Bapa Gereja adalah sebutan bagi teolog-teolog dan pujangga-pujangga Kristen peletak landasan intelektual dan doktrinal Kekristenan. Mereka berkiprah pada zaman Patristis, yakni kurun waktu dalam sejarah yang kira-kira bermula menjelang akhir abad pertama dan berujung pada pertengahan abad ke-8,[1] khususnya pada abad ke-4 dan abad ke-5, ketika Kekristenan sedang berproses menjadi agama negaraKekaisaran Romawi.
Di bidang teologi dogmatis tradisional, pandangan-pandangan para pujangga yang dihormati sebagai Bapa Gereja sangatlah dihargai, dan definisi "Bapa Gereja" yang dipakai adalah definisi yang agak restriktif. Di bidang studi Patristika, yaitu ilmu yang mempelajari segala sesuatu mengenai para Bapa Gereja, cakupan makna istilah "Bapa Gereja" sudah diperluas, dan tidak ada daftar Bapa Gereja yang bersifat definitif.[2][3]
Para Bapa Besar
Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur masing-masing menghormati empat orang Bapa Gereja yang disebut "Bapa Besar Gereja".[4]
Di dalam Gereja Katolik, empat Bapa Besar Gereja Barat dan empat Bapa Besar Gereja Timur secara kolektif disebut "Delapan Doktor Gereja".[4]
Basilius dari Kaisarea, Gregorius dari Nazianzus, dan Yohanes Krisostomus secara kolektif disebut "Tiga Waligereja Kudus" (bahasa Yunani: Οι Τρεις Ιεράρχες, Hoi Treis Hierarkhes).
Para Bapa Apostolik adalah teolog-teolog Kristen yang hidup pada abad pertama dan abad ke-2 tarikh Masehi, yang dipercaya kenal dengan beberapa rasul secara pribadi, atau sangat dipengaruhi ajaran dan keteladanan mereka.[5] Meskipun populer pada masa-masa awal Kekristenan, karya-karya tulis mereka tidak dimasukkan ke dalam kanonPerjanjian Baru yang paripurna. Banyak di antara karya-karya tulis itu ditulis pada zaman yang sama dan di lokasi geografis yang sama dengan karya-karya sastra Gereja Purba lainnya yang menjadi bagian dari Kitab Suci Perjanjian Baru, dan beberapa karya tulis para Bapa Gereja tampaknya dihormati semulia kitab-kitab Perjanjian Baru. Klemens, Ignasius, dan Polikarpus dianggap sebagai tokoh-tokoh terkemuka di antara para Bapa Apostolik.
Surat Klemens yang pertama (ditulis sekitar tahun 96),[6] adalah surat tertua dari seorang Bapa Gereja.[7] Di dalam surat tersebut, Klemens mengimbau umat Kristen Korintus untuk memelihara kerukunan dan ketertiban.[6]
Surat Klemens yang pertama disalin dan dibacakan di mana-mana pada zaman Gereja perdana.[8] Sebagian pihak menganggap surat ini adalah bagian dari kanon Perjanjian Baru. Sebagai contoh, Surat Klemens yang pertama terdaftar sebagai salah satu karya tulis yang kanonik di dalam kanon 85 dari Kanon-Kanon Para Rasul,[9] salah satu kanon tertua Kitab Suci Perjanjian Baru, dan dengan demikian menunjukkan bahwa surat ini dihormati sebagai karya tulis yang kanonik setidaknya oleh jemaat-jemaat Kristen perdana di beberapa kawasan. Selambat-lambatnya pada abad ke-14, Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa surat Klemens yang pertama adalah bagian dari Kitab Suci Perjanjian Baru.[10]
Ignasius dari Antiokhia yang juga dikenal dengan nama Theoforus (ca.35– ca.110)[11] adalah Uskup Antiokhia yang ketiga dan salah seorang murid Rasul Yohanes. Dalam perjalanannya menjemput kemartiran di kota Roma, Ignasius menulis serangkai surat yang terlestarikan sampai sekarang. Topik-topik penting yang dikemukakannya di dalam surat-surat tersebut mencakup eklesiologi, sakramen, peran uskup, dan inkarnasi Kristus.[12] Ignasius adalah orang kedua sesudah Klemens yang menyebut tentang surat-surat Paulus di dalam karya tulisnya.[6]
Polikarpus dari Smirna (ca.69–ca.155) adalah UskupSmirna (sekarang İzmir, Turki). Polikarpus disebut-sebut sebagai salah seorang murid "Yohanes". Tokoh yang bernama Yohanes ini mungkin adalah Yohanes bin Zebedeus yang dari generasi ke generasi dipercaya sebagai penulis Injil Yohanes, tetapi mungkin pula adalah Yohanes Presbiter.[13] Para penganjur pandangan tradisional mengikuti keterangan Eusebius dari Kaisarea bahwa rasul tempat Polikarpus berguru adalah Yohanes Penginjil, sang penulis Injil Yohanes, yakni orang yang sama dengan Rasul Yohanes.
