Kontroversi ArianKontroversi Arian merupakan serangkaian kontroversi terkait Kristologi, yang timbul antara Arius, seorang penatua gereja di Mesir, dengan Uskup Athanasius, seorang Bapa Gereja. Isu terpenting dari kontroversi-kontroversi ini berkenaan dengan hubungan substansial antara Allah Bapa dan Yesus Kristus. Perbedaan pendapat tersebut memisahkan Gereja menjadi dua faksi teologis selama lebih dari 55 tahun, dari masa sebelum Konsili Nicea I tahun 325 sampai setelah Konsili Konstantinopel I tahun 381. Tidak ada resolusi ataupun skisma secara formal; Gereja Katolik pada akhirnya membentuk teologinya sendiri mengenai hal ini. SejarahAwal mulaSejarah awal dari kontroversi ini perlu dirangkai secara keseluruhan dari sekitar 35 dokumen yang ditemukan dalam berbagai sumber. Sokrates dari Konstantinopel, seorang sejarawan Trinitarian, melaporkan bahwa Arius pertama kali menjadi kontroversial ketika menanggapi Aleksander dari Aleksandria uskupnya dengan silogisme berikut: "Jika Bapa memperanakkan Putra, maka ia yang diperanakkan memiliki suatu awal keberadaan: dan dari hal ini adalah jelas bahwa terdapat suatu waktu bilamana Putra tidak [ada]. Karenanya berarti bahwa ia memiliki substansinya dari ketiadaan".[1] Uskup Aleksander dikritik karena reaksinya yang lambat dalam menghadapi Arius. Sama seperti pendahulunya, Uskup Dionisius, ia mengalami kebimbangan sehingga kontroversi ini terus berlanjut. Dalam narasi Eusebius dalam "The Life of Constantine" diceritakan bahwa perselisihan tersebut menyebar bukan hanya di Aleksandria, tetapi hampir di semua wilayah Afrika; sehingga mengundang kaisar Konstantinus Agung (Konstantinus I) untuk mengirim dua pucuk surat kepada penatua Arius dan Uskup Aleksander yang isinya sama: meminta keduanya untuk menghentikan perselisihan.[2] Dalam mata sang kaisar, perselisihan diantara dua pemuka gereja itu telah mengganggu kedamaian di Kekaisaran Romawi. Karena perselisihan tidak kunjung usai, maka pada tahun 325 masehi kaisar Konstantinus I menggelar Konsili Nicea dengan agenda mengadili Arius.[3] Konsili Nicea (325)"Arianisme" tidak dapat lagi berada di dalam Keuskupan Aleksandria. Pada waktu Uskup Aleksander bertindak menentang presbiternya yang tidak taat itu, doktrin Arius telah tersebar luas di luar keuskupannya sendiri; ini telah menjadi suatu topik diskusi, dan gangguan, bagi keseluruhan Gereja. Saat itu Gereja telah menjadi suatu kekuatan besar di dalam dunia Romawi, karena Konstantinus I telah melegalkannya pada tahun 313 melalui Maklumat Milan. Sang kaisar menunjukkan suatu ketertarikan pribadi dalam beberapa isu ekumenis, misalnya kontroversi Donatis pada tahun 316, dan ia ingin mengakhiri perselisihan Arian. Untuk maksud tersebut sang kaisar mengutus Hosius, uskup Kordoba, untuk melakukan investigasi dan menyelesaikan kontroversi ini jika memungkinkan. Hosius dibekali dengan sebuah surat terbuka dari Kaisar: "Oleh karena itu hendaknya masing-masing dari kamu, dengan memperlihatkan perhatian bagi yang lainnya, mendengarkan nasihat yang berimbang dari rekan pelayanan kamu." Tetapi karena perdebatan terus berkecamuk, terlepas dari upaya-upaya Hosius, maka Konstantinus pada tahun 325 M mengambil suatu langkah yang belum pernah ditempuh sebelumnya: ia menghimpun suatu konsili yang terdiri dari para prelatus Gereja dari semua penjuru kekaisaran untuk menyelesaikan masalah ini, yang mungkin diadakan atas rekomendasi Hosius.