semua pengganggu Ortodoks dengan segala kemungkinannya melalui pendekatan hukum.[45] Ia menjadikan kepercayaan Nicea-Konstantinopel sebagai lambang tunggal gereja,[46] dan memberikan kekuatan hukum untuk kanon empat dewan ekumenisme.[47] Uskup-uskup yang hadir dalam Konsili Konstantinopel Kedua tahun 553 mengakui tidak dapat melakukan apa yang berlawanan dengan keinginan dan komando kaisar dalam gereja;[48] sementara, kaisar, dalam kasus Patriark Anthimus, memperkuat larangan gereja melalui pengasingan sementara.[49] Yustinianus melindungi kemurnian gereja dengan menekan bidaah. Ia mengambil semua kesempatan untuk mengamankan hak-hak gereja dan rohaniwan, dengan tujuan melindungi dan memperluas monastisisme. Yustinianus memberikan pendeta hak untuk mewarisi properti dari penduduk dan hak untuk menerima solemnia atau hadiah tahunan dari kas kekaisaran atau pajak provinsi-provinsi tertentu. Ia juga melarang penyitaan terhadap properti-properti biara.
Meskipun sifatnya yang despotik tidak sesuai dengan sensibilitas modern, ia sungguh merupakan "bapak perawat" gereja. Codex dan Novellae berisi banyak undang-undang mengenai sumbangan, pendirian, dan pengaturan properti gerejawi; pemilihan dan hak-hak uskup, imam, dan kepala biara; kehidupan biara, kewajiban penduduk kepada klerus, pelayanan ilahi, yurisdiksi episkopal, dll. Yustinianus juga membangun kembali gereja Hagia Sophia (yang menghabiskan biaya sebesar 20.000 pon emas),[50] yang sebelumnya hancur akibat kerusuhan Nika.
Hubungan religius dengan Roma
Semenjak pertengahan abad ke-5, kaisar Romawi Timur harus menghadapi tugas berat dalam masalah gerejawi. Kaum radikal di tiap sisi merasa diri mereka senantiasa didiskreditkan oleh kepercayaan yang diterapkan oleh Konsili Khalsedon untuk melindungi doktrin Kristus di kitab suci dan menjembatani pemisah antara kelompok-kelompok dogmatik. Surat Paus Leo I kepada Flavianus dari Konstantinopel dianggap sebagai hasil karya setan di Romawi Timur, sehingga tak ada seorang pun yang peduli untuk mendengarkan Gereja Roma. Akan tetapi, kaisar memiliki kebijakan yang menjaga kesatuan antara Konstantinopel dengan Roma; dan ini tetap mungkin hanya jika mereka tidak menyimpang dari garis yang didefinisikan dalam Konsili Khalsedon. Selain itu, faksi-faksi di Romawi Timur yang gempar dan tidak puas terhadap Konsili Khalsedon memerlukan pembatasan dan penyatuan. Masalah ini terbukti lebih sulit, karena, di Timur, kelompok-kelompok yang berbeda pendapat melebihi pendukung Khalsedon, baik dalam jumlah maupun kemampuan intelektual. Ketegangan dari ketidakcocokan keduanya tumbuh: siapapun yang memilih Roma dan Barat harus meninggalkan Timur, dan sebaliknya.
Setelah memasuki panggung tata negara gerejawi, Yustinianus mengakhiri skismamonofisit. Pengakuan Tahta Suci sebagai kewenangan gerejawi tertinggi[51] tetap menjadi landasan bagi kebijakan Barat-nya. Meskipun dianggap menghina oleh orang-orang Romawi Timur, Yustinianus merasa dirinya bebas untuk mengambil posisi despotik terhadap paus seperti Silverius dan Vigilius. Sementara tidak ada kompromi yang dapat diterima oleh sayap dogmatik gereja, usahanya dalam melakukan rekonsiliasi membuatnya diterima oleh tubuh utama gereja. Selanjutnya, Yustinianus mulai sadar bahwa mungkin ia juga dapat melakukan rekonsiliasi terhadap monofisit, dan ia mencobanya dalam konferensi religius dengan pengikut-pengikut Severus dari Antiokhia tahun 533, akan tetapi tidak berhasil.