Polikarpus berusaha tetapi gagal membujuk Paus Anisetus untuk mengupayakan agar Gereja Barat merayakan Paskah pada tanggal 14 bulan Nisan, sama seperti Gereja Timur. Sekitar tahun 155, warga Smirna menuntut Polikarpus dijatuhi hukuman mati sebagai seorang pemeluk agama Kristen, dan ia pun gugur menjadi martir. Menurut riwayat kemartirannya, Polikarpus dipidana bakar hidup-hidup, tetapi lantaran api segan menyentuh dirinya, ia baru dijemput ajal sesudah ditikam dengan tombak. Dari luka bekas tikaman, darah mengucur dengan derasnya sampai-sampai memadamkan api yang berkobar di sekeliling jasadnya.[6] Polikarpus dihormati sebagai orang kudus oleh Gereja Katolik maupun Gereja Ortodoks Timur.
Sedikit sekali keterangan yang tersedia mengenai Papias, selain dari kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari karya-karya tulisnya sendiri. Ireneus (ca.180), murid Polikarpus, menyifatkan Papias sebagai "tokoh sepuh yang dulu berguru kepada Yohanes, dan termasuk salah seorang sahabat Polikarpus". Eusebius menambahkan bahwa Papias menjabat sebagai Uskup Hierapolis sekitar masa hidup Ignasius dari Antiokhia. Selaku Uskup Hierapolis, Papias diduga digantikan Abersius dari Hierapolis. Nama "Papias" adalah nama yang lazim di Hierapolis dan sekitarnya, sehingga ada dugaan bahwa Papias adalah warga pribumi daerah itu. Sebagian besar para sarjana modern memperkirakan bahwa karya tulis Papias disusun antara tahun 95 sampai tahun 120.
Sekalipun terindikasi masih lestari pada Akhir Abad Pertengahan, seluruh karya tulis Papias sekarang sudah hilang. Meskipun demikian, penggalan-penggalan isinya terlestarikan di dalam sejumlah karya tulis lain. Beberapa di antara karya-karya tulis tersebut bahkan mengutip nomor bukunya.
Ireneus adalah Uskup Lugdunum (Sekarang Lyon) di Galia. Karya-karya tulisnya merupakan unsur formatif pada pasa-masa awal perkembangan teologi Kristen, dan Ireneus sendiri dihormati Gereja Ortodoks Timur maupun Gereja Katolik sebagai orang kudus. Ia dikenal sebagai salah seorang apologis Kristen purba yang terkemuka, dan juga murid dari Polikarpus.
Di dalam karya tulisnya yang paling terkenal, Melawan Bidat-Bidat (ca.180), Ireneus menjajarkan bidat-bidat dan menyanggahnya satu demi satu. Di dalam karya tulisnya, Ireneus mengemukakan bahwa satu-satunya cara bagi umat Kristen untuk dapat mengekalkan persatuan adalah dengan rendah hati menerima satu kewenangan doktrinal, yakni konsili-konsili para uskup.[6] Ireneus mengusulkan agar Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanesditerima sebagai kitab-kitab yang kanonik.
Klemens dari Aleksandria adalah tokoh besar pertama dari Gereja Aleksandria, sekaligus salah seorang pengajar terkemuka di Gereja itu. Klemens memadukan tradisi-tradisi filsafat Yunani dengan doktrin Kristen, dan menghargai gnosis, yang bersama dengan persekutuan bagi semua orang, dapat dianut oleh rata-rata orang Kristen. Ia mengembangkan filsafat Platonisme Kristen.[6] Sama seperti Origenes, Klemens dikenal sebagai cendekiawan dari Perguruan Katekese Aleksandria dan memiliki pengetahuan yang luas tentang karya-karya sastra pagan.[6]
Origenes dari Aleksandria, alias Origenes Adamansius (ca.185–ca.254), adalah seorang sarjana sekaligus teolog. Menurut tradisi, Origenes adalah cendekiawan asli Mesir[18] yang mengajar di Aleksandria, dan menghidupkan kembali perguruan katekese tempat Klemens dulu mengajar. Batrik Aleksandria yang mula-mula mendukung Origenes mengusir cendekiawan Mesir itu dari Aleksandria karena ditahbiskan tanpa seizinnya. Origenes pindah ke Kaisarea Tepi Laut dan menetap di kota itu hingga akhir hayatnya,[19] sesudah menanggung siksaan saat timbul aniaya besar-besaran terhadap umat Kristen. Kemudian hari Origenes dianatema, dan beberapa karya tulisnya dikutuk sebagai bidat.