[4] Semua keuskupan sekuler di kekaisaran mengirimkan satu atau lebih perwakilan ke konsili tersebut, kecuali Britania Romawi;[butuh rujukan] sementara mayoritas uskup berasal dari wilayah Timur. Paus Silvester I merasa dirinya sudah terlalu tua untuk dapat menghadirinya, dan mengutus dua imam sebagai delegasinya. Arius sendiri menghadiri konsili tersebut, sementara Aleksander uskupnya tidak hadir namun mengutus diakonnya yang masih muda, yaitu Athanasius, untuk menggantikannya. Athanasius kelak menjadi pemenang dalam mempertahankan dogma Trinitarian (Tritunggal) yang pada akhirnya disahkan oleh konsili dan menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk melawan paham Arianisme. Selain itu juga hadir Eusebius dari Kaisarea dan Eusebius dari Nikomedia. Sebelum pertemuan utama diselenggarakan, Hosius telah bertemu dengan Aleksander dan para pendukungnya di Nikomedia.[5] Konsili diorganisir oleh sang kaisar sendiri, yang berpartisipasi di dalamnya dan bahkan memimpin beberapa diskusinya.[4] Mereka yang mempertahankan gagasan bahwa Putra adalah sama kekalnya dan sama substansinya dengan Bapa dipimpin oleh Athanasius sang diakon agung muda. Mereka yang berpandangan sebaliknya bahwa Allah Putra ada setelah Allah Bapa, menurut waktu dan substansi, dipimpin oleh Arius sang presbiter. Dalam waktu sekitar 2 bulan, kedua belah pihak saling mengajukan argumen dan berdebat,[6] dan mereka merujuk pada Kitab Suci untuk membenarkan posisi masing-masing. Arius bersikeras bahwa Allah Putra adalah suatu Ciptaan, terlahir dari ketiadaan; dan bahwa ia adalah Ciptaan Pertama Allah, sebelum segala abad. Dan ia berpendapat bahwa segala sesuatu yang lain diciptakan melalui Putra. Dengan demikian, menurut Arius, hanya Putra saja yang dilahirkan dan diciptakan secara langsung dari Allah; lebih jauh lagi ia berpendapat bahwa ada suatu masa/waktu di mana Ia tidak memiliki eksistensi. Kata Arius, Ia mampu menggunakan kehendak bebas-Nya sendiri dan karenanya "Ia adalah seorang putra dalam arti sebenarnya, Ia tentu ada setelah Bapa, karena itu jelas ada waktu ketika Ia tidak [ada], dan dengan demikian Ia adalah seorang makhluk yang terbatas."[7] Menurut beberapa laporan dalam hagiografi Nikolas dari Myra, perdebatan di konsili tersebut menjadi sedemikian panas hingga ia menampar muka Arius. Sebagian besar uskup yang hadir akhirnya menyepakati sebuah kredo (pengauan iman), yang kemudian dikenal sebagai Kredo Nicea yang dirumuskan di dalam Konsili Nicea I. Kredo tersebut memuat kata homoousios yang berarti "sehakikat", atau "satu esensi", tidak selaras dengan keyakinan Arius.[8] Pada tanggal 19 Juni 325, kaisar dan konsili tersebut mengeluarkan sebuah surat edaran kepada semua gereja di dan sekitar Aleksandria yang berisi informasi bahwa Arius dan dua partisannya yang pantang menyerah (Teonas dan Sekundus)[8] diturunkan dari jabatannya dan diasingkan ke Ilirikum, sementara tiga pendukung lainnya—Teognis dari Nicea, Eusebius dari Nikomedia, dan Maris dari Kalsedon—membubuhkan tanda tangan mereka semata-mata karena menghormati sang kaisar. Namun Konstantinus segera menemukan alasan untuk mencurigai ketulusan ketiganya, sebab ia kemudian memasukkan mereka dalam keputusan yang dinyatakan atas Arius.[butuh rujukan] Referensi
Pranala luar
|