Sekali lagi, Yustinianus berkompromi dalam dekret religius pada 15 Maret 533,[52] dan menyelamati dirinya karena Paus Yohanes II mengakui Ortodoks sebagai syahadat kekaisaran.[53] Kesalahan besar yang dibuat, yaitu dengan menekan uskup dan pendeta monofisit yang menyakiti hati penduduk dari berbagai provinsi, segera ia perbaiki. Tujuannya sekarang adalah tetap menang atas monofisit, tetapi tidak melepaskan kepercayaan Khalsedon. Bagi banyak orang di istana, ia tidak berbuat cukup jauh: Theodora akan sangat senang melihat monofisit didukung. Yustinianus merasa terkekang oleh kerumitan yang terjadi dengan Barat. Dalam pengutukan Tiga Bab, Yustinianus mencoba memuaskan Barat dan Timur, tetapi tidak berhasil. Meskipun paus menyetujui pengutukan, Barat meyakini bahwa kaisar bertindak berlawanan dengan dekret Khalsedon. Meskipun banyak delegasi yang muncul di Timur tunduk kepada Yustinianus, banyak orang, terutama monofisit, yang tetap tidak puas.
Penekanan agama
Kebijakan religius Yustinianus melambangkan keyakinan kekaisaran bahwa kesatuan Bizantium memerlukan kesatuan keyakinan; dan keyakinan ini tiada lain selain Ortodoks (Nicea). Orang lain yang berbeda pandangan harus mengakui bahwa proses konsolidasi, yang telah dipengaruhi oleh undang-undang kekaisaran sejak masa Kaisar Konstantius II, akan terus berlanjut. Codex berisi dua undang-undang[54] yang memutuskan penghancuran paganisme, bahkan dalam kehidupan pribadi. Sumber-sumber kontemporer (John Malalas, Theophanes, Yohanes dari Efesus) mengisahkan penganiayaan kejam, bahkan terhadap orang berpangkat tinggi.
Pada tahun 529, Akademi Neoplato di Athena ditempatkan di bawah pengawasan negara oleh Yustinianus. Pengawasan tersebut mencekik sekolah pelatihan Helenistik ini. Paganisme terus menerus ditekan. Di Asia Kecil, Yohanes dari Efesus mengklaim telah mengkristenkan 70.000 pagan.[55] Bangsa-bangsa lain juga menerima Kekristenan: Heruli,[56]Hun yang tinggal di dekat sungai Don,[57]Abasgi,[58] dan Tzanni di Kaukasus.[59]
Penyembahan Amun di Augila, Libya, dihentikan.[60] Sisa-sisa pemuja Isis di pulau Philae juga bernasib sama.[61] Presbyter Julian[62] dan Uskup Longinus[63] mengadakan misi kristenisasi terhadap suku Nabath, sementara Yustinianus mencoba memperkuat Kekristenan di Yemen dengan mengirim uskup dari Mesir.[64]
Orang Yahudi juga menderita: tidak hanya karena pemerintah membatasi hak mereka[65] dan mengancam hak-hak religius mereka,[66] tetapi juga karena kaisar ikut campur dalam masalah internal sinagoge.[67] Yustinianus tidak aktif menjalankan penganiayaan terhadap orang Yahudi, tetapi mendorong mereka menggunakan septuaginta Yunani dalam sinagoge-sinagoge di Konstantinopel.[68]
Kaisar memiliki banyak masalah dengan orang-orang Samaria yang menentang untuk menjadi Kristen. Ia melawan mereka dengan dekret-dekret keras, tetapi tidak dapat menghentikan permusuhan Samaria terhadap orang Kristen. Kekonsistenan kebijakan Yustinianus berarti bahwa penganut maniisme juga mengalami penekanan, baik melalui penganiayaan, pembuangan, maupun ancaman hukuman mati.[69] Di Konstantinopel, pada suatu peristiwa, setelah melalui inkuisisi ketat, penganut-penganut maniisme yang tidak sedikit jumlahnya dihukum mati di hadapan kaisar: beberapa dengan cara dibakar, sementara lainnya ditenggelamkan.[70]
Pembangunan, seni, sastra
Yustinianus adalah pembangun yang produktif. Di bawah perlindungannya, pembangunan Basilika San Vitale di Ravenna, (yang menampilkan dua mosaik terkenal yang melambangkan Yustinianus dan Theodora), diselesaikan.[8] Ia juga membangun kembali Hagia Sophia, yang sebelumnya hangus terbakar dalam kerusuhan Nika. Katedral ini, dengan kubahnya yang penuh dengan mosaik-mosaik, tetap menjadi pusat Kekristenan timur selama berabad-abad. Gereja penting lain di ibu kota, Gereja Rasul Suci, yang berada pada kondisi buruk pada akhir abad ke-5, dibangun kembali olehnya.[71] Penghiasan tidak hanya dilakukan pada gereja. Penggalian di situs Istana Agung Konstantinopel telah menemukan mosaik-mosaik berkualitas tinggi dari masa Yustinianus. Tiang dengan patung perunggu Yustinianus yang sedang berkuda di atasnya didirikan di Augustaeum, Konstantinopel, tahun 543.[72]
Sang kaisar memperkuat perbatasan kekaisaran dengan membangun benteng-benteng. Ia juga menjamin persediaan air Konstantinopel melalui pembangunan sumur. Untuk mencegah banjir yang merusak kota perbatasan Dara, Bendungan Dara dibangun. Pada masanya pula, Jembatan Sangarius dibangun di Bithynia. Jembatan ini menjadi penghubung rute persediaan militer ke timur. Selain itu, Yustinianus juga merestorasi kota yang rusak akibat gempa bumi atau perang, dan membangun kota baru di dekat tempat kelahirannya, yaitu Yustiniana Prima, yang awalnya didirikan untuk menggantikan Thessalonika sebagai pusat politik dan religius Illyricum.