Dengan pengetahuan bahasa Ibraninya, Origenes menghasilkan koreksi Septuaginta.[6] Ia menulis ulasan tiap-tiap kitab di dalam Alkitab.[6] Di dalam Peri Arkhon (Ihwal Asas-Asas), Origenes mengartikulasikan panjabaran filsafati doktrin Kristen yang pertama.[6] Ia menafsirkan kitab suci secara alegoris dan menampilkan diri sebagai seorang filsuf Stoa, filsuf Neopitagoras, sekaligus seorang filsuf Platon.[6] Sama seperti Plotinus, Origenes berpandangan bahwa jiwa melewati urutan tahap-tahap sebelum berinkarnasi menjadi manusia, dan akhirnya sampai kepada Allah sesudah manusia mati.[6] Ia bahkan berpandangan bahwa roh-roh jahat pun akan kembali kepada Allah. Bagi Origenes, Allah bukanlah Yahweh melainkan Asas Pertama, sementara Kristus, Sang Logos, berada di bawah Allah.[6] Pandangan-pandangannya tentang struktur hierarkis di dalam Tritunggal, kefanaan materi, "prawujud jiwa", dan "pemulihan segala sesuatu" dianatema pada abad ke-6.[20][21] Sebelum itu, Origenes tidak dipandang sebagai ahli bidat.
Atanasius dari Aleksandria (ca.293–373) adalah teolog, Paus Aleksandria, sekaligus pemuka bangsa Mesir pada abad ke-4. Ia dikenang sebagai tokoh yang berjasa merontokkan bidat Arianisme dan mengukuhkan doktrin Tritunggal. Dalam sidang Konsili Nikea I tahun 325, Atanasius mendebat doktrin Arianisme yang mengatakan bahwa hakikat Kristus berbeda dari hakikat Allah.[6]
Para Bapa Kapadokia adalah Basilius Agung (330–379), Uskup Kaisarea Mazaka; Gregorius dari Nisa (ca.332–395), adik Basilius yang menjadi Uskup Nisa; dan Gregorius dari Nazianzus (329–389), sahabat karib Basilius yang menjadi Batrik Konstantinopel.[22] Para Bapa Kapadokia adalah penganjur-penganjur teologi Kristen purba, dan dihormati Gereja Barat maupun Gereja Timur sebagai orang-orang kudus. Basilius dan Gregorius berasal dari sebuah keluarga ahli zuhud abad ke-4 yang dipimpin Makrina Muda (324–379), yang berjasa menyediakan ruang bagi adik-adiknya untuk belajar dan bertafakur, serta berjasa merawat ibu mereka. Abdis Makrina memperhatikan pendidikan dan perkembangan ketiga adiknya, yakni Basilius Agung, Gregorius dari Nisa, dan Petrus dari Sebastia (ca.340–391) yang menjadi Uskup Sebastia.
Para Bapa Kapadokia berusaha membuktikan bahwa umat Kristen pun mampu mempertahankan pendirian mereka di dalam percakapan-percakapan dengan kaum cendekiawan penutur bahasa Yunani. Mereka berpandangan bahwa sekalipun bertentangan dengan banyak gagasan Platon dan Aristoteles (maupun filsuf-filsuf Yunani lainnya), iman Kristen adalah suatu gerakan yang nyaris ilmiah dan tampil beda sendiri, dengan penyembuhan jiwa manusia dan kemanunggalannya dengan Allah sebagai inti sarinya. Para Bapa Kapadokia bersumbangsih besar terhadap perumusan definisi Tritunggal yang dituntaskan dalam Konsili Konstantinopel I tahun 381 maupun terhadap versi paripurna Syahadat Nikea.
Seusai penyelenggaraan Konsili Nikea I, Arianisme tidak serta merta menghilang. Golongan semi-Arian mengajarkan bahwa hakikat Sang Putra mirip (homoiousios) dengan hakikat Sang Bapa, bertolak belakang dengan golongan Arian garis keras yang mengajarkan bahwa hakikat Sang Putra berlainan (heterousios) dengan hakikat Sang Bapa. Oleh karena itu Sang Putra diyakini serupa dengan Sang Bapa tetapi tidak sehakikat dengan Sang Bapa.
Para Bapa Kapadokia berusaha menggiring golongan semi-Arian kembali ke jalan yang benar. Di dalam karya-karya tulis mereka, rumusan "tiga pribadi (hipostasis) dalam satu hakikat (homoousios)" acap kali mengemuka, dan dengan demikian secara jelas menunjukkan adanya pengakuan terhadap perbedaan antara Sang Bapa dan Sang Putra (Konsili Nikea I dituduh mengaburkan perbedaan ini) tetapi pada saat yang sama menandaskan keesaan hakikat Sang Bapa dan Sang Putra.
Yohanes Krisostomus (ca.347–ca.407), Uskup AgungKonstantinopel, adalah Bapa Gereja yang dikenal karena kefasihannya dalam berkhotbah dan berpidato. Kecamannya terhadap penyalahgunaan kewenangan di kalangan petinggi gereja maupun pemimpin politik, catatan khotbah-khotbahnya, dan karya-karya tulisnya membuat Yohanes dikenal sebagai Bapa Gereja Timur yang paling giat berkarya. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang berjiwa zuhud. Sesudah wafat (menurut beberapa sumber, bahkan sejak masih hidup), Yohanes dijuluki Krisostomus, artinya "Si Mulut Emas".[23][24]
Yohanes Krisostomus lebih dikenal sebagai teolog dan pengkhotbah ulung, khususnya di Gereja Ortodoks Timur. Ia dihormati sebagai santo pelindung para orator di Gereja Katolik. Yohanes Krisostomus juga dikenal karena delapan khotbahnya yang cukup bepengaruh dalan sejarah antisemistisme Kristen. Kecaman-kecamannya terhadap orang-orang Kristen yang keyahudi-yahudian ditulis saat ia masih menjadi presbiter di Antiokhia. Karya-karya tulis inilah yang digarap dan disalahgunakan Nazi Jerman dalam kampenye ideologis melawan bangsa Yahudi.[25][26] Para sarjana Patristika semisal Robert L Wilken menunjukkan bahwa tindakan menerapkan pemahaman-pemahaman modern mengenai antisemitisme pada diri Yohanes Krisostomus merupakan tindakan yang anakronistis, karena Yohanes Krisostomus menggunakan Psogos. Psogos dan enkomium adalah teknik-teknik yang digunakan orang pada Abad Kuno untuk beretorika dalam konteks polemik. Dengan enkomium, "orang mengabaikan kekurangan-kekurangan suatu pihak dengan maksud untuk menyanjungnya, sementara dengan psogos, orang mengabaikan kelebihan-kelebihan suatu pihak dengan maksud untuk merendahkannya. Asas-asas semacam ini jelas tercantum di dalam buku-buku panduan para pembicara, tetapi sepenggal keterangan yang menarik dari sejarawan Gereja Sokrates, yang berkarya pada pertengahan abad ke-5, menunjukkan bahwa kaidah-kaidah untuk mencerca lawan bicara sudah dianggap sebagai hal yang lumrah oleh pria maupun wanita pada masa-masa menjelang kesudahan Dunia Romawi"[27]
Khotbah-khotbah Yohanes Krisostomus dan Basilius Agung sangat mempengaruhi pemahaman Gereja tentang ekonomi dan pemerataan keadilan bagi kaum papa, karena dijabarkan panjang lebar di dalam Katekismus Gereja Katolik.[28] Di dalam khotbah-khotbahnya, Paus Fransiskus juga mengkritik bentuk-bentuk modern Kapitalisme yang ada dewasa ini.[29][30]
Sirilus dari Aleksandria (ca.378–444) adalah Uskup Aleksandria pada masa-masa puncak kegemilangan kota Aleksandria dalam kehidupan bernegara di Kekaisaran Romawi. Sirilus menghasilkan banyak karya tulis dan merupakan protagonis utama dalam kontroversi-kontroversi kristologis pada abad ke-4 dan abad ke-5. Ia tampil mengemuka dalam sidang Konsili Efesus I tahun 431, yang memecat Nestorius dari jabatan Uskup Agung Konstantinopel. Reputasinya yang luhur di mata Dunia Kristen membuat Sirilus digelari "Saka Guru Iman" dan "Meterai Segenap Bapa Gereja".
Maksimus Pengaku Iman, alias Maksimus Teolog, alias Maksimus dari Konstantinopel (ca.580–662) adalah rahib sekaligus teolog dan sarjana Kristen. Pada masa mudanya, Maksimus adalah seorang pegawai negeri dan tangan kanan Heraklius, Kaisar Romawi Timur. Kemudian hari, Maksimus meninggalkan dunia politik dan menjadi rahib.
Sesudah pindah ke Kartago, Maksimus mendalami karya-karya tulis para pujangga Neoplatonis dan menjadi seorang pujangga terkemuka. Ketika seorang sahabatnya mulai menyebarluaskan paham kristologis yang dikenal dengan sebutan Monotelitisme, Maksimus pun terlibat di dalam kontroversi yang ditimbulkan paham tersebut, karena ia mendukung pandangan Kristen Kalsedon bahwa Yesus memiliki kehendak insani maupun kehendak ilahi. Maksimus dihormati di Gereja Timur maupun di Gereja Barat. Pendirian kristologisnya membuat Maksimus disiksa, diasingkan, dan wafat tidak lama kemudian. Meskipun demikian, pandangan teologinya dikukuhkan Konsili Konstantinopel III, dan dihormati sebagai orang kudus tidak lama sesudah wafat. Maksimus diperingati dua kali setahun, yakni setiap tanggal 21 Januari dan 13 Agustus. Gelar Pengaku Iman yang disandangnya menunjukkan bahwa Maksimus menanggung penderitaan karena iman Kristen yang dipeluknya, tetapi tidak serta merta mengakibatkan kematiannya, berbeda dengan para Saksi Iman (Martir). Risalahnya, Riwayat Hidup Sang Perawan, diduga adalah biografi terlengkap Maria, ibunda Yesus, yang paling tua.
Yohanes dari Damsyik (ca.676–749) adalah seorang rahib dan imam Kristen Suryani. Ia lahir dan dibesarkan di kota Damsyik, dan wafat di biaranya, Mar Saba, tidak jauh dari kota Yerusalem.