Kesehatan ekonomi kekaisaran bergantung pada sektor pertanian. Perdagangan jarak jauh juga berkembang, dan telah mencapai Cornwall, tempat timah ditukar dengan gandum Romawi.[73] Konvoy yang berlayar dari Iskandariyah membawa gandum ke Konstantinopel. Yustinianus membuat lalu lintas perdagangan lebih efesien dengan membangun lumbung besar di pulau Tenedos.[74] Sang kaisar juga mencoba menemukan jalur perdagangan ke timur yang baru, yang mengalami hambatan akibat peperangan melawan Sassaniyah. Komoditas mewah yang penting adalah sutra, yang diimpor dan diproses di kekaisaran. Untuk melindungi pembuatan produk sutra, Yustinianus memberikan hak monopoli bagi pabrik-pabrik kekaisaran tahun 541.[75] Untuk menghindari jalur darat Sassaniyah, sang kaisar membuka hubungan baik dengan Abyssinia, yang ingin dijadikan sebagai perantara dagang dengan mengangkut sutra India ke kekaisaran; namun, Abyssinia tidak mampu bersaing dengan pedagang Persia di India.[76] Selanjutnya, pada awal tahun 550-an, dua pendeta berhasil menyelundupkan telur-telur ulat sutra dari Asia Tengah ke Konstantinopel,[77] dan sutra menjadi produk asli kekaisaran.
Emas dan perak ditambang di Balkan, Anatolia, Armenia, Siprus, Mesir, dan Nubia.[78]
Pada awal masa kekuasaan Yustinianus I, ia telah mewarisi surplus sebesar 28.800.000 solidi (400.000 pon emas) pada kas kekaisaran.[31] Di bawah kekuasaannya, dilakukan langkah-langkah untuk melawan korupsi dan mempermudah pemungutan pajak. Kekuasaan administratif yang lebih besar diserahkan kepada pemimpin prefektur dan provinsi, sementara kuasa vicarius keuskupan ditarik, bahkan beberapa dibubarkan. Semuanya bertujuan untuk menyederhanakan pemerintahan.[79] Menurut Brown (1971), peningkatan mutu pemungutan pajak telah banyak memengaruhi penghancuran struktur-struktur lama kehidupan provinsial, karena telah melemahkan otonomi dewan kota di kota-kota Yunani.[80] Diperkirakan bahwa sebelum proses penaklukan kembali Yustinianus, Bizantium memperoleh keuntungan tahunan sebesar 5.000.000 solidi tahun 530, tetapi setelah penaklukan kembali, keuntungan tahunan meningkat menjadi 6.000.000 solidi pada tahun 550.[31]
Selama masa kekuasaan Yustinianus, kota dan desa di Timur menjadi sejahtera, meskipun Antiokhia diguncang oleh dua gempa bumi (526, 528) dan dijarah oleh Persia (540). Yustinianus membangun kembali kota tersebut, tetapi dalam ukuran yang lebih kecil.[81]
Akan tetapi, kekaisaran mengalami beberapa rintangan pada abad ke-6. Rintangan pertama adalah wabah pes yang berlangsung dari tahun 541 hingga 543. Wabah ini mengurangi jumlah penduduk kekaisaran, dan menimbulkan kekurangan tenaga kerja serta peningkatan gaji.[82] Kurangnya sumber daya manusia juga mengakibatkan peningkatan jumlah "orang barbar" dalam angkatan bersenjata kekaisaran pada awal tahun 540-an.[83] Perang yang berlarut di Italia dan peperangan melawan Sassaniyah memberikan beban berat bagi sumber daya kekaisaran, dan Yustinianus dikritik karena membatasi jasa pos yang dikelola pemerintah, yang ia batasi hanya pada satu rute militer ke timur.[84]
Referensi
^J.F. Haldon, Byzantium in the seventh century (Cambridge, 2003), 17–19. Karena usaha restorasinya, Yustinianus kadang-kadang disebut sebagai "Romawi Terakhir" dalam historiografi modern, misalnya oleh G.P. Baker (Justinian, New York 1938), atau pada serial Outline of Great Books (Justinian the Great).