Tokoh serba bisa ini menggemari dan berkiprah di bidang hukum, teologi, filsafat, dan musik. Sebelum ditahbiskan, ia bekerja sebagai kepala tata usaha negara khilafah yang berpusat di Damsyik. Yohanes menghasilkan karya-karya tulis berisi penjabaran iman Kristen, dan menggubah madah-madah yang masih dipakai di biara-biara Kristen Timur. Gereja Katolik menghormatinya sebagai salah seorang Doktor Gereja, dan kerap menggelarinya "Doktor Pengangkatan" karena karya-karya tulisnya tentang pengangkatan Maria, ibunda Yesus, ke surga.
Para Bapa Latin
Para Bapa Gereja yang menghasilkan karya-karya tulis dalam bahasa Latin disebut Bapa (Gereja) Latin.
Tertulianus, atau lengkapnya Quintus Septimius Florens Tertullianus (ca.155–ca.222), adalah seorang pujangga yang giat menghasilkan karya-karya tulis di bidang apologetika, teologi, dan zuhud.[31] Tertulianus lahir di Kartago, dan memutuskan untuk memeluk agama Kristen sebelum tahun 197. Ayahnya adalah seorang centurio (kepala pasukan bala seratus) dalam angkatan bersenjata Kekaisaran Romawi.
Tertulianus mengecam doktrin-doktrin Kristen yang dianggapnya bidat, tetapi kemudian hari menganut paham Montanisme yang dibidatkan Gereja arus utama. Karena alasan inilah Tertulianus tidak dihormati sebagai orang kudus. Ia menulis tiga buku dalam bahasa Yunani, dan merupakan pujangga besar Gereja Latin yang pertama, sehingga kadang-kadang digelari "Bapa Gereja Latin".[32] Berdasarkan bukti-bukti yang ada, Tertulianus adalah seorang ahli hukum di kota Roma.[33] Ia disebut-sebut sebagai pujangga yang memasukkan istilah Latin trinitas untuk menyifatkan Allah (Tritunggal) ke dalam kosakata Kristen[34] (Teofilus dari Antiokhia sudah lebih dahulu menulis tentang "ketritunggalan Allah, Firman-Nya, dan Hikmat-Nya", yang mirip tetapi tidak persis sama dengan kata-kata yang digunakan dalam definisi Tritunggal),[35] dan mungkin pula rumusan "tiga Pribadi satu Hakikat" yang dalam bahasa Latin berbunyi "tres Personae, una Substantia" (dari rumusan Yunani Koineτρεῖς ὑποστάσεις, ὁμοούσιος, treis Hipostases, Homoousios), serta istilah vetus testamentum (Perjanjian Lama) dan novum testamentum (Perjanjian Baru).
Dengan karya tulisnya, Apologeticus, Tertulianus menjadi pujangga Latin pertama yang menyebut Kekristenan sebagai vera religio (agama sejati), dan secara sistematis merendahkan agama klasik Kekaisaran Romawi maupun kultus-kultus lain yang diterima luas saat itu ke taraf "takhayul" belaka.
Kemudian hari Tertulianus bergabung dengan golongan Montanus, sebuah sempalan Kristen yang sejalan dengan sifat tegasnya.[31] Tertulianus menggunakan lambang ikan Gereja purba—kata Yunani untuk "ikan" ΙΧΘΥΣ dipakai sebagai singkatan frasa Ἰησοῦς Χριστός, Θεοῦ Υἱός, Σωτήρ (Yesus Kristus Putra Allah Juru Selamat)—untuk menjelaskan makna pembaptisan karena ikan lahir di dalam air. Di dalam karya tulisnya, Tertulianus mengumpamakan umat manusia dengan ikan kecil.
Siprianus (ca.200–ca.258) adalah Uskup Kartago dan salah seorang pujangga Kristen purba yang dipandang penting. Ia lahir di Afrika Utara, mungkin sekali pada permulaan abad ke-3, agaknya di kota Kartago, tempatnya mengenyam pendidikan (pagan) klasik yang bermutu. Sesudah memeluk agama Kristen, Siprianus menjadi seorang uskup dan akhirnya mati syahid di kota Kartago. Ia sangat mementingkan persatuan umat Kristen dengan uskup-uskup mereka, demikian pula kewenangan Takhta Keuskupan Roma, yang ia sebut sebagai sumber "persatuan imamat".
Hilarius dari Poitiers (ca.300–ca.368) adalah Uskup Poitiers dan salah seorang Doktor Gereja. Kadan-kadang ia dijuluki "Penggodam Kaum Arian" (bahasa Latin: Malleus Arianorum) dan "Atanasius dari Barat". Nama "Hilarius" adalah nama Latin yang berarti "bahagia" atau "riang gembira". Hilarius dihormati sebagai orang kudus, dan diperingati setiap tanggal 13 Januari menurut penanggalan liturgi Gereja Latin. Pada masa lampau, apabila tanggal 13 Januari bertepatan dengan OktafEpifani (hari ke-8 sesudah Epifani), hari peringatan Hilarius digeser ke tanggal 14 Januari.
Ambrosius[36] adalah Uskup Agung Milan yang tampil menjadi salah pemuka agama paling berpengaruh pada abad ke-4. Sebelum ditahbiskan menjadi uskup, Ambrosius adalah kepala daerahEmilia-Liguria. Ia dihormati sebagai salah seorang dari keempat Doktor Gereja terdahulu. Ambrosius menawarkan suatu perspektif baru mengenai teori penebusan.
Paus Damasus I
Paus Damasus I (305–384) giat mempertahankan keutuhan Gereja Katolik dari berbagai ancaman skisma. Dalam dua sinode yang diselenggarakan di kota Roma (tahun 368 dan 369), ia mengutuk bidat Apolinariasnisme dan bidat Makedonianisme, serta mengirim utusan-utusan (wakil-wakil paus) ke sidang Konsili Konstantinopel I tahun 381 untuk menyampaikan pandangannya tentang bidat-bidat tersebut. Damasus juga mempertahankan kewenangan Takhta Keuskupan Roma lewat karya tulisnya, dan meresmikan pemakaian bahasa Latin dalam perayaan misa sebagai pengganti bahasa Yunani Koine yang saat itu masih menjadi bahasa liturgi segenap Gereja Barat.
Hieronimus (ca.347–420) lebih dikenal sebagai tokoh yang menerjemahkan Alkitab dari bahasa Yunani dan Ibrani ke dalam bahasa Latin. Ia juga seorang apologis Kristen. Vulgata, Alkitab hasil terjemahan Hieronimus, masih dihargai sebagai salah satu karya sastra penting di dalam agama Kristen Katolik. Ia dihormati Gereja Katolik sebagai Doktor gereja.
Agustinus (354–430), Uskup Hipo, adalah seorang filsuf dan teolog. Sebagai salah seorang tokoh terpenting dalam perkembangan Gereja Barat, Agustinus dihormati sebagai Bapa Besar dan Doktor Gereja Latin. Pada masa mudanya, Agustinus membaca banyak karya tulis di bidang retorika dan filsafat Yunani-Romawi, antara lain karya-karya tulis para filsuf Platonisme seperti Plotinus.[38] Agustinuslah yang membingkai konsep dosa asal dan peperangan yang benar sebagaimana yang dipahami di Dunia Barat. Ketika Kekaisaran Roma mengalami keruntuhan dan banyak orang Kristen terguncang imannya, Agustinus menulis Kota Allah. Di dalam Kota Allah, Agustinus membela agama Kristen dari kritik-kritik yang dilontarkan kaum pagan, dan mengembangkan konsep Gereja sebagai Kota Allah yang bersifat rohani, kebalikan dari Kota Manusia yang bersifat bendawi.[6] Karya-karya tulis Agustinus membentuk cikal bakal wawasan duniaAbad Pertengahan, suatu cara pandang yang kemudian hari dipertegas Paus Gregorius Agung.[6]
Agustinus lahir di negeri yang sekarang bernama Aljazair. Ibunya, Monika, adalah seorang pemeluk agama Kristen. Agustinus mengenyam pendidikan di Afrika Utara dan menolak menuruti keinginan ibunya agar ia ikut memeluk agama Kristen. Agustinus malah hidup bersama seorang gundik dan memeluk agama Mani. Kemudian hari ia meninggalkan agama Mani, memeluk agama Kristen, menjadi seorang uskup, dan menentang bidat-bidat seperti Pelagianisme. Sekian banyak karya tulisnya, termasuk Pengakuan-Pengakuan yang kerap disebut sebagai otobiografi Barat yang pertama, terus-menerus dibaca sejak masa hidupnya. Tarekat Santo Agustinus adalah tarekat religius Katolik yang mengadopsi nama maupun cara hidupnya. Agustinus juga dihormati banyak lembaga sebagai santo pelindung, bahkan namanya kerap dipakai sebagai nama lembaga.
Gregorius Agung (ca.540–604) adalah paus yang menjabat sejak tanggal 3 September 590 sampai akhir hayatnya.
Ia juga dikenal dengan nama Gregorius Dialogus (Gregorius Pengantawacana) di Gereja Ortodoks Timur karena menghasilkan karya tulis yang dijuduli Dialog-Dialog. Ia adalah paus pertama yang berasal dari lingkungan biara. Gregorius Agung adalah salah seorang Doktor Gereja, dan salah seorang dari keempat Bapa Besar Gereja Barat (tiga Bapa Besar lainnya adalah Ambrosius, Agustinus, dan Hieronimus). Di antara semua paus yang menjabat pada awal Abad Pertengahan, Gregoriuslah yang paling berpengaruh.[39]
Isidorus dari Sevilla (ca.560–636) adalah Uskup Agung Sevilla selama tiga puluh tahun dan dianggap, sebagaimana yang dibahasakan sejarawan Montalembert dalam sebaris kalimat yang sering dikutip, sebagai "le dernier savant du monde ancien" (sarjana terakhir dunia purba). Semua karya tulis sejarah Abad Pertengahan mengenai Hispania (Jazirah Iberia, terdiri atas Spanyol dan Portugal) memang didasarkan atas karya tulis sejarahnya.