^Diehl, Charles. Theodora, Empress of Byzantium 1972 oleh Frederick Ungar Publishing, Inc., terjemahan oleh S.R. Rosenbaum dari bahasa Prancis Theodora, Imperatice de Byzance), 89.
^Lihat A.D. Lee, "The Empire at War", in: Michael Maas (ed.), The Cambridge Companion to the Age of Justinian (Cambridge 2005), hal. 113–33 (hal. 113–14). Untuk sudut pandang Yustinianus sendiri, lihat Codex Yustinianus 1.27.1 dan Novellae 8.10.2 dan 30.11.2.
^Yustinianus hanya turun ke lapangan sekali, selama peperangan melawan bangsa Hun tahun 559, ketika ia sudah tua. Kedatangannya hanyalah sebagai simbol, dan meskipun tidak bertempur, kaisar mengadakan arak kemenangan di ibu kota sesudahnya. (Lihat Browning, R. Justinian and Theodora. London 1971, 193.)
^Lihat Geoffrey Greatrex, "Byzantium and the East in the Sixth Century" in: Michael Maas (ed.). Age of Justinian (2005), hal. 477–509.
^Brian Croke, "Justinian's Constantinople", in: Michael Maas (ed.), The Cambridge Companion to the Age of Justinian (Cambridge 2005), hal. 60–86 (hal. 66)
^John F. Haldon, "Economy and Administration", in: Michael Maas (ed.), The Cambridge Companion to the Age of Justinian (Cambridge 2005), hal. 28–59 (hal. 35)
^John Moorhead, Justinian (London/New York 1994), hal. 57
^Peter Brown, The World of Late Antiquity (London 1971), hal. 157–158
^John L. Teall, "The Barbarians in Justian's Armies", in: Speculum, vol. 40, No. 2, 1965, 294–322. Jumlah tentara Bizantium di bawah Yustinianus diperkirakan sebesar 150.000 orang (J. Norwich, Byzantium: The Early Centuries, 259).
Procopii Caesariensis opera omnia. Disunting oleh J. Haury; direvisi oleh G. Wirth. 3 vol. Leipzig: Teubner, 1976-64. Teks dalam bahasa Yunani.
Procopius. Disunting oleh H. B. Dewing. 7 vols. Loeb Classical Library. Cambridge, Mass.: Harvard University Press and London, Hutchinson, 1914–40. Teks dalam bahasa Yunani dengan terjemahan dalam bahasa Inggris.
Procopius, The Secret History, diterjemahkan oleh G.A. Williamson. Harmondsworth: Penguin Books, 1966.
Elizabeth Jeffreys, Michael Jeffreys, Roger Scott et al. 1986, The Chronicle of John Malalas: A Translation, Byzantina Australiensia 4 (Melbourne: Australian Association for Byzantine Studies) ISBN 0-9593626-2-2
Edward Walford, penerjemah (1846) The Ecclesiastical History of Evagrius: A History of the Church from AD 431 to AD 594, Cetak ulang 2008. Evolution Publishing, ISBN 978-1-889758-88-6.
Bibliografi
Bury, J. B. (1958). History of the later Roman Empire, Vol. 2. New York (cetak ulang).
Cameron, Averil et al.(eds.). The Cambridge Ancient History, Vol. 14, Second Edition, Cambridge 2000.
Evans, James Allan. The Emperor Justinian and the Byzantine Empire. Westport, CT: Greenwood Press, 2005 (hardcover, ISBN 0-313-32582-0).
Maas, Michael (ed.). The Cambridge Companion to the Age of Justinian, Cambridge 2005.
Meier, Mischa. Das andere Zeitalter Justinians. Kontingenzerfahrung und Kontingenzbewältigung im 6. Jahrhundert n. Chr. Göttingen, 2003.
Meier, Mischa. Justinian. Herrschaft, Reich, und Religion. Munich, 2004.
Moorhead, John. Justinian, London 1994.
Rosen, William. Justinian's Flea: Plague, Empire, and the Birth of Europe, Viking Adult, 2007. ISBN 978-0-670-03855-8.
Rubin, Berthold (1960). Das Zeitalter Iustinians. Berlin.
Sarris, Peter. Economy and society in the age of Justinian. Cambridge, 2006.
Vasiliev, A. A.History of the Byzantine Empire, 324–1453. Edisi kedua. Madison, 1952.
Cumberland Jacobsen, Torsten. The Gothic War. Westholme 2009.
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Iustinianus I.