Pada masa-masa disintegrasi budaya klasik, ketika kekerasan dan buta huruf merajalela di kalangan bangsawan, Isidorus terlibat dalam usaha mengalihkan kepercayaan para penguasa Visigoth dari Arianisme ke iman Katolik, baik dengan membantu saudaranya, Leander dari Sevilla, maupun melanjutkan usaha tersebut sepeninggal saudaranya. Ia menjadi tokoh yang berpengaruh di lingkaran orang-orang terdekat Sisebut, Raja Visigoth Hispania. Sama seperti Leander, Isidorus memainkan peran utama dalam Konsili Toledo dan Konsili Sevilla. Legislasi Visigoth yang dihasilkan konsili-konsili tersebut dianggap para sejarawan modern berjasa memprakarsai lahirnya bentuk pemerintahan yang diawasi lembaga perwakilan rakyat.
Para Bapa Suryani
Bapa Suryani adalah Bapa Gereja yang menghasilkan karya tulis dalam bahasa Suryani. Banyak karya tulis para Bapa Suryani diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Yunani.
Afrahat (ca.270–ca.345) adalah pujangga Kristen Suryani abad ke-3 dari daerah Adiabene, kawasan utara Mesopotamia, wilayah Kemaharajaan Persia. Afrahat menghasilkan rangkaian karya tulis yang terdiri atas 23 penjabaran kitab suci atau homili mengenai pokok-pokok doktrin dan amalan Kristen. Ia lahir di Persia sekitar tahun 270, tetapi semua karya tulisnya yang dapat diketahui, yakni Paparan-Paparan, ditulis menjelang akhir hayatnya. Afrahat adalah seorang ahli zuhud yang hidup membujang, dan hampir dapat dipastikan adalah salah seorang putra perjanjian (anggota paguyuban ahli zuhud khas Kristen Suryani purba). Mungkin saja ia ditahbiskan menjadi uskup. Menurut tradisi Gereja Suryani terkemudian, Afrahat mengepalai biara Mar Mati, tidak jauh dari kota Mosul di kawasan utara wilayah Irak sekarang ini. Ia adalah rekan sezaman Efrem orang Suriah, hanya saja Efrem hidup dan berkarya di wilayah Kekaisaran Romawi. Tokoh yang digelari Begawan Persia (bahasa Suryani: ܚܟܝܡܐ ܦܪܣܝܐ, ḥakîmâ p̄ārsāyā) ini adalah saksi kiprah Gereja purba di seberang garis perbatasan timur wilayah Kekaisaran Romawi.
Efrem menulis beragam madah, puisi, dan khotbah dalam berbait-bait syair, maupun eksegesis Alkitab dalam bentuk prosa. Aneka susastra yang dihasilkannya merupakan karya-karya tulis teologi praktis yang berguna untuk membina jemaat pada masa-masa sulit. Karya-karya tulisnya sangat populer, sehingga berabad-abad sesudah kematiannya, pujangga-pujangga Kristen menyusun ratusan karya tulis pseudopigrafis dengan mencatut namanya. Ia disebut-sebut sebagai Bapa Gereja yang paling terkemuka di antara semua Bapa Suryani.[44]
Ishak dari Antiokhia (451–452), salah seorang bintang kesusastraan Suryani, adalah pujangga yang diduga menulis sejumlah besar homili bermetrum (daftar lengkap yang disusun Gustav Bickell berisi 191 karya tulis yang terlestarikan dalam bentuk naskah), banyak di antaranya yang menampakkan keaslian dan ketajaman gagasan yang jarang dijumpai di kalangan pujangga Suryani.
Ishak dari Niniwe adalah uskup dan teologSuryani abad ke-7 yang lebih dikenal karena karya-karya tulisnya. Ia juga dihormati sebagai orang kudus di Gereja di Timur, Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, dan Gereja-Gereja Ortodoks Oriental, sehingga menjadikannya tokoh terakhir secara kronologis yang dihormati semua Gereja rasuli sebagai orang kudus. Ia diperingati setiap tanggal 28 Januari dan 14 Maret menurut penanggalan liturgi Gereja Ortodoks Suryani. Ishak dikenal karena homili-homilinya tentang kehidupan batiniah bernapaskan kemanusiaan dengan kedalaman teologis yang melampaui batas-batas ruang lingkup Kristen Nestorian Gereja asalnya. Karya-karya tulis tersebut terlestarikan di dalam naskah-naskah berbahasa Suryani maupun terjemahan-terjemahannya ke dalam bahasa Yunani dan bahasa Arab.
Para Bapa Gurun
Bapa Gurun adalah sebutan bagi ahli-ahli zuhud Kristen purba yang hidup di padang gurun Mesir. Meskipun tidak banyak menghasilkan karya tulis, pengaruh mereka sangat besar. Bapa Gurun yang terkenal adalah Paulus dari Tebai, Antonius Agung, dan Pakhomius. Banyak wejangan mereka, yang biasanya pendek-pendek, terhimpun di dalam Apoftegmata Ton Pateron (Ujar-Ujar Bapa-Bapa).
Pandangan modern
Di dalam Gereja Katolik, Bernardus dari Clairvaux dianggap sebagai Bapa Gereja yang terakhir.[45] Bagi Gereja Ortodoks Timur, zaman para Bapa Gereja terus berlanjut sampai sekarang, dan oleh karena itu mencakup pula pujangga-pujangga berpengaruh yang berkiprah pada zaman modern. Menurut Gereja Ortodoks Timur, untuk dapat dianggap sebagai Bapa Gereja, seseorang tidak harus benar sampai sekecil-kecilnya, apalagi sampai bersifat mustahil-keliru. Doktrin Gereja Ortodoks Timur ditetapkan berdasarkan mufakat para Bapa Gereja, yakni pokok-pokok yang mereka sepakati bersama. Mufakat ini menjadi tuntunan bagi Gereja dalam perkara-perkara dogma, tafsir kitab suci, dan dalam membedakan tradisi suci yang sejati dari ajaran-ajaran palsu.[46]
Meskipun fikrah agamawi Kristen Protestan didasarkan atas sola scriptura (prinsip bahwa Alkitab sajalah kewenangan tertinggi di dalam perkara-perkara doktrinal), tokoh-tokoh gerakan Reformasi Protestan terdahulu, sama seperti Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks, memakai tafsir-tafsir teologis kitab suci yang sudah ditetapkan para Bapa Gereja purba. Pengakuan Iman PrancisYohanes Kalvin tahun 1559 memuat pernyataan "dan kami mengakui [kebenaran ajaran-ajaran] yang sudah ditetapkan konsili-konsili purba, dan kami menentang semua sempalan maupun bidat yang ditolak doktor-doktor kudus, seperti Santo Hilarius, Santo Atanasius, Santo Ambrosius, dan Santo Sirilus."[47]Pengakuan Iman Skotlandia tahun 1560 mengemukakan pandangannya tentang konsili-konsili ekumene di dalam pasal ke-20. Tiga Puluh Sembilan Pasalgereja Inggris, baik versi asli dari tahun 1562-1571 maupun versi Amerika yang sudah direvisi dari tahun 1801, dengan jelas menerima syahadat Nikea di dalam pasal ke-7. Bahkan sekalipun rumusan pengakuan iman Protestan tertentu tidak menyebut-nyebut Konsili Nikea atau syahadat Nikea, doktrinnya senantiasa diikutsertakan, misalnya dalam Pengakuan Iman Westminstergereja Presbiterian tahun 1647. Banyak seminari Protestan memasukkan patristika ke dalam kurikulumnya, dan banyak gereja Protestan bersejarah menitikberatkan pentingnya tradisi pengajaran dan pandangan para Bapa Gereja di bidang tafsir kitab suci. Penekanan semacam ini bahkan diungkapkan secara resmi di dalam beberapa aliran pemikiran Kristen Protestan, misalnya aliran Paleoortodoksi.
Ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang para Bapa Gereja disebut Patristika.
Sebagian pihak membedakan Patristika dari Patrologi. Patristika diartikan sebagai cabang ilmu teologi yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan iman, moral, maupun tata tertib yang terkandung di dalam karya-karya tulis para Bapa Gereja, sementara ilmu yang mempelajari hal-ihwal para Bapa Gereja disebut Patrologi.[48][49]
^Baca "Ignatius" dalam The Westminster Dictionary of Church History, Jerald Brauer (penyunting), Philadelphia:Westminster, 1971, dan David Hugh Farmer, "Ignatius of Antioch" dalam The Oxford Dictionary of the Saints, New York:Oxford University Press, 1987.
^Polycarp of Smyrna; Ignatius of Antioch; Clement of Rome (1912). The Apostolic Fathers. Diterjemahkan oleh Lake, Kirsopp. New York: G.P. Putnam's Sons. hlm. 280. hdl:2027/hvd.32044016963696.
^"For All the Saints"(PDF). Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 24 Mei 2010. Diakses tanggal 08 November 2012.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan)
^Walter Laqueur, The Changing Face of Antisemitism: From Ancient Times To The Present Day, (Oxford University Press: 2006), hlm. 48. ISBN0-19-530429-2. 48
^Yohanan (Hans) Lewy (1997). "John Chrysostom". Dalam Roth, Cecil. Encyclopaedia Judaica (edisi ke-CD-ROM versi 1.0). Keter Publishing House. ISBN965-07-0665-8.
^John Chrysostom and the Jews: Rhetoric and Reality in the Late 4th Century, by Robert L. Wilken (University of California Press: Berkeley, 1983), hlm. 